Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 14 Juni 2022

Jangan Bawa Cintaku #10

Cerita bersambung

Bayang-bayang gelap itu kembali melintas didalam benaknya. Malam yang kelam, yang membuatnya meraba-raba dalam nyeri yang menyiksa. Lalu tak ada tempat untuk bergayut, lalu tenggelam dalam kubangan luka yang berdarah-darah. Nyilu hati bagai dirajang selaksa pisau, tertatih dan terhuyung, jatuh bangun terhempas diatas jalanan berbatu.
Aduhai, jerit melengking yang menapak langit, siapa yang mendengarnya? Jiwa terkulai lemas tanpa daya, siapa yang menuntunnya?

“Ya Alloh sesembahanku.. mana jalan terbaik untuk hidupku?”

Dan uluran tangan itu menuntunnya sehingga dia kuat menjalani hidupnya yang berliku, membesarkan anak seorang diri.

“Alloh Maha Besar, Maha Pengasih dan Maha Penyayang. Tanpa Dia, apalah aku ini,” bisik Ika dalam isak yang tertahan.
Sekarang Ika sedang berfikir, apa yang harus dilakukan. Banyak yang dia takutkan apabila nanti dia bertemu Leo. Bisa jadi rumah tangga Leo dan Rina akan berantakan. Atau bisa jadi Leo akan meminta Dian untuk diasuhnya. Atau.. Leo akan menikahinya? Bergetar hati Ika membayangkan ia bisa menjadi isteri Leo. Hal yang dulu pernah diimpikannya, tapi dulu, dulu sekali.. Dan sekarang, tidak… Ika bukan wanita yang suka merusak rumah tangga orang. Ia senang Leo mendapatkan isteri yang baik seperti Rina. Lembut, penuh kasih sayang, ramah, itu luar biasa. Ika tak ingin merusaknya.

Lalu Ika memijit-mijit keningnya karena merasa pusing.
Tapi kemudian Ika teringat bahwa besok dia ingin berjualan lagi. Tak bisa dia enak-enakan terus seperti seorang nyonya kaya. Uang harus dicari dengan tetesan keringat, demi hidupnya dan anaknya. Lalu dia harus mencatat apa saja yang diperlukannya. Ika masuk kebelakang, mengambil catatan dan menuliskan apa yang akan dijual besok. Ia harus pergi ke pasar terdekat, lalu menjajakannya di sekitar kampung tak jauh dari rumahnya.
***

Dina bersorak riang ketika melihat Dian datang bersama ibunya.

“Mas Diaaan, teriaknya sambil melonjak-lonjak.

Dian menyalami neneknya Dina, mencium tangannya, lalu memberikan bungkusan roti untuk Dina.

“Ini apa?” tanya Dina.
“Roti, untuk kamu.”
“Waah, ini seperti roti yang sering ibu beli, aku suka.. Ini ada dua.. satu untuk aku.. satu untuk mas Dian,” kata Dina yang langsung membagi-bagi roti yang diberikan Dian.

Rina tersenyum melihat kedua anak begitu gembira. Lalu ia masuk kedalam mengikuti ibunya, membiarkan Dina dan Dian berbincang-bincang.

“Mereka adik dan kakak,” kata Rina dalam hati, penuh haru.
“Rina, kamu pagi-pagi sudah sampai disini, siapa anak itu?”
“Ibu, itu namanya Dian, anak sahabat Rina. Mereka akrab sekali. Tadinya satu sekolah, tapi Dian sudah lulus dan mau melanjutkan ke SMP.”
“O, umurnya terpaut jauh, kok bisa akrab?”
“Iya bu, Dian sering mengajari Dina tentang pelajaran sekolahnya, jadi mereka sangat dekat.”
“Kelihatannya anak itu baik, dan santun.”
“Iya benar. Ibu, ini Rina tidak bisa lama-lama disini bu, saya mau menitipkan Dian disini, biar Dina senang. Kalau Dina biar disini dulu selama liburan ya , ibu tidak keberatan kan ?”
“Iya, ibu senang ada Dina, sama sekali tidak merepotkan.”
“Ya sudah Rina mau kembali ke rumah sakit.”
“Siapa yang sakit?”
“Mas Leo, tapi tolong ibu nggak usah bilang sama Dina kalau bapaknya sakit, Rina nggak ingin Dina kepikiran."
“Sakit apa suamimu?”
“Nggak berat kok ibu, ibu jangan khawatir. Do’akan biar segera sembuh ya?”
“Iya, pasti..Kamu yang sabar melayani suami, ibu nggak ingin kamu mengeluh so’al rumah tangga kamu. Kalau kamu sabar dan setia melayani suami, pasti kalian akan hidup tenteram dan bahagia.”
“Iya bu.”
“Ibu, bolehkah mas Dian nanti tidur disini ?” kata Dina sambil berlari-lari kecil mendekati ibunya.
“Tidur disini ? Duuh, tadi tidak bilang sama ibunya mas Dian..”
“Ibu telpon dong..” rengek Dina.
“Bu, apa ibu keberatan kalau Dian menginap disini ?”
“Tidak, kamar ibu kan besar, ada dua ranjang yang kosong, biar saja kalau mau, ibu suka rumah ibu jadi ramai.”
“Tapi Rina harus minta ijin dulu sama ibunya Dian.”
“Iya bu, cepetan telpon.”
“Dian ingat nomor kontaknya ibu?” tanya Rina kepada Dian.
“Ingat bu.”
***
 
Ika sedang mencatat semua kebutuhannya, ketika ponselnya berdering. Nomor itu tidak dikenalnya. Ika ragu mengangkatnya, takut itu dari Leo. Tapi pastinya tidak, Leo kan masih ada dirumah sakit, sepertinya Rina belum mengatakan apa-apa dan tak mungkin juga karena ia tak pernah memberikan nomor ponselnya. Akhirnya Ika mengangkatnya.

“Hallo, mbak Yanti ?”

Ika menghela nafas berat. Kok Rina bisa tahu nomor kontaknya? Ia lupa ada Dian bersamanya dan Dian hafal nomor kontak ibunya.

“Bu Rina ?”
“Iya, aku tahu nomor ini dari Dian.”
“Oh ya, ada apa ya bu?”
“Mau bilang dan minta ijin untuk Dian.”
“Ijin bagaimana bu?”
“Dina suka banget ketika Dian datang, dan ibu aku juga senang. Bagaimana kalau Dian diijinkan menginap dirumah ibu sehari ini saja ?”
“Menginap? Tapi Dian tak membawa apa-apa untuk ganti. Kan dari rumah tidak siap-siap menginap.. jadiii..”
“Kalau itu masalah gampang, didekat rumah ibu aku ada toko pakaian, nanti ibu akan membelikannya.”
“Duh, merepotkan ya?”
“Tidak, yang penting mbak Yanti mengijinkannya. Bagaimana ?”
“Bagaimana lagi, baiklah kalau memang tidak merepotkan, tolong diberi tahu Dian jangan nakal.”
“Dian tidak nakal, dia sangat mengemong Dina, ibu suka, dia baik dan santun.”
“Baiklah kalau begitu, tapi besok harus pulang ya, karena besok saya sudah mau berjualan.”
“Oh, masih ke tempat lama?”
“Tidak bu, cari yang dekat-dekat sini dulu, kejauhan saya kalau kembali ke sana.”
“Oh, baiklah, sayang sekali sebenarnya. Ya sudah mbak Yanti, saya harus segera kembali ke rumah sakit."

Ika menghela nafas panjang. Mau melarang, sungkan, apalagi kalau Dian memang suka.

“Mereka begitu dekat, jauh didalam lubuk hati mereka pasti merasa bahwa darah yang mengalir ditubuh mereka adalah sama, gumamnya pilu.

Ika kembali teringat, bahwa dia belum memutuskan, apakah yang akan dikatakannya apabila Rina datang, lalu melanjutkan pembicaraan mereka tentang Leo.
***

“Kamu dari mana, lama sekali?” tanya Leo ketika Rina sudah kembali ke rumah sakit.
“Pulang, mengambil baju-baju kamu untuk ganti. Kemarin kan tidak sempat membawa. Apa dokter sudah kemari?”
“Sudah, tadi aku diperiksa lagi, diambil darah, rontgen.. hih.. sebel, ribet amat.”
“Kamu itu jangan banyak protes, lagi sakit harus menurut.”
“Mana janji kamu?”
“Janji apa?” Rina mengerti, pasti Leo mau menanyakan Ika. Gemes banget rasanya, baru sampai di rumah sakit kemarin, sekarang masih memikirkan Ika pula. Tapi Rina pura-pura tak ingat.

“Kemarin kamu janji mau mengatakan tentang Ika, kalau aku mau dirawat.”
“Jadi mas mau dirawat karena itu?” kata Rina kesal.
“Aku tidak suka dirawat.”
“Tidak ada orang yang suka,” Rina menjawab ketus sambil menata baju yang dibawanya dari rumah.
“Kamu kan sudah janji?”
“Nanti kalau mas sudah sembuh.”
“Bohong kamu.”
“Sekarang mas harus ganti baju dulu. Itu dari kemarin, belum ganti.”
“Kamu tidak bohong kan?”
“Yang suka bohong itu mas. Bukan aku,” dengan hati kesal Rina mengganti pakaian Leo. Rina merasakan bahwa tubuh Leo masih juga panas. Setelahnya dia akan menemui dokternya. Tadi dia buru-buru pulang sehingga belum sempat berbicara tentang penyakit suaminya.”
“Ini penting buat aku,” Leo masih mengomel.
“Aku sudah tahu. Lihat, badan mas masih panas. Pikirkan penyakit mas dan berusaha tenang agar cepat sembuh. Kalau pikirannya kemana-mana, mana mungkin bisa cepat sembuh?”
“Aku tahu kamu cemburu,” biar suaranya lemah tapi ternyata masih bisa lebih menyakiti hati isterinya. Iyalah, isteri mana yang tidak cemburu mengetahui suaminya memikirkan perempuan lain. Rina tak menjawab. Tapi wajahnya gelap seperti mendung.

“Kamu tak usah cemburu, dia wanitaku sebelum ada kamu.”

Rina menatap tajam suaminya. Kalau saja Leo tidak sedang sakit pasti dia sudah kabur meninggalkannya, atau ngamuk dengan memukuli suaminya entah dengan apa.
Rina sudah selesai mengganti baju suaminya, lalu membungkus baju kotor itu dan meletakkannya disamping ranjang.

“Mau kemana kamu?”
“Menemui dokter,” katanya singkat sambil menjauh.

Disakiti seperti apa juga, aku masih memikirkan penyakit kamu mas, sungguh kebangetan kamu ini,” gumamnya pelan sambil mengusap titik air matanya.
Beruntung ketika tiba diruangannya, dokter Puji tidak sedang visite.

“Selamat siang dok.”
“Bu Rina, silahkan duduk, tadi saya cari, tapi bu Rina baru pulang.”
“Iya dok, mengambil baju ganti untuk mas Leo, maklumlah kemarin berangkat dengan tergesa-gesa, dan saya belum berani meninggalkan mas Leo karena badannya masih panas.”
“Apakah siang ini masih panas?”
“Sudah agak menurun, tapi saya masih merasakan bahwa badannya panas.”
“Radang tenggorokan itu sudah diatasi, tapi tampaknya perut pak Leo juga bermasalah.”
“Maksudnya, dok?”
“Kemungkinan tifus, tapi tadi baru dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.”
“Parah ?”
“Tidak, kalau segera mendapat penanganan. Mungkin harus istirahat selama beberapa hari. Tapi untuk pastinya saya sedang menunggu hasil lab yang akan dilaporkan pada saya. Saya sedang menunggu.”
“Baiklah dok, terimakasih perhatiannya.”
“Ibu jangan terlalu khawatir. Cuma saja saya tahu pak Leo itu agak sulit. Kata perawat makan juga sulit. Padahal untuk sementara ini dia harus makan yang halus-halus dulu.”
“Benar dok, dia tidak suka bubur.”
“Coba nanti diatur, yang jelas belum boleh makan makanan kasar.”
“Barangkali nasi tim, akan saya bawakan saja dari rumah.”
“Silahkan, pokoknya yang lunak. Sayur juga lunak.”
“Baiklah dokter, terimakasih banyak.”
***

“Dokter mengatakan bahwa mas itu sulit.”
“Sulit apa?”
“Tadi perawat sudah melaporkan bahwa mas nggak mau makan. Makan cuma sedikit.”
“Aku nggak mau makan bubur, seperti kakek-kakek saja. Aku juga nggak mau masakan rumah sakit. Nggak ada yang enak.”
“Mas itu sedang sakit, jangan banyak membantah. Menurut lebih baik, supaya cepat sembuh.”
“Kamu kan tahu bahwa aku hanya suka masakan kamu.”
“Kalau mas sehat, mas boleh memilih. Tapi mas tidak sedang sehat.”
“Aku ingin tahu, apa kamu sudah bertemu Ika?”

Rina tak menjawab. Dia membalikkan tubuh bermaksud menjauhi suaminya.”

“Rina, aku sedang bicara sama kamu.”
“Aku tidak akan menjawabnya, sampai mas sembuh, makanya menurut apa kata dokter, supaya cepat sembuh.”
“Cuma ingin tahu saja, apa sudah bertemu. Kamu tidak usah cemburu.”

Rina semakin gemas, ia membalikkan tubuhnya dan kembali mendekati suaminya.

“Dengar mas, aku tidak cemburu. Kalau mas ingin menceraikan akupun, aku sudah siap.”
“Rina..”
“Mas camkan itu, aku akan berusaha mempertemukan mas dan Ika, selanjutnya terserah mas. Aku sudah siap,” kata Rina tandas, lalu membalikkan tubuhnya dan berjalan kearah sofa.”

Leo menatap punggung isterinya yang melangkah cepat menjauhinya. Ada rasa bersalah, tapi ia tak bisa memungkirinya, ia masih selalu memikirkan Ika.

“Rina, siapa yang akan menceraikan kamu?” kata Leo pelan, tapi Rina tak bisa mendengarnya, karena dia sedang menerima telpon dari Risma.

“Bagaimana keadaan suami kamu?” tanya Risma.
“Sudah lebih baik, tapi aku nggak tahan, dia sangat bandel.”
“Aku sama Baskoro sudah sampai di lobi rumah sakit.”
“Tolong disitu saja, aku mau keluar,” kata Rina yang merasa lebih baik berbincang dengan orang lain daripada berbicara dengan suaminya, yang walau sedang sakit tapi kata-katanya sangat membuatnya sakit.
***

“Sudah aku bilang, suami kamu itu keras kepala,” kata Baskoro setelah mendengar keluhan Rina bahwa suaminya nggak mau makan masakan rumah sakit, apalagi yang berupa bubur, padahal harus makan makanan yang halus-halus,

“Jangan begitu Bas, orang sakit bawaannya susah makan,” cela Risma.
“Tidak sakitpun biasanya dia nggak suka bubur. Nasi yang terlalu lemaspun dia tidak suka.”
“Tuh kan..”
“Aku senang kalian datang, dadaku serasa lebih longgar karena ada teman bicara.”
“Kamu harus sabar ya Rin.. Sayang sekali aku harus segera pulang. Kalau tidak aku pasti akan menemani kamu setiap hari.”
“Tapi hanya mbak Risma yang kembali, aku masih akan ada disini,” sambung Baskoro.
“Mengapa Bas?” tanya Rina.
“Nggak apa-apa, masih kerasan disini,” jawab Baskoro seenaknya.
“Jangan bilang kamu masih ingin dekat-dekat sama Rina,” kata Risma sambil memelototi adiknya.

Baskoro tertawa keras.

“Ssssh… ini dirumah sakit, tahu. Seperti sedang dirumah kamu sendiri saja,” tegur Risma.
“Kepalaku pusing..” kata Rina sambil menyandarkan kepalanya.
“Kamu terlalu capai. Ya sudah, istirahat saja, aku sama Baskoro masih mau belanja.”
“Aku juga mau pulang dulu mbak, mau membuatkan nasi tim untuk mas Leo, dan memasak sayur. Supaya dia bisa makan. Makanan rumah sakit sama sekali tidak dimakannya.”
“Bagaimana kalau beli saja? Masak kan memerlukan tenaga, nanti kamu kecapekan,” kata Baskoro.
“Mana mau dia masakan dari luar,” keluh Rina.
“Kemarin itu aku lihat dia makan di restoran.”
“Itu karena terpaksa.”
“Kasihan kamu Rin.”
“Nggak apa-apa Bas, aku sudah menjalaninya bertahun-tahun.”

Tiba-tiba Rina melihat serombongan orang datang, yang kemudian mengangguk ketika melihat Rina.

“Oh, mereka staf suami aku di kantor, pasti akan membezoek. Aku temui saja dulu, kebetulan, biar mas Leo ada temannya, setelah menemui mereka aku mau pulang masak,” kata Rina sambil berdiri.
“Rin, kalau begitu aku juga mau pergi dulu, nanti kami kemari lagi menemani kamu,” kata Risma yang segera menggamit lengan Baskoro diajaknya pergi.
“Ya mbak, terimakasih banyak, aku temui mereka dulu, nggak enak kalau tiba-tiba pergi.”
***

Pagi itu Ika sudah berada dipasar, membeli sayur mayur dan sebangsanya, seperti yang biasa dijualnya. Belum banyak yang dibelinya, karena dia baru akan memulai berjualan ditempat baru.
Ika mengendarai sepeda motor bututnya, memasuki sebuah kampung. Ia menjalankannya pelan, sambil menoleh kekiri dan kekanan barangkali ada yang membutuhkannya.
Ika senang ketika tiba-tiba ada yang berteriak.

“Sayuuur !!”

Ika menghentikan sepeda motornya, berhenti didepan rumah seorang ibu yang tadi memanggilnya.

“Eeh, ada tukang sayur baru. Bagus mbak, datangnya lebih pagi,” kata ibu itu.
“Iya bu, silahkan memilih, saya baru sekali berjualan disini.”
“Kebetulan mbak, kalau datang lebih pagi begini kan enak, bisa selesai masak lebih awal. Besok datang pagi-pagi lagi ya.”
“Baiklah bu.”
“Sayurnya segar-segar, ini daun kenikir ya? Hm, aku suka, sedep baunya dan sehat, aku mau masak pecel nih.”
“Silahkan bu, mau ambil berapa ikat?”
“Satu saja, kan aku cuma berdua sama suami. Nanti masih ditambah kacang panjang seikat kecil saja, sama taoge mbak, ada semua?”
“Ada bu, ini. Sambal pecelnya juga ada.”
“Oh ya? Ya sudah ambil sekalian saja.”
“Ini bu, yang bungkus besar setengah kiloan juga ada.”
“Yang kecil saja. Duuh, lengkap juga dagangannya. Nanti aku akan bilang pada ibu-ibu yang lain, bahwa ada tukang sayur baru yang lebih lengkap dagangannya dan lebih pagi datangnya.”
“Terimakasih bu."

Ika senang karena hari itu mendapat sambutan yang baik dari ibu-ibu di kampung itu. Dagangannya tinggal sedikit, ia ingin berbelok ke arah kampung sebelahnya, ketika tiba-tiba sebuah teriakan terdengar.

“Eeeh, tungguuuu!!”

Ika menghentikan sepeda motornya, mengira ada ibu lain yang akan membeli dagangannya. Ia menoleh kearah belakang, dan seorang wanita yang juga mengendarai sepeda motor mendekat lalu berhenti disampingnya.

“Ya bu, ada apa?” tanya Ika.

Ibu itu ternyata juga tukang sayur seperdi dirinya, di keranjang yang diboncengkannya masih tampak bermacam sayuran segar.
Ika sedikit takut, karena pandangan mata wanita itu tampak tak bersahabat. Sepertinya ia marah.
Agak kecut hati Ika.

==========

Ika masih menatap wanita setengah tua yang masih tampak ‘perkasa’ itu dengan pandangan sedikit ciut. Mata wanita itu tampak garang, memandanginya dengan tatapan marah.

“Kamu siapa?” tanya wanita itu.
“Saya Ika bu.. begitu orang memanggil saya. Ada apa ya bu?”
“Ada apa.. ada apa.. kamu itu nggak sadar telah melakukan kesalahan ya?”
“Saya… salah apa bu?” kata Ika yang mencoba memberanikan diri karena wanita itu seperti mengajaknya bertarung.

“Salah apa? Kamu itu telah merebut lahan aku. Lahan tempat aku mencari uang.”
“Oh, ma’af. Saya hanya berusaha berjualan, dan tidak bermaksud merebut lahan ibu.”
“Kenyataannya kamu merebutnya. Aku berjualan dari ujung sana sampai kemari, nggak ada yang beli. Katanya sudah beli sama kamu. Enak ya merebut rejeki orang.”
“Jadi.. saya .. salah? Ma’af bu, saya sebenarnya hanya sekedar berjualan. Tidak bermaksud merebut apapun. Kalau ibu keberatan, saya akan mencari lahan lain untuk berjualan.”
“Bagus. Dan jangan sekali-sekali kembali lagi kemari kalau tidak ingin berurusan denganku. Mengerti?”

Hati Ika mencelos. Perempuan setengah baya ini benar benar seperti preman, pakai mengancam segala. Tapi Ika seorang wanita yang memiliki pekerti halus, menurutnya rejeki adalah jatah yang sudah diberikan olehNya, dan dia tidak takut kehilangan lahan yang baru dibabatnya.

“Baiklah bu, saya minta ma’af,” kata Ika sambil menstarter motornya.

Tapi tiba-tiba didengarnya sebuah tepukan tangan dan panggilan dari arah belakang Ika.

“mBaaak… mbaaak..! Sini dulu, ada yang terlupa !”

Ika menoleh, tapi wanita setengah baya itu memelototinya.

“Biar aku saja,” katanya sambil membalikkan motornya kearah seorang ibu yang tadi berteriak memanggil.

Ika menjalankan motornya, pergi, dan masih didengarnya ibu itu meneriakinya.

“mbaaak.. mbak.. gimana sih.”

Si ibu menggerutu ketika Ika tidak memenuhi panggilannya, lalu dilihatnya penjual sayur satunya mendekat.

“Butuh apa bu, saya masih punya semuanya, lengkap.. kap.. kap..”
“Wah, kamu itu kalau datang kesiangan. mBaknya yang tadi, sayuranya bagus-bagus, kemarin kamu memberi aku bayam yang tengahnya sudah layu.”
“Ya ampun bu.. saya kan tinggal ambil dari pasar, mana tahu ada yang layu,” kata penjual sayur membela diri.
"Kalau membeli sayur kan harus dilihat, kalau jelek jangan asal dibeli.”
“Ya sudah bu, saya datang untuk memenuhi kebutuhan ibu, kok ibu malah memarahi saya. Ini butuh apa?”
“Aku cuma mau nambah kemiri sama kangkung. Tadi punyanya mbaknya itu bagus-bagus, aku lupa mengambil. Dan lagi aku tadi bayarnya kurang dua ribu, aku baru masuk mengambil uang, dia sudah pergi.”
“Ah, cuma dua ribu saja. Mana.. dia sudah pergi. Ini bu, punya saya juga bagus. Nih.. saya pilihkan. Kemirinya mau berapa, yang satu ons atau yang eceran, ini sebungkus seribu.”
“Yang seribu saja, kangkungnya ini sudah agak layu..”
“Ya ampun bu.. milih yang bawah, ini.. lihat, masih segar.”
“Yang agak layu ditaruh diatas, kalau sayur sisa kemarin ya jangan dijual lagi, kasihan pembeli. Ya sudah, ini saja,” kata si ibu dengan wajah tak puas.

Penjual sayur mengomel panjang pendek ketika si ibu masuk kembali kerumah.

“Cuma beli sedikit saja, komentarnya panjang seperti sepur. Ini gara-gara perempuan bernama Ika tadi. Biasanya orang beli juga tidak cerewet, sekarang karena ada dia, punyaku jadi kelihatan buruk. Awas kalau besok masih jualan lagi di daerah sini,” omelnya sambil menstarter sepeda motornya dan pergi.
***

Ika kembali kerumah dengan wajah sedih. Rupanya dia telah membuat penjual sayur yang lain marah-marah. Lalu harus kemana lagi dia menjajakan dagangannya?

“Masa aku harus berhenti sampai disini ? Mundur karena takut merebut lahan orang? Tidak, aku harus mencobanya ditempat lain.”

Ia memasukkan sayur yang tersisa kedalam kulkas, Besok ia akan memasaknya dan membungkusinya sebagai masakan matang.

“Ah ya, Dian belum kembali ya, pasti masih nanti sore. Aku mau memasak dulu baru akan berstirahat.”

Tapi dalam memasak itu Ika kembali dibayangi rasa bingung. Kalau Rina mengajak bicara lagi tentang Leo, dia harus menjawab apa.

“Duuh, ini amat menyiksa. Gimana… gimana.. gimana…”

Ika memegangi lagi kepalanya yang serasa berdenyut.
Betapa ia amat mencintai Leo, tapi betapa dia juga amat membencinya. Perasaan itu bercampur aduk memenuhi dadanya.

“Aku belum siap menikah, lagi pula orang tuaku akan murka..”

Ucapan itu terngiang kembali ditelinganya, mengiris jantungnya. Enak dan enteng diucapkannya, tak peduli bahwa ucapan itu mengoyak perasaannya yang sudah terluka.

“Benci… benciii… benciiiii…”

Ika berteriak histeris.
Lalu tak sadar ia membubuhkan lagi garam kedalam sayur yang tadi sudah diberinya garam, lalu ia mengecap-ngecapnya sambil meringis ketika mencicipinya.

“Yaa.. keasinan..masa harus dibuang? Sayang dong,” lalu diambilnya dua butir kentang, dikupasnya lalu dimasukkannya kedalam sayur itu untuk mengurangi rasa asinnya.

Ika ingin istirahat setelah selesai memasak, tapi pikirannya belum tenang juga.
***

Rina sudah datang kembali dari rumah, membuat tim untuk suaminya dan sup sayur yang dimasaknya sampai lunak.

“Sekarang mas makan dulu.”
“Itu apa..”
“Ini nasi, aku masak sup juga tadi. Sup sayur, ini sehat,” kata Rina sambil menyiapkan nasi dan sayurnya ke piring.

Tapi begitu disuapkan, Leo berteriak.

“Nggak mau, masa nasi lembek begini?” kata Leo sambil berusaha memuntahkan makanannya.
“Mas, awas ya, kalau sampai dimuntahkan, aku mau bilang ke dokternya, supaya mas lebih lama tinggal disini.”

Leo menelan nasi yang sudah masuk ke mulutnya dengan kesal, kemudian membalikkan tubuhnya membelakanginya.

“Itu bukan bubur, tapi nasi tim, supaya lebih empuk.”
“Aku bukan bayi..”
“Mas itu sakit. Perut kamu terluka, tidak bisa mencerna makanan kasar dan keras,. Menurut atau tidak, kalau tidak aku mau pulang saja, nggak peduli mas mau apa.”
“Katakan tentang Ika.”
“Tidak.. dan tidak, sebelum mas sembuh. Huh, seperti anak kecil saja. Apalagi kalau mas tidak menurut, aku tak akan mengatakannya.”

Leo benar-benar seperti anak kecil. Rina melayaninya dengan wajah muram. Menyuapkan makanan yang hanya masuk ke mulut beberapa sendok, itupun sambil dengan dahi mengernyit karena merasa tidak suka. Rina tak lagi mengatakan sesuatu. Setiap kali dipandangnya wajah pucat itu, rasa iba selalu memenuhi dadanya. Bagaimanapun Leo adalah suaminya, dan sangat dicintainya.

Ketika mencuci piring bekas makanan itu, tak urung menitik juga air matanya. Rasa lelah menggayutinya.
Kemudian dia duduk di sofa, sampai sa’atnya sore tiba, dia teringat harus menjemput Dian, seperti janjinya pada Ika.
Setelah mengganti baju suaminya, Rina membungkus semua pakaian kotor.

“Kamu mau pulang?”
“Ya, mencuci semua pakaian kamu dan menjemput Dian,” lalu Rina terkejut karena kelepasan bicara.
“Apa katamu? Menjemput Dian dimana ?”
“Bukan, aku salah, maksudku Dina, dan bukan menjemput, tapi menjenguk dirumah ibu.”

Leo tak menjawab, tapi disebutnya nama Dian, biar salah ucap sekalipun, membuatnya teringat kembali pada Ika.

“Benarkah Rina salah ucap? Jangan-jangan mereka sudah sering ketemuan. Tapi tahukah Rina sejauh mana hubungan aku sama Ika?” kata batin Leo.
***

Rina menuju ke mobilnya, kepalanya terasa berdenyut, pusingnya bukan alang kepalang. Ia masuk ke mobil, lalu mencari obat gosok dari dalam tasnya. Beruntung dia membawanya. Digosoknya pelipisnya, juga tengkuknya.
Setelah agak tenang dan pusingnya berkurang, ia menstarter mobilnya, tapi belum sampai dia menjalankannya, tiba-tiba seseorang mengetuk kaca mobilnya. Rina membukanya.

“Bas ?”
“Kamu sakit? Bau minyak angin nih,.”
“Sedikit pusing, agak berkurang.”
“Kalau lagi sakit, jangan mengendarai mobil sendiri. Kamu mau kemana ?”
“Aku mau pulang, mencuci baju, lalu ke rumah ibu.”
“Turun, aku saja yang menyetir.”
“Tapi aku akan lama Bas, menurunkan cucian, mengambil baju lagi untuk ganti, lalu aku mau ke rumah ibu, mengantarkan anak sahabat aku, baru aku kembali ke rumah sakit.”
“Aku antarkan kamu sampai ke ujung dunia sekalipun. Ayo menurut, kamu pucat sekali.”
“Tapi Bas..”
“Jangan takut, aku tak akan mengganggu kamu. Kamu tidak percaya sama aku? Kamu tidak akan kuat mengendarai mobil, atau kamu akan membahayakan diri kamu sendiri?”

Rina terpaksa menurut. Ketika turun dari mobil untuk naik kesisi sebelahnya, ia merasa tubuhnya sedikit terhuyung. Baskoro menatapnya khawatir. Ia mendekat dan menuntun Rina sampai naik ke jok sebelahnya.
Disepanjang perjalanan kerumah Rina menyandarkan kepalanya. Baskoro sangat khawatir.

“Kamu sudah makan?” Rina menggeleng.
“Gimana sih kamu, merawat orang sakit, tapi kamu lupa memikirkan diri kamu sendiri, ayo kita makan dulu,” kata Baskoro tanpa menunggu jawaban Rina lalu menghentikan begitu saja mobilnya didepan sebuah rumah makan. Lalu ia membukakan pintu untuk Rina dan menuntun Rina menuju kedalam rumah makan itu. Ia menurut ketika Baskoro mendudukkannya di kursi, lalu memesan teh panas terlebih dulu.

“Kamu mau makan apa?”
“Entahlah,” jawab Rina lemas.
“Sup saja ya, biar segar. Enak kalau badan lagi kurang sehat lalu makan makanan panas.”

Rina hanya mengangguk. Batas kekuatannya hampir tumbang. Menahan lelah lahir batin, sampai melupakan kesehatannya sendiri. Memang benar, ia lupa makan dan minum, perhatiannya hanya tercurah pada suaminya.

“Kamu melupakan kesehatan kamu sendiri. Semuanya kamu yang memikirkan. Tak adakah orang yang bisa menolong kamu? Saudara atau siapa?”
“Aku dan Leo tidak punya saudara. Leo tidak punya orang tua, aku hanya punya ibu, yang sekarang aku menitipkan Dina disana.”
“Barangkali anak buah suami kamu. Orang kantor yang sekiranya bisa membantu. Salah satu OB, atau apa. Kamu tidak punya pembantu? Pikirkanlah, jangan kamu menanganinya sendiri Rina.”
“Ya, akan aku pikirkan. Aku tidak punya pembantu.”
“Teh panas kamu minum dulu, lalu makanlah.”
“Rina meneguk teh panasnya, sedikit demi sedikit. Keringat mengucur membasahi dahinya.”

Baskoro mengulurkan tissue dan Rina mengelapnya sendiri.
Untunglah ada Baskoro, kalau tidak, barangkali Rina akan pingsan dijalan.

“Terimakasih Bas.”
“Aku tak tega melihat kamu sakit, apalagi menderita.”
“Tidak, jangan pikirkan, aku akan baik-baik saja.”
“Makanlah nasi dan supnya, aku temani.”

Rina menyendok makanannya, dan Baskoro melihat tangan itu gemetar. Trenyuh melihatnya.

“Kamu harus istirahat dirumah.”
“Bagaimana suami aku?”
“Kamu bisa minta tolong seseorang. Cobalah menelpon ke kantor. Atau salah satu OB .. atau aku akan minta salah satu perawat untuk menjaga lebih, karena kamu juga sakit? Aku akan bicara nanti.”
“Iya, nanti aku pikirkan.”

Rina sudah beberapa sendok memasukkan makanan ke mulutnya, tapi tiba-tiba dia merasa mual.”

“Aduuh.. aku mau ke toilet dulu,” Rina berdiri dan bergegas ke belakang. Ia memuntahkan semua isi perutnya.

Rina keluar dari toilet dengan nafas tersengal, dan dilihatnya Baskoro menunggunya diluar pintu.

“Bagaimana ?”
“Agak lega, tapi perutku kosong.”

Baskoro menuntunnya kembali ke mejanya.

“Minum lagi teh panasnya, dan lanjutkan makannya. Mau aku suapin ?”
“Tidak, biar aku sendiri.”

Rina mengeluarkan lagi obat gosoknya dan menggosokkannya lagi di pelipis dan tengkuknya.
Lalu diteguknya lagi teh digelas yang masih panas.

“Lebih baikan ?”

Rina mengangguk.

“Kamu masuk angin karena terlambat makan.”
“Iya benar,” katanya sambil menyendok lagi nasinya. Tapi hanya tiga sendok. Rina menghentikannya.
“Kok sudah? Kamu mau makanan yang lain?”
“Tidak, aku pulang saja dulu, itu baju kotor suami aku…harus..”
“Masukkan saja ke laundry. Gampang kan? Sekarang kemana? Tidak usah pulang untuk mencuci baju sendiri. Biarpun kamu memakai mesin cuci, kamu masih harus mengurusnya. Kalau masuk ke laundry, begitu keluar sudah rapi dan wangi. Iya kan ?”

Rina mengangguk. Baskoro benar, ia harus menjemput Dian dan mengantarkannya ke ibunya, kemudian pulang dan tidur sebentar.”

“Sekarang ke rumah ibu kan? Nanti sambil jalan memasukkan baju-baju kotor itu di laundry manapun. Mereka bisa mengantarkannya kalau sudah oke.”

Rina mengangguk. Tubuhnya agak terasa ringan.
Ketika Baskoro turun untuk memasukkan baju kotor ke sebuah laundry, ia juga membeli makanan yang kebetulan ada didekat situ, lalu diberikannya pada Rina yang menunggu di mobil. Baskoro melarangnya turun karena Rina masih tampak pucat.

“Ini, ada makanan, bisa untuk cemilan barangkali kamu nggak sempat makan. Ada arem-arem, itu kan bisa untuk pengganti nasi. Atau kukis, atau apa lagi nih, pokoknya macam-macam.”
“Bas, kamu kok begitu repotnya memikirkan aku.”
“Iya lah, mana tega aku melihat kamu kelaparan begitu. Nanti aku akan bicara sama perawat rumah sakit agar ada yang menjaga suami kamu siang malam. Jadi kamu tidak perlu sangat mengkhawatirkannya. Kalaupun kamu ingin kesana, kamu tidak perlu khawatir apapun.”
“Terimakasih Bas.”

Tapi ketika sampai dirumah ibunya, Rina terpaksa turun. Ia tak ingin Dina melihatnya seperti orang sakit. Ia turun dan kebetulan melihat Dian sudah rapi. Ia hanya berpamit kepada ibunya bahwa harus buru-buru mengantarkan Dian, ibunya mengerti tapi Dina agak keberatan Dian ikut ibunya pulang. Ia merengut ketika Dian menyalaminya.

“Dina, lain kali aku akan kemari lagi. Ya.”
“Bener ya, nggak pake lama!” kata Dina masih dengan wajah cemberut.
“Iya Dina lain kali mas Dian akan kemari lagi. Kalau tidak pulang-pulang, nanti ibunya mencarinya. Kan pamitnya cuma sehari?”

Dina melambaikan tangannya juga ketika Dian sudah masuk ke mobil bersama ibunya. Baskoro tidak ikut turun dan memberhentikan mobilnya diluar pagar, khawatir ibunya memarahinya karena dia sedang bersama Baskoro. Ibunya tidak harus tahu bahwa dia sedang tidak enak badan, sehingga Baskoro yang kebetulan datang terpaksa dibiarkan mengantarkannya. Ketika dia turun pun sebenarnya ia melangkah dengan berat karena badannya terasa sangat lemas. Itu sebabnya dia buru-buru pamit pada ibunya. Beruntung karena ibunya tak memperhatikan wajah pucatnya karena sedang memegangi tangan Dina.
***

Ika berdebar ketika melihat mobil Rina berhenti didepan rumahnya. Rupanya ia melewati jalan dari arah berlawanan yang lebih lebar sehingga mobilnya bisa masuk, seperti ketika menjemput Dian. Ia belum mempersiapkan jawaban karena belum tahu harus menjawab apa. Ia harus bicara dulu sama Rina, bahwa ia tak ingin masuk kedalam kehidupannya, dan ingin pergi jauh dari Leo.

“Kalau nanti bu Rina mendesak atau memaksa, baiklah, aku akan menemui Leo dan mengatakan semuanya, agar Leo puas dan Bu Rina tidak kecewa,” kata hati Ika pada akhirnya.

Ika berdiri didepan teras, menyambut Dian yang diikuti Rina berjalan menuju kearahnya. Namun Ika terkejut melihat wajah Rina pucat sekali, dan jalannya agak limbung.

“Bu Rina..”
“mBak Yanti, saya hanya akan mengantarkan Dian, terimakasih telah…..”

Dan Rina tiba-tiba roboh dan jatuh ke tanah. Ika memekik keras, memburu Rina yang diam tak bergerak.

Bersambung #11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER