Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 12 Juni 2022

Jangan Bawa Cintaku #8

Cerita Bersambung

Rina terus berteriak sambil lari keluar.

“Diaaan… Diaan..”

Dian berhenti melangkah. Ia menoleh dan tersenyum lebar. Matanya mencari-cari

“Bu Rina, mana Dina ?”
“Dina ada dirumah neneknya. Kamu sama siapa?”
“Sendiri, disuruh ibu beli cat.”
“Beli cat ? Kamu bisa beli cat?”
“Kemarin sudah beli sama ibu, masih kurang, jadi saya disuruh beli lagi.”
“Kamu sekarang tinggal dimana ?”
“Dekat, masuk gang situ, jadi saya jalan kaki saja.”
“Boleh aku ikut ke rumah kamu?”
“Boleh saja bu, tapi saya mau beli cat dulu, so’alnya sudah ditunggu sama tukang catnya.”
“Oh, ditoko itu ya?”
“Iya bu, tunggu sebentar ya.”
“Eh jangan, kamu yang tunggu sebentar, aku ikut kamu, tapi aku mau pamit teman aku dulu,” kata Rina sambil menarik tangan Dian, khawatir kehilangan jejak Dian.
“mBak Risma, Bas, aku mau pergi dulu ya..”
“Kemana? Aku ikut boleh?” kata Baskoro sambil berdiri.
“Jangan, aku lagi ada urusan sebentar, anak ini, anaknya sahabat aku yang sedang aku cari-cari dan kebetulan bertemu disini.”
“Baiklah Rina, besok saja aku ke rumah kamu ya, pokoknya ingin menikmati masakan kamu,” kata Risma.
“Baiklah mbak, ma’af ya. Ayo Dian, kita pergi,” kata Rina sambal menggandeng tangan Dian lagi, keluar dari rumah makan itu.

Baskoro menatap tak berkedip, sampai bayangan Rina dan Dian tak tampak lagi.

“Siapa dia?” tanya Baskoro.
“Nggak tahu aku, sepertinya ada sesuatu dengan orang tua anak itu.”
“Anaknya ganteng..” gumam Baskoro.
“Rina sudah hidup bahagia bersama suaminya. Kamu tidak boleh lagi mengusiknya,” kata Risma bersungguh-sungguh.
“Ya, aku tahu.”
“Kamu selalu bilang tahu.. tahu.. tapi kamu tidak pernah bisa menghilangkannya,”
“Itu benar.”
“Apa maksudmu ?”
“Ini masalah rasa.”
“Rasa tidak harus selalu diungkapkan dengan tindakan. Biarlah rasa itu ada, jalani apa yang nyata dalam kehidupan ini.”
“Omong itu gampang.”
“Benar. Tapi kita harus berusaha menjalani. Maksudku.. berusaha bisa.”

Baskoro diam. Ia heran tak pernah berhasil menghilangkannya. Ia kehilangan Rina tanpa ada masalah diantara keduanya. Sa’at hati mereka masih saling terpaut. Bedanya adalah Rina bisa menjalani hidup bersama laki-laki yang semula tidak dicintainya, lalu bahagia, sementara dia selalu dibakar oleh rasa ketidak puasannya. Bahkan ketika mencoba menikahi seorang gadis, ia tetap tak bisa mencintai isterinya.

“Jangan diam Bas, aku berharap kamu bisa melupakannya. Kira-kira seminggu lagi urusanku selesai, aku harus kembali. Kamu juga mesti ikut kan?”
“Ya..”
“Jawanmu kurang mantap. Berarti kamu masih ragu-ragu.”
“Baiklah, aku mau makan dulu saja, aku lapar.”
***

“Kita tidak usah naik mobil saja bu, nggak jauh kok. Lagian gangnya kecil, mobil nggak bisa masuk,” kata Dian ketika selesai membeli cat.
“Baiklah, kita jalan kaki saja. Mana catnya aku bawakan.”
“Biar saya saja bu.”
“Jangan, biar aku bantu, nah, berat kan ?” kata Rina sambal mengambil bungkusan kaleng cat dari tangan Dian.
“Ibu lagi mengecat rumah ya?”
“Rumah yang baru disewa, tapi yang ngecat bukan ibu. Ada tukang. “
“Oh, iya.. pastinya.”
“Rumah baru itu harus diperbaiki, ada yang bocor, dan harus dicat. Mungkin hari ini selesai, kata ibu tadi.”
“Oh, begitu ya. Kamu tahu, aku kemarin datang kerumah sana, rumah kamu kosong, lalu aku bertanya kepada yang tinggal disebelah itu.”
“Pak Kartiman? Itu yang punya rumah.”
“Tapi dia bilang tidak tahu kalian pindah kemana..”
“Masa sih?”
“Iya..”
“Untunglah ibu ketemu saya. Tapi mungkin ibu belum bisa menerima pesanan bu Rina lagi. Belum tentu nanti ibu jualan lewat sana lagi. Kan jauh..”
“Iya ya, kecewa nggak ada ibu kamu.”

Dian mengajak Rina memasuki sebuah gang kecil, memang benar, mobil tak akan bisa masuk. Berderet rumah sederhana disana, tapi kampung itu tampak bersih. Pagar-pagar rumah yang dicat rapi, dan halaman yang biarpun kecil tampak bersih.

“Itu rumah ibu yang baru,” kata Dian menunjuk ke salah satu rumah.

Bau cat menyeruak, ketika mereka memasuki sebuah halaman kecil dengan rumah yang kecil pula. Beberapa perabot masih terserak di teras. Belum dimasukkan karena didalam baru dibetulkan atau di cat. Ika sangat terkejut melihat Dian datang bersama Rina. Kali ini ia tak akan lagi bisa sembunyi. Lalu Ika berfikir, apakah dia akan minta kepada Rina agar tak mengatakan dimana dia tinggal ini kepada Leo? Apa alasannya? Nah, Ika kembali bingung, sementara Dian dan Rina sudah sampai didepan teras.

“mBak Yanti, ternyata pindah kesini..” sapa Rina.
“Iya bu, bagaimana lagi, kasihan Dian kalau sekolahnya kejauhan. Silahkan duduk, aduh.. dimana-mana kotor bu. Sebentar, saya bersihkan kursinya dulu,” kata Ika yang tergopoh mengambil sulak, lalu membersihkan kursi dimana Rina dipersilahkan duduk.
“Sudah, biarkan saja begini, memang rumah baru diperbaiki,” kata Rina sambil duduk.
“Kok bisa ketemu Dian ?”
“Aku sedang minum-minum di rumah makan, lalu melihat Dian.”
“Iya, kata tukangnya .. catnya kurang, Dian saya suruh beli, karena kemarin saya belinya sama Dian, sementara saya sedang membersihkan kamar yang sudah selesai di cat.”
“Iya, saya menemani beli tadi.”
“Dan membawakan catnya juga, terimakasih bu Rina.”
“Nggak apa-apa kok, kan nggak berat.”
“Tapi ma’af sekali bu Rina, barangkali nanti saya tidak akan keliling di sekitar rumah bu Rina lagi, jadi…”
“Iya, aku mengerti mbak Yanti. . eh.. mbak Ika ya biasanya mbak Yanti dipanggil ?”
“Sama saja bu, itu juga nama saya.”
“Oh ya, siapa sih nama kepanjangannya?”
“Ika Wijayanti..”
“Nah, jadi nggak ada bedanya ya.. mbak Yanti.. atau mbak Ika?”
“Iya bu, benar.”
“mBak Yanti, maukah menemani saya makan?”
“Makan ?”
“Iya, saya belum makan, sementara Dina ada dirumah neneknya, jadi saya tidak memasak hari ini.”
“Oh.. tapi.. kan ada tukang.. yang..”
“Kan ada Dian yang menunggu dirumah, kita makan sebentar saja kok. Nanti Dian juga kita bawakan saja.”

Ika agak merasa aneh karena tiba-tiba Rina mengajaknya makan. Tapi kalau menolak bagaimana caranya? Apa alasannya? Ada perasaan segan untuk bergaul terlalu rapat dengan keluarganya Leo, tapi tiba-tiba Rina bisa menemukan rumahnya.

“Ayuk, sekarang saja. Mbak Yanti suka masakan apa?”
“Aduh bu, saya itu apa saja bisa masuk ke perut.”
“Baguslah, ayo sekarang saja. Nggak usah jauh-jauh, keluar dari kampung ini kan banyak warung atau restoran.”
“Rina kebelakang sebentar ya bu, mau bilang sama Dian,” kata Ika sambal beranjak ke belakang.

Rina hanya mengangguk. Tapi diam-diam dia berdebar juga. Ia harus mendapatkan keterangan dari Ika, hubungan apa sebenarnya yang ada diantara Ika dan Leo, dan sejauh mana hubungan itu. Lalu tiba-tiba Rina berpikir tentang wajah Dian yang mirip Leo.

“Ya Tuhan, apakah Dian itu darah daging Leo?” bisik hati Rina yang semakin berdebar.

Ketika Ika keluar dari dalam, dilihatnya wanita tukang sayur itu sudah berganti pakaian yang lebih pantas, dan diam-diam Rina menyadari bahwa Ika memang sangat cantik. Padahal hanya dengan dandanan sederhana, tanpa olesan make up seperti layaknya wanita muda. Bedak yang tipis dan olesan bibir yang hampir senada dengan warna bibirnya. Alisnya sudah bagus, matanya sudah indah, bening dengan manik mata hitam kecoklatan. Rina menghela nafas.

“Tidak aneh kalau mas Leo sangat mencintai wanita ini,” kata Rina dalam hati.
“Bu Rina kok menatap saya begitu? Saya coreng moreng ya? Tadi ikut membersihkan tembok,” kata Ika sambil mengusap-usap wajahnya.
“Ah, tidak, mbak Yanti sangat cantik. Saya kagum, habis biasanya hanya melihat sekilas, itupun mbak Yanti selalu pakai helm."

Ika hanya tersenyum. Ia melangkah mengikuti Rina, keluar dari halaman rumahnya.
***

Leo duduk didepan meja makan. Ada makanan terhidang sejak pagi. Mungkin disediakan isterinya untuk makan pagi, yang belum disentuhnya. Perutnya terasa melilit, karena sesungguhnya dia belum mengisinya sejak pagi. Ia tak ingin isterinya melayaninya makan dan minum. Sehingga dia menolaknya.
Leo menyendok nasi, sudah dingin. Ia juga menyendok sayur, lauk pauk, semuanya dingin, seperti hatinya. Tapi tuntutan perut memaksanya menyendoknya pelan.

“Kemana dia pergi ? Sudah lama. Kalau belanja pasti sudah pulang. Jangan-jangan benar dia kencan dengan Baskoro. Mengapa laki-laki itu tiba-tiba muncul ? Bertahun-tahun tak ada kabar beritanya, aku kira dia sudah mampus,” gumamnya dengan geram. Leo ingat, Baskoro adalah pacar Rina sebelum menjadi isterinya. Dia tahu karena Rina mengatakannya terus terang waktu itu.

“Aku sudah menceritakan masa lalu aku, sekarang giliran mas, mustahil mas tidak punya pacar sebelum ini,” kata Rina setelah mengatakan hubungannya dengan Baskoro sebelumnya.
“Tidak ada..” kata Leo singkat.
“Awas ya, jangan bohong.”

Tapi Leo bohong. Ia tak mengatakan apapun tentang Ika, apalagi hubungan yang sangat mengganggu pikirannya tentang peristiwa malam itu.
Sekarang Leo menyesalinya. Sesungguhnya dia bohong. Sesungguhnya dia takut mengatakannya, seperti ketakutannya ketika Ika memintanya agar bertanggung jawab.

“Aku belum siap menikah. Orang tuaku akan murka.” Jawaban yang dianggapnya ringan, tapi membawa Ika kedalam sebuah situasi yang sangat menyiksa.

Leo meletakkan sendok garpunya, lalu berdiri sebelum menghabiskan nasi yang sudah disendoknya.

“Ika… Ika.. Ikaaaaa… dimana kamu Ikaaa..” katanya setengah berteriak. Lalu masuk kedalam kamarnya. Ia berdiri didepan cermin, memandangi wajahnya yang tampak tua dan kusut. Rambutnya yang awut-awutan.

Lalu ia masuk ke kamar mandi, mengguyur tubuhnya tanpa melepas pakaiannya. Mengguyurnya berkali-kali sambil meneriakkan nama Ika.
Tak ada yang mendengarnya. Rumah terasa lengang, dan kalau ada penghuni lainnya, barangkali akan ketakutan mendengar teriakannya yang seperti orang gila.
Leo terus mengguyur tubuhnya, sehingga menggigil, lalu menjatuhkan tubuhnya di lantai kamar mandi.

“Ika, jangan lari dari aku, katakan sesuatu, katakan tentang kita..” katanya tersedu.
***

“Kok makan hanya sedikit, mbak Yanti? Nggak dihabiskan?” kata Rina ketika melihat Ika menutup sendok garpunya, pertanda bahwa dia sudah selesai makan.
“Sudah kenyang bu, porsinya besar sekali.”

Lalu Ika meraih lemon tea yang tadi dipesannya. Sambil meneguk minuman itu, angannya melayang kearah Leo. Sudah bertahun-tahun Ika tidak makan dirumah makan atau di warung manapun. Dulu, ketika bersama Leo, sa’at makan, pasti dia memesan lemon tea untuk minumnya.
Ingatan itu membuatnya tersedak.

“Hati-hati, mbak Yanti.”
“Iya, ma’af.”
“Mbak, sesungguhnya ada yang ingin saya tanyakan,” kata Rina setelah Ika merasa tenang.

Ika meletakkan gelasnya. Menatap Rina dengan berdebar. Tampaknya ada sesuatu yang akan membuatnya takut. Apakah tentang hubungannya dengan Leo? Apakah Rina mengetahui sesuatu?

“mBak Yanti, katakan terus terang, apakah mbak Yanti mengenal suami saya sebelumnya?” tanya Rina sambil menatap Ika.

Tuh kan, itu benar, Rina tahu sesuatu. Gemetar ketika Ika kembali meraih gelasnya dan meminumnya.

“Benarkah? Katakan sejujurnya mbak, dan jangan takut, aku tidak akan marah atau membenci mbak Yanti.”

Ika bergeming. Mata kedua wanita itu saling tatap.

“Mengapa bu Rina menanyakan hal itu? Apakah saya mengganggu ?”
“Tidak, sungguh tidak, saya hanya ingin tahu saja.”
“Mengapa?
“Tidak apa-apa. Hanya ingin tahu, apa itu benar.”

Terjadi peperangan dalam batin Ika. Kalau dia tidak mengaku, tampaknya Rina sudah tahu, tapi kalau dia mengaku, biarpun Rina mengatakan bahwa tidak akan marah atau membenci, bagaimana kalau hubungan dengan suaminya jadi terganggu? Ika tak inginkan hal itu terjadi. Lalu apa yang harus dia lakukan?

“Baiklah, dengan diamnya mbak Yanti, saya yakin bahwa itu benar.”

Ika mengangkat wajahnya yang semua tertunduk, seperti menatap piring dengan makanan masih tersisa, tapi pikirannya kemana-mana.

“Benar kan? mBak Yanti jangan takut. Aku tidak apa-apa, bukankah itu masa lalu yang seharusnya dilupakan?”
“Mengapa bu Rina menanyakan itu? Untuk apa? Bu Rina juga harus mengatakan alasannya mengapa menanyakan itu.”
“Mas Leo mengatakan itu.”
“Apa?”
“mBak Yanti adalah wanita masa lalu mas Leo,” kata Rina dengan ucapan lebih halus daripada yang dikatakan Leo.
“Bukankah bu Rina sendiri mengatakan bahwa masa lalu harus dilupakan?”
“Aku tahu. Tapi aku adalah isteri mas Leo. Dia seperti berharap akan bisa bertemu mbak Yanti.. eh.. mbak Ika, dia menyebutnya.”
“Saya mohon bu Rina menghentikannya. Saya ingin menutup masa lalu saya. Saya sudah merasa tenang dan bahagia bersama anak saya, Dian.”
“Apakah Dian darah daging mas Leo?” kata-kata itu terucap begitu saja, langsung ditembakkan seperti peluru, kemudian menancap di jantung Ika, membuatnya berdarah-darah.
“Dia anak saya mbak..”
“Bapaknya belum meninggal kan? Dia mas Leo?”
“Ya Tuhan..” keluh Ika, yang kemudian disertai menetesnya air mata.

Rina mengangkat kedua tangannya, meraih tangan Ika yang berada diatas meja.

“Jangan takut apapun. Dian tak berdosa, jangan sampai dia hidup dalam kebohongan. Dia berhak mengetahui siapa yang mengukir jiwa raganya. Mengapa mbak Yanti mengatakan bahwa bapaknya sudah meninggal?”
“Saya mohon, jangan lagi mengusik hidup saya. Biarkan saya tenang bersama Dian.”
“Baiklah mbak Yanti, apapun itu, sepertinya saya sudah mengetahuinya. mBak Yanti jangan khawatir, tetaplah bersahabat dengan saya, seperti Dian begitu dekat dengan Dina, adiknya.”
“Maukah bu Rina memenuhi permintaan saya?”

Rina tak menjawab, tapi tatapan matanya mengatakan bahwa dia bersedia mmenuhinya.

“Jangan katakan pada suami mbak Rina, tentang pertemuan ini, dan pembicaraan kita ini, saya mohon.”
“Saya akan mencoba menjaganya. Tapi mbak harus tahu, bahwa sepintar-pintarnya menyimpan bangkai, maka suatu hari pasti akan tercium baunya.”

Ika terisak.

“Mas Leo melakukannya dan tidak bertanggung jawab?”

Ika tak menjawab, dan Rina sudah tahu apa yang terjadi.

“Dia harus diberi pelajaran,” kata Rina dengan wajah geram.
“Jangan lakukan apapun, biarlah semuanya menjadi masa lalu saya. Saya berharap bu Rina dan Leo tetap tenang dan bahagia, jangan sampai adanya saya ini, akan merusak kebahagiaan bu Rina.”
“Hatimu sungguh mulia mbak Yanti. Saya minta ma’af kalau pertemuan ini melukai hati mbak Yanti. Tapi percayalah bahwa saya akan melakukan hal terbaik untuk mbak Yanti, dan juga Dian.”
“Saya mohon, penuhilah permintaan saya.”
“Aku akan mencobanya mbak.”

Dalam perjalanan mengantarkan Ika, Rina terus memeluk Ika. Ia harus menunjukkan pada Ika bahwa dia tidak akan membencinya.
Bahkah ketika mengulurkan bungkusan makanan pada Dian, Rina juga memeluk erat Dian.

“Maukah bertemu Dina ?”
“Mau sekali bu. Dirumah ibu?” tanyanya gembira. Ika melotot menatap Dian, ia melarang Dian menemui Dina dirumah Leo.
“Dina ada dirumah neneknya mbak, tidak dirumah saya. Besok Dian akan saya ajak kesana, pasti mereka senang,” kata Rina ketika melihat Ika sangat khawatir.
“Boleh kan bu?” kata Dian setengah merengek.
“Nggak apa-apa mbak, jangan khawatir. Dina hanya bersama neneknya.”

Ika mengangguk pelan. Rina berpamit sambil memeluk Ika. Dian menatapnya heran. Hari ini bu Rina lebih akrab sama ibunya, lebih dari biasanya.
***

Rina menuju pulang setelah belanja sedikit sayuran. Toh tidak akan ada yang makan kecuali dirinya, sementara Leo masih belum suka makan masakannya sa’at marah.
Rina memasuki halaman, dan melihat mobil Leo masih ditempatnya semula.
Perlahan dia membuka rumah, siap melayani seandainya Leo masih mengajaknya berperang. Dia sudah punya senjata mematikan yang akan ditembakkannya.
Tapi begitu memasuki rumah, suasana sangat sepi. Tak ada suara apapun. Televisi juga tidak dinyalakan karena memang Leo tidak ada didepan televisi.
Rina berjingkat memasuki kamar, dilihatnya Leo terbaring diranjang. Rina menatapnya. Mata Leo terpejam, tapi didengarnya Leo menggigil.
Hati Rina tercekat. Ia mendekati ranjang, lalu memegang tangan, kemudian kening suaminya.

“Ya ampuun, kamu panas sekali,” pekik Rina panik.

==========

“Mas… maaas..” Rina menggoyang-goyang tubuh suaminya yang diam tapi tubuhnya menggigil.

Rina mengambil selimut, diselimutkannya dari kaki sampai ke dadanya. Tapi tampaknya kurang tebal, Rina membuka almari, mengambil lagi selimut yang lebih tebal, diselimutkannya lagi. Lalu diambilnya guling, diletakkannya disebelah kiri dan kanan suaminya.

“Maas…” bisik Rina.

Lalu Rina menelungkupkan tubuhnya didada suaminya, agar merasa lebih hangat. Leo masih menggigil, tapi sudah berkurang. Dibukanya matanya, dilihatnya Rina menelungkup didadanya. Leo mendorongnya pelan.

“Mas, badan kamu panas.. ayo ke dokter.”
“Tidak, aku mau obat turun panas saja,” katanya lirih.

Rina kebelakang, menyeduh teh hangat, dan mengambil obat, sambil menelpon dokter Puji, langganan keluarganya.
Ia kemudian meminumkan itu, dan Leo kembali berbaring. Rina membetulkan selimutnya.

“Ikaaa…”

Rina yang sudah mau keluar berhenti melangkah. Dilihatnya suaminya memejamkan matanya. Hatinya teriris mendengar suaminya membisikkan nama Ika. Ditahannya kesal yang menghantam dadanya, mengingat suaminya yang sedang sakit.
Ketika ia keluar dari kamar, ia mendengar suara mobil memasuki halaman. Ika menengoknya, dan melihat dokter Puji sudah datang.

“Kenapa pak Leo?”
“Silahkan dokter melihatnya, badannya panas sekali, sampai menggigil.”

Rina mengajaknya memasuki kamar Leo.

“Kenapa pak Leo?” sapa dokter Puji sambil duduk di kursi yang disediakan Rina.

Leo diam saja ketika dokter memeriksanya.

“Benar, panas sekali. Sudah minum obat ?”
“Baru saja minum obat turun panas dok, ini obatnya..” sela Rina sambil menunjukkan sisa obat yang tadi diberikan.
“Baiklah, saya akan memberikan obat tambahan. Tapi kalau sampai sore juga panasnya muncul lagi, sebaiknya periksa ke laborat, saya akan memberikan pengantarnya.”
“Baiklah dok, terimakasih banyak.”

Leo tak banyak membantah, ia masih merasa seperti menggigil. Rina kembali membetulkan letak selimutnya lalu mengantarkan dokternya keluar.

“Apakah sakitnya berat?” tanya Rina sebelum dokternya pergi.
“Semoga saja tidak, tapi panasnya sangat tinggi. Itu sebabnya saya minta agar periksa laborat kalau sampai nanti panasnya tidak juga turun.”

Ketika kembali ke kamar, dilihatnya Leo memejamkan mata. Rina memegang keningnya, dan merasa panasnya belum juga turun.

“Mas, aku mau ke apotik sebentar untuk mengambil obatnya.”

Leo tak menjawab, tapi Rina langsung keluar dari kamar, dan pergi ke apotik.
***

Disepanjang perjalanan Rina merasa sedih. Ia mengasihani suaminya dan mengasihinya pasti, tapi sikap Leo selalu menyakitkan. Ia juga khawatir ketika suaminya sakit, tapi perhatian yang ditunjukkannya sama sekali tak bisa meluluhkan hati suaminya.

“Baiklah, barangkali aku kurang sabar dan kurang lembut menghadapinya, seperti kata ibu, semuanya harus dihadapi dengan kelembutan. Biar hati kesal mungkin aku harus lebih bersabar.”
“Ia baru saja turun dari mobil setelah sampai di apotik, ketika seseorang tiba-tiba sudah berhenti didepannya."
“Rina !”
“Ya ampun Bas, kamu membuat aku kaget,” omel Rina ketika melihat Baskoro.

Baskoro tersenyum lebar. Rina mengakui Baskoro masih seganteng dulu, walau badannya agak kurus. Tapi cinta untuk Baskoro sudah ditutupnya. Ada sebuah pengabdian yang harus digenggamnya erat, pengabdian kepada suami dan keluarganya.

“Siapa yang sakit?” tanya Baskoro sambil mengiringi masuk ke dalam apotik.
“Mas Leo, tadi badannya panas sekali. Kamu ngapain ke apotik?”
“Biasa, aku tuh harus minum obat rutin, kalau nggak aku bisa cepet mati,” kata Leo seenaknya.
“Iih, ngomong seenaknya.”

Dua-duanya menyerahkan resep ke loket penerimaan resep, lalu menunggu sambil duduk di kursi tunggu.

“Leo sakit apa? Sakit hati ‘kali..” kata Baskoro.
“Ketika aku pulang, badannya panas sekali, sampai menggigil, lalu aku panggil dokter. Nanti kalau masih panas juga harus periksa laborat segala. Aku nggak yakin mas Leo akan mau, susah dia itu kalau disuruh periksa-periksa.”
“Laborat kan bisa dipanggil ke rumah, kalau sudah di rumah mana bisa bilang nggak mau.”
“Iya, kamu benar. Tapi aku juga memanggil dokternya tanpa bilang terlebih dulu, so’alnya ketika bilang dia jawabnya nggak mau.”
“Bagus, ada cara untuk memaksa.”
“Kamu sakit apa?”
“Depresi..”
“Apa?”
“Kalau nggak minum obat aku seperti orang bingung..”
“Bas, apa yang terjadi sama kamu? Terima hidup ini dengan sabar, ikhlas, kalau tidak, bisa memicu penyakit.”
“Ngomong itu gampang..”
“Aku tahu.. tapi kamu harus mencobanya.”
“Sudah aku coba.. hasilnya apa.. ini.. seperti aku ini. Aku nggak pernah bisa tidur nyenyak tanpa obat.”
“Itu ketergantungan. Cobalah mengurangi dari sedikit Bas. Sayangi hidupmu.”
“Sayangnya sama kamu.”
“Jangan begitu Bas. Cinta tidak harus memiliki. Kalau kamu memang cinta sama seseorang, kamu harus bahagia melihat dia bahagia.”
“Itu adanya di cerita-cerita. “
“Jangan begitu Bas.. kita bisa menjalani kok.”
“Bp. Leo Ardiansyah.. “ petugas apotik memanggil, lalu Rina bergegas ke loket.

Baskoro termenung ditempatnya. Rina bukan wanita sembarangan. Dia sangat mencintai keluarganya. Tak mungkin bisa diraihnya lagi. Ada sakit mengiris, karena begitu susah Baskoro melupakannya.

“Bp. Baskoro,” petugas apotik memanggil lagi, pertanda obat untuk Baskoro juga sudah disiapkan.

Ketika keluar dari apotik, keduanya berjalan beriringan.

“Aku pulang ya Bas, salam untuk mbak Risma.”

Baskoro mengangguk sambil mengacungkan jempolnya.

“Cepatlah sembuh, jangan tergantung obat-obatan ya..” pesan Rina sambil tersenyum. Dan senyuman itu tak pernah bisa dilupakan Baskoro.
***

Rina memacu mobilnya, ingin segera meminumkan obat untuk suaminya.
Ketika memasuki kamar, dilihatnya Leo masih terbaring, tapi selimutnya sudah tersingkap. Rina memegang tangannya, sudah berkeringat, jadi tidak lagi panas seperti tadi. Rina menghela nafas lega. Diletakkannya dua macam obat yang baru saja dibelinya, lalu dia mengganti bajunya.
Rina kebelakang, membuatkan lagi minum untuk suaminya, lalu membawanya ke kamar.

“Mas, maukah makan dulu , lalu minum obatnya?”
“Nggak usah, aku sudah sembuh. Tadi bisa berjalan kekamar mandi sendiri.”
“Jangan begitu mas. Ini obat yang diberikan dokter tadi. Mas harus meminumnya.”
“Lihat saja, aku sudah sembuh, tidak panas lagi”,” kata Leo dengan nada kesal.
“Ya sudah, makan saja dulu ya, tadi aku beli sup di jalan, karena aku belum sempat masak.”
“Kamu kan tahu bahwa aku nggak suka makan makanan dari luar ?”
“Baiklah, kalau begitu biar aku masak sebetar untuk mas,” kata Rina sambil beranjak keluar dari kamar. Leo membalikkan tubuhnya menghadap dinding, sambil memeluk guling.

Rina berkutat didapur, memasak sup ayam untuk suaminya. Ia menahan rasa kesal yang sudah mulai menyesak dadanya.

“Sabaaar.. sabaaar…” desisnya sambil mengaduk sayur yang sudah dibumbuinya.

Lalu dia menyiapkan mangkuk untuk wadah sayur, sepiring nasi yang hangat, lalu dibawanya kembali ke kamar. Leo masih tidur miring menghadap dinding.

“Mas, makan dulu ya.. lalu minum obatnya, biar benar-benar sehat.”

Tapi Leo tak bergerak, pura-pura tidur atau tidur beneran, entahlah.
Rina keluar dari kamar setelah meletakkan nampan berisi makanan dimeja, lalu kembali ke dapur.
Ia duduk di kursi dan merasa sangat lelah. Bukan hanya raganya, juga jiwanya. Batinnya menimbang-nimbang, apakah ia akan mengatakan tentang pertemuannya dengan Ika, atau merahasiakannya demi memenuhi permintaan Ika. Barangkali kalau dia mengatakannya, amarah Leo akan reda, tapi dia pasti akan segera ingin menemui Ika, lalu bagaimana dengan dirinya? Tampaknya Leo sangat mencintai Ika, dan tak peduli dengannya.

“Dia suami kamu, pertahankan itu. Jangan biarkan orang lain mengambilnya.”

Itu pesan ibunya, bagaimana dia harus melakukannya? Leo hanya mengingat Ika, bahkan dalam mengigaupun nama Ika yang disebutnya. Mestinya Rina sakit hati, dan memang sakit. Adakah seorang isteri yang rela suaminya menyukai perempuan lain?
Sesa’at ingin sekali dia mengamuk. Membanting apa saja yang ada didekatnya. Mengobrak-abrik semua tatanan rapi diruangan itu, agar kesal dan amarahnya terobati. Tapi tidak, Rina seorang wanita yang penyabar, dan bisa mengendalikan dirinya sebegiu rupa, sehingga kemarahan tak harus terlampiaskan dengan tindakan brutal.
Rina menarik nafas panjang dan menghembuskannya pelan, ditariknya lagi dan dihembuskannya lagi, itu dilakukannya berkali-kali.

“Semua kebaikan aku, sikap lembut dan penuh perhatian yang aku lakukan, sama sekali tidak bisa meluluhkan hatinya,” keluh Rina sambil menopang kepalanya dengan kedua tangan, yang ditumpukannya diatas meja. Matanya berlinang, lalu bergulir bagai alir sungai bening, membasahi pipinya.. Dan Rina membiarkannya.

Dibiarkannya air matanya terus mengalir, sehingga membasahi meja. Rina tak ingin mengusapnya. dan tangisan itu kemudian menjadi isak yang tersendat karena tangis itu ditahannya.
Lalu tiba-tiba didengarnya Leo terbatuk-batuk, keras dan lama. Rina ingin membiarkannya, tapi lagi-lagi tak tega.
Ia mengusap air matanya kemudian berjalan ke kamar.

Dilihatnya Leo telah duduk ditepi pembaringan, dan masih juga terbatuk=batuk. Rina mendekat, lalu mengulurkan air minum kearahnya. Kali ini Leo menerimanya, dan meneguknya habis. Rina menerima gelas kosong yang diulurkan Leo, meletakkannya dimeja, kemudian dia mengambil obat gosok di laci dekat almari, digosokkannya ke punggung suaminya, dan juga dadanya. Leo masih terbatuk-batuk, walau sudah berkurang. Tapi Rina agak khawatir, karena ketika menggosok itu ia merasa tubuh Leo kembali panas.

“Mas, mas tidak mau minum obatnya sih, badan mas panas lagi.”

Leo tak menjawab, tapi merebahkan tubuhnya kembali ke ranjang. Rina menyelimutinya.

“Makan ya mas, sedikit juga nggak apa-apa, setelah itu minum obatnya.

Leo tak menjawab.

“Ini bukan penyakit biasa mas, jangan merasa biasa-biasa saja. Menurutlah apa kata dokter. Biar aku suapin ya.”
“Nggak mau..” katanya lemah.
“Mas harus periksa ke laborat..”
“Nggak usaaah… nggak mau,” kali ini walau lemah tapi suaranya agak keras. Rina ingat apa yang dikatakan Baskoro. Petugas laborat bisa dipanggilnya datang ke rumah. Hanya itu satu-satunya cara.

Rina keluar dari kamar dan mengambil surat pengantar dokter yang tadi diberikannya. Ada nomor kontak laboratorium yang dimaksud.
Setelah pihak laborat menyanggupinya, Rina kembali masuk ke kamar. Leo tidur meringkuk, kembali dia menggigil.
Rina cemas sekali.
Ia mengambil sup yang tadi dihidangkan dimeja dan sudah dingin, membawanya ke belakang untuk dipanaskan.

“Aku akan mencobanya sekali lagi, membujuknya agar dia mau makan dan minum obatnya.”

Rina kembali ke kamar dengan membawa nasi dan sup yang sudah hangat.

“Mas harus makan. Setelah itu minum obat. Kalau mas tidak menurut, aku akan menelpon rumah sakit agar mas dirawat,” katanya tandas.
“Sedikit saja..” kali ini ia menjawab.

Rina mendekat, Menumpuk satu bantal lagi agar kepala Leo terletak agak tinggi. Perlahan dia menyendokkan nasi dan sup hangat.
Rina merasa lega Leo mau menerimanya. Tapi baru tiga suap, Leo sudah menggoyang-goyangkan tangannya.

“Satu lagi ya?”

Leo menggeleng.

“Ya sudah, minum dulu obatnya.”

Rina meminumkan dua butir obat yang tadi diambilnya dari apotik. Lega rasanya karena Leo mau meminumnya. Lalu Leo kembali meringkuk, dan Rina membetulkan selimutnya.
Ketika Rina keluar dari kamar, didengarnya bel tamu berdering, dan dari pintu kaca rumahnya, Rina tahu bahwa ternyata petugas laborat yang datang.
Rina meletakkan nampan yang dibawanya diatas meja terdekat, lalu bergegas membuka pintu.

“Dari laborat ya? Ayo silahkan masuk.”

Leo ingin memprotes, tapi sungkan karena petugas sudah mengeluarkan alat-alatnya. Ia hanya mengambil darah Leo, kemudian pergi. Hasilnya akan dikirim secepatnya.

“Mengapa sih, pakai memanggil petugas laborat segala. Sepertinya aku ini sakit parah.
“Kalau tidak begitu, mana mau mas aku ajak pergi ke laborat,” omel Rina yang mulai ingin menumpahkan kekesalannya.
“Aku sakit parah kah ?”
“Sangat parah. Coba, sekarang mas panas lagi kan ?” kata Rina yang kembali membetulkan selimut suaminya lalu keluar dari kamar.

Leo kembali tidur meringkuk. Memang benar, ia mulai menggigil lagi.

“Apa aku kelamaan mengguyur tubuhku tadi ?” pikir Leo sambil mendekap guling untuk mengurangi rasa dingin yang mulai kembali menggigit.
***

Pagi itu Rina menemui dokter untuk menyerahkan hasil lab suaminya. Hasilnya sangat membuatnya sedih.
Radang tenggorokan yang parah. Dan itu sangat menular.

“Kalau bu Leo tidak keberatan, saran saya adalah lebih baik pak Leo dirawat. Apalagi pak Leo punya anak kecil. Kemungkinan menular sangat besar. Apalagi saya juga mencurigai adanya penyakit lain yang serius. Tapi harus ada pemeriksaan lebih lanjut.”

Rina pulang ke rumah dengan tubuh terasa lemas. Apaklagi ketika Leo enggan dirawat dirumah sakit.

“Aku nggak mau.”
“Mas, kalau mas tetap dirawat dirumah, sementara ada Dina, aku khawatir Dina akan ketularan juga.”
“Dimana Dina, aku tidak melihatnya sejak kemarin..”

O, jadi Leo tidak memperhatikan bahwa anaknya sejak kemarin tak ada dirumah.

“Dia ada dirumah ibu.”
“Bagus, biarkan dia disana dulu, tak akan ketularan.”
“Tapi kalau dirumah sakit kan ada penanganan yang serius, lalu penyakit apa yang diderita mas bisa ketahuan, sehingga jelas juga pengobatannya,” bujuk Rina.
“Aku tidak mau, pokoknya tidak mau,” kata Leo sambil membelakangi isterinya.

Rina menghela nafas sedih. Leo bukan anak kecil yang kalau membangkang bisa digendong paksa lalu langsung dibawa.
Kalau benar sakit suaminya serius, apa yang bisa dilakukannya?
***

“Mengapa bu Rina belum datang kemari bu?” tanya Dian kepada ibunya.

Ika tahu, pasti Dian sangat ingin ketemu Dina. Apalagi kemarin Rina menjanjikan akan mengajaknya bertemu Dina.

“Jam berapa ya, kira-kira bu Rina datang ?”
“Ibu tidak tahu nak, mungkin bu Rina masih sibuk memasak atau apa, sehingga tidak bisa buru-buru datang.”
“Iya juga ya.”
“Sekarang ayo bantu ibu dulu menata kamar. Kasurnya belum dialasi, kamu bisa kan?” kata Ika untuk membuat agar Dian bisa menghabiskan waktu menunggu sambil melakukan sesuatu.

“Baiklah,” kata Dian sambil menerima sarung bantal yang diulurkan ibunya. Tapi dalam memasang sarung bantal dan guling serta mengalasi kasur itu ingatannya akan bu Rina terus membayanginya. Sudah beberapa hari tidak ketemu Dina, dan Dian ingin sekali bertemu serta bercanda. Dina cantik dan lucu, selalu membuatnya tertawa. Ia ingat ketika Dina selalu memaksa memberikan separuh roti agar dia mau menerimanya.
Tapi ketika sampai lewat tengah hari bu Rina tidak juga datang, sementara kamar sudah selesai ditatanya, Dian kembali gelisah.

“Mungkin bu Rina hanya ingin menyenangkan aku saja, tidak sungguh-sungguh ingin mengajak aku,” omelnya.

Ketika ponsel ibunya berdering, Dian lari mendekati. Ia mengira itu dari bu Rina, padahal ibunya tidak pernah memberikan nomor kontaknya.
Dian mencari ibunya, rupanya ibunya baru ada di kamar mandi. Karena telpon berdering terus, Dian mengangkatnya, tanpa membaca siapa penelpon itu.

“Hallo…”
“Hallo, ini Dian kan?”
“Siapa ya?”
“Yaaah, Dian sudah lupa sama om Broto ya?”
“Oh, iya om.. ma’af, ibu baru ada di kamar mandi.”
“Ya sudah tidak apa-apa. Bagaimana rumahnya? Sudah rapi ?”
“Kemarin tukang yang mengecat rumah juga membantu mengangkat barang-barang, lalu ibu menatanya. Sekarang sudah rapi.”
“Syukurlah, om ingin membantu, tapi om tidak bisa meninggalkan pekerjaan om.”
“Telpon dari siapa Dian?”
“Oh, itu ibu. Ini bu.. dari om Broto.”
“Mas Broto ?” sapa Ika ketika menerima ponselnya.
“mBak Ika, apa kabar, rumahnya sudah rapi?”
“Lumayan rapi mas, tinggal membenahi disana sini, kan tidak banyak barang yang saya bawa.”
“Syukurlah. Setelah ini mbak Ika masih mau melanjutkan jualan?”
“Iya lah mas, kalau tidak begitu bagaimana saya bisa memberi makan dan menyekolahkan Dian?”
“mBak Ika hebat. Bolehkah Dian bersekolah di Jakarta?”
“Apa?” tanya Ika terkejut.
“Kalau mau sih..”
“Kalau Dian ke Jakarta, saya sama siapa dong? Mas Broto ada-ada saja, saya kan tidak bisa berpisah dari Dian.”
“Bagaimana kalau sama ibunya sekalian?”
“Apa ?”
“Saya serius, sangat serius.”

Bersambung #9

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER