Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 11 Juni 2022

Jangan Bawa Cintaku #7

Cerita bersambung

Rina benar-benar terpana. Ia merasa seperti sedang bermimpi. Tukang sayur cantik itu, pacar suaminya? Atau bekas pacar? Atau masih pacaran? Pikiran Rina benar-benar kacau. Ditatapnya wajah suaminya yang suram tertutup mendung, sedangkan matanya seperti menahan marah. Huh, marah sama siapa? Karena isterinya tak tahu nomor ponsel si tukang sayur? Salah siapa? Tapi bukan itu permasalahannya. Si tukang sayur itu bekas pacar atau masih pacar suaminya, itu sangat menyakitinya.

“Jadi kamu tidak punya?” masih tanpa perasaan Leo mendesak isterinya.
Rina membalikkan tubuhnya, melangkah keluar. Ia melihat taksi yang dipanggilnya sudah berhenti didepan gerbang.
“Rina !!”

Rina sudah lenyap bersama taksi yang baru saja datang.

“Bapaaak, ini minuman bapak,” Dina berteriak sambil membawa segelas air putih.

Leo masuk kedalam rumah. Dengan kesal diterimanya gelas dari tangan kecil Dina.

“Ini air putih ?”
“Ibu sakit, jadi tidak membuat minum buat bapak. Dina hanya ambilkan air putih,” kata Dina polos.
Leo meneguknya tanpa menjawab. Ia juga tidak bertanya tentang ucapan Dina yang mengatakan bahwa ibunya sakit.

“Mana ibu ? Sudah berangkat ke dokter? Mengapa bapak tidak mengantarnya?”

Leo baru menyadari kata ‘sakit’ yang diucapkan anaknya.

“Sakit apa?”
“Dari tadi kepala ibu pusing. Kasihan deh pak, dari tadi ibu tidur terus.”
“Ibu tidak bilang sama bapak kalau sedang sakit.”
“Pasti ibu kasihan sama bapak, so’alnya bapak kan baru pulang, pasti capek,” celoteh Dina.

Leo berdiri, bermaksud masuk ke kamarnya.

“Susul deh pak, kasihan ibu.”

Leo terpaksa mengangguk.

“Dina dirumah saja. Kata ibu anak kecil tidak boleh ikut ke dokter, karena banyak orang sakit.”
“Tidak apa-apa Dina sendirian ?”
“Tidak, Dina mau baca-baca buku cerita yang dibelikan om Broto.”

Wajah Leo menjadi lebih gelap mendengar nama Broto disebut. Bahkan Broto sudah bisa mengambil hati anaknya.

“Bapak kunci pintunya ya,” kata Dina sambil berlari masuk kekamar.

Leo mengangguk. Ada perasaan iba mendengar isterinya sakit. Sakit apa? Mengapa tidak bilang? Yah, bagaimana mau bilang, datang-datang sudah berkata kasar dan menyakitkan.
Leo hanya mengganti baju kerjanya dengan kaos santai yang baru diambilnya dari almari, lalu beranjak keluar, langsung ke mobilnya setelah mengunci pintu rumahnya.

“Tapi ke dokter mana Rina periksa?”

Ada dua dokter langganan mereka, satunya dokter umum, satunya spesialis penyakit dalam. Lalu Leo memilih satu diantaranya. Dr. Budianto, dokter umum.Tapi Leo tak menemukan Rina disana. Dokter Rony, penyakit dalam, tidak ada juga. Kemana Rina pergi?
***

“Syukurlah, keadaan kamu sudah lebih baik bu, kata dokter tinggal pemulihan, tapi kamu juga nggak boleh capek-capek, mengurangi makan makanan berlemak, banyak vitamin,” kata pak Kartiman ketika pulang dari rumah sakit.
“Iya pak, aku ingat.”
“Nanti kalau kamu sudah benar-benar sehat, kita akan pergi kerumah mbak Ika.”
“Iya, aku juga kepengin pak.. Alamatnya sudah bapak simpan kan, aku lupa jalan apa nomor berapa."
“Sudah, gampang, tanpa membaca catatan juga aku sudah ingat ancer-ancernya.”
“Tapi bapak harus ingat pesannya lho .. nak Ika tidak mau alamat nak Ika itu diketahui siapapun.”
“Iya bu, bapak ingat kok. Menurut bapak, nak Ika tiba-tiba pindah itu pasti karena menghindari seseorang.”
“Benar pak, masa nggak bilang apa-apa sebelumnya, tiba-tiba bilang besok pagi mau pindah. Rasanya aneh. Alasan mencari rumah yang dekat dengan sekolah anaknya itu juga nggak masuk akal. Boleh jadi iya, biar dekat  sekolah juga kan tidak begitu tergesa-gesa. Itu.. tiba-tiba saja pamit.”
“Broto juga bilang seperti tergesa-gesa begitu. Kesana, bayar kontrakan, lalu memanggil tukang untuk membetulin atap bocor dan mengecat. Sementara dia dan Dian sudah ada disana.”
“Apa Broto tidak diberitahu alasannya ya pak?”
“Sepertinya kok tidak, sebelum pulang Broto masih belum mengerti alasannya, tapi juga tidak berani mendesak menanyakannya.”
“Ya sudah pak, selama ini nak Ika sudah bisa menjaga dirinya, dan sekarang pasti dia juga melakukan hal yang terbaik. Kita harus membantunya.”
“Permisi... assalamu’alaikum..”
“Wa’alaikum salam,” sambut pak Kartiman dan isterinya bersamaan.

Pak Kartiman bergegas keluar. Dilihatnya seorang wanita cantik berdiri didepan teras.

“Selamat sore pak..”
“Selamat sore. Nak, mencari siapa ya?”
“Ma’af pak, saya mau bertanya, yang sebelah itu rumahnya mbak Yanti kan?”

Pak Kartiman agak bingung. Ia lupa bahwa nama Ika adalah Ika Wijayanti, jadi wajar kalau ada yang memanggil Yanti.

“Itu.. tadinya ditinggali mbak Ika,” kata pak Kartiman.

Lalu Rina ingat, suaminya tadi juga menyebutnya Ika.

“Iya.. benar pak..Ika. Kemana ya dia, sepertinya rumahnya kosong dan agak gelap.”
“Oh, iya nak. Mbak Ika sudah pindah dari situ.”
“Pindah? Pindah kemana ya?”
“Pindah... “

Bu Kartiman yang sudah keluar dan berdiri disamping suaminya menginjak sebelah kaki suaminya, maksudnya mengingatkan agar tidak mengatakan alamat Ika kepada siapapun.

“Aduuuh... ibu kok menginjak kakiku?”
“Ooh, ma’af pak,” kata bu Kartiman sambil mencubit lengannya.
“Aduh, “ kata pak Kartiman yang belum sadar apa maksud isterinya.
“Pindah kemana ya pak?” Rina mengulang pertanyaannya.
“Nak, ketika pindah, nak Ika tidak mau mengatakan kemana dia pindah. Jadi kami tidak tahu,” jawab bu Kartiman cepat-cepat. Lalu pak Kartiman mengerti, mengapa tadi isterinya menginjak kakinya, lalu mencubitnya. Benar, hampir saja pak Kartiman mengatakannya.

“Jadi dia tidak mengatakan kemana akan pindah? Yang disewa mbak Yanti.. eh.. mbak Ika itu rumahnya bapak ya?”
“Iya benar, tapi kontrakan sudah habis dan tidak diperpanjang.”
“Baiklah, saya permisi dulu ya pak, bu..”
“Iya nak, ma’af ya.. tapi kalau boleh tahu, anak ini siapa ya? Barangkali nak Ika masih mau mampir kemari, saya bisa menyampaikannya,” kata bu Kartiman.
“Saya hanya salah seorang pelanggan, setiap hari nitip belanja sama mbak Yanti, eh.. mbak Ika.”
“Oh, begitu.. sayang ya, nggak tahu setelah pindah apakah nak Ika masih akan menjajakan dagangannya ditempat lama atau tidak.”
“Iya bu, nggak tahu nanti. Permisi bu.. pak.”
Tapi ketika Rina nerlalu, pak Kartiman memarah-marahi isterinya, karena kakinya diinjak keras sekali.
“Gimana sih bu, sandal ibu itu kan keras, seenaknya saja menginjak kakiku.”
“Habis bapak itu hampir mengatakan alamat nak Ika bukan? Ibu sudah khawatir tadi.”
“Iya benar, tapi kemudian ibu juga masih mencubit lengan bapak, lihat nih, sampai merah.”
“Harusnya bapak bisa mengerti, mengapa saya menginjak kaki bapak. Tampaknya bapak tidak mengerti malah berteriak. Ya aku cubit sekalian.”
“Ya ampuun.. tapi benar bu, tadi bapak hampir mengatakannya. Lupa pesan nak Ika.”
“Nah, Bapak harus berterimakasih sama ibu, kalau begitu.”
“Berterimakasih karena jari kakiku lecet...” omel pak Kartiman.
“Berlebihan deh, mana lecet, cuma merah sedikit,” kata bu Kartika sambil tersenyum.
***

Rina tidak jadi pergi ke dokter, dia langsung pulang. Ia merasa lebih baik membaringkan saja tubuhnya.
Pintu depan terkunci, apakah Leo pergi sama Dina?
Rina membuka pintu dengan kunci yang dibawanya. Mereka memang masing-masing membawa kunci rumah, agar ketika pulang sa’at pintu terkunci bisa langsung membukanya.
Tapi ketika Rina melangkah kebelakang, dilihatnya Dina berada dikamar, membaca-baca buku cerita.

“Dina ?”
“Lhoh, ibu sudah pulang?”
“Iya, ibu nggak jadi ke dokter, mau tiduran saja.”
“Kok nggak jadi ke dokter sih bu, tadi bapak menyusul.”
“Bapak menyusul? Menyusul kemana ?”
“Ke dokter.”
“Bapak bilamg begitu ?”
“Dina yang minta bapak agar menyusul ke dokter.”
“Oh, sayangnya ibu tidak ke dokter. Ibu mau tiduran dulu ya nak, kalau butuh apa-apa, ibu ada dikamar.”
“Ibu sudah nggak sakit ?”
“Nggak, barangkali kalau dibuat tiduran sakitnya akan hilang.”
“Kasihan bapak dong, pasti mencari-cari ibu.”

Tapi Rina tidak percaya. Leo tahu dokter mana yang dia kunjungi kalau dia merasa kurang enak badan. Ketika dia tak menemukannya, pastinya dia segera pulang. Nyatanya tidak. Rina mencuci kaki tangannya, berganti pakaian lalu kembali membaringkan tubuhnya.
***

Tak menemukan isterinya di tempat praktek dokter, Leo hanya berputar-putar. Pikiran tentang Ika masih menggayuti perasaannya. Mengapa Ika pindah rumah? Apakah untuk menghindari bertemu dengannya? Lalu dia kembali memutar mobilnya, melewati rumah Ika. Ketika rumah disamping rumah Ika kelihatan terbuka, Leo menghentikan mobilnya.
Pak Kartiman ada diluar, bermaksud menutup pintu rumahnya ketika Leo sudah berada didepan teras.

“Permisi pak..”
“Iya nak, mau mencari siapa ya?”
“Saya ingin bertanya saja pak, bapak kan tetanggaan dengan Ika yang tinggal disebelah?”
“Iya benar, mbak Ika menyewa rumah saya, sudah lama.”
“Jadi bapak pemilik rumahnya?”
“Iya nak..”
“Katanya dia sudah pindah. Benarkah?”
“Iya nak, benar.. “
“Kemana ya pak? Pastinya bapak tahu kemana dia pindah.”
“Waduh, saya tidak tahu nak, dia tidak mengatakan mau pindah kemana, atau mengatakan tapi kami tak memperhatikannya. Maklumlah, kami sudah tua, terkadang lupa,” kata pak Kartiman dengan lancar. Ia takut isterinya yang sudah berdiri disampingnya akan menginjak kakinya lagi.
“Jadi bapak atau ibu tidak tahu?”
“Maklum nak, saya habis sakit dan harus dirawat waktu itu, jadi kurang memperhatikan hal-hal lain. Apalagi karena memang kontrakan nak Ika sudah habis masa kontraknya.” sambung bu Kartiman.

Leo kembali dengan kecewa.

“Kok bapak tidak bertanya dia itu siapa sih?” kata bu Kartiman setelah Leo pergi.
“Iya .. lupa. Mungkin langganan nak Ika juga.”
“Masa seorang laki-laki berlangganan sayur?”
***

“Ibu, mengapa bapak belum pulang juga?”

Rina membuka matanya. Dina berdiri disamping tempat tidur.

“Belum pulang ya?”
“Ini kan sudah malam.”

Rina menoleh kearah jam dinding yang ada dikamar itu. Sudah jam delapan malam. Rina bangkit. Pasti gadis kecilnya sudah lapar.

“Ibu sudah sembuh? Tidak pusing lagi?”
“Tidak nak, ayo kita makan.”
“Mengapa bapak belum pulang?”

Rina tersenyum, lalu mengelus kepala anaknya dan menggandengnya keluar dari kamar. Keluarga ini semula tampak serasi dan bahagia. Makan pagi, siang dan malam bersama-sama, dalam suasana riang dan terkadang penuh canda. Tapi Barangkali Dina merasa seperti ada yang berbeda dalam beberapa hari ini. Hanya saja dia tak bisa mengungkapkannya.

“Ayo makan ditemani ibu..” kata Rina
“Tidak menunggu bapak?”
“Sudah jam delapan lebih. Barangkali bapak punya pekerjaan di kantor, lalu makan di kantor. 
Duduklah, ayo ibu ambilkan nasinya."

Dina duduk,  tapi matanya menatap kearah kursi yang biasa diduduki bapaknya. Ada perasaan aneh memandangi kursi itu. Beberapa kali makan tanpa bapaknya, belum pernah sebelumnya dalam beberapa hari ini.

“Ayo, sayurnya diambilkan ibu ya.”

Dina mengangguk.
Rina merasa, bahwa Dina memendam perasaan yang tidak biasa dalam keluarganya. Ada yang brbeda, sikap ayahnya, sikap ibunya. Kemudian ..biasanya kalau liburan, Leo mengajak anak isterinya jalan-jalan keluar kota untuk beberapa hari. Tapi tidak untuk kali ini.

“Apa sebaiknya aku ajak saja Dina ke rumah ibu untuk beberapa hari ?” pikir Rina. Tapi sebenarnya ia ingin menemui Ika terlebih dulu. Ucapan Leo tentang Ika yang katanya Ika dulu adalah pacarnya, sangat mengusik hatinya. Ia ingin bicara dengan suaminya, tapi segan. Ia harus menemui Ika, yang ketika dia bertanya mengatakan bahwa namanya Yanti. Tapi tadi pemilik rumah mengatakan dia pindah. Tampaknya ada yang disembunyikan, Rina merasakan itu.

“Ibu tidak makan ?” tanya Dina ketika dilihatnya ibunya hanya memegangi sendok garpunya dan belum menyuapkannya.
“Oh, iya... ibu akan ambil obat dulu,” kata Rina kemudian berdiri lalu berjalan kearah almari obat yang terletak tak jauh dari meja makan. Tapi tidak selamanya ia bisa mengelabuhi Dina.
“Harusnya ibu makan dulu, baru ambil obatnya,” kata Dina.
“Iya, anak pintar. Ibu hanya menyiapkan, supaya tidak lupa.
“Mengapa ibu tidak jadi pergi ke dokter?”
“Tadi banyak pasien disana. Lalu ibu pulang. Soalnya nggak begitu sakit lagi.”

Dina sudah hampir menghabiskan makanannya.

“Dina, maukah besok ke rumah simbah?”
“Kerumah simbah? Dina mauuu... bersama bapak juga?”
“Tidak, bapak sedang banyak pekerjaan.”

Dina tampak kecewa, tapi ajakan ibunya untuk bepergian, sedikit menutupi kekecewaan itu.
***

Malam itu sudah jam sepuluh malam lebih. Leo belum tampak kembali ke rumah. Rina bangkit dari tempat tidur, lalu menyusul Dina di kamarnya.

“Mengapa ibu tidur disini?” tanya Dina pagi harinya.
“Bapak belum pulang juga semalam, ibu takut tidur sendirian,” jawab Rina sekenanya. Lalu dia bangkit dan menuju kamar mandi untuk berwudhu.

Dhina mengikutinya, dan shalat berjamaah dikamarnya.
Lalu Rina pergi ke dapur, menyiapkan minum dan makan pagi seperti biasa. Rasa pusing dikepalanya sudah mereda. Nanti setelah suaminya berangkat ke kantor dia benar-benar akan pergi ke rumah orang tuanya. Barangkali disana dia akan merasa lebih tenang.
Selesai memasak dan menyiapkannya di meja makan, Rina masuk kekamarnya, bermaksud mandi. Dilihatnya suaminya masih tidur tertelentang, tanpa melepaskan baju dan sepatunya.  Rina mendekati meja disamping tempat tidur untuk mengambil ponsel yang semalam ditinggalkannya. Tiba-tiba Rina mencium bau alkohol dari tubuh suaminya.

==========

Rina menatap wajah tampan yang tampak pucat itu. Ada rasa iba mengusik hatinya. Begitu besarkah penderitaan suaminya sampai membawa gundah hatinya dengan menumpahkan kata-kata yang menyakitkan, dan sekarang membawanya dalam dunia mabuk-mabukan? Sesungguhnya dia ingin tahu, sejauh apa sih hubungan suaminya dengan si tukang sayur itu? Benarkah dirinya yang merusak hubungan mereka sehingga suaminya mengatakan bahwa masuknya dirinya dalam hidup suaminya adalah kesalahan ?
Rina perlahan melepas sepatu suaminya, sambil menatap wajah pucat yang tampak menderita dan diam tak bergerak di ranjangnya. Ia juga membetulkan letak kaki suaminya yang sebagian nyaris tergantung disisi tempat ranjang.

“Aku sangat mencintai kamu mas, tapi kalau kamu merasa bahwa aku hanya merusak hidup kamu, aku rela apabila kamu ingin melepaskan aku,” bisiknya lirih.

Ditariknya selimut yang terletak disamping ranjang, lalu diselimutinya suaminya. Ia tak ingin membangunkannya. Lalu ia keluar dari sana dengan perasaan tak menentu.

“Ibu, Dina mandi sekarang ya.”
“Iya nak, mandi yang bersih ya, ibu juga mau mandi.”
“Nanti jadi ke rumah simbah ?”
“Jadi, menunggu kalau bapak sudah berangkat ke kantor,” kata Rina padahal sesungguhnya dia tak yakin suaminya akan berangkat ke kantor.

Setelah mandi dia membuka pintu garasi. Mobil suaminya masih hangat, berarti belum lama dia pulang.

“Hampir pagi baru dia pulang,” gumamnya.

Ia mengeluarkan mobil suaminya, lalu mobilnya sendiri.
Banyak hal yang ingin dibicarakan dengan suaminya, tapi ia tak ingin Dina mendengarnya. Rina ingin mengajak Dina kerumah ibunya, lalu meninggalkannya disana sampai perso’alan dengan suaminya selesai, jadi seburuk apapun nanti hasilnya, Dina tak akan terganggu kejiwaannya.
Rina memasuki kamar lagi, tapi suaminya masih terbaring dengan posisi yang sama. Nafasnya yang teratur menandakan bahwa tidurnya sangat nyenyak. Tapi Rina benci aroma menyengat dari nafas itu. Ia keluar lagi mendapati Dina sudah memakai baju, dan sedang menyisir rambutnya.

“Anak pintar, mari ibu sisir rambut kamu..”

Dina mngulurkan sisirnya, dan membiarkan ibunya mengatur rambutnya. Dina suka sekali ada kucir dua di kepalanya, dan hanya ibunya yang bisa melakukannya.

“Sudah cantik sekarang,” kata Rina. Ia tertawa melihat Dina menggeleng-gelengkan kepalanya sehingga kucirnya seperti melompat ke kiri dan ke kanan.

“Ayo kita makan bu..” teriak Dina sambil berlari keruang makan.

Rina mengikutinya, lalu duduk didepan anaknya.

“Mana bapak?”
“Bapak masih tidur, tidak apa-apa, bapak sangat lelah. Kita makan saja, lalu berangkat ke rumah simbah.”
“Meninggalkan bapak sendiri ?”
“Tidak apa-apa. Tampaknya bapak tak akan berangkat ke kantor hari ini,” kata Rina sambil menyendokkan nasi untuk anaknya.
“Pasti simbah akan bertanya, kalau bapak tidak ikut,” celoteh Dina.
“Simbah pasti tahu kalau bapak lagi sibuk. Dengar Dina, nanti Dina ibu tinggalkan dirumah simbah saja, sedangkan ibu mau kembali ke rumah. Dina suka kan ?”
“O, ibu harus ngurusin bapak juga kan ?”
“Betul Dina, nggak apa apa kan Dina tinggal dirumah simbah beberapa hari? Selama liburan ini?”
“Iya, Dina suka, kan ada teman main disana, yang rumahnya disebelah simbah itu.”
“Benar. Kalau begitu segera habiskan sarapan kamu, ibu mau menata baju dan semua keperluan kamu selama disana.”
“Jangan lupa buku-buku bacaan Dina ya bu.”
“Baiklah, pasti akan ibu siapkan.”

Rina memasuki kamarnya lagi, tapi dilihatnya posisi tidur suaminya belum berubah.
Sebelum berangkat Rina menuliskan pesan di selembar kertas, diletakkannya di meja yang ada disamping ranjang.
***

“Apakah ada masalah dengan suami kamu, maka kamu menitipkan anak kamu disini?”
“Tidak bu, Dina ingin liburan disini.”
“Tapi wajah kamu kelihatan tidak gembira seperti biasanya. Dan biasanya juga, kamu selalu datang bersama suami kamu.”
“Mas Leo sedang banyak pekerjaan bu.”
“Tapi wajah pucat kamu tidak bisa kamu tutup-tutupi. Biasanya kamu berdandan cantik, tapi sekarang ini pakai bedak pun tidak. Ibu ini orang tua, dan seorang ibu. Seorang ibu itu memiliki rasa yang lebih tajam, dan bisa menjenguk kearah hati anaknya apabila si anak sedang dalam masalah.”

Rina menghela nafas panjang, digenggamnya tangan ibunya erat-erat, seakan dari tangan itulah dia akan mendapatkan kekuatan.

“Mau mengatakannya pada ibu ?”
“Rina tidak ingin membebani ibu dengan perso’alan Rina. Tidak apa-apa, ini masalah biasa kok bu.”
“Kamu tidak membebani ibu dengan ucapan, tapi kamu membebani itu dengan perasaan kamu yang kamu pendam. Berbagilah pada ibu, agar bebanmu lebih ringan, dan  beban ibu juga ringan karena tahu permasalahan kamu.”

Rina kembali menghela nafas dan tidak juga melepaskan genggamannya pada tangan ibunya. Ia melongok kedepan, melihat Dina sudah bermain dengan anak tetangga sebelah yang umurnya seumuran dengannya.

“Biar ibu tebak. Suami kamu selingkuh ?”

Rina ingin mengangguk, tapi itu kurang tepat bukan? Leo tidak selingkuh, atau belum selingkuh, karena sedang menemukan seseorang yang katanya dulu adalah pacarnya.

“Benar ?”
“Tidak bu. Mas Leo ketemu dengan mantan pacarnya sebelum menjadi suami Rina.”
“Hanya ketemu, lalu kamu cemburu ? Marah?”
“Tidak sesederhana itu bu, tampaknya mas Leo masih mencintainya. Sampai dia berkata kasar pada Rina, apapun yang Rina lakukan tidak berkenan di hatinya. Semalam dia mabuk.”
“Oh ya?”
“Rina menitipkan Dina disini, agar Rina bisa berbincang dengan mas Leo. Rina tidak ingin Dina mendengar ketika mas Leo bicara kasar.”
“Rina, apapun yang terjadi, itu kan masa lalu suami kamu. Sekarang dia sudah menjadi suami kamu, jadi kamu berhak memilikinya, dan jangan membiarkan orang lain merebutnya.”
“Mas Leo tidak sungguh-sungguh mencintai Rina. Rina tak akan tahan bu.”
“Kemarahan yang seperti apapun pasti akan luluh apabila dihadapi dengan perilaku yang lembut menawan.”

Rina diam. Permasalahannya bukan karena sikap Rina yang tidak benar, tapi karena perasaan Leo yang sebenarnya tidak mencintainya.

“Mas Leo masih mencintai perempuan itu.”
“Kalian sudah punya seorang anak. Mustahil kalau suamimu tidak cinta pada anaknya. Anak itulah yang akan merekatkan rumah tangga kalian. Ingat Rina, perkawinan bukan hanya masalah suka atau tidak suka. Perkawinan adalah suatua bentuk ikatan untuk membentuk sebuah rumah tangga. Dia bisa runtuh atau hancur berkeping kalau kalian tidak memeliharanya, menjaganya.”

Rina mengangguk pelan. Semuanya tampak seperti mudah. Bisakah dia menjalaninya? Bukankah memelihara dan menjaga harus dilakukan berdua? Tapi Rina tak akan membantah apa kata ibunya. Seorang tua akan melakukan hal sama, mendidik dan menuntun anak-anaknya agar berjalan di jalan yang benar.
***

Rina mengendarai mobilnya untuk pulang ke rumah. Dilihatnya mobil suaminya masih terparkir ditempat semula dia mengeluarkannya. Rina bergegas masuk, lalu melihat suaminya duduk diruang tengah. Ketika dia datang, Leo  menatapnya dengan mata merah.
Rina berhenti sejenak.

“Mau aku buatkan minum ? Kopi barangkali, atau teh saja?”
“Tidak. Aku sudah membuatnya sendiri,” katanya dingin.

Rina meneruskan langkahnya, masuk kekamar, mencuci kaki tangannya. Ia harus belanja, tapi ia ingin melayani suaminya terlebih dulu. Perilaku manis akan bisa meluluhkan hati siapapun. Yang sedang marah sekalipun.
Lalu didekatinya lagi suaminya.

“Mau aku buatkan sarapan?”
“Ini sudah siang. Adakah sarapan sesiang ini?” masih dingin suara itu. Ternyata suara yang dilembutkannya bak suara bidadari menyanyi pun tidak membuat suaminya terpesona.

“Baiklah, terserah kamu menamainya apa, maukah aku buatkan makan?”
“Tidak.”
“Kamu mabuk semalaman, ada apa sebenarnya?”
“Apa yang aku lakukan, terserah aku.”
“Mas, kamu itu suami aku. Aku akan ingatkan kalau kamu melakukan hal buruk. Mabuk itu buruk, kamu bisa melakukan apa saja dalam keadaan mabuk.”
“Diaaaamm!” Lalu Leo menjadi bertambah marah karena ucapan Rina mengingatkan peristiwa dimana dia mabuk lalu melakukan hal buruk tanpa disadarinya, lalu dia kehilangan Ika.

“Baiklah, aku mau belanja.”
“Kamu sudah pergi sejak pagi, lalu pulang, sekarang mau pergi lagi dengan alasan mau belanja? Bukankah kamu kencan dengan Baskoro, pacar lama kamu?”
“Kalau ingin marah.. marah saja, jangan menuduh yang bukan-bukan untuk membuat kemarahan kamu mendapatkan alasan.”
“Aku heran, darimana kamu belajar berani sama suami kamu?”
“Apakah kamu menganggap aku isteri kamu?” kata Rina keras. Ia lupa petuah ibunya agar memperlakukan suami dengan lembut dan penuh perhatian. Semuanya tak ada gunanya ketika sang suami tak peduli lagi pada isterinya.

“Apa katamu ?”
“Aku sekarang ingin bertanya sama kamu. Sekarang Dina tak ada dirumah, Selama ini aku menahannya karena ada Dina diantara kita, dan aku tak ingin Dina mendengar kata-kata kasar kamu yang menyakiti aku.”
“Lalu apa?”
“Katakan apa yang kamu inginkan. Kamu sudah mengatakan bahwa keberadaan aku adalah sesuatu yang salah, lalu bagaimana?”
“O, kamu menantang aku? Karena ada Baskoro bukan ?”
“Mengapa membawa nama Baskoro ?”
“Kamu berani, karena ada Baskoro, pacar lama kamu.”
“Ngaco !”
“Kamu meninggalkan ponsel kamu. Lihat saja, tadi dia menelpon dan bilang mau datang kemari.”

Rina menghampiri ponselnya. Memang ada telpon masuk dari Baskoro. Rina menyesal lupa membawa ponselnya.

“Jawab dan jangan hanya diam saja.”
“Aku tak ingin berdebat dengan kamu.”

Rina melangkah keluar, menghampiri mobilnya, lalu memacunya keluar dari halaman.
Leo bergeming ditempat duduknya. Menjambak rambutnya dan membuatnya awut-awutan.

“Ika.. Ika.. Ika.. Katakan sesuatu dan jangan membuat aku gila. Dimana kamu Ikaaa!”
***

Rina bukannya ingin belanja. Ia ingin mengendapkan perasaannya karena suaminya tak bisa diajaknya bicara. Ia tak lagi ingin mengadu kepada ibunya, karena toh dia juga akan disalahkannya. Ia berhenti dideretan pertokoan, memarkir mobilnya disana.
Ia berjalan menyusuri jalanan, sementara pikirannya melayang kemana-mana. Benarkah suaminya tak pernah mencintainya? Mengapa tiba-tiba Leo tampak begitu kacau dan kehilangan kendali sehingga mengucapkan kata-kata diluar yang pernah dibayangkannya.

“Baru kali ini mas Leo tampak kacau. Apakah dia sadar akan apa yang diucapkannya?”
“Rina !”

Rina terkejut ketika seseorang menepuk bahunya.

“mBak Risma?”
“Kemana kamu? Tadi aku menelpon kamu, tampaknya suami kamu yang menerima. Belum juga aku bicara, dia sudah menjawab dan bilang dengan kasar bahwa kamu tidak ada dirumah.”
“Jadi tadi mbak Risma yang menelpon aku?”
“Pakai nomornya Baskoro?”
“Iya, aku belum sempat menggantinya di ponsel aku. Aku pakai nomornya Baskoro. Leo marah ya?”
“Dia memang lagi uring-uringan..”
“Nah, kelihatan dari wajah kamu tuh..”
“Kenapa wajah aku ?”
“Pucat, kamu nggak dandan ya?”
“Iya.. lagi males juga.. “
“Ayo mampir minum-minum disitu,” kata Risma yang langsung menarik Rina masuk ke sebuah restoran.
“Ayo mau minum apa.. atau mau makan apa..”
“Es jeruk saja, aku nggak makan,”
“Ya sudah.. ayo cerita, apa yang terjadi.”
“Nggak ada apa-apa.. lagi suntuk saja, lalu pengin jalan-jalan.”
“Kamu bilang suami kamu lagi uring-uringan..”
“Nggak tahu tuh. Biasa ‘kali kalau laki-laki lagi nggak suka sesuatu lalu bawaannya pengin marah. Daripada aku meladeni dia, lebih baik aku jalan-jalan, sambil belanja, kalau ada yang bisa aku beli.”
“Belanja baju? Yuk aku antar..”
“Nggak lah, belanja bahan masakan. Aku tuh sekarang harus belanja sendiri, so’alnya tukang sayur langganan aku....” ucapan Rina terhenti, karena tiba-tiba teringat ucapan suaminya bahwa tukang sayur itu dulu pacarnya.
“Kenapa tukang sayur langganan kamu?” tanya Risma sambil menghirup minuman pesanannya yang sudah terhidang dimeja.
“Mm.. itu.. nggak jualan.”
“Kamu itu rajin.. pintar, cantik. Pantas Baskoro cinta mati sama kamu.”
“Ah, sudahlah mbak, itu kan masa lalu.. “
“Tapi dia belum bisa melupakan kamu.”
“Harus bisa dong mbak, aku kan sudah punya suami, punya anak.”
“Ya sih, mana anak kamu? Nggak ikut?”
“Dia ada dirumah mbahnya. So’alnya sekolah lagi libur.”
“O.. enak dong, tinggal berdua sama suami.. “ kata Risma bercanda.
“Ah.. sudahlah..”
“Sebenarnya aku tadi sama Baskoro mau kerumah kamu. Pengin makan masakan kamu. Tapi ternyata suamimu ada dirumah dan menjawab telpon aku dengan nada kasar begitu.”
“Itu karena dia mengira yeng menelpon Baskoro.”
“Oh, gitu ya. Apa itu penyebab suami kamu uring-uringan?”
“Nggak, bukan itu.. “
“Sebenarnya aku lagi sama Baskoro, tapi dia lagi beli apa tadi, nggak tahu, lalu aku tinggal jalan, tapi aku sudah mengirim pesan bahwa aku ada disini sama kamu, jadi sebentar lagi pasti dia akan datang kemari.”
“Rinaa..” tiba-tiba Baskoro sudah muncul disitu.
“Cepet sekali sampai disini,” tegur Risma;
“Habis, mbak bilang ada Rina, aku langsung menyusul kemari.
“Kamu tuh.. jangan begitu, nanti Rina takut sama kamu,” kata Risma lagi.
“Masa Rina takut sama aku? Hei, apa yang terjadi? Wajah kamu pucat sekali.” tiba-tiba Baskoro menatap Rina dan berteriak.
“Pucat ya?” tanya Rina.
“Tapi tetap cantik kok..”
“Rina lagi tidak ingin berdandan, tahu.”
“Aku ingin sekali ketemu kamu Rin, sebelum aku kembali ke luar negri, aku ingin memastikan bahwa kamu baik-baik saja.”
“Aku baik-baik saja kok.”
“Benar?”

Tapi tiba-tiba Rina yang duduk menghadap ke arah pintu keluar, melihat sesuatu. Ia berdiri dan setengah berlari menuju keluar.

“Diaaan !!”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER