Cerita bersambung
Ika masih terpaku beberapa sa’at lamanya. Kata-kata serius yang diucapkan Broto sampai dua kali sangat membuatnya terkejut. Ke Jakarta? Ika tak pernah mimpi. Kalau dia menyanggupinya, lalu akan tinggal dimana, lalu bekerja sebagai apa, dan mengapa juga harus Broto yang mengajaknya? Tidak, Broto bukan siapa-siapanya.
“mBak Ika..” Broto menyapanya lagi, karena Ika diam.
“Oh.. eh.. iya.. ya mas..”
“mBak Ika melamun ya? Kaget mendengar ajakan saya?”
“Iy..iya sih.. kaaget..”
“Kok seperti ketakutan begitu? Saya hanya menawarkan kalau mau, saya akan senang sekali. Kalau tidak mau.. ya.. mungkin mbak Ika perlu memikirkan beberapa waktu lagi, barangkali saya seperti tergesa-gesa mengatakannya.”
“Iya.. benar..”
“Saya minta ma’af, bukan maksud saya membuat kaget.. saya hanya menawarkan, barangkali Dian suka, dan mbak Ika juga berkenan.”
“Ya mas, nggak apa-apa.. barangkali perlu pemikiran, tidak tiba-tiba saya menyanggupinya. Banyak pertimbangan, mengingat Jakarta itu jauh, dan saya juga belum pernah menginjakkan kaki saya disana. Lalu banyak yang harus saya pikirkan.”
“Iya benar, semoga mbak Ika bisa memikirkannya. Nanti kalau saya pulang, kita bisa bicara lagi bukan?”
“Ya, tentu saja..”
Ketika ponsel itu ditutup, Ika masih termenung ditempatnya.
“Siapa yang mau ke Jakarta? Ibu ?” tanya Dian..”
“Ah, tidak, om Broto cuma bercanda, mau mengajak kamu ke Jakarta.”
“Wauuw.. aku mau bu,” Ika terkejut, tiba-tiba Dian berteriak kegirangan.
“Ah.. kamu itu, dia kan cuma bercanda.”
“Jakarta itu kan kota besar sekali, ya bu? Dan ramai, jauh bedanya dengan dikota kita ini. Kalau kita kesana, pasti senang sekali.”
“Iya, kapan-kapan kalau kamu liburan, dan ibu punya uang, kita akan main-main kesana.”
“Horeee…” sorak Dian lagi. Ika hanya tersenyum melihatnya.
“Kok bu Rina belum datang ya bu? Lupa atau gimana?” Dian kembali mengingat janji Rina yang katanya mau datang.
“Iya benar, mungkin bu Rina sibuk nak, ya sudahlah, kamu nggak usah gelisah. Pasti bu Rina akan memenuhi janjinya kalau memang sudah ada waktu.”
Dian mengangguk, tapi dari wajahnya kelihatan bahwa dia sangat kecewa. Ika menatapnya dan merasa kasihan juga. Lalu Ika merasa, bahwa ikatan darah yang tidak mereka sadari itulah yang mendekatkan mereka.
“Bagaimana kalau kita jalan-jalan saja?”
“Jalan-jalan kemana bu? Kalau kita pergi lalu bu Rina datang, bagaimana ?”
Ika tampak berfikir sejenak, iya juga sih. Lalu Ika menyesal tidak memiliki nomor kontak Rina. Kalau ada, pasti dia bisa menanyakannya.
“Dimana ya rumahnya neneknya Dina?” tanya Dian.
“Ibu juga nggak tahu nak, ya sudah, kita tinggalkan saja pesan dimeja itu, nanti kalau bu Rina datang pasti tahu kalau kita sedang jalan-jalan.”
“Benar, dan tambahkan juga nomor kontak ibu, supaya bu Rina nanti juga bisa mengabari kita kalau sudah sampai disini.”
Usulan Dian ini sangat membuatnya khawatir. Kalau sampai nomor kontak itu diketahui Leo, bagaimana?
“Ya sudah bu, biar Dian yang menulis pesannya,” kata Dian yang langsung berlari kekamarnya, menyobek kertas kosong pada bukunya yang sudah tidak dipakai, kemudian menuliskan pesannya.
BU RINA, SAYA SEDANG JALAN-JALAN SAMA IBU, KALAU BU RINA SAMPAI DIRUMAH, HUBUNGI NOMOR IBU INI YA.
Tulis Dian, dan kemudian ditambahkannya nomor kontak ibunya.
Ika ingin melarangnya, tapi Dian sudah meletakkan kertas itu di meja teras, menindihnya dengan vas bunga yang ada disana.
“Sebenarnya nggak usah disertakan nomor kontak itu,” kata Ika yang ingin mencoret nomornya. Tapi Dian melarangnya.
“Biarlah bu, supaya kalau bu Rina datang bisa menghubungi kita. Kalau tidak begitu, bagaimana kita tahu bu Rina sudah datang atau belum.”
Ika tak bisa membantahnya karena tak menemukan alasannya. Lalu dia bersiap mengajak Dian pergi keluar, maksudnya untuk menghibur Dian yang terus-terusan menanyakan bu Rina.
***
Rina duduk diruang tengah, dengan sebentar-sebentar melihat kedalam kamar. Leo tampak gelisah dalam tidurnya. Dan lagi-lagi nama Ika yang disebut-sebutnya.
Kalau menurutkan kata hati, ingin rasanya Rina lari dari rumah pergi jauh dan tak akan mendengar lagi bisikan-bisikan yang menyakitkan hati. Tapi manakala dilihatnya wajah pucat memelas dengan mulut terkadang terdengar merintih, rasanya luluh hati Rina. Apakah sebaiknya ia berterus terang saja tentang Ika? Barangkali juga itu bisa menyembuhkan sakitnya. Tidak, Leo sakit beneran. Dokter mengatakan ada radang di tenggorokan. Itu pasti ketika dokter Puji datang kerumah dan memeriksanya, ditambah laporan lab yang menyatakan bahwa ada infeksi ditubuh Leo.
Jadi dia bukan hanya sakit hatinya, tapi juga raganya.
“Bu Rina…” itu suara dokter Puji ketika menelponnya.
“Ya dok…” jawab Rina dengan berdebar. Pasti dokter Puji menanyakan mengapa Leo tidak segera dibawa kerumah sakit.
“Saya tunggu kabar, kok pak Leo belum dibawa ke rumah sakit ?”
Tuh kan.
“Iya dokter, ma’af, saya sedang membujuknya, susah sekali mengajaknya. Dia selalu bilang tidak mau.”
“Waduh, bagaimana nanti kalau tidak ditangani dengan baik ?”
“Saya juga berfikir demikian dok, nanti saya akan membujuknya lagi.”
“Apa saya harus datang untuk ikut membujuknya?”
“Saya akan mencobanya, nanti kalau tidak berhasil juga baru saya menelpon dokter.”
“Baiklah, jangan sampai terlambat.”
“Terimakasih dokter.”
Rina menutup ponselnya, lalu masuk kekamar, dilihatnya Leo sudah merubah posisinya, miring kearah kanan, jadi kalau matanya tidak terpejam pasti bisa melihat ketika Rina masuk. Tapi mata itu masih terpejam. Rina mendekat, meraba dahinya, masih panas, walau tidak lagi menggigil seperti tadi. Ika menggoyangkan lengannya pelan, karena sa’atnya minum obat.
Tapi tanpa membuka matanya, dibisikkan lagi nama Ika. Rina benar-benar gemas.
“Tak ada Ika disini, yang ada Rina.” Katanya sedikit ketus.
Tanpa diduga Leo kemudian membuka matanya. Rina menatapnya. Mata Leo kemerahan, seperti tak sadar apa yang ada disekelilingnya.
“Mas harus minum obatnya sekarang. Makan dulu, sedikit juga tidak apa-apa, setelah itu aku antar mas ke rumah sakit, mas harus dirawat,” kata Rina panjang lebar, sambil mengambil nasi dan sayur yang sudah disiapkan, lalu dia duduk disisi pembaringan.
Tapi Leo tak menjawab, bahkan memejamkan matanya lagi. Rina gemas, digoyangnya tubuh suaminya. Leo membuka matanya sekilas.
“Ayo makan dulu, sesuap atau dua suap juga boleh, biar aku tinggikan bantalnya,” kata Rina sambil mengangkat kepala Leo, lalu meletakkan bantal dibawahnya.
Mata Leo masih terbuka. Tapi matanya menatap kosong. Rina menyendok sedikit nasi, mendekatkannya ke mulut Leo. Mulut itu hanya terbuka sedikit, tapi Rina mencoba memasukkannya sedikit.
“Dikunyah mas, cuma sedikit.. “ tapi tiba-tiba Leo menyemburkan makanan itu.
“Ya ampun mas…”
Rina berjongkok, memunguti nasi yang tersebar dibawah.
“Sekarang mas katakan, mas itu mau sembuh atau tidak. Aku lelah mas ! Aku lelahhh!” kata Rina berteriak, diantara isak. Lalu membawa piring makanan kebelakang, dan ketika kembali sudah membawa sapu dan alat pel untuk membersihkan lantai. Air matanya terburai.
Ia keluar dan menghempaskan tubuhnya disofa, menangis tersedu-sedu.
“Ibu.. Rina tak tahan lagi.. Rina mau pulang ke ibu saja…” isaknya.
Untunglah Dina tak ada dirumah, kalau ada betapa akan sedihnya melihat orang tuanya sakit dan ibunya teraniaya. Tidak, Dina tak boleh sedih. Lalu tiba-tiba Rina ingat akan Dian, yang dijanjikan hari ini akan mengajaknya menemui Dina dirumah neneknya.
“Bagaimana aku bisa memenuhi janjiku pada Dian? Mana mungkin aku meninggalkan mas Leo dalam keadaan seperti itu?” bisiknya.
“Bodohnya aku, mengapa tidak meminta nomor kontak mbak Yanti sehingga aku bisa mengabarinya?” gumamnya sedih.
Lalu Rina memutuskan untuk menelpon dokter Puji. Tak ada jalan lain, Leo harus dirawat. Dirumah ini hampir dia tidak mau makan, minum obat .. apalagi.
Tapi ketika dia menelpon, ternyata ponsel dokter Puji tidak aktif. Ketika dia menelpon ke rumah, isterinya menjawab bahwa dokter Puji baru saja pergi ke rumah sakit karena ada pasien yang harus segera ditangani.
Rina menyandarkan kepalanya di sofa. Tubuhnya terasa lemas. Bingung karena tak tahu harus berbuat apa.
“Berapa lama ya, dokter Puji berada dirumah sakit? Kalau sedang sibuk begitu aku mana berani mengganggu.”
Lalu Rina hanya menulis pesan singkat di ponsel dokter Puji, bahwa suaminya mengharapkan dia datang ke rumah.
Ketika mendengar suaminya terbatuk, Rina berdiri lalu masuk kedalam kamar.
Bagaimanapun rasa iba masih menyelimutinya. Ia mengambil lagi minyak gosok dan menggosok punggung suaminya.
Tubuh itu masih terasa panas. Rina benar-benar panik. Lalu ketika tiba-tiba ponselnya berdering, dilihatnya dari Baskoro. Rina mengangkatnya, ia berharap Baskoro bisa menolongnya.
“Ya Bas..”
“Ini aku Rin, Risma..”
“Oh, mbak Risma lagi dimana ?”
“Dijalan, lagi belanja, minggu depan aku kembali ke luar negeri, ada barang-barang yang harus aku beli.”
“Oh, aku kira mau kerumah aku.”
“Maksudku aku besok mau kemari, sudah ingin sekali makan masakan kamu. Tapi kira-kira sa’at suami kamu pulang makan siang saja, jam berapa biasanya? Nggak enak kalau dia lagi nggak ada.”
“Ya ampun mbak, dia lagi sakit parah..” jawab Rina hampir terisak.
“Rina.. kamu sampai menangis begitu? Suamimu ada dirumah sakit?”
“Tidak mbak, masih dirumah, dia tidak mau makan, apalagi minum obat.”
“Kamu tidak memanggil dokter?”
“Dokter yang menangani belum datang, lagi ada pasien gawat dirumah sakit. Tolong datanglah kemari,” kata Rina masih menahan isak.
“Baik, baik Rina… kamu tenanglah, aku masih menunggu di kasir, tapi setelahnya akan segera datang ke rumah kamu.”
Rina merasa lega. Bagaimanapun ia butuh seseorang untuk membantunya. Ia benar-benar bingung dan kalut, apalagi suaminya sangat susah diajak bicara.
Rina kembali masuk ke kamar, dilihatnya suaminya berusaha bangkit.
“Mau apa mas?” tanya Rina.
“Ke kamar mandi..”
“Pelan-pelan, aku bantu mas..”
“Jangan.. aku bisa sendiri..” kata Leo sambil turun dari pembaringan.
Rina mendekat, berjaga-jaga didekatnya, karena Leo tampak lemah. Leo melangkah perlahan, sedikit terhuyung. Rina mengangkat tangannya, siap membantu, lalu dipegangnya lengannya, dan menuntunnya ke kamar mandi.
“Sudah, lepaskaan, aku mau sendiri.”
“Aku bantu mas, aku takut kamu terjatuh,” kata Rina sambil terus memegangi lengan suaminya.
Tapi Leo mengibaskannya. Ia melangkah sendiri masuk ke kamar mandi.
“Pintunya nggak usah dikunci mas..” pesan Rina dengan khawatir.
Air mata Rina kembali menetes, merasakan keras kepalanya sang suami, sementara dia sangat mengkhawatirkannya. Tapi dia tetap berdiri diluar pintu kamar mandi, berjaga-jaga kalau ada apa-apa.
Rina merasa lega ketika Leo keluar dari kamar mandi, kembali tertatih menuju pembaringan. Rina kembali ingin memeganginya, tapi karena Leo mengibaskan tangannya, Rina melepaskannya, dan sa’at itulah Leo terhuyung lalu jatuh tertelungkup.
“Maaas, kamu itu keras kepala ya, kalau memang butuh pertolongan ya jangan sok bisa, aku sedih memikirkan kamu mas,” teriak Rina sambil berusaha membangunkan Leo.
Susah payah Rina membantu Leo bangkit, karena badannya yang tinggi besar.
“Aku.. kan bilang.. bahwa aku.. tidak apa-apa.. kamu nekat..” katanya terengah, lalu berusaha kembali melangkah ke tempat tidur yang hanya tinggal beberapa langkah.
“Omong kosong apa itu. Kamu itu sakit, dan kamu tidak bisa menolong diri kamu sendiri. Jadi menurutlah apa kataku, dan saran dokter.”
Leo tak menjawab. Kembali berbaring dengan nafas masih terengah-engah.
“Mau aku ambilkan minum ?” tanpa menunggu jawaban Rina mengambilkan minum, yang kali itu sudah diberinya sedotan sehingga lebih mudah Leo meminumnya sambil berbaring.
“Sambil minum obatnya ya?”
Rina mengambilkan obat, langsung dimasukkan ke mulut Leo, lalu diberikannya sedotan agar Leo minum dan menelan obat itu. Kali itu Leo tak membantah, barangkali karena merasa bahwa dia sedang sakit.
“Ke rumah sakit ya mas? Dokter menunggu..”
Tapi Leo tak menjawab, membalikkan tubuhnya membelakangi isterinyta.
Rina duduk di kursi, meraih ponselnya, melihat apakah sudah ada jawaban dari dokter Puji, tapi rupanya dokter Puji belum sempat membukanya.
***
“Bu Rina belum menelpon ya bu?” dalam berjalan-jalan itu Dian terus menerus memikirkan Rina dan janjinya untuk mengajaknya ketemu Dina.
“Belum tuh.”
“Apa nomor yang aku tulis salah ya? Tapi sudah benar kok. Coba lihat ponsel ibu."
Lalu Ika memberikan ponselnya. Dian membukanya, dan melihat nomor ponsel ibunya.
“Salahkah ?” tanya Ika.
“Sepertinya nggak salah.”
“Berarti bu Rina memang belum sempat datang ketempat kita. Mungkin lagi sibuk atau apa. Bersabarlah Dian.”
“Mungkin besok ya bu..”
"Iya nak, kamu nggak usah gelisah begitu, bu Rina mungkin juga punya kesibukan sendiri, tapi ibu percaya bahwa dia tak akan melupakan janjinya.”
“Iya bu.”
“Sekarang kita pulang yuk, kita ambil sepeda motor ibu, lalu langsung pulang. Kamu masih ingin beli sesuatu ?”
“Dian ingin beli roti saja, besok mau Dian berikan kepada Dina.”
“Oh, bagus nak, ayo kita mampir ke toko roti dulu. Cari yang enak ya, malu kalau memberikan roti nggak enak.”
“Iya bu, nggak usah banyak-banyak, seiris atau dua iris saja.”
“Iya, gampang, nanti ibu pilihkan.”
Sa’at membeli roti itu seorang laki-laki memperhatikan mereka.
“Bas, ayo cepatlah, kasihan Rina sudah menunggu, dia sampai menangis-nangis tadi. Rotinya sudah cukup. Paling Leo tidak akan doyan makan. Kan tadi Rina bilang begitu?”
“Iya, tapi aku lagi memperhatikan anak kecil itu,” kata Baskoro berbisik di telinga Risma.”
Risma menoleh kearah yang ditunjuk.
“Siapa sih ?”
“Kayaknya anak kecil itu yang kemarin diajak Rina kan?”
“Oh, iya benar.. tapi ya sudahlah, kita kan nggak kenal mereka? Kasihan Rina sudah menunggu, tampaknya dia butuh pertolongan.”
Risma segera menarik Baskoro keluar dari toko roti itu. Tapi Dian ingat bahwa kemarin Rina sedang bersama mereka. Dan Ika mendengar sedikit percakapan mereka.
“Aku tahu, mereka itu temannya bu Rina. Kemarin bu Rina sedang makan-makan bersama mereka ketika melihat aku,” kata Dian.
“Ya nak, dan tampaknya bu Rina sedang sibuk, suaminya sakit.”
“Iya, Dian juga dengar. Itu sebabnya bu Rina tidak datang. Ya sudah bu, nggak jadi saja beli rotinya, belum tentu besok bisa ketemu Dina.”
“Nggak apa-apa nak, kalau tidak jadi ketemu Dina, ya biar saja kamu sama ibu yang makan,” kata Ika sambil menarik Dian untuk memilih roti yang dia suka. Tapi ada rasa gelisah dihati Ika, mendengar Leo sakit. Tadi mulutnya hampir terbuka untuk bertanya, tapi diurungkannya.
***
Rina masih menunggu dokternya datang, tapi ketika melihat ponselnya dan pesannya belum terbaca, ia tahu bahwa dokter Puji belum selesai melakukan tugasnya.
Rina menghela nafas, gelisah masih melingkupi hatinya. Risma dan Baskoro juga belum tampak datang. Kalau mereka datang barangkali bebannya bakal agak ringan karena ada teman untuk ikut memikirkannya. Ia tahu Leo tak suka pada Baskoro, tapi kan ada Risma, Rina berharap Leo tidak akan lebih marah melihatnya.
Rina kembali masuk kekamar, dilihatnya nafas Leo terengah-engah.
“Mas.. minum ya? Atau ayo berangkat ke rumah sakit, supaya mas segera sembuh,” bujuk Rina sambil memijat-mijat tangan suaminya.
“Tidak, aku tidak mau ke rumah sakit.”
Rina kesal bukan alang kepalang. Tiba-tiba dia sudah sampai pada titik kesabaran. Hanya tinggal satu senjata untuk membujuk suaminya.
“Mas, kalau mas mau ke rumah sakit sekarang, aku akan beri tahu sesuatu.”
Leo menatap isterinya.
“Aku tahu dimana Ika berada.”
==========
“Bagaimana? Tertarik tawaran aku?” kata Rina sambil menatap Leo lekat-lekat, dan menahan perihnya jantung yang teriris.
Leo juga menatap Rina, matanya berkedip, seakan tak percaya.
“Kita ke rumah sakit ya, nanti aku akan beri tahu tentang Ika.”
“Kamu ketemu Ika?”
Rina menahan gemas hatinya. Karena Leo begitu tertarik akan tawarannya, bukannya memikirkan sakitnya tapi mengutarakan keingin tahuannya tentang Ika.
“Kita ke rumah sakit dulu, dan jangan bertanya apapun,” kata Rina tandas.
“Kamu tidak bohong ?”
“Aku bukan pembohong. Mas yang pembohong !”
Rina berkata tanpa nada manis sedikitpun. Rasa kesal sudah tak lagi bisa ditahannya.
Leo bangkit.
“Ambilkan baju ganti, ini bau,” katanya
Rina melayani suaminya berganti baju, dengan menahan rasa kesalnya.
“Bisakah berjalan sendiri?” tanya Rina ketika melihat Leo melangkah keluar setelah berganti pakaian.
“Aku bisa,” jawabnya dengan langkah terhuyung. Tapi ketika tiba diluar pintu, tubuh kekar itu jatuh tersungkur.
“Gimana sih mas.”
Susah payah Rina membangunkannya. Belum juga berhasil, ketika tiba-tiba sebuah tangan kekar meraih tubuh Leo dan mengangkatnya bangkit.
“Terimakasih Bas..”
“Mau ke rumah sakit ?” tanya Risma
“Ya, tolong jagain, aku siapkan mobilku.”
“Tidak, pakai mobil aku saja,” kata Baskoro sambil memapah Leo keluar.
Leo menatap Baskoro tak senang.
“Lepaskan aku,” katanya lemah.
“Jangan bandel. Kalau kamu terjatuh lagi, aku tak akan kuat membangunkan kamu,” kata Rina kesal.
“Biar aku siapkan mobilnya,” kata Risma yang segera lari kearah mobilnya, lalu membukakan pintu agar mudah Leo memasukinya.
Wajah Leo gelap seperti mendung. Hanya karena janji Rina sajalah maka dia mau dibawa ke rumah sakit. Ika sangat berarti untuknya. Banyak yang dia ingin tahu tentang kehidupannya setelah berpisah. Dan siapa Dian. Hati Leo terus dibayangi rasa bersalah, rasa ingin merengkuhnya kembali. Dan ternyata cinta itu masih ada.
Leo terduduk lemas, tak ada yang diucapkannya. Rina duduk disampingnya, menatapnya dengan perasaan khawatir.
Baskoro memacu mobilnya. Mereka semua terdiam, tenggelam dalam pikiran masing-masing.
Tiba-tiba ponsel Rina berdering.
“Hallo dok,” jawabnya ketika tahu bahwa dokter Puji yang menelponnya.
“Bu Rina, bagaimana? Pak Leo masih membandel? Apa saya harus langsung membawa ambulans ke rumah ?”
“Tidak dok, ini saya sudah dalam perjalanan ke rumah sakit.”
“Bersama pak Leo kan ?”
“Bagus kalau bu Rina berhasil membujuknya. Saya menunggu di rumah sakit.”
“Terimakasih banyak dok.”
Leo menatapnya, seperti hendak bertanya.
“Dokter Puji sudah menunggu.
“Seperti sakit parah saja.”
“Memang parah. Terutama sikap mas yang bandel dan keras kepala itu,” omel Rina.
***
Leo memang harus dirawat. Rina sedikit lega karena suaminya akan mendapat penanganan yang lebih baik. Infus dipasang dan obat-obat disuntikkan. Segera akan dilakukan lagi pemeriksaan laborat.
Rina duduk disofa tunggu, ditemani Risma dan Baskoro.
“Tenangkan hatimu Rin, suami kamu sudah ditangani,” kata Risma.
“Laki-laki keras kepala,” omel Baskoro kesal.
“Dia sedang tertekan,” kata Rina sedih.
“Karena kamu galak?” goda Baskoro.
“Enggak lah Bas, kamu kan tahu bahwa aku tidak galak.”
“Iya, aku hanya bercanda, supaya kamu nggak terlalu tegang," kata Baskoro sambil tertawa.
“Sa’at ini aku sudah tidak tegang, justru lebih tenang, karena ketika dirumah susah sekali mengendalikan dia. Makan nggak mau, minum obat susah, dibantuin marah.”
“Bisa aku bayangkan betapa bingungnya kamu Rin,” sambung Risma.
“Itu sebabnya aku minta kalian agar segera datang.”
“Kami selalu ada untuk kamu.”
“Terimakasih banyak ya.”
“Oh ya, aku lupa bilang. Tadi kami ketemu anak kecil yang kemarin itu.” Kata Risma.
“Anak kecil?”
“Ketika kita lagi minum-minum lalu tiba-tiba kamu memanggil dia.”
“Oh iya, itu Dian, anak sahabat aku. Ketemu dimana?”
“Di sebuah toko roti. Tapi kami tidak ngomong apa-apa, hanya saling melihat saja. Kan kami tidak kenal.”
“Aku jadi ingat, hari ini tadi mau menjemput Dian, biar ketemu Dina dirumah neneknya. Mereka itu sahabatan. Tapi ya belum jadi, habisnya mas Leo sakit begitu.”
“Nanti kamu tidur disini?” tanya Baskoro.
“Iya lah Bas, kalau ada apa-apa kan aku harus tahu.”
“Butuh ditemani?” tanya Risma.
“Tidak mbak, disini sudah banyak teman. Dan aku aman.”
“Kalau ada apa-apa jangan sungkan menghubungi kami ya.”
***
“Keterlaluan Leo. Rina begitu baik, tapi sikapnya sangat kasar, aku tahu Rina pasti tersiksa karenanya,” kata Baskoro dalam perjalanan pulang.”
“Kan sudah dijalani selama bertahun-tahun.”
“Kok Rina bisa tahan?”
“Tadi Rina bilang bahwa Leo sedang dalam keadaan tertekan, entah karena apa.”
Baskoro diam. Dia menyesali hidupnya, bahwa tak pernah berhasil memiliki wanita sebaik dan secantik Rina.
“Manusia hidup itu kan tinggal menjalani. Semua sudah digariskan dari sana, jadi kita harus bisa menerimanya.”
Baskoro tak menjawab. Sudah berpuluh kali kakaknya mengatakan hal yang sama. Tapi betapa susah menjalaninya. Cintanya kepada Rina tak begitu gampang diendapkan.
“Hanya dia yang aku inginkan,” bisiknya pelan.
“Apa?” tanya Risma. Ia tak begitu jelas mendengar ucapan adiknya.
“Tidak apa-apa.”
“Kamu ikut pulang kan?” kata Risma yang menganggap bahwa pulang adalah kembali kepada suaminya, di luar negeri sana.
“Entahlah..”
“Apa yang kamu cari disini Bas?”
“Entahlah, tapi aku masih betah disini.”
“Aku harap kamu tidak melakukan hal-hal yang buruk. Aku ingatkan bahwa menjalani hidup yang baik akan membuat kamu tenang.”
Baskoro tak menjawab, dan mereka tak pernah lagi berbicara sampai tiba di rumah mereka.
***
Ika belum bisa memejamkan mata, walau malam telah larut benar.
Ucapan wanita yang dilihatnya di toko roti membuatnya gelisah. Sakit apa gerangan Leo sehingga harus memanggil teman-temannya? Dirumah saja, ataukah di rumah sakit? Ika menyesal tadi tak menanyakannya. Tapi kalau sudah mendapat jawaban, lalu dia akan berbuat apa?
“Mengapa tiba-tiba aku memikirkan dia? Bukankah aku sangat membencinya?”
“Ibu…” panggil Dian yang tidur di ranjang di sampingnya.
Ika terkejut, rupanya Dian masih terjaga.
“Ya nak.”
“Mengapa ibu belum tidur?”
“Tidak, ibu sudah tidur tadi, lalu terbangun karena mau ke kamar mandi. Kamu sendiri juga belum tidur?”
“Dian juga baru terbangun, melihat ibu belum tidur.”
“Sudah kok. Ayo sekarang tidur lagi.”
Ika memejamkan matanya, mencoba tidur dengan menghilangkan semua bayangan-bayangan buruk yang mengganggunya.
“Ika…”
Ika terkejut. Leo berdiri dipintu, wajahnya pucat,
“Leo ?”
“Ya, ini aku, kamu masih mengingat aku bukan?”
“Tentu saja aku masih mengingat kamu.”
“Aku datang untuk suatu keperluan.”
“Wajahmu pucat sekali, kamu sakit?”
“Sakitku tidak penting, aku mau mengambil anakku..”
“Apa?”
“Aku mau menganbil anakku. Mana anakku?”
“Tidak.. apa maksudmu?”
“Bukankah itu anakku? Mana dia, berikan dia padaku?”
“Tidaaak..”
“Sudah sepantasnya dia hidup bersama aku, jangan ingkar Ika, berikan dia.”
“Tidaaaak… jangaaan… tidaaaak, lepaskan dia.. lepaskan, jangan bawa cintaku, anakku, buah hatiku.. tidaaaaak.. jangaaan..”
Ika terus berteriak.
“Ibu.. ibu.. ibu.. bangun bu..”
Ika membuka matanya, nafasnya tersengah-engah..
“Ibu kenapa ?”
“Syukurlah, kamu tidak dibawanya..” Ika bangkit lalu memeluk Dian erat-erat sambil menangis tersedu-sedu.
“Ibu mimpi ya?”
Dian keluar dari kamar, mengambil segelas air putih, lalu diberikannya pada ibunya.
“Ini bu, diminum dulu.”
“Terimakasih nak,” kata Ika sambil menerima gelas dan meneguk hampir setengahnya.
“Ibu mimpi apa?”
“Mimpi buruk..sangat buruk.”
“Ada orang akan membawa Dian ?”
“Iya nak, sekarang tidurlah disamping ibu disini saja.”
“Baiklah.”
***
Pagi hari itu Ika bangun kesiangan. Ia kedapur setelah shalat, menjerang air dan termenung di kursi dapur. Mimpinya semalam sangat mengganggunya. Tiba-tiba dia ketakutan sendiri, dan membayangkan seandainya Leo benar-benar mengambil Dian dari tangannya. Tidak, tak akan aku biarkan. Kemana dia ketika aku sakit dan merasa sengsara karena mengandung tanpa suami? Kemana dia ketika ia harus meneteskan keringat demi sesuap nasi untuk buah hatinya?
“Ibu.. ma’af Dian baru bangun.”
“Tidak apa-apa nak, duduklah disini, kamu sudah shalat?”
“Sudah..”
“Duduklah disini, ibu buatkah teh hangat. Itu airnya sudah mendidih.”
Ika sibuk membuat teh, lalu meletakkannya di meja, berikut roti yang dibelinya kemarin.
“Ini roti yang kita beli kemarin, ayuk dimakan saja Dian.”
“Jadi bu Rina tetap tidak akan kemari kan?”
“Rasanya tidak nak, kan kita sudah mendengar bahwa suami bu Rina sedang sakit?”
“Iya.. kasihan ya bu.”
Dian menyendok tehnya sedikit demi sedikit karena masih panas, lalu mengambil sepotong roti.
“ Besok ibu mau mulai berjualan,” kata Ika sambil mengunyah roti yang baru saja diambilnya.
“Jualan ditempat lama?”
“Rasanya tidak nak, ibu harus mencari lahan yang lain. Terlalu jauh kalau kesana lagi.”
“Bolehkah Dian ikut ?”
“Mana mungkin Dian ikut? Ibu boncengin kamu? Lalu keranjangnya ditaruh dimana? Kamu mau duduk didalam keranjang?” kata Ika sambil tertawa.
“Kalau Dian sekolah tidak masalah, tapi kalau belum masuk begini, Dian akan kesepian ditinggal ibu.”
“Dian, ibu kan cuma mau jualan, tidak jauh. Seperti ibu mau keluar kota saja.”
“Iya sih..”
“Mbak Yantii…”
“Ika terkejut, dan Dian sudah terlebih dulu melompat kedepan, karena tahu bahwa itu suara bu Rina.
Dian segera menyalami Rina dan mencium tangannya.
“Bu Rina, pagi-pagi sekali sudah sampai disini?”
“Iya, aku dari rumah sakit..”
“Rumah sakit ?” mata Ika terbelalak.
“Iya, suami aku harus dirawat mbak.”
“Sakit apa?”
“Dokter mengira radang tenggorokan setelah pemeriksaan dirumah lalu dilihat dari hasil laborat yang menunjukkan adanya infeksi. Tapi masih ada pemeriksaan lain, nggak tahu nanti hasilnya.”
“Ikut prihatin ya bu, semoga.. mm .. pak Leo segera sembuh.”
“Aamiin, terimakasih, mbak Yanti.”
“Mengapa sekarang bu Rina malah datang kemari? Siapa yang menunggu disana?”
“Aku sambil mau mengambil baju ganti untuk dia. Aku ingat sudah janji sama Dian untuk mengantarnya ketemu Dina.”
“Ya ampun bu, kalau memang bu Rina sibuk, mengapa harus memikirkan Dian? Kapan-kapan juga nggak apa-apa kan bu?”
“Nggak apa-apa, biar Dian senang, Dina juga senang. Lagian aku juga harus mengabari ibu bahwa mas Leo sakit.”
“Oh, begitu ya? Kalau begitu kamu harus mandi dulu Dian, nggak pakai lama,” kata Ika.
Dian berlari tanpa disuruh dua kali.
“mBak Yanti, saya mau ngomong sesuatu sama mbak Yanti,”
"Ya bu, ada apa?”
“Sa’at ini mas Leo sakit, agak serius.”
“Ya bu, saya ikut prihatin..”
“Dia terus menerus memikirkan mbak Yanti. Dia menyebutnya Ika.”
“Itu kan masa lalu bu, jangan di ungkit lagi. Saya mohon.”
“Apa mbak Yanti tidak kasihan? Ketika dalam sakitnya, dia selalu menyebut nama mbak.”
“Saya hanya bilang, ikut prihatin, dan selalu mendo’akan.”
“Tapi dia sangat tertekan, Dia ingin ketemu mbak Yanti.”
“Tidak, jangan.. semuanya akan rusak.. jangan bu, saya mohon.”
“Tapi dia terlanjur sudah melihat mbak Yanti, dan dia ingin ketemu.”
“Kalau sudah ketemu, lalu apa?” Ika mulai berdebar. Dia ingat mimpinya semalam. Pasti Leo akan mengambil anaknya. Tidak mungkin dia memberikannya.
”mBak Yanti, dia merasa punya salah, beri kesempatan dia untuk meminta ma’af. Tolonglah. Dalam sakit, dia lebih menderita karena dosa yang telah diperbuatnya. Bukankah memberi ma’af adalah perbuatan mulia?”
“Itu benar, tapi saya sudah mema’afkannya. Sungguh. Bu Rina harus bahagia disamping Leo, jangan sampai terkotori dengan kehadiran saya.”
“Mengapa terkotori? Tidak mbak, saya hanya ingin mas Leo bahagia. Saya hanya ingin mas Leo menemukan apa yang dicarinya.”
Ika menghela nafas panjang. Dadanya terasa sesak. Banyak yang akan terjadi kalau sampai dia bertemu Leo. Salah satu yang ditakutkannya adalah Leo akan meminta Dian. Ika takut sekali.
“Mas Leo masih mencintai mbak Yanti.”
“Jangan begitu bu. Leo sudah menemukan rumah tangga yang bahagia. Dan saya juga hidup tenteram bersama Dian. Sebaiknya semua dilupakan.”
“Tanpa bisa bertemu mbak Yanti, mas Leo akan menderita. Dia tak mau makan dan minum obat, saya takut itu adalah upayanya untuk bunuh diri.”
Ika terperanjat. Matanya membulat, menatap Rina tak berkedip. Bunuh diri? Tidak, itu sangat mengerikan.
“Kalau mbak Yanti kukuh dan tidak mau bertemu mas Leo, berarti mbak Yanti tega pada mas Leo, dan pemberian ma’af itu bohong belaka,” kata Rina yang sudah putus asa terhadap upayanya mempertemukan Ika dan Leo.
“Ibu, aku sudah selesai.”
Pembicaraan itu terhenti dengan hadirnya Dian.
“Oh, sudah ganteng ya Dian, kalau begitu ayo kita berangkat. Bawa apa itu?”
“Ini roti, tinggal dua potong karena saya kira saya tidak jadi ketemu Dina, lalu saya makan sebagian bersama ibu.”
“Ooh.. Dian.. tidak apa=apa, sedikit juga pasti Dina akan suka. Ayo kita berangkat. Nanti sore aku jemput kamu lagi.”
Dian tampak gembira, wajahnya berseri-seri.
“mBak Yanti, Dian baru aku jemput sore nanti ya?”
“Baiklah bu. Dian tidak boleh nakal ya?”
“Iya bu.”
“mBak Yanti, nanti kita bicara lagi ya,” kata Rina sambil berbisik, sementara Dian sudah berlari ke arah mobil.”
Ika hanya nengangguk.
Ketika Rina dan Dian pergi, hati Ika dipenuhi oleh kegelisahan yang amat sangat. Apa yang harus dilakukannya?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel