Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 15 Juni 2022

Jangan Bawa Cintaku #11

Cerita bersambung

Ika bergegas mendekat dan berusaha membangunkan Rina, sementara Dian berlari kearah mobil yang menunggu sambil berteriak-teriak.

“Oom.. om.. itu.. itu.. bu Rina pingsan..”

Baskoro melompat turun dan berlari kearah dimana Ika sedang berusaha mengangkat Rina.

“Rina.. Rina…”
“Mas, tolong diangkat kerumah dulu, mari saya bantu..”

Tapi Baskoro dengan sekali angkat sudah berhasil mengangkat tubuh Rina, lalu dibawanya masuk kerumah Ika. Lalu dibaringkan diatas sofa sederhana yang ada disana. Dian lari mengambilkan bantal kemudian diletakkan dibawah kepala Rina.
Ika sibuk menggosok-gosok tangan Rina, dan menciumkan bau minyak angin ke hidungnya.
Baskoro memandangnya bingung.
“Dia kurang memperhatikan kesehatannya sendiri. Hanya memikirkan suaminya yang sakit saja,” gerutunya.
“Iya mas, itu wajar,” kata Ika.
“Dia belum makan sejak pagi, dan sibuk memasak serta mengurus suaminya. Wajar kalau dia tumbang.”

Ika terus menciumkan aroma minyak angin ke hidung Rina. Lalu tak lama kemudian Rina tampak bergerak dan mengeluh.

“Aku… dimana aku.. ada apa.. ini?” katanya lemah.
“Dirumah saya bu Rina, tadi tiba-tiba ibu pingsan. Ibu mau makan? Saya tadi kebetulan masak, tapi ya.. hanya…”
“Tidak, terimakasih… aduh.. saya merepotkan..”
“Tidak bu, kalau ada yang bisa saya lakukan, pasti akan saya lakukan.”
“Kita ke dokter saja,” kata Baskoro.
“Saya pulang saja..” kata Rina sambil berusaha bangkit, tapi kembali terkulai.”
“Mas, ke dokter saja, biar saya antar. Tampaknya bu Rina sangat lemah,” kata Ika khawatir.
“mBak bisa ikut mengantarnya? So’alnya kalau saya sendiri pasti agak repot.”
“Tidak apa-apa. Biar sama saya, tunggu sebentar, saya hanya mau ganti baju saja.”
“Tidak, aku pulang saja. Kalau bisa tidur pasti lebih enak.”
“Jangan bandel. Sekarang juga kerumah sakit. Tampaknya kamu butuh perawatan serius, karena tidak bisa menerima makanan.”

Rina memejamkan matanya, tampaknya dia pasrah karena benar-benar tak berdaya.”

“Dian, ibu pergi dulu ya, jangan lupa kunci pintunya, dan jangan pergi kemana-mana,” pesan Ika kepada Dian.
“Ya bu..”

Ika mengikuti Baskoro yang menggendong Rina ke mobilnya. Ada rasa trenyuh ketika menyaksikan Rina sampai jatuh sakit gara-gara merawat suaminya.
***

Ternyata dokter menyarankan agar Rina dirawat. Baskoro menghela nafas lega, karena dirumah sakit Rina akan mendapat perawatan yang lebih baik.

“Suaminya juga dirawat disini mbak,” kata Baskoro kepada Ika ketika selesai mengurus kamar inap untuk Rina.

“Oh.. iya “
“Mereka hanya berdua dan seorang anak kecil yang dititipkan pada neneknya. Saya akan meminta perawat agar ada yang menjaga Leo setiap sa’at karena isterinya juga sedang dirawat.”
“Ya mas..” jawab Ika sambil mengangguk. Ada perasaan tak menentu ketika menyadari bahwa Rina butuh seseorang sementara seseorang itu sedang sakit, sebaliknya Leo juga butuh isterinya dan isterinya juga sedang sakit. Ika menemani sampai Rina dibawa ke kamar inap. Wajah Rina sangat pucat, selang insfus disambungkan ke tubuhnya.

“mBak Yanti, terimakasih banyak. Saya sangat merepotkan.”
“Tidak bu, jangan berkata begitu, saya akan melakukan apapun untuk membantu.”
“Bagaimana dengan Dian?”
“Dia ada dirumah, tidak apa-apa, Dian kan sudah besar, sudah bisa menjaga dirinya.”
“Sekarang mbak Yanti pulang saja. Kasihan Dian,” kata Rina sambil menggenggam tangan Ika.
“Tidak apa-apa bu, saya menunggu pak Baskoro dulu. Katanya sedang mengurus perawat yang akan menjaga suami ibu.”
“Oh..”
“Dia saudara ibu?”
“Bukan, dia hanya teman, yang kebetulan ketemu ketika saya merasa sakit, lalu mengantarkan saya menjemput Dian juga.

“Dia sangat baik..”
“Tapi lama sekali dia perginya ya..”
“Barangkali urusannya belum selesai..”
“Saya akan menyuruh dia pulang. Kasihan, sudah sejak siang dia repot karena saya.”
“Kalau mas Baskoro pulang, ibu sama siapa?”
“Tidak apa-apa, aku kan hanya kecapekan, paling besok sudah boleh pulang.”
“Sekarang bagaimana rasanya bu, ada yang terasa sakit?”
“Hanya mual, sangat mual, tapi ini sudah berkurang.”
“Lain kali ibu juga harus memperhatikan kesehatan ibu sendiri. Harus makan, minum, istirahat juga.”
“Iya mbak.”
“Bu Rina ingin sesuatu ?”
“Tidak, kalau nanti Baskoro datang, mbak Yanti pulang saja, Baskoro juga akan saya suruh pulang. Tidak apa-apa saya sendirian. Besok juga pasti sudah boleh pulang.”
“Ya sudah, bu Rina tidur saja dulu, jangan memikirkan saya.”
“Aku memikirkan mas Leo.”
“Bukankah sudah ada perawat yang akan menjaganya? Ayolah bu, mas Baskoro sudah mencari orang yang akan mengurusnya. Bu Rina harus istirahat dan jangan memikirkan apa-apa.”
“Maukah mbak Yanti menengok mas Leo?”
“Apa?”
“Supaya dia merasa lega.”
“Itu kita pikirkan nanti saja, kalau bu Rina sudah baik.”

Rina tiba-tiba merasa ingin muntah. Ika mengambilkan tas keresek terdekat yang dipakainya untuk menampung muntahan. Tapi sampai terengah-engah tak ada yang bisa dimuntahkannya.

“Aduhh..”

Ika memijit-mijit tengkuknya, hanya ada sedikit kotoran yang segera dibuangnya. Ia segera melaporkan kepada perawat, agar melaporkan semuanya kepada dokter.

“Bu Rina tidak makan apapun, tak ada yang keluar. Biar saya gosok perut ibu biar agak terasa nyaman,” kata Ika sambil menggosok perut dan tengkuk Rina.

Rina masih terengah-engah.

“Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa..” kata Rina.
“Ini, aku belikan kamu baju ganti, nggak tahu ada yang kurang atau enggak. Aku hanya minta satu perangkat ganti dari dalam sampai luar. Eh, bukan hanya satu, ada empat setel, semoga cukup untuk kamu,” kata Baskoro sambil menunjukkan sebuah bungkusan besar, yang kemudian diserahkan kepada perawat jaga.

“Bas, kamu repot-repot sekali, aku bisa minta tolong suster jaga untuk membelikannya.”
“Beli saja barangkali ada yang kurang.”
“Sekarang kamu pulanglah, antar mbak Yanti sekalian.”
“Kamu tidak apa-apa sendirian ?”
“Tidak Bas, aku kan hanya masuk angin, kenapa juga harus dirawat?”
“Enak saja kamu ngomong. Masuk angin, lemas tanpa daya.. dan menurut dokter perlu dirawat karena harus ada cairan infus masuk ketubuh kamu itu.”
“Besok pasti aku sudah boleh pulang.”
“Syukurlah kalau memang dokter mengijinkan. Tapi ngomong-ngomong siapa yang namanya Ika?”
“Apa? Mengapa kamu menanyakan itu?”
“Tadi perawat yang menjaga Leo mengatakan bahwa ketika badannya panas Leo memanggil-manggil nama Ika. Dia bertanya, mana aku bisa menjawabnya?”

Ika berdebar, ia pura-pura membenahi selimut Rina yang sedikit tersibak. Rina tak menjawab. Khawatir Ika tak berkenan kalau sampai Baskoro mengetahuinya.

“Suami kamu punya selingkuhan?” tanya Baskoro tak puas melihat Rina hanya diam.
“Ah, kamu ada-ada saja..”
“Ma’af, aku bukan memanas-manasi kamu, tapi kalau itu benar, kamu harus tahu.”
“Tidak Bas, sudahlah, jangan memikirkan itu. Sekarang kamu pulang saja dan antarkan mbak Yanti kerumahnya.”
“Baiklah, besok pagi-pagi aku akan kemari. Apa aku harus nyamperin mbak Yanti juga?”
“Jangan Bas, mbak Yanti harus berjualan.”
“Tidak bu Rina, saya mau libur dulu.”
“Mengapa?”
“Belum mendapat pasar yang tepat, nanti saya pikirkan lagi.”
“Baiklah, ini kunci mobil kamu, aku tinggal disini, aku mau pulang dengan membawa mobil aku sendiri.”
***

“Bas, kamu dimana?” tanya Risma ketika menelpon Baskoro.
“Lagi dijalan, mau pulang.”
“Sesiang tadi kamu kemana ?”
“Rina sakit, sekarang dirawat.”
“Ya ampun, sakit apa?”
“Mungkin telat makan telat minum, sibuk mengurus suaminya, tiba-tiba tadi pingsan dirumah temannya.”
“Lalu kamu membawanya ke rumah sakit?”
“Iya, langsung aku bawa, ditemani mbak Yanti. Ini aku sedang mau mengantar mbak Yanti pulang.”
“Lalu Rina sama siapa ?”
“Ya sendiri lah, Leo juga sendiri, sama-sama tak bisa saling mengurus, tapi aku sudah titipkan sama perawat jaga.”
“Aku mau kesana ah..”
"Sudah, besok saja. Kalau mbak kesana malah dia nggak bisa istirahat.”
“Oh, gitu ya. Kasihan anak itu.”
“Ya sudah, nanti ceritanya dirumah, aku mau mengantar mbak Yanti dulu.:”
“Baiklah.”

Tapi tiba-tiba Ika minta diturunkan di deretan pertokoan.

“Mas, saya turun disini saja.”
“Lho, memangnya mbak Yanti mau belanja? Ini kan sudah malam.”
“Bukan mas, didepan itu ada gang kecil yang tembus ke rumah saya. Hanya bisa dilewati dengan berjalan kaki. Kalau mas ingin sampai didepan rumah saya kan harus memutar dari sana, baru bisa masuk.”
“Oh, iya.. saya tahu. Kalau dari rumah mbak Yanti terus ke timur, sepertinya jalan buntu ya.”
“Memang mobil tidak bisa masuk mas. Tapi kalau berhenti disitu, saya bisa jalan sampai ke rumah dan lebih dekat.”

Baskoro memberhentikan mobilnya didepan sebuah toko. Memang ada gang kecil yang bisa dilewati, hanya untuk pejalan kaki saja, atau sepeda.

“Itu ya mbak?”
“Iya mas, saya bisa lebih cepat sampai ke rumah, dan mas tidak usah berputar untuk sampai kerumah saya.”
“Oh, gitu ya, so’alnya kemarin Rina mengajak lewat memutar.”
“Supaya mobilnya bisa sampai didepan rumah mas.”
“Oh, baiklah. Apakah besok saya harus nyamperin mbak Yanti?”
“Tidak usah mas, saya bisa naik sepeda motor sendiri,” kata Ika sambil turun dari mobil.
“Terimakasih ya mbak, sudah menemani.”
“Sama-sama mas.”

Ika memasuki gang kecil itu dengan perasaan yang bercampur-aduk. Ucapan Baskoro yang menirukan kata-kata bahwa Leo selalu menyebut namanya ketika mengigau, sangat mengganggunya.

“Apakah kalau Leo sudah bertemu aku, lalu bisa menghentikan semua itu?”
***

“Apakah sakitnya bu Rina sangat parah?” tanya Dian malam itu pada ibunya.
“Tampaknya tidak, mungkin dia hanya kecapekan.”
“Mengapa ibu seperti sangat memikirkannya?”

Ika terkejut. Sejak tadi dia memang melamun, tapi bukan memikirkan sakitnya Rina yang sepertinya tak apa-apa, ia justru sedang memikirkan Leo.

“Ibu sepertinya sangat sedih, sejak tadi melamun saja,” sambung Dian.
“Oh, tidak nak, ibu hanya.. hanya.. memikirkan.. bu Rina tidak ada temannya,” jawab Ika sekenanya.
“Ibu sebenarnya ingin menemaninya, tapi nggak tega sama Dian?”
“Tentu saja nak, kan Dian tidak ada temannya juga? Tapi tidak apa-apa, bu Rina sudah agak tenang, mungkin sudah bisa tidur malam ini.”
“Kasihan ya bu.”
“Iya, besok pagi ibu mau menengoknya lagi. Kamu nggak usah ikut.”
“Katanya ibu sudah mulai jualan?”
“Belum dulu nak, ibu belum menemukan daerah yang tepat untuk menjajakan dagangan.”
“Tadi ibu sudah jualan, tapi nggak laku?”
“Bukan nggak laku, disana sudah ada penjaja sayur, nggak enak kalau ibu nekat berjualan disana. Besok ibu akan mencari tempat lain yang cocok.”
“Kalau ke tempat lama, jauh ya bu.”
“Iya sih, jauh sekali. Tapi jangan khawatir, pasti nanti akan ada jalan. Sekarang tidurlah, ibu juga sudah ngantuk.”
***

“Ika… Ika…” Leo masih mengigau malam itu. Panas badannya masih naik turun, perawat yang menjaganya terus memantau perkembangannya.

Ketika pagi tiba dan perawat sudah selesai mengganti baju Leo, perawat yang seorang laki-laki muda itu bertanya.

“Apakah isteri bapak namanya Ika?”

Leo terkejut, tak sadar bahwa dia sering menyebut nama Ika.

“Mana isteri aku? Dari kemarin aku tak melihatnya.”
“Saya juga tidak tahu, seorang laki-laki menyuruh saya menjaga bapak.”
“Laki-laki siapa ?”
“Saya tidak menanyakannya. Mungkin saudara bapak.”
“Aku tidak punya saudara.”
“Mungkin teman, saya tidak tahu.”

Leo merasa kesal, tapi badannya masih panas dan lemas. Ia juga hanya makan sedikit karena tidak suka makanan lembek.

“Mengapa Rina tidak mau lagi datang kemari. Apa dia marah karena aku selalu menanyakan Ika?” pikir Leo.
“Bapak, jangan terlalu banyak bergerak, nanti jarum infusnya terlepas, bapak harus ditusuk lagi,” tegur perawat karena Leo terlalu banyak bergerak.
“Dimana isteriku ?”
“Waduh, saya tidak tahu pak, mungkin sedang repot, sehingga bapak harus dititipkan sama perawat.”

Leo mendengus kesal, ia ingin membalikkan lagi badannya tapi perawat sudah mengingatkan bahwa dia tak boleh banyak bergerak.

“Ini sungguh menyiksa,” keluhnya pelan.
“Bapak sabar ya, kalau bapak butuh sesuatu, bilang saja sama saya, nanti saya akan menelpon masnya yang kemarin.”
“Kamu tahu nomor kontaknya?”
“Bukan saya, perawat jaga yang ada dikantor yang tahu.”
“Tolong ditanyakan, berapa nomornya, saya harus menghubungi.”
“Bapak tidak boleh menelpon siapapun, bapak hanya boleh berpesan, dan bapak harus banyak beristirahat.”
“Aku tidak tahan dengan semua ini..”
“Sabar ya pak, kalau bapak tidak bisa sabar, bapak tidak akan segera sembuh.”

Leo sungguh merasa kesal. Banyak yang dia tidak mengerti. Kemana Rina, dan siapa laki-laki yang mengurusnya..
***

“Bagaimana keadaan bu Rina?” kata Ika ketika pagi itu datang sambil membawakan bubur untuk Rina. Hari masih pagi, belum sa’atnya jam bezoek, tapi Ika mengatakan bahwa dia orang yang bertugas menunggu pasien, sehingga diijinkan masuk.

“mBak Yanti, pagi-pagi sudah sampai disini ?”
“Nggak apa-apa bu, saya biasa bangun pagi, lalu kepasar. Ini bubur lemu bu, mau ya,” kata Ika sambil membuka bungkusan bubur yang tadi dibelinya.
“Biasanya aku suka bubur. Tapi kali ini baru melihat saja aku sudah mual.”
“Jangan-jangan bu Rina hamil,” kata Ika tiba-tiba.

Rina terkejut, matanya terbelalak.

“Hamil ?”
“Tanda-tandanya seperti saya ketika hamil. Lemas, mual, muntah, tidak suka makanan yang biasanya saya suka.”
“Ya Tuhan, tidak..” keluh Rina.
“Mengapa tidak? Dina akan punya adik, itu membahagiakan.”

Tiba-tiba Ika melihat mata Rina membasah, digenangi air mata.

“Mengapa bu Rina tampak sedih? Seandainya benar bu Rina mengandung, bukankah itu sesuatu yang luar biasa. Bayangkan Dina punya adik.. pasti dia senang..”
“Mas Leo tidak mencintai aku,” bisiknya pelan.

Ika terkejut.

“Tidak mungkin.. sesuatu yang dijalaninya selama bertahun-tahun, dan bu Rina mengatakan itu?”
“Tidak, aku tidak mengandung. Aku hanya capek.”
“Itu benar, bu Rina memang sedang mengandung anak kedua.”

Ika dan Rina menoleh kearah datangnya suara. Dokter Puji tiba-tiba sudah ada diruangan itu.

“Dokter? Bagaimana dokter bisa berada disini ?”
“Saya mendengar dari dokter Ani yang merawat ibu, bahwa isteri pak Leo dirawat. Ternyata benar. Dan saya sudah melihat kasil lab ibu. Benar bu Rina mengandung.”

Rina menatap langit-langit kamar di ruangan itu. Benarkah berita itu membahagiakan? Ika menggenggam jari tangan Rina kuat-kuat.

==========

“Bu Rina kenapa? Ini berita membahagiakan, pak Leo pasti senang mendengarnya," kata dokter Puji sambil tersenyum.
“Terimakasih dok.”
“Pak Leo sudah membaik, tapi panasnya belum stabil, masih turun naik. Mungkin perlu beberapa hari lagi untuk bisa pulih.”
“Terimakasih ..”

Ketika dokter Puji meninggalkan ruangannya, wajah Rina masih tampak muram. Ika menyentuh lengannya.

“Bu Rina, senyum dong bu.. ingat, Dina mau punya adik, sudah saya bayangkan pasti dia akan melonjak-lonjak kegirangan,” kata Ika sambil tertawa.

Rina tersenyum tipis, terbayang olehnya, setiap kali hatinya senang, Dina pasti melonjak-lonjak. Senyum dibibir Rina merekah. Senang Ika melihatnya.

“Tiba-tiba aku kangen sama Dina. Bolehkah hari ini aku pulang?”
“Kalau memang dokter melihat bahwa tak ada yang mengkhawatirkan, pasti bu Rina boleh pulang.”
“Keluhan aku hanya mual dan sedikit pusing.”
“Bu Rina kan harus beristirahat. Kalau dirumah nanti banyak yang akan dikerjakan, namanya bukan lagi istirahat.”
“Iya sih..”
"Lebih baik bu Rina istirahat dulu sampai beberapa hari, kalau sudah benar-benar kuat baru bisa pulang.”
“mBak, bisakah aku minta tolong?”
“Tentu saja bu Rina, saya akan melakukan apa saja sepanjang saya bisa melakukannya.”
“Aku boleh minta tolong, tapi…” Rina ragu-ragu mengatakannya.
“Katakan saya harus bagaimana?”
"Kemarin aku memasukkan baju-baju mas Leo.. ke laundry… tapi tidak.. ah.. ma’af, ini tidak pantas bukan?”

Ika berdebar. Disebutnya nama Leo membuatnya ketakutan. Tapi mengapa takut? Dia tidak membuat kesalahan. Maka ditatapnya mata Rina lekat-lekat.

“Katakan bu, kalau saya bisa pasti saya akan melakukannya.”
“Sungguh aku menyesal harus mengatakannya. Tapi aku tidak tahu harus minta tolong pada siapa.”
“Katakan saja bu.”
“Hari ini mas Leo pasti sudah kehabisan baju bersih, karena aku hanya membawakan dua setel kemarin. Harusnya setelah baju kotor aku bawa, aku segera menggantikannya dengan yang bersih. Kemarin karena saya sakit, Baskoro memasukkan baju kotor itu ke laundry. Padahal…”
“Apakah saya harus mengambilkan baju kotor itu?”
“Tidak. Kemarin Baskoro meminta agar mengirimkan ke rumah padahal rumah kan kosong?”
“Lalu ..”
“Ada nomor telpon di surat tanda terimanya. Bagaimana kalau mbak Yanti menelpon dan minta agar dikirim kemari?”
“Oh, cuma itu, baiklah, saya akan menelponnya. Mana surat tanda terima itu bu?”

Rina meraih tas kecil yang oleh Baskoro diletakkan di meja di sampingnya. Tapi ketika mencari-cari, surat itu tak ditemukannya.

“Kok nggak ada? Kemarin Baskoro seperti memasukkannya ke dalam tas ini.”
“Bisakah menelpon mas Baskoro saja, barangkali dia yang membawanya.”
“Tolong mbak yang menelpon ya.”

Tapi belum sempat Rina meraih ponselnya, Baskoro sudah muncul di sana.

“Ya ampun, Mau masuk susah amat, harus menunggu jam bezoek,” gerutu Baskoro.
“Bas, kamu menyimpan surat yang dari laundry kemarin ?”
“Mau apa kamu?”
“Bajunya mas Leo pasti sudah habis. Aku bingung ..maksudku.. “
“Sudah, nggak usah bingung, aku sudah ambil dan sudah aku serahkan ke perawat yang menjaganya.”
“Oh, ya ampun Bas.. terimakasih banyak ya,,”
“Sudah, nggak usah dipikirkan, pokoknya suami kamu sudah ada yang mengurus. Bagaimana keadaan kamu?”
“Aku baik, pengin pulang saja.”
“Eeh, enak aja.. dokternya sudah kemari belum ?”
“Belum.”
“Sudah makan? Aku beli nasi liwet tadi.”
“Nanti saja, mbak Yanti sudah membawakan aku bubur sama terik.”
“Tapi belum mau makan mas..” kata Ika.
“Lhah .. kok belum mau makan?”
“Nggak mau, aku masih mual. Nanti saja.”
“Kalau begitu mana boleh kamu pulang. Pasien yang tidak doyan makan harus diinfus supaya tidak lemas.”
“Aku mau, tapi nanti saja. Jatah dari rumah sakit juga belum aku makan.”
“Kemarin ngomongin Leo bandel, sekarang kamu sendiri lebih dari bandel,” omel Baskoro. Ika hanya tersenyum. Baskoro belum tahu kalau Rina hamil sih.

“Aku masih merasa mual.”

Tiba-tiba seorang perwat meminta agar Baskoro dan Ika keluar, karena dokter mau memeriksa pasien.
Baskoro keluar, diikuti Ika. Sebenarnya Ika mau pamit, tapi keburu dokternya datang.

“Duduk disini dulu mbak Yanti,” ajak Baskoro sambil duduk disebuah bangku.
“Terimakasih mas, sebenarnya saya sudah mau pamit. Tapi ya sekalian menunggu dokternya pergi, supaya bisa pamit sama bu Rina.”
“Nanti bareng saya saja mbak, saya juga tidak akan lama, karena kakak saya minta dijemput kemari. Tadi nggak bisa bareng sekalian karena saya harus mengambil baju Leo di laundy terlebih dulu.”
“Saya naik motor sendiri kok mas.”
“Oh iya, kemarin sudah bilang kalau mau naik motor, kok saya lupa.”

Ika tersenyum. Entah hubungan apa yang ada diantara Baskoro dan Rina, Ika tidak tahu. Yang Ika tahu adalalah Baskoro sangat baik dan sangat memperhatikan Rina.

“mBak Yanti tidak ingin membezoek Leo?” tanya Baskoro tiba-tiba.

Ika terkejut.

“Aap..apa?”
“mBak Yanti nggak kenal Leo? Kan dia juga dirawat disini.”
“Oh, nggak ,” katanya berbohong.
“O.. kirain kenal. Kalau saya sebenarnya kenal. Tapi dia nggak suka sama saya, takut kalau saya merebut isterinya,” kata Baskoro sambil tertawa.

Lalu Ika meraba-raba, tampaknya Baskoro ini suka sama Rina, tapi keduluan Leo. Ah, entahlah, ingatan akan Leo membuatnya kembali merasa pusing.
Ketika dokternya keluar dari ruang Rina dirawat, Baskoro dan Ika kembali masuk, tapi Baskoro langsung pamitan karena harus menjemput Risma yang akan membezoek Rina.

“Kamu bilang mbak Risma bahwa aku sakit, jadi nggak enak, aku merepotkan banyak orang Bas.”
“mBak Risma beberapa hari lagi mau pulang, dia ingin ketemu kamu.”
“Ya sudah, terimakasih ya Bas, kamu melakukan banyak hal untuk aku.”
“Kamu nanti mau dibawakan apa?”
“Tidak, susah makannya.”
“Kalau begitu buah saja ya.”
“Terserah kamu saja.”
“Oh ya, dokternya bilang apa? Benar kamu boleh pulang hari ini?”
“Tidak.”
“Tuh kan, belum ketemu penyakitnya?”
“Aku hamil.”
“Yaaah..” Baskoro terlonjak kaget.
“Dan aku tidak mau dirawat lebih lama. Besok mungkin aku boleh pulang, dengan janji mau makan.”
“Ikut senang mendengarnya. Baiklah, aku pulang dulu.”

Ketika Baskoro pergi, Ika juga segera pamit, karena Dian sendirian dirumah dan dia juga belum memasak.

“mBak Yanti, aku mau bicara sebelum mbak Yanti pulang.”
“Ya bu.. ada apa?”
“Aku tetap ingin, mbak Yanti mau menemui mas Leo.”
“Iya, nanti kalau mbak Rina sudah boleh pulang.”
“Benar ya, aku ingin mas Leo merasa tenang. Lalu selanjutnya dia mau melakukan apa, kita lihat saja nanti.”
“Kalau benar saya harus ketemu dia, saya hanya ingin mengatakan keadaan saya, dan tentang Dian, tidak lebih,”
“Apa maksudnya tidak lebih ?”
“Hanya bicara tentang keadaan saya, lalu saya tidak akan menemuinya lagi. Biarkan saya hidup tenang bersama Dian.”
“Bagaimana kalau mas Leo ingin menikahi mbak Yanti?”
“Apa ? Mengapa bu Rina mengatakan itu? Hiduplah berbahagia seperti sebelumnya, dan jangan lagi ada saya diantara bu Rina dan Leo.”
“Tapi mbak Yanti..”
“Saya permisi dulu bu, Dian sudah lama menunggu.”

Rina menghela nafas panjang. Ia bisa mengerti mengapa Ika bersikap seperti itu. Walau dia ikhlas berbagi, Ika tak mungkin bisa menerimanya.
***

“Pak Leo harus semangat, supaya segera sembuh,’ kata dokter Puji ketika memeriksa Leo.
“Ya dok, saya juga sudah tidak kerasan lebih lama menginap disini.”
“Ya lah pak, mana ada orang kerasan menginap dirumah sakit. Tapi hari ini sudah lebih baik. Untunglah baru gejala tifus, dan segera ketahuan, kalau tidak, pak Leo bisa lebih lama lagi menginap disini.”
“Jadi kapan saya bisa pulang?”
“Kalau panasnya sudah stabil. Itupun pak Leo harus menjaga kesehatan dan makan makanan sehat.”
“Sebenarnya saya tidak suka makan diluar, hanya kadang-kadang saja sih.”
“Yang kadang-kadang itu bisa jadi justru ketika kondisi pak Leo sedang lemah, nah.. gampang sekali penyakit masuk.”
“Saya juga sedang memikirkan isteri saya.”
“Hahaa.. mengapa difikirkan pak, biarkan bu Rina beristirahat dulu beberapa hari, tapi jangan khawatir, itu bukan penyakit. Sakit yang menyenangkan.”

Leo menatap dokter Puji tak mengerti.

“Apa maksud dokter?”
“Karena lemah dan susah makan, bu Rina harus dirawat. Tapi kan itu bukan karena sakit. Lho, nanti dulu, kok pak Leo seperti tidak mengerti?” tanya dokter Puji yang tadinya mengira Leo sudah tahu.
“Saya memang tidak mengerti, " kata Leo bingung.”
“Pak Leo tidak tahu bahwa bu Rina dirawat disini sudah dua hari ini?”
“Apa?”
“Pak Leo juga tidak tahu bahwa bu Rina sedang mengandung putera keduanya?”

Mata Leo terbelalak, menatap dokter Puji tanpa berkedip. Seperti mimpi mendengar bahwa Rina sedang mengandung.

“Isteri saya mengandung? Biar saya menemuinya,” kata Leo sambil berusaha bangkit.
“Jangan dulu pak. Pak Leo harus pulih. Tahan sampai sehari dua hari lagi, baru boleh bangun.”

Mata Leo tiba-tiba berkaca-kaca. Dihari-hari terakhir ini dia selalu bersikap kasar kepada isterinya, gara-gara hatinya kacau memikirkan Ika.

“Ya sudah pak Leo, pokoknya ini berita bahagia untuk pak Leo, segeralah sembuh dan beri semangat untuk bu Rina, agar di awal-awal usia kandungannya bu Rina tetap sehat.
***

“Aduuh, aku sudah menunggu diteras sampai keringatan, kamu baru datang sih Bas,” gerutu Risma ketika Baskoro menjemputnya.
“Iya, tertunda dokternya visite agak pagi, jadi menunggu pamitan dulu sama Rina.”
“Apa kata dokter? Beratkah sakitnya?”
“Tidak..”
“Yah, syukurlah, mungkin benar kata kamu bahwa Rina kecapekan mengurus suaminya.”
“Bukan hanya itu..”
“Maksudnya..”
“Rina hamil..”
“Haa, ternyata Rina hamil ?” teriak Risma.
“Iya, mungkin besok sudah boleh pulang.”
“Baguslah, kalau orang lagi hamil bawaannya mual dan muntah itu biasa, Biarpun aku belum pernah punya anak, tapi kan aku pernah hamil,” kata Risma sedih.
“Ya sudah, jangan diingat-ingat lagi, siapa tahu nanti mbak bisa hamil lagi.”
“Masa, kakak ipar kamu sudah tua dan sakit-sakitan..”
“Ya bukan begitu mbak, kalau Tuhan menghendaki, tak ada yang tak mungkin, bukan?”
“Ya sudah, ayo berangkat, setelah dari rumah sakit masih banyak yang harus aku urus.”
“Oh ya, aku tidak jadi membatalkan kepulangan aku.”
“Maksudnya?”
“Aku ikut pulang bersama mbak Risma.”
“Lho, benar jadi ikut pulang?”
“Nggak ada yang bisa aku lakukan disini.”

Risma tak menjawab, ia melangkah ke arah mobil dan ia sudah tahu mengapa Baskoro membatalkan niyatnya.
***

“Bagaimana sakitnya bu Rina?” tanya Dian ketika ibunya pulang.
“Tidak apa-aoa, mungkin besok sudah boleh pulang.”
“Syukurlah, jadi benar bu Rina hanya sakit capek ya bu? Kalau orang kaya itu, kalau capek istirahatnya dirumah sakit. Tapi orang miskin cukup memanggil tukang pijat saja. Ya kan bu?”
“Bukan begitu Dian..” kata Ika sambil tertawa.
“Iya kan bu?”
“Bu Rina hamil.”
“Hamil?”
“Dina akan punya adik..”
“Benar?” kata Dian setengah bersorak. Ia senang sahabatnya mau punya adik.
“Iya benar.”
“Dina pasti senang, akan segera punya adik.”
“Iya, Dina pasti senang.”
“Kalau Dian juga punya adik, pasti Dian juga senang,” celetuk Dian yang tak sadar bahwa ucapan itu membuat ibunya sedih.

Ika tak menjawab, tapi Dian kemudian menyesal telah mengatakannya, ketika melihat wajah ibunya menjadi murung.

“Bu, bukankah Dian sudah punya adik? Kata bu Rina, Dian boleh menjadi kakaknya Dina.”

Tak urung Ika tersenyum. Anak semata wayangnya itu tahu, bagaimana menghibur hati ibunya. Tahu bagaimana wajah murung ibunya, dan bagaimana wajah cerahnya.

“Benar Dian, jadikan Dina itu adikmu. Kamu tidak salah.”

Dan Ika sudah bertekat akan membuka semuanya agar tak menjadi beban pikirannya juga.
***

Ketika pulang dari rumah sakit, Risma dan Baskoro menjemputnya. Mereka heran karena Rina tak ingin ketemu suaminya terlebih dulu.

“Mengapa tidak menjenguk suami kamu sebelum pulang Rin? Kamu tak ingin melihat keadaan suami kamu?” tanya Risma dalam perjalanan pulang.
“Bukan begitu, keadaan dia sudah lebih baik, aku sudah menanyakannya kepada dokter Puji, yang menanganinya.”
“Pasti dia heran kamu tidak segera menemuinya.”
“Aku ingin mandi, dandan yang bersih, baru mau menemui suami aku.”
“O, baguslah kalau begitu. Tapi bagaimana sekarang, masih mual-mual?”
“Tidak, sudah berkurang. Sudah banyak obat yang harus aku konsumsi untuk mengurangi mual dan muntah.”
“Syukurlah.”
“Bas, kok dari tadi diam saja?” tanya Rina.
“Aku harus ngomong apa, kan kalian lagi ngobrol..” sanggah Baskoro.
“Dia jadi ikut pulang bersama aku, tiga hari lagi.”
“Oh ya, baguslah Bas, kan kamu harus membantu mbak Risma. Kalau kamu disini mbak Risma sendirian dong mengurus bisnisnya.”
“Sama saja sih, suaminya sudah bisa ikut mengurus kok. Cuma nggak bisa pergi jauh-jauh, misalnya ada urusan di Indonesia, mbah Risma sendiri yang harus berangkat."
“Bagaimanapun kamu harus membantu mbak Risma.”
“Iya, siap.”
***

Sore hari itu Rina tiba-tiba muncul dirumah Ika.

“Bu Rina sudah pulang?”
“Sudah pagi tadi mbak.”
“Syukurlah. Bagaimana keadaan bu Rina, sudah lebih baik? Sepertinya masih sedikit pucat.”
“Sudah lumayan mbak, mualnya berkurang. “
“Syukurlah bu, ayo silahkan duduk.”
“Aku ingin mengajak mbak Yanti sekarang juga.”

Ika berdebar. Sekarangkah sa’atnya?

“Aku belum menjenguk mas Leo sejak aku masuk kerumah sakit. Sekarang aku mau kesana, tapi bersama mbak Yanti.”
“Tt.. tapi..”
“mBak Yanri sudah berjanji bukan? Aku sudah pulang dari rumah sakit.”

Ika menghela nafas berkali-kali, berharap bisa lebih tenang.

“Bagaimana mbak, aku tunggu lho, mau berganti pakaian dulu kan?” kata Rina setengah memaksa.

Ika berdiri. Dikuatkannya hatinya. Benar, semuanya harus segera selesai. Agar dia bisa hidup lebih tenang.

“Apa mbak Yanti akan mengajak Dian?”

Ika terkejut. Apakah Dian harus langsung dilibatkan? Tidak. Ika menggeleng keras.

“Tidak sekarang.”

Tapi Rina merasa lega ketika dilihatnya Ika masuk kedalam. Pasti Ika akan berganti pakaian. Bagaimanapun sakit hatinya, ia tak ingin Leo selalu dibayangi hubungan masa lalunya bersama Ika. Apapun yang terjadi, Rina akan menerimanya.

“Mungkin mas Leo akan memilih dia, menceraikan aku, atau mengambil dua-duanya? Siapkah aku di madu?”

Keduanya saling diam ketika dalam perjalanan. Masing-masing berperang dengan perasaannya sendiri. 
 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER