Cerita bersambung
Beberapa sa’at lamanya Rina terpaku ditempatnya, sementara Leo seakan tak peduli. Ia langsung ke arah depan, menuju ke mobilnya, dan berlalu.
Rina ingin menjerit sekuat-kuatnya. Ada sesuatu yang tak dimengertinya. Tiba-tiba suaminya uring-uringan, dan yang terakhir menyalahkannya karena dia menjadi isterinya. Apakah Leo sadar akan apa yang diucapkannya? Selama ini semuanya baik-baik saja. Tiba-tiba sejak kemarin itu.. semua yan diucapkannya salah, tak ada bagus-bagusnya. Dan ucapan yang keluar dari mulutnya selalu terasa kasar dan menggigit, membuatnya sakit.
“Apa salahku? Apa yang salah dengan suamiku ?” bisiknya perlahan, lalu dengan lemas ia duduk di kursi teras. Air matanya terus saja mengalir.
“Ibuuu...” teriakan itu menyadarkan Rina. Segera ia mengusap air matanya dengan ujung lengan bajunya. Tapi tetap saja Dina melihat bekas air matanya.
“Ibu menangis ?”
“Oh, tidak sayang, Ada debu masuk ke mata ibu.. pedih sekali tadi, tapi tidak apa-apa. Kamu sudah makan ?”
“Mengapa bapak tidak makan?”
“Oh, bapak tadi buru-buru ke kantor, karena ada urusan yang sangat penting.”
“Dina belum makan, menunggu bapak..”
“Aduuh, ibu sampai lupa mengatakan sama Dina bahwa bapak tidak makan pagi ini.”
“Ayo dong, kita makan..”
“Baiklah.. ayo ibu temani..”
Rina duduk disamping Dina, melayani Dina makan pagi itu, tapi pikirannya terus kepada suaminya yang tiba-tiba bersikap sangat kasar pada dirinya.
“Aku salah masuk dalam kehidupannya? Bukankah ketika orang tua menjodohkan dia tak menolaknya? Bahkan selama membina rumah tangga bertahun-tahun dia selalu bersikap baik dan manis kepadanya? Apa yang salah? Siapa yang salah? Apa yang terjadi?” Rina terus membatin dengan sedih.
“Mengapa ibu tidak makan?”
“Oh iya, habis ibu senang melihat Dina makan dengan lahap.”
“Nasi gorengnya enak, nggak pedas, Dina suka.”
“Memang yang untuk Dina ibu buat tidak pedas, ini yang untuk ibu sangat pedas.”
“Enakkah kalau pedas?”
“Bagi yang suka juga pasti enak.”
“Dina nggak suka. Kalau kepedasan, Dina harus minum banyak supaya pedasnya hilang.”
“Iya, anak kecil biasanya nggak suka pedas.”
“Nanti ibu mau masak apa?”
“Masak apa ya.. ibu belum tahu tuh. Dina pengin dimasakin apa?”
“Sup ayam? Eh.. nggak.. nggak.. soto ayam saja.”
“Baiklah, sebentar lagi ibu mau belanja.”
“Kok belanja? Ibunya mas Dian tidak membawakan sayur untuk ibu?”
“Tidak, ibunya mas Dian sedang libur beberapa hari, jadi ibu harus belanja sendiri.”
“Ke pasar? Dina nggak mau ikut..”
“Memangnya kenapa?”
“Kata ibu, pasar itu kotor dan bau.” Kata Dina menirukan apa yang pernah diucapkan ibunya.
“Iya sih...”
“Belanja ke supermarket saja bu.. asyiik..”
“Kok asyik ?”
“Kan bersih, ada yang jual makanan.. sayuran..”
“Baiklah, kita akan belanja kesana.”
“Horeee....”
Rina hanya tersenyum tipis.. sebenarnya dia enggan melakukan apapun, tapi dia juga harus menjaga perasaan anaknya. Dina kecil tak akan bisa menerima permasalahan yang sedang disandangnya, sedangkan dia sendiri juga masih bingung memikirkannya.
***
Leo menghentikan mobilnya didepan pagar rumah Ika, tapi dengan kesal dilihatnya Broto sedang berdiri di teras, berbincang dengan Ika yang menurutnya perbincangan itu tampak sangat manis. Ingin Leo mendatangi mereka dan mengajak Broto berduel. Yang menang akan mendapatkan Ika. Ya ampuun.. barangkali Leo benar-benar sudah kehilangan akal warasnya. Ketika tiba-tiba Broto menoleh ke jalan dan menatapnya, Leo segera memacu mobilnya.
“Saya seperti melihat mobil pak Leo..” kata Broto.
“Banyak mobil yang sama,” kata Ika yang sebetulnya juga yakin bahwa itu mobil Leo. Keinginannya segera pergi semakin keras.
“Iya juga sih. Baiklah mbak Ika, saya harus berangkat sekarang, atau.. ada lagi yang akan mbak bawa ke rumah baru mbak?” tanya Broto yang sejak semalam sudah membantu membawa barang-barang yang perlu dibawa Ika.
“Sudah mas, hanya beberapa baju, nanti bisa saya bawa sendiri.”
“Baiklah, saya mau berangkat sekarang. Nanti saya telpon kalau sudah sampai di Jakarta.”
“Ya mas, terimakasih banyak sudah dibantu. Nanti saya akan ke rumah pak Kartiman untuk pamitan.”
Broto hanya mengangguk, lalu dia menyalami Dian dan menggenggam erat tangannya.
“Belajar yang rajin disekolah baru ya,” katanya sambil menepuk pundak Dian.
“Ya om..”
Broto melambaikan tangan, kembali ke rumah pak Kartiman untuk mengambil mobilnya, sementara Ika segera membenahi barang yang tersisa untuk dibawanya ke rumah kontrakannya yang baru.
“Dian, nanti kamu ibu tinggalkan disana ya, ibu mau kembali kesini sebentar, mengambil barangkali ada barang yang tertinggal, sama mau menemui pak Kartiman untuk pamitan.”
“Baik bu.”
***
“Mengapa harus pindah nak Ika, bosan ya tinggal disini ?” tanya bu Kartiman yang sudah bisa menemuinya sambil duduk di kursi tamu.
“Bukan bosan bu, saya harus memikirkan sekolah Dian. Kalau dari sini nanti kejauhan. Maklum bu, saya kan juga harus menjaga Dian, sementara saya hanya seorang diri.”
“Iya nak, saya juga ikut prihatin. Kami kan sudah mendengar apa yang terjadi pada nak Ika beberapa tahun yang lalu, ketika nak Ika datang kemari sa’at mengandung Dian.”
“Hanya kepada ibu dan pak Kartiman saya mengatakan semuanya.”
“Saya kagum sama nak Ika, bisa melewati hari-hari sulit dengan tegar. Bisa menjaga bayi dalam kandungan sampai dia sudah sebesar itu. Nak Ika sangat hebat.”
“Saya harus melakukannya kan bu, kalau tidak, bagaimana dengan anak yang tak berdosa itu?”
“Saya bisa mengerti. Salut untuk nak Ika.”
“Saya hanya bisa berdo’a, agar nak Ika berhasil dalam membesarkan Dian dan menjadikannya orang,” sambung pak Kartiman.
“Terimakasih banyak pak.”
“Bagaimana dengan Broto ?” pertanyaan bu Kartiman sangat mengejutkan Ika. Sekilas dia bisa menangkap kemana arah pertanyaan itu, tapi dia pura-pura tidak tahu.
“Mas Broto baik, dan sangat membantu saya. Saya harus berterimakasih bu.”
“Dia itu bujang lapuk, nggak laku-laku..” sambung pak Kartiman.
“Nanti pasti dia akan menemukan seseorang yang cocok.”
“Tampaknya dia suka sama nak Ika,” kata bu Kartiman lagi.
“Ah, ibu ada-ada saja.. Saya hanya seorang tukang sayur, sudah punya anak pula. Mana pantas?”
“Pantas dan tidak nya itu kan tergantung hati dari yang menjalani,” sambung bu Kartiman yang tampaknya suka bermenantukan Ika.
“Iya bu, nanti mas Broto pasti akan menemukannya. Sekarang saya permisi dulu, masih ada yang harus saya bawa.”
Pak Kartiman dan bu Kartiman melepaskan Ika dengan rasa haru. Bagaimanapun Ika adalah tetangga yang baik. Dia rajin dan sangat menghormati mereka.
“Tampaknya nak Ika tidak tertarik pada Broto ya pak.”
“Mungkin juga tertarik, tapi dia merasa rendah diri, merasa tidak pantas. Jadi itulah kendalanya.”
“Sayang sekali.”
“Ibu kok seperti sudah sangat cocok punya menantu mbak Ika?”
“Ibu melihat sepertinya Broto suka, tadi aku hanya memancing-mancing, apa kira-kira nak Ika juga suka.”
“Ya sudah, biarkan saja bu, kalau memang mereka jodoh pasti juga akan dipertemukan.”
***
“Ibu.. biarkan Dina naik kedalam troli ya?” kata Dina ketika ibunya sedang mendorongnya untuk mengisi belanjaan.
“Apa? Kamu itu kan sudah besar Dina, masa naik kesini?”
“Dina capek bu.”
“Tuh, baru saja belanja sedikit sudah capek. Kalau begitu lebih baik Dina dirumah saja nggak perlu ikut.”
“Nggak mau aku, masa sendirian dirumah?”
“Ya sudah, kalau begitu nggak boleh mengeluh dong.”
“Masih banyak ya yang harus ibu beli?”
“Lumayan, ibu sekalian beli untuk kebutuhan beberapa hari, jadi tidak harus setiap hari belanja.”
“Kalau begitu nanti Dina minta es krim dong.”
“Iya, boleh, tapi nggak boleh rewel ya..”
Ketika sedang asyik belanja itulah tiba-tiba seseorang memanggil namanya.
“Rina !”
Rina menoleh, mencoba mengingat-ingat siapa wanita yang memanggilnya.
Seorang wanita dengan penampilan sexy mendekat.
“Kamu benar-benar lupa sama aku?” kata wanita itu.
“Sebentar, lupa-lupa ingat..” kata Rina sambil mengingat-ingat.
“Ingat yang namanya Baskoro nggak ?”
“Kalau itu aku ingat..” pekik Rina.
“Aku ini kakaknya Baskoro.. masih belum ingat juga?”
“Oh, ya ampuun.. mbak Risma ?”
“Syukurlah kamu ingat.”
“Iyaa sih, habis lama sekali nggak ketemu.
"Kami baru pulang dari luar negeri.”
“Apa kabar Baskoro?”
“Dia patah hati, nyaris bunuh diri.”
“What ?” Rina membulatkan matanya.
“Itu benar. Setelah kamu tinggalkan untuk menikah dengan Leo, dia kabur ke luar negeri, dan minum obat tidur sampai hampir mati.”
“Ya Tuhan..”
“Kamu begitu tega sih Rin, dia sangat mencintai kamu.”
“Ma’af mbak, waktu itu tak ada yang bisa aku lakukan. Kami berjodoh karena keinginan orang tua.”
“Kamu mencintai Leo?”
“Mau gimana lagi mbak, ini anakku..”
“Wauw.. cantik.. siapa nama kamu sayang?” sapa Risma ramah.
“Andina..”
“Nama yang cantik, secantik orangnya.”
“Kamu mencintai suami kamu ?”
“Itu pertanyaan gila mbak. Kalau aku bilang tidak.. nyatanya aku bisa menjalani sampai delapan tahun lebih.”
“Syukurlah, aku senang mendengarnya.”
“Dimana Baskoro sekarang ?”
“Baru seminggu datang bersama aku. Nggak tega aku membiarkan dia pulang sendiri. Aplagi kalau sampai bertemu kamu.”
“Memangnya dia belum menikah?”
“Pernah menikah, hanya bertahan dua tahun. Mereka bercerai tanpa memiliki seorang anakpun.”
“Mengapa?”
“Cinta pelarian.. gimana sih bisanya awet. Lagian dia gadis bule, keluaga juga kurang suka tabiatnya yang suka hura-hura.”
“Oh, kasihan.. Kalau mbak Risma, putranya sudah berapa?”
“Aku ? Nggak punya, pengin sih.. tapi suami aku sakit-sakitan, mana bisa punya anak.”
“Sakit apa?”
“Dia sudah tua ketika menikahi aku. Ya sudahlah, kapan-kapan aku cerita sama kamu.”
“Baiklah.”
“Boleh kapan-kapan aku sama Baskoro main ke rumah kamu?”
“Boleh saja, bukankah kalian sudah kenal suami aku?”
“Kenal, hanya sepintas, ketika kamu menikah.”
“Baiklah, kapan-kapan mainlah, ini aku sedang belanja, dan belum masak juga.”
“Wah, benar-benar ibu rumah tangga. Lain kali aku datang ketika masakan kamu sudah matang ya.”
“Baiklah, kabari kalau mau datang.”
“Nomor kontak kamu masih yang dulu ?”
“Nggak, sudah ganti, tapi aku masih menyimpan nomor kontaknya Baskoro. Nanti aku kirim nomorku.”
“Siip, baiklah, aku juga sedang buru-buru,” kata Risma yang kemudian pergi setelah mencium Dina dengan gemas.
Dina mengusap pipinya yang agak basah karena wajah Risma berkeringat.
“Siapa itu bu?”
“Teman lama ibu. Ayuk lanjutin belanjanya. Kurang sedikit..”
“Habis ini beli es krim kan?”
“Iya, kan ibu sudah janji.”
***
Rupanya Leo masih penasaran dan mengejar Ika agar mau berbincang dengannya. Banyak yang akan dikatakan dan ditanyakannya, dan semua belum didapatkannya.
Sa’at pulang makan siang itu Leo kembali melewati rumah Ika. Ia berhenti agak disamping pintu pagar, supaya Ika tak melihatnya kemudian lari.
Leo melangkah perlahan memasuki halaman, mendekati rumah yang tertutup.
“Apakah dia pergi, ataukah bersembunyi?” gumam Leo.
Ia melongok melalui jendela kaca disamping pintu depan. Sepi, lalu berjalan ke samping rumah, seperti ketika kemarin melihat Ika. Tapi pintu samping juga tertutup, semua jendela tertutup.
“Tadi Rina bilang bahwa Ika tidak akan berjualan selama beberapa hari. Apa ada hubungannya dengan laki-laki bernama Broto itu? Mengapa aku tiba-tiba benci sekali dengan laki-laki itu? Cemburukah aku? Cemburu? Apakah aku masih mencintai Ika? Aku kan hanya ingin bertanya, bukan ingin mengejarnya lagi. Tapi aku sungguh benci laki-laki itu.
Leo menggaruk-garuk kepalanya sendiri sambil melangkah keluar. Ia menoleh sekali lagi kearah rumah, sebelum naik keatas mobilnya menuju pulang.
***
Ketika sampai dirumah dan menuju ruang makan, dilihatnya belum ada makanan terhidang disana. Rina memasak agak siang dan belum selesai memasak. Ia masih kesal pada suaminya karena ucapannya pagi tadi, jadi dia tak peduli ketika mendengar langkah suaminya di ruang makan.
Rina sedang menggoreng ikan ketika Leo melongok ke dapur. Rina pura-pura tak melihatnya.
“Kamu sengaja ya?” kata Leo keras.
Rina mengangkat kepalanya, lalu mengambil basi untuk tempat ikan yang baru digorengnya.
“Sengaja kan?”
“Sengaja apa?”
“Memasak seenaknya, dan lupa kalau ini sa’atnya aku pulang untuk makan?”
“Terserah apa kata mas.”
“Apa maksudmu?” kata Leo dengan nada tinggi.
Rina baru mengerti, kalau marah Leo bisa seperti singa kelaparan. Tapi marah karena apa? Rina tak merasa bersalah apapun.
Rina meletakkan piring ikan dimeja, mengisi mangkuk dengan sayuran, dan tanpa peduli pada suaminya yang masih berdiri dengan mata tak bersahabat, menata meja makan seakan tak terjadi apa-apa.
Leo merasa Rina menantangnya.
“Rina ! Kamu mulai berani sama suami kamu?”
“Jangan berteriak, Dina akan mendengarnya.”
“Ternyata kamu menyebalkan.”
Rina tetap tak menjawab. Ia menyelesaikan pekerjaannya menata meja, lalu beranjak kekamar untuk mandi.
Tiba-tiba ponsel Rina berdering. Kebetulan ponsel itu ada dimeja, dimana Leo berdiri. Leo mengangkatnya, dan membaca nama Baskoro di layar ponsel itu.
==========
Leo ingin membuka ponsel itu, tapi tiba-tiba Rina keluar lagi dari kamar karena mendengar ponselnya berbunyi, lalu mengambil ponsel dari tangan Leo.
“Dari siapa tuh?” tanya Leo keras.
Rina tak menjawab, langsung membawa ponselnya masuk ke kamar, dan menjawab telpon itu. Diam-diam Leo menguping dari balik pintu.
“Mengapa kamu? Aku tadi memberi nomor kontak aku untuk Risma, karena tadi dia yang minta,” kata Rina ketika mengangkat telpon dan Baskoro yang menjawab.
“Buktinya kamu memberinya ke nomor telpon aku, boleh dong aku menelpon kamu,” kata Baskoro.
“Boleh saja. Ada yang bisa aku bantu?”
“Ya ampun Rina, formil amat. Biasa saja kenapa sih?”
“Ini kan juga biasa, formil bagaimana sih?”
“Rina, aku belum lama kembali kemari, ternyata aku masih suka mendengar suara kamu. Masih seperti dulu, sedikit centil dan menggemaskan.”
“Aduh Bas.. saling kabar sajalah, kamu baik-baik saja?”
“Seperti inilah, dibilang baik, ya baik, dibilang nggak, ya enggak.”
“Gimana sih ?”
“Aku baik, karena masih bisa bicara, dibilang enggak, aku masih seperti orang patah hati.”
“Ayolah Bas.. kita sudah sama-sama tua, hentikan itu.”
“Mana mungkin aku bisa menghentikannya? Aku cinta mati sama kamu.”
“Waktu sudah berjalan lama, hari-hari yang lewat sudah menggulung masa-masa itu. Datanglah sebagai sahabat.”
“Tidak, aku masih seperti dulu.”
“Bas, aku melayani suami aku makan siang dulu ya.”
“Oh, baiklah. Aku lupa kamu sudah menjadi seorang isteri dan juga ibu.”
“Aku ingatkan itu.”
Baskoro terbahak.
“Bas..”
“Risma mengajak aku datang kerumah kamu. Aku berharap secepatnya,” kata Baskoro yang kemudian menutp pembicaraan itu.
Rina menghela nafas. Ia menyesal telah memberikan nomor kontaknya untuk Risma melalui ponsel Baskoro. Apalagi mempersilahkan keduanya datang kerumah.
Semuanya sudah terlanjur, Rina berharap kalau mereka datang semoga suaminya sedang ada dirumah, sehingga tidak akan menambah meruncingnya keadaan yang sesungguhnya masih membingungkannya ini.
Rina masuk ke kamar mandi. Ia merasa sudah menyiapkan makan siang suaminya, dan tak perlu melayaninya selama ia masih bersikap kasar dan menyakitinya. Ia juga tidak memanggil Dina yang masih asyik membaca buku cerita bergambar dikamarnya.
Namun ketika dia selesai mandi dan menuju ke ruang makan, dilihatnya suaminya tak ada disana. Ia bahkan tak menyentuh makanan yang disediakan di meja makan. Rina bergegas kedepan, dilihatnya mobil suaminya sudah tak ada.
Rina menghempaskan nafas kesal, bingung atas suasana yang tiba-tiba melingkupi rumah tangganya.
“Ada apa ini ? Apa yang terjadi ?” gumamnya kesal.
Bukannya memanggil Dina untuk diajaknya makan, Rina duduk di kursi teras, menyandarkan kepalanya yang tiba-tiba terasa pusing.
***
Leo memacu mobilnya, dan sekali lagi melewati rumah Ika, berharap pintu itu sudah terbuka, atau ada tanda-tanda bahwa Ika sudah pulang. Tapi tidak, pintu itu masih tertutup. Tak ada sepeda motor disamping rumah. Berarti Ika belum pulang. Leo memacu lagi mobilnya, dan menyusuri jalanan yang berderet warung atau rumah makan. Perutnya terasa perih. sesungguhnya dia sangat lapar. Lalu ia menghentikan mobilnya didepan sebuah rumah makan, lalu masuk kedalamnya.
Ia duduk disebuah bangku dan memesan makanan dan minuman. Sesungguhnya Leo bukan orang yang suka makan diluaran. Menurutnya, masakan isterinya adalah yang paling enak dibandingkan dengan masakan-masakan diwarung atau restoran manapun yang pernah dia kunjungi. Tapi tiba-tiba saja ia merasa kesal pada isterinya. Karena harus segera menikahi Rina itulah maka pencariannya akan Ika harus dihentikan. Ika Wijayanti, gadis sederhana yang sangat dia cintai. Ia memupus harapannya untuk bisa bertemu, setelah ia berjodoh dengan Rina, pilihan orang tuanya.
Rina itu cantik, dan bisa menjadi isteri yang baik, apalagi masakannya sangat enak. Ada pembantupun Rina selalu memasak masakannya sendiri, dan pembantu memang hanya membantunya. Itu yang menyebabkan lama kelamaan ia jatuh hati pada Rina, dan mengasihinya sampai sa’at sebelum dia ketemu Ika kembali.
Sebelumnya tak pernah terbayangkan ia bisa ketemu lagi. Pertemuan yang semula sangat dihindari Ika, tapi ke mudian dia tak bisa lagi berkutik setelah berhasil menemuinya disamping rumah. Tapi belum semua berhasil dikoreknya. Adanya bocah ganteng yang mirip dirinya itu anak siapa, Leo belum mendapatkan jawabannya. Itulah sebabnya ia ingin terus mengejar Ika.
“Silahkan pak,” kata pelayan yang kemudian meletakkan pesanan Leo diatas meja. Leo meneguh lemon tea yang dipesannya. Ia teringat kembali Ika. Setiap makan diluar, minuman yang dipesannya selalu lemon tea, tak pernah yang lainnya.
Ada sesuatu yang tak pernah hilang dari ingatannya. Sebuah rasa yang membuatnya bergetar setiap kali mengingatnya. Ternyata Ika belum pernah hilang dari hatinya. Bagai buih-buih air lautan, yang selalu timbul ketika ombak menghempas ke pantai. Buih-buih itu ada, dan selalu ada. Lalu ketika meneguk lemon tea itu.. bayang-bayang Ika kembali merayapi benaknya.
Ika gadis yang luar biasa. Ada rasa iba ketika Leo menyaksikan gadis yang sangat dicintainya berjuang untuk hidupnya dengan menjajakan sayuran dari rumah ke rumah, sementara dirinya hidup berkecukupan bersama anak dan isterinya.
Salah siapa malam jahanam itu terjadi. Salah siapa kalau ia kemudian tak berani bertanggung jawab gara-gara takut kepada orang tuanya.
“Aku memang pengecut,” katanya mamaki dirinya sendiri.
Leo hanya memakan nasi rames yang dipesannya, kemudian berdiri setelah meninggalkan uang di meja tempat dia makan. Leo tak sadar ketika sepasang mata menatapnya dari meja yang lain.
Ketika Leo keluar dari rumah makan, dilihatnya seorang wanita peminta-minta menadahkan tangannya, sementara disampingnya berdiri seorang anak laki-laki yang tampak kurus dan kumal.
Hati Leo tersentuh. Ia ingat Ika lagi, dan seorang anak laki-lakinya. Kalau perempuan ini hanya menadahkan tangannya untuk sesuap nasi, tapi Ika meneteskan keringatnya untuk mendapatkannya. Leo meletakkan uang sepuluh ribu ditangan wanita itu, lalu masuk kedalam mobilnya.
“Siapa anak laki-laki itu? Apakah kejadian malam itu telah menjadikan benih yang diteteskannya tumbuh lalu lahirlah seorang anak ganteng bernama Dian? Ardian, nama yang mirip namaku. Apakah itu anakku?”
***
Dina mencari ibunya di dapur, lalu ke ruang makan. Ia melihat makanan sudah tertata dimeja, tapi dimana ibunya?
“Ibuuu...” teriak Dina samvil melangkah kedepan. Dilihatnya ibunya duduk sendirian, kepalanya bersandar di kursi. Dina mengira ibunya tertidur, karena mata Rina terpejam.
“Ibu mengantuk ?”
Rina mengangkat kepalanya.
“Iya.. ibu mengantuk.”
“Ibu menunggu bapak pulang? Tadi Dina sudah mendengar mobilnya.”
“O.. iya, bapak pulang sebentar lalu pergi lagi.”
“Bapak tidak makan ?”
“Tidak, bapak terburu-buru.”
“Dina lapar...”
“Baiklah, ayo kita makan,” kata Rina sambil bangkit berdiri.
Rina menggandeng Dina ke ruang makan.
Tapi Dina kecil seperti melihat sesuatu yang berbeda dari biasanya. Senyuman yang terasa hambar, lalu makan yang hanya sedikit.
“Apa ibu sakit ?”
“Tidak. Eh.. iya, ibu sedikit pusing. Nanti setelah bersih-bersih, ibu akan tidur sebentar.”
“Boleh Dina bantu mencuci piringnya?”
“Tidak usah Dina, biar ibu saja.”
“Tapi Dina bisa kok..” kata Dina sambil menumpuk piring bekas makannya dan juga bekas makan ibunya.
“Nanti kalau pecah bagaimana ?”
“Dina akan hati-hati,” kata Dina sambil membawa piring kotor ke tempat cucian piring. Rina tersenyum. Ia membiarkannya, sambil melihat bagaimana Dina melakukannya. Ia merasa, bahwa Dina memang harus mulai belajar dan tidak hanya bermanja-manja.
“Dina, sisa makanannya dibuang disini dulu, baru diguyur. Kalau dibuang disitu nanti salurannya mampet.”
“Oh, iya, dibuang disini ?”
Rina mengangguk. Lalu dilihatnya Dina mengguyur dengan air, kemudian menyapunya dengan sabut bersabun.
“Anak pintar,” kata Rina.
Dua buah piring sudah dicuci Dina dengan sukses. Rina mengelus kepala anaknya lembut. Hanya karena Dina lah Rina bisa menahan perasaannya ketika mendapat perlakuan kasar dari suaminya.
“Sekarang, setiap habis makan, Dina akan mencuci piring sendiri.”
“Bagus nak, kamu memang pintar. Sekarang cuci kaki tanganmu, biar ibu membersihkan yang lainnya.”
“Kalau ibu sakit, ibu minum obat dulu, lalu tidur. Ya..”
“Baiklah sayang.”
***
Rina membaringkan tubuhnya yang terasa letih. Bukan letih badannya tapi hatinya. Dan itu membuatnya semakin pusing.
Ketika ponselnya kembali berdering, dengan malas Rina mengambilnya, dan tanpa melihat siapa yang menelpon, Rina mengangkatnya.
“Rina..”
Rina terkejut, itu suara Baskoro. Suara itu lembut, dan tiba-tiba Rina ingin sedikit berbincang, barangkali bisa meringankan beban yang menghimpitnya.
“Ada apa Bas?”
“Lagi ngapain kamu?”
“Tiduran, kepalaku pusing sekali.”
“Kamu tidak memasak hari ini?”
“Mengapa kamu bertanya so’al itu?”
“Aku melihat suami kamu makan sendirian di restoran.”
“Oh, ya?”
“Memangnya dia tidak pulang makan, atau kamu tidak memasak?”
“Dia sedang banyak pekerjaan, kelamaan kalau makan harus pulang.”
“Tahu begitu aku tadi kemari, makan masakan kamu.”
“Kamu bersama mbak Risma ?”
“Tidak, dia lagi sibuk mengurusi bisnisnya. Kami akan kembali ke luar negeri setelah mbak Risma menyelesaikan urusannya. Kamu mau ikut?”
Haa.. ikut keluar negeri? Jauh dari rasa kesal dan sesal yang menyelimutinya. Alangkah mudahnya diucapkan. Disini ada Dina, dan dia masih seorang isteri. Isteri ?
”Bukankah Leo mengatakan bahwa aku salah telah masuk kedalam kehidupannya? Berarti dia menyesal memperisteri aku? Mengapa begitu tiba-tiba?" Kata batin Rina.
“Hallo... kamu masih disitu Rin?”
“Oh.. eh.. iya..”
“Nerima telpon sambil melamun nih.”
“Sesungguhnya aku lagi pusing.”
“Menurut aku, kamu lagi ada masalah dengan suami kamu.”
Rina terdiam. Masa permasalahan rumah tangganya harus dikatakannya pada Baskoro? Ya tidaklah, dia tidak sejahat itu.
“Sok tahu kamu.”
“Aku melihat wajah suami kamu sangat kusut. Jelek banget..”
“Dia capek..”
“Mungkin. Tapi capek hati juga bisa membuat orang terlihat seperti sedang sakit.”
“Bas, ma’af, tapi aku ingin tidur. Kepalaku pusing sekali.”
“Baiklah, tidur yang nyenyak, nanti aku menelpon lagi.”
Rina meletakkan ponselnya. Ternyata perbincangan itu sama sekali tidak bisa meringankan beban yang disandangnya. Baskoro menebak-nebak, dan itu benar. Rina tidak ingin berbincang lebih lama.
“Hm.. makan diluar? Biasanya mas Leo tak suka makan diluar, katanya masakanku lebih enak. Tapi sudah dua atau tiga hari ini masakan aku menjadi tidak enak, entah mengapa,” gumam Rina sambil berusaha memajamkan matanya.
***
Leo kembali melewati Rumah Ika, tapi rumah itu masih tertutup rapat. Leo penasaran, dia turun dari mobil. Ia melangkah perlahan mendekati rumah, melongok melalui jendela kaca. Rumah itu tampak gelap, sudah jelas rumah itu kosong.
“Kemana Ika?”
Leo menoleh kekiri dan kekanan jalan, barangkali ada orang yang bisa mengatakan kemana Ika pergi. Lalu Leo menuju kerumah disampingnya. Itu rumah pak Kartiman, pemilik rumah yang disewa Ika. Biarpun tidak tahu pemilik rumah itu siapa, tapi Leo berharap orang dirumah itu bisa mengatakan kemana Ika pergi.
Perlahan Leo mendekati rumah itu. Tapi sama seperti rumah Ika, rumah itu juga tertutup rapat. Berkali-kali Leo mengetuk pintu, tak ada jawaban. Tampaknya kosong. Dengan langkah lesu Leo melangkah keluar. Sebelum memasuki mobilnya, seseorang menyapanya.
“Mencari siapa pak? Kalau pak Kartiman sedang pergi ke dokter, kontrol. Kan isterinya habis sakit.”
O, yang rumahnya disitu ya mas? Kalau yang rumahnya disini?” tanya Leo sambil menunjuk ke rumah tinggal Ika.
“O, mbak Ika ya? Kabarnya sudah pindah hari ini.”
Leo terkejut bukan alang kepalang.
“Pindah?”
“Iya, kebetulan tadi ketemu saya sebelum dia pergi, lalu dia pamitan.”
“Pindah kemana dia?”
“Ketika saya tanya dia tidak menjawab pak. Nggak tahu pindah kemana.”
Leo benar-benar putus asa. Ia tak menjawab ketika orang yang memberi tahu tadi berpamit untuk pergi.
Dengan tubuh lemas Leo menaiki mobilnya, menuju pulang.
***
“Ibu masih sakit?”
“Dina bisa mandi sendiri ?”
“Bisa bu, Dina mau mandi sendiri, nanti ibu mau ke dokter?”
“Nanti kalau pusingnya belum hilang, ibu mau ke dokter, sekarang Dina mandi dulu ya.”
“Iya, Dina ambil ganti baju dulu.”
Rina memejamkan matanya. Pusingnya belum juga reda. Ia menunggu Dina selesai mandi, lalu dia akan pergi ke dokter.
Ia bangkit, lalu duduk ditepi pembaringan. Dipijit-pijitnya kepalanya, berharap agar pusingnya hilang.
Sudah jam lima lebih, tapi Leo belum datang juga.
“Kalaupun datang, belum tentu dia mau mengantarkannya ke dokter,” gumamnya.
Ia berjalan kearah almari, mengambil baju yang lebih pantas.
“Tak perlu mandi, aku tak akan tahan,” keluhnya.
Ketika Dina selesai mandi, dilihatnya ibunya sudah berganti pakaian.
“Ibu mau ke dokter sekarang? Bolehkah Dina ikut?”
“Tapi ibu mau ke dokter nak, bagaimana kalau Dina dirumah saja? Ibu mau naik taksi, karena ibu tak mungkin bisa menyetir mobil sendiri."
“Apakah anak kecil tidak boleh ikut ke dokter?”
“Disana banyak orang sakit. Anak kecil tidak boleh ikut.”
“Bagaimana kalau menunggu bapak ?”
“Tidak usah, ibu akan memanggil taksi saja.”
Tapi tiba-tiba Dina mendengar mobil bapaknya memasuki halaman.
“Itu, bapak sudah datang.”
Tapi Ika bergeming.
“Dina, tolong ambilkan minum untuk bapak dibelakang ya,” kata Rina, khawatir kalau nanti Leo berkata kasar lalu Dina mendengarnya.
“Iya, Dina bisa. Air putih saja ya bu.”
“Nggak apa-apa, air putih saja.”
Beberapa detik Dina beranjak kebelakang, Leo memasuki kamar. Tak peduli Ika yang sudah berdandan akan pergi kemana.
“Rin, tolong aku minta nomor kontaknya Ika.”
Rina terkejut, dia tak mengenal nama Ika.
“Ika siapa?”
“Tukang sayur itu..”
“Namanya bukan Ika.”
"Terserah Ika atau bukan, beri aku nomor kontaknya.”
“Aku tidak punya, dan jangan berlagak sok baik hati untuk menghubungi tukang sayur, aku bisa belanja sendiri,” jawab Ika sambil berlalu. Ia melangkah kedepan sambil menelpon taksi.
Leo mengikutinya.
“Aku tidak berbaik hati untuk kamu. Aku butuh ketemu dia.”
Rina yang enggan bicara terpaksa meladeninya. Apa tukang sayur itu punya salah pada suaminya? Itu yang Rina ingin tahu.
“Memangnya kenapa? Salah apa dia?”
“Dia itu dulu pacar aku.” Kata Leo tanpa belas kasihan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel