Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 09 Juni 2022

Jangan Bawa Cintaku #5

Cerita Bersambung


Ika benar-benar gemetar, tak tahu harus mengatakan apa, sedangkan si ganteng yang dibencinya berdiri dihadapannya, manatapnya tajam.

“Aad.. ada apa?” katanya dengan suara gemetar.
“Apakah kita saling mengenal?” tanya Leo tanpa melepaskan pandangannya.

Ika menggeleng, lalu berjalan melewati Leo yang berdiri didepannya. Tapi Leo mundur beberapa langkah, menghalangi.

“Maukah membuka helmnya mbak?”
“Untuk.. apa.. ? Biarkan saya pergi..”
“Tolong..”
“Untuk apa? Biarkan saya ..pp.. pergi..”
“Tunggu... kamu Ika bukan ?”
“Jangan lancang !” pekik Ika yang tiba-tiba timbul keberaniannya melihat kenekatan Leo.
“Ika, berhenti dulu, aku mau bicara.”
“Aku bukan Ika.”
“Kamu Ika!”
“Minggir, atau aku akan berteriak sehingga semua orang akan keluar dari rumah dan mentertawakan anda,” katanya sengit.
“Ika, aku mau bicara..”
“Anda salah orang.”

Lalu dengan gemas Ika melangkah, menghindari Leo yang kali ini tak lagi menghalangi. Ia juga membiarkan ketika Ika terburu-buru menstarter sepeda motornya dan pergi.
Leo menghela nafas, ada sesuatu yang hilang dari hatinya. Ada keyakinan bahwa wanita itu adalah Ika, yang dulu pernah dicintainya, kemudian menghilang entah kemana.

“Aku yakin dia Ika. Aku pernah mencintainya,” desisnya sambil melangkah gontai, masuk ke halaman rumahnya.
“Mas.. darimana sih?” tanya Rina ketika Leo masuk kerumah.
“Tidak darimana-mana,” katanya langsung masuk kebelakang.
“Lho.. ini tadi mbak Yanti kemari ? Mas kok diam saja, nggak bilang sama aku supaya aku bisa langsung membayarnya.”
“Aku nggak tahu,” jawabnya sambil masuk kekamar.
“Mas..”
“Aku mau mandi !” teriaknya dari dalam kamar.
“Hm, mbak Ika, kebiasaan deh.. selalu datang dan pergi dengan tergesa-gesa.

Leo masuk kekamar mandi, mengguyur tubuhnya dengan air dingin, untuk mengendapkan perasaannya yang gundah.

“Tapi mengapa kata isterinya wanita itu bernama Yanti.. mbak Yanti. Lalu Leo teringat, bukankah nama Ika adalah Ika Wijayanti? Ya.. tidak akan salah, dia Ika.

Tiba-tiba kejadian malam itu terbayang kembali. Malam yang malang, gelap dan buruk, yang sebenarnya terjadi bukan atas kemauannya.

“Sungguh bukan salahku. Aku tak sadar melakukannya. Tidaak... aku sadar.. tapi itu bukan kemauanku. Aku seperti gila.. aku seperti orang kesetanan.. merengkuh nikmat yang membakar jiwa dan ragaku.. Aku memang gila,” katanya sambil terus mengguyur tubuhnya dan terus mengguyurnya.
“Aku harus menemuinya, dan meminta ma’af. Dulu aku tidak berani bertanggung jawab, aku belum menyelesaikan kuliahku, tak mungkin bapak merestuinya. Tapi kemudian aku mencarinya, dan dia sudah tak bisa kutemukan. Aku mencarimu Ika, aku mencarimu setelah aku selesaikan sekolah aku.”
“Sungguh.. aku tidak bohong !! Lalu siapakah Ardian? Kamu sudah punya suami? Yang datang bersama kamu di acara sekolah Dian? Itu anak kamu dan suamimu? Tapi kata Dina bapaknya Dian sudah meninggal. Apa yang terjadi? Benarkah wajah Dian mirip wajahku? Aku ingin ketemu kamu, aku ingin bicara,” kata Leo diantara deburan air yang berpacu dengan debur jantungnya.
“Maaas.. mas, kok mandinya lama sekali sih mas?” tiba-tiba Rina berteriak dari luar.

Leo berhenti mengguyur tubuhnya. Nafasnya terengah-engah.

“Maaas..”
“Iya, sebentar..”

Ketika keluar dari kamar mandi, Rina terkejut melihat Leo tidak membawa handuk pembalut tubuhnya, masih memakai pakaian dalam yang tentu saja basah kuyup.

“Gimana sih mas.. mandi nggak bawa handuk..” katanya sambil menyampirkan handuk kering ketubuh suaminya.
“Lupa..”
“Ih, aneh deh..” kata Rina yang langsung keluar dari kamar.
“Sarapan sudah aku siapkan, kamu kesiangan lho mas,” kata Rina sambil menjauh.

Leo mengeringkan tubuhnya, dan mengenakan pakaian kerjanya. Ketika keluar dengan rapi, isterinya sudah menunggu dimeja makan, bersama Dina.

“Bapak, bolehkah Dina main kerumah mas Dian ?”
“Boleh saja, mengapa tidak?” kata Leo sambil duduk.
“Nanti saja Dina, ibu kan harus memasak..”
“Bareng bapak ke kantor saja, nanti Dina aku turunkan dirumah Dian, ibu tinggal menjemput. Begitu Rin ?” kata Leo tiba-tiba.
“Baguslah mas, nggak apa-apa kalau mas mau mengantarkan.”
“Jadi aku ganti baju dulu ya bu, supaya bisa bareng bapak ke kantor,” kata Dian bersemangat.
“Eeh, habiskan dulu sarapan kamu, tidak usah tergesa-gesa,” tegur Rina.
***

Leo merasa mendapat kesempatan untuk bertemu Dian. Pasti akan banyak yang didapatkannya dari anak itu. Siapa dirinya, siapa laki-laki ganteng yang datang bersama ibunya.
Tapi ketika Leo menghentikan mobilnya didepan rumah Ika, rumah itu tampak tertutup.

“Kok pintunya tertutup?” kata Leo.
“Barangkali mas Dian ada didalam,” kata Dina yang kemudian turun dari mobil.

Leo ikut turun, melangkah perlahan mengikuti Dina yang berlari-lari kecil kearah rumah.

“Mas Diaaan.. mas Diaaan..” teriak Dina. Tapi tak ada yang menjawabnya. Rumah itu sepi. Melalui korden yang sedikit tersingkap di jendela kaca, Dina melongok.

“Nggak ada ya?” tanya Leo.
“Sepi pak.. apa mas Dian ikut ibunya jualan ya?”
“Nggak kok..”
“Kok bapak tahu ?”
“Eeeh.. it..itu.. kan tadi mengantar belanjaan ke rumah.”
“Lalu bagaimana ?”
“Ikut ke kantor bapak saja. Masa kamu mau menunggu disini ?”
“Pulang saja lah pak..”
“Ya nggak bisa Dina.. bapak sudah kesiangan ini.. Ayo ikut ke kantor saja, nanti kalau ibu selesai masak biar dijemput ibu,” kata Leo sambil melangkah kembali ke mobilnya. Mau tidak mau Dina mengikutinya dengan wajah cemberut. Iyalah, bisa dibayangkan, bagaimana nanti di kantor bapaknya, hanya duduk memandangi bapaknya yang sibuk dengan tugasnya, nggak ada mainan, ataupun teman main. Sementara bapaknya juga kecewa karena sebenarnya banyak yang akan dikoreknya dari Dian.

“Dina tadi harusnya bertanya dulu, Dian ada tidak.”
“Gimana caranya bertanya?”
“Bilang sama ibu, suruh menelpon ibunya Dian, gitu dong.”
“Memangnya ibunya mas Dian punya telpon ?”
“Nggak tahu bapak, harusnya tanya sama ibu.”

Dina tak menjawab. Ia diam disepanjang perjalanan, karena membayangkan di kantor bapaknya bakal tak punya teman.
Tapi disebuah daerah pertokoan, tiba-tiba Dina berteriak.

“Itu mas Diaaan!”

Leo mengerem mobilnya tiba-tiba.

“Mana ?”
“Itu pak, disana, berhenti pak, Dina mau sama mas Dian saja.”

Leo meminggirkan mobilnya. Ia bukan hanya ingin menyenangkan hati anaknya, tapi juga ingin bertemu Dian. Tapi Leo kecewa ketika mobilnya sudah berhenti, dan dilihatnya Dian sudah berjalan mendekat kearah mobilnya. Dian tidak sendiri, tapi bersama laki-laki yang kemarin dulu dilihatnya di acara perpisahan anaknya. Ia ingin menjalankan mobilnya, tapi Dina sudah siap keluar. Leo tak sampai hati mencegahnya.

“Mas Diaaan..” teriak Dina sambil turun.
“Dina? Kamu sama siapa?”
“Sama bapak, tadi kerumah mas Dian, tapi mas Dian tidak ada.”
“Oh, aku lagi diajak jalan-jalan sama om Broto,” kata Dian sambil menunjuk kearah om Broto.
“Dian jangan mengganggu..” kata Leo.
“Bolehkah aku ikut?” tanya Dina tanpa sungkan.

Dian memandangi Broto, minta pendapatnya. Tapi sambil tersenyum Broto mengangguk.

“Boleh saja, tapi bilang sama bapak dulu, boleh apa tidak?”
“Bapak, aku ikut mas Dian ya?” tanya Dina sambil membuka pintu.

Leo terpaksa turun, takut dikira tidak sopan. Ia juga menyalami Broto.

“Perkenalkan, saya Leo, bapaknya Dina.”
“Saya Broto..” sambut Broto ramah.
“Bapaknya Dian ?” tanya Leo menyelidik.
“Oh.. belum...” lalu Broto terkejut sendiri mengapa mengatakan belum, memangnya sudah akan menjadi bapaknya Dian? Tapi ucapan sudah terlanjur dilucurkan, bagaimana menariknya kembali?

“Mm.. maksud saya.. bukan..” itulah yang kemudian diucapkan untuk meralatnya. Tapi Leo terlanjur menerimanya sebagai ucapan yang sesungguhnya. Tapi dengan itu Leo tahu bahwa Dian bukan anaknya. Dada Leo berdegup kencang, lalu ditatapnya Ardian. Benarkah itu wajahnya? Kalau benar, apakah malam itu.....”
“Dina mau ikut bersama Dian, kalau pak Leo tidak keberatan,” kata Broto membuyarkan lamunan Leo.
“Oh, apakah tidak merepotkan?”
“Tidak, kami hanya berjalan-jalan..”
“Boleh kan pak?” rengek Dina.
“Baiklah, tapi Dina tidak boleh nakal ya.”

Dina melonjak-lonjak saking senangnya.
Leo kemudian berlalu, dengan benak masih diliputi banyak pertanyaan.
***

“Mas, tadi Dina jadi ditinggal dirumah mbak Yanti ?” tanya Rina ketika menelpon suaminya.
“Dian tidak ada, tapi ketemu dijalan. Lalu Dina minta turun, ya sudah, aku biarkan saja Dina jalan sama Dian.”
“Mas bagaimana sih? Anak-anak kecil dibiarkan jalan sendirian? Kemana mereka?” tanya rina khawatir.
“Tidak hanya berdua. Ada lagi seorang laki-laki.”
“Siapa ?”
“Yang datang ketika kita di acara perpisahan sekolahnya Dina itu.”
“Oh, siapa sih dia? Aku kemarin itu ingin berbicara sama dia, tapi ketika acara selesai mbak Yanti sudah nggak ada.”
“Nggak tahu aku, tapi karena sama Dian jugam dan Dina merengek-rengek.. ya sudah aku ijinkan mereka pergi.”
“Ya sudah, nanti sehabis memasak biar aku jemput kerumahnya mbak Yanti.”
“Nggak usah Rin, belum tentu mereka sudah pulang, biar aku saja yang menjemputnya,” kata Leo yang masih berharap bisa bertemu Dian tanpa laki-laki yang tadi bersamanya. Mudah-mudahan kesempatan itu ada.

“Oh, gitu ya, baiklah kalau begitu, aku tidak usah tergesa-gesa memasaknya.”
***

Broto tidak keberatan mengajak Dian dan Dina jalan-jalan. Ia meninggalkan mobilnya disuatu tempat, lalu mengajak Dian melihat-lihat, lalu kemudian bertemu Dina.

“Ayo kita masuk ke toko itu,” ajak Broto

Keduanya mengikuti dengan riang. Broto mengajaknya membeli es krim, sebelum berjalan lebih kedalam.

“Ada tas sekolah yang bagus. Kamu mau Dian?”
“Dian masih punya tas sekolah om, masih bisa dipakai,” kata Dian.
“Tapi di SMP pelajaran kamu lebih banyak, kamu harus memiliki tas yang lebih besar,” kata Broto sambil menarik keduanya dikiri dan kanan tangannya.
“Tapi om..”
“Dian .. kamu jangan menolak, om ingin membelikan sesuatu buat kamu sebelum besok om pulang ke Jakarta.”

Dian ragu-ragu, tapi Broto memaksanya.

“Ayo pilih.. mana yang kamu suka.. Lihat, itu yang merah.. bagus, gambarnya Spiderman..”
“Terserah om saja.”
“Baiklah, itu ya. Dina mau yang mana?”
“Yang mana ya...Dina sudah punya kok. Baru kemarin bapak belikan.”
“Baiklah, kita beli buku-buku saja ya, buku gambar dengan cerita menarik, ayo.. setelah membeli tas untuk mas Dian, kita akan mencari buku cerita bergambar.”
“Aku suka,, aku suka..” kata Dina sambil melonjak-lonjak. Kebiasaannya kalau hatinya sedang senang.
“Tapi kita segera pulang ya om, nanti ibu mencari saya.”
“O, iya.. nanti om juga akan mengantar kalian melihat rumahnya, tapi kita antarkan dulu Dina pulang. Ayuk kita belu buku dulu. Buku-buku dan semua keperluan sekolah kamu, dan buku cerita untuk Dina.”

Dian dan Dina senang sekali. Broto sangat pintar mengambil hati anak-anak kecil.
Ketika pulang masing-masing membawa bungkusan belanjaan yang mereka sukai.

“Kalau Dian mau pergi sama ibu, berarti kita antarkan Dina Dulu ya.”
“Ya om..”
“Rumah Dina dimana ?”
“Jalan Cempaka..” kata Dina. Ia sudah diberi tahu bapak ibunya, dimana alamat rumahnya. Dengan begitu sangat mudah bagi Broto untuk mengantarkan Dina pulang.
***

“Ibuu... aku sudah pulang..” teriak Dina begitu sampai dirumah.

Rina bergegas kedepan, dilihatnya Dina datang bersama Dian membawa bungkusan, dan Broto mengikutinyan dari belakang.

“Dina.. Dian.. darimana kalian?”
“Dari jalan-jalan sama om Broto, ini buku-buku cerita yang ada gambarnya, bagus-bagus deh bu,” kata Dina senang.
“Oh.. ya ampuun.. ini yang dulu datang bersama ibunya Dian di acara perpisahan sekolah ya?”
“Iya bu, saya Broto..”
“Saya Rina, ibunya Dina..”
“Tadi ketemu pak Leo dijalan.. lalu kami ajak Dina sekalian jalan-jalan.”
“Wah, ngrepotin kan anak saya, pakai minta buku segala..”
“Dina nggak minta kok.. “
“Iya bu, saya yang membelikan, biar anak-anak senang. Sekarang saya permisi dulu.. karena Dian akan pergi bersama ibunya.”
“Oh, baiklah, terimakasih banyak, mas Broto. Dina sudah bilang terimakasih?”
“Sudah bu..”

Ketika Broto dan Dian pergi, Dina segera lari kebelakang.

“Cuci kaki tangan dan ganti pakaian ya nak..”
“Ya bu..”
“Apakah yang namanya Broto itu calon suaminya mbak Yanti ya? Keren deh.. tampaknya orang berada, mobilnya bagus. Syukurlah, mbak Yanti kan wanita baik, cantik, rajin bekerja, sudah sepantasnya mendapatkan suami yang baik,” gumam Rina.
***

Leo menghentikan mobilnya didepan rumah Ika. Tapi dilihatnya rumah itu masih tertutup. Leo mendekati rumah, tapi tak ada suara apapun disana.

“Apa anak-anak belum kembali dari jalan-jalan ya? Wah, aku gagal menemui Dian lagi,” kata Leo sambil melangkah keluar halaman.

Namun ketika Leo sudah memasuki mobil, dilihatnya Ika dari arah belakang mobilnya, langsung masuk ke halaman.
Leo urung menstarter mobilnya. Ia turun dan perlahan masuk kehalaman. Dilihatnya Ika sudah masuk melalui samping rumah dan menstandard kan motornya, lalu melepas helmnya.

“Ika !” teriak Leo.

==========

Ika tertegun. Dilihatnya Leo melangkah kearahnya, begitu cepat. Bagaimana bisa menghindar? Ika terpaku ditempatnya. Apapun akan dihadapinya. Rupanya sudah sa’atnya semuanya akan terbuka. Dan Ika bersyukur karena Dian belum kelihatan.

“Ika, aku yakin kamu Ika.”
“Lalu apa?” sekarang dengan berani Ika menatap tajam Leo. Laki-laki ganteng yang sangat dibencinya, dan pertemuan dengannya sangat tak diharapkannya.

“Ika, biarkan aku bicara.”
“Bicara saja, aku menunggu.  Cepat katakan dan jangan sampai anakku mendengarkan.”
“Anakmu jalan-jalan dengan anakku, dan seorang laki-laki bernama Broto.”
“Baiklah, sekarang aku mau dengar, apa yang akan kamu bicarakan.”
“Aku minta ma’af Ika. Aku merasa bersalah sama kamu.”
“Hanya itu ?”
“Setelah lulus aku mencari kamu, tapi rumah kamu sudah dihuni orang lain, dan tak seorangpun tahu dimana kamu berada.”
“Ya, aku sudah pergi. Membawa luka yang kamu torehkan, Membawa harga diri aku yang kamu injak-injak. Membawa derita ketika ayahku tak tahan melihat anak gadisnya begitu sengsara.”
“Aku minta ma’af.. sungguh aku menyesal.”
“Sekarang pergilah, aku tak ingin melihat kamu lagi.”
“Ika, siapakah Dian?”
“Pentingkah kamu mengetahuinya? Bukankah dia anakku?”
“Ika, aku akan bersimpuh dihadapan kamu agar kamu mema’afkan aku.”
“Tidak perlu, aku sudah mema’afkan kamu. Tapi luka itu masih tetap ada, dan tak akan terhapus selamanya.”
“Siapa Ardian?”
“Sekali lagi aku mohon, pergilah..”
“Jawab dulu pertanyaanku. Apakah Ardian darah dagingku ?”

Ketika itu terdengar mobil berhenti. Leo menoleh, dan melihat Ardian bersama Broto turun dari mobil.

“Om, Dina sudah diantar pulang.”
“Oh, syukurlah.”
“Mas Broto, masuklah kerumah, tapi aku baru saja datang dan belum sempat membukanya. Pak Leo, anda sudah dengar bahwa Dina sudah diantar pulang bukan? Jadi anda bisa tenang.”
“O, pak Leo datang karena ingin menjemput Dina?” kata Broto.
“Iya mas, dia kan tidak tahu bahwa Dina sudah diantar pulang.”
“Pak Leo, saya akan membukakan pintu untuk mas Broto, apakah anda ingin duduk-duduk dulu didalam?”

Dada Leo seperti ingin meledak. Begitu manis sikap Ika terhadap Broto, jauh bedanya dengan sikapnya terhadapnya. Ingin rasanya dia menghajar laki-laki didepannya yang sebenarnya tersenyum ramah kepadanya.
Ika sudah masuk kedalam rumah melalui pintu samping, Dian mengikuti dari belakang, setelah mencium tangan Leo.
Leo tertegun. Sekarang hatinya tergetar, ketika tangan kecil itu menggenggamnya, lalu menariknya ke wajahnya.

“Rasanya si ganteng kecil ini anakku,” bisik batinnya sambil meremas tangan kecil itu.
“Silahkan masuk mas Broto,” teriak Ika dari dalam.

Tak ada yang harus dilakukan Leo kecuali hengkang dari sana. Ia masih berharap akan bisa kembali menemui Ika, tanpa diganggu oleh laki-laki bernama Broto itu.

“Mari pak Leo,” ajak Broto ramah.
“Terimakasih, saya pulang saja,” kata Leo sambil melangkah kearah depan, menghampiri mobilnya.
***

Broto masih menoleh kearah jalan, sampai  Leo menghilang dari pandangan. Ada perasaan aneh ketika melihat sikap Leo barusan.

“Apa pak Leo marah ya?”
“Tidak, mengapa marah ?”
“”Mungkin karena kecewa menjemput Dina tapi Dina sudah saya antar pulang.”
“Mungkin, tapi tidak apa-apa. Mas Broto kok membelikan banyak barang untuk Dian? Jadi ngrepotin ya.”
“Tidak mbak.. kan Dian sudah mau SMP, dia butuh tas yang lebih besar dan buku-buku untuk catatan. Supaya nanti mbak Ika tidak repot.”
“Sudah semestinya repot dong mas, namanya juga orang tua.”
“Oh ya mbak, hampir lupa, ini.. saya disuruh om Kartiman,” kata Broto sambil mengulurkan sebuah amplop coklat berukuran agak besar.
“Apa ini mas?”
“Itu uang sewa rumah yang kemarin dulu diminta om Kartiman padahal belum sa’atnya. Karena kebutuhan sudah tercukupi, maka uang ini dikembalikan.”
“Tapi sebetulnya tidak apa-apa mas, biar saja kalau pak Kartiman membutuhkan.”
“Tidak, tolong diterima.. om Kartiman biar saya yang mengurus, kan saya ini anaknya?” kata Broto sambil tersenyum.

Dengan alasan itu Ika kemudian menerimanya, dan bersyukur karena ia juga membutuhkan agar bisa segera pindah dari rumah itu, apalagi setelah pertemuannya dengan Leo. Ia harus pergi jauh, dimana Leo tak akan bisa menemukannya.

“Oh ya, katanya mbak Ika mau pergi sama Dian, mari saya antar sekalian.”
“Iya.. tapi.. nggak ah mas, kok jadi mas Broto repot terus untuk saya dan Dian. Biar saya naik motor saja. Bisa boncengan kok.”
“Jangan begitu mbak, saya sedang tidak punya pekerjaan, maunya main sama Dian terus. Ijinkan sekali ini saya mengantarkan mbak Ika.”
“Sesungguhnya saya ingin menunjukkan pada Dian, rumah kontrakan yang dekat dengan sekolahnya nanti.”
“Nah, kalau begitu biar saya ikut, supaya kalau saya kebetulan sedang liburan lagi, bisa main kerumah Dian.”

Ika tak bisa menolak, apalagi melihat Dian sudah berdiri dipintu dan siap untuk pergi.
***

“Oh iya mas, aku lupa bilang kalau Dina sudah diantar pulang. Itu.. yang mengantar sepertinya calonnya mbak Yanti apa ya.. Kelihatannya sih.”
“Mengapa tidak bilang?” kata Leo kasar. Ia ingin melampiaskan semua kekesalan yang memenuhi dadanya.
“Namanya juga lupa. Duuh.. kenapa sih gitu saja marah ?”
“Siapa yang marah? Aku nggak marah !” kata Leo, tapi suaranya kelihatan kalau dia sedang kesal.

Rina diam, tak biasanya Leo bersikap seperti itu. Mungkin ada masalah di kantor, atau apa. Ia mengajak Dina ke ruang makan, dimana Leo sudah duduk disana. Wajahnya kusut. Tapi Rina tak ingin mengatakan apa-apa. Dina masih kecil, kalau ada masalah, dia tak boleh tahu atau ikut merasakannya. Rina membubuhkan nasi ke piring suaminya.

“Jangan banyak-banyak, memangnya aku kuli?” katanya ketus.
“Oh, iya.. ma’af .. dikurangi ya mas.. “ kata Rina sambil terus mengembangkan senyuman, berusaha bersikap sangat manis, biarpun wajah Leo seperti ditekuk.
“Sayurnya mas ? Ambil sendiri atau diambilkan?”

Leo tak menjawab. Tapi langsung mengambil sendiri sayur dan lauknya. Makan cepat tanpa mengucapkan apapun. Rina pura-pura sibuk meladeni Dina, berusaha menyembunyikan sikap Leo yang tidak seperti biasa.

“Nambah lagi Dina? Enak kan masakan ibu?”
“Enak.. mengapa bapak cuma makan sedikit?” tanya Dina.
“Tidak apa-apa.. bapak sedang terburu-buru.. dan banyak pekerjaan. Ayo dihabisin.. mau nambah nggak? Nambah ya, biar gemuk.”
“Nambah dikit aja bu.. tapi ayamnya yang banyak..”
“Boleh.. nih.. ibu ambilkan.. Anak ibu, makan yang banyak ya, biar sehat.”
“Bapak makan sedikit.. nanti nggak sehat.. ya kan bu?”

Leo menghabiskan makanannya, kemudian berdiri.

“Kembali ke kantor sekarang mas?”
“Iya...” jawabnya sambil melangkah pergi. Rina mengikutinya sampai Leo memasuki mobilnya.
“Ada apa sih mas? Kok tiba-tiba marah-marah begitu?”
“Nggak ada apa-apa.. lagi nggak pengin omong saja,” jawabnya sambil masuk kedalam mobil.

Rina diam. Tanpa menatap isterinya Leo memundurkan mobilnya dan keluar dari halaman. Rina menghela nafas panjang. Tak biasanya Leo marah-marah seperti itu.

“Pasti ada masalah di kantor, biasanya tidak begitu. Mudah-mudahan sepulang dari kantor suasananya sudah lebih baik.”
“Ibuu...”
“Ya sayang..”
“Apa bapak marah ?”
“Tidak, bapak capek karena di kantor banyak pekerjaan. Sudah selesai makannya?”
“Sudah habis.”
“Anak pintar.”
“Dina mau ke kamar, membaca buku cerita yang om Broto belikan ya.”
“Iya nak, ibu mau bersih-bersih dulu, lalu kita akan tidur siang ya.”
***

“Rumah ini lumayan bagus mbak, tapi memang harus diperbaiki. Atapnya rusak disana sini, dan pasti bocor,” kata Broto ketika ikut melihat-lihat rumah yang dipilih Ika.
“Iya benar mas, saya sudah pikirkan. Kalau Dian suka, saya akan segera mencari tukang yang bisa memperbaiki dan mengecat, supaya kelihatan bersih.”
“Bagaimana Dian, kamu suka?” tanya Broto.
“Suka, berapa lama memperbaiki rumah ini?”
“Tidak akan lama, paling sehari dua hari selesai, asalkan tukangnya tidak sendiri,” kata Broto.
“Saya ingin secepatnya pindah. Kalau bisa besok,” kata Ika.
“Besok mbak? Begitu cepat?”
“Ya.. jadi saya akan segera pindah, memperbaiki bisa sambil jalan,” kata Ika nekat.
“Besok ya bu?”
“Ya. Pendaftaran sekolah kan sudah ibu urus, lihat, sekolah kamu kelihatan dari sini, itu memudahkan kamu pergi kesekolah.”
“Tapi kan bukan besok Dian masuk sekolahnya.”
“Tidak apa-apa, ibu ingin pindah secepatnya. Kan kita tidak akan membawa perabotan karena perabotan dirumah itu punya pak Kartiman. Dan disini juga sudah ada perabotannya.”
“Iya benar, ada meja kursi almari tempat tidur, cuma belum ada kasur dan bantal,” kata Dian.
“Kita bisa beli, kalau cuma itu.”

Broto dan Dian agak heran karena Ika ingin pindah secepatnya. Tapi Dian tidak pernah bertanya banyak kalau ibunya punya kemauan. Hanya Broto yang berpikir, pasti ada apa-apa.

“Apa mbak Ika marah sama om Kartiman atau ibu?” tanya Broto.
“Ya ampun, tidak mas.. masa saya marah sama pak Kartiman atau bu Kartiman. Mereka itu baik, seperti orang tua Ika sendiri.”
“Ah, syukurlah.”
“Sa’at ini saya hanya ingin pindah secepatnya.”

Kata-kata itu seperti menyiratkan bahwa dia tak boleh banyak bertanya. Dia juga diam saja, bahkan ikut membantu ketika Ika membersihkan rumah yang agak berdebu, setelah Ika menemui pemilik rumah yang letaknya diseberang jalan. Barangkali memastikan bahwa dia akan mengontraknya.

“Mas, sebaiknya mas pulang saja dulu, saya ingin bersih-bersih.”
“Nggak apa-apa mbak, saya akan bantu. “
“Pemilik rumah mengatakan bahwa ada tukang yang rumahnya disamping sana, siap membantu setiap sa’at."
“Oh, syukurlah.”

Ika membersihkan debu lalu menyapu seisi rumah. Rumah sederhana, dengan dua kamar tidur, satu kamar makan, ada dapur dan kamar mandi. Semuanya memang harus dibersihkan, tapi Ika tak peduli. Ia yakin Leo akan terus berusaha menemuinya lagi, dan menanyakan tentang Dian. Tidak, bukan karena tak ingin berterus terang, tapi ia tak ingin merusak rumah tangga bu Rina yang sangat baik.

Siang hari itu juga orang-orang yang akan membenahi rumah baru Ika sudah datang dan melihat kondisi rumahnya. Mereka bilang akan selesai  dalam dua hari, sudah berikut mengecat rumah.
Ika bersyukur karena pak Kartiman atau mungkin Broto sendiri mengembalikan uang kontrakan yang telah dibayarkan, sehingga dia bisa menyelesaikan semuanya dengan lancar.

Sore hari Ika baru pulang, itupun karena sungkan ada Broto yang ikut membantunya bersih-bersih.
***

Sore itu Rina pergi kerumah Ika, tapi rumah itu tertutup rapat. Ia ingin membayar belanjaan dan memesan untuk esok paginya, seperti biasa dilakukannya.

“Kok sepi ya.. apa mbak Yanti pergi?”
“Pasti mas Dian jalan-jalan lagi sama om Broto..” kata Dina yang ikut bersama ibunya.
“Iya juga sih, dan sore ini perginya sama bu Yanti juga.”
“Kita tunggu saja ya bu.”
“Ah, nggak bisa Dina, belum tentu mereka segera kembali. Lagian bapak sebentar lagi pasti pulang, kalau kita tidak ada nanti bapak bingung mencari.”
“Iya ya..”
“Ibu akan meninggalkan catatan dan uang yang akan ibu letakkan diatas meja itu saja.”
“Nanti kalau hilang bagaimana ?”
“Nggak, uangnya ibu taruh dibawah taplak meja, catatannya yang diatas, kalau dia mengambil catatan pasti terasa ada uang dibawah taplak.”
“Ibu mengapa tidak menelpon saja. Apa ibunya mas Dian tidak punya ponsel?”
“Ibu tidak tahu nomor kontaknya. Biar begini saja,” kata Rina sambil meletakkan catatan yang sudah disiapkannya dari rumah, dan meletakkan uang dibawah taplak. Lalu dia mengajak Dina pulang.

Tapi ketika keluar dari halaman, Rina melihat mobil suaminya melintas.

“Itu kan mobilnya bapak?” Dina yang lebih dulu berteriak.
“Iya, kok bapak dari kantor lewat sini sih.”
“Bapaaaak..” teriak Dina.

Leo menghentikan mobilnya.

“Mas, kok lewat sini?”
“Memangnya ada yang melarang?” kata Leo tanpa menatap isterinya.
“Enggak, kan dari kantor ke rumah harusnya tidak lewat sini?”
‘Terserah aku mau lewat mana,” kata Leo kemudian menjalankan mobilnya. Tadi ia menoleh kearah rumah Ika, agak terkejut melihat isterinya keluar dari sana.

“Barangkali Rina mau membayar belanjaan, beruntung ia tak melihat ketika aku ada dirumah itu,” pikir Leo yang tak tahu bahwa Ika tak ada.

Hanya selang beberapa menit kemudian ketika memasuki rumahnya. Untunglah mereka sudah pergi. Lalu sebelum membuka pintu dilihatnya selembar kertas pesanan Rina, dan uang dibawah taplak.
Ika menghela nafas.

“Tidak lagi, aku akan mengembalikan semua ini, entah bagaimana caranya,” katanya dalam hati.
***

Pagi hari itu Rina terkejut, ketika seorang tukang sampah memberikan amplop berisi uang dan catatan yang kemarin diantarkannya kerumah Ika.

“Lho, pak.. ini siapa yang memberikan?”
“mBaknya tukang sayur, katanya karena tergesa-gesa, lalu minta tolong saya memberikan surat ini.”
“Aneh mbak Yanti itu. Mau kemana dia?”
“Saya tidak tahu bu. Katanya akan lama tidak jualan. Baiklah saya permisi..”

Rina bengong, sampai lupa tidak memberi tip untuk tukang sampah yang mengantarkan surat pesanan dan uang yang dikembalikan.

“Menurut aku, mbak Yanti itu aneh,” omelnya sambil memasuki rumah.
“Ada apa?” tanya Leo yang berpapasan ketika keluar dari kamar.
“Ini, tukang sayur mengembalikan uang dan pesanan aku, katanya nggak akan jualan beberapa hari. Repot kan aku?”
“Repot bagaimana?”
“Aku tuh tidak biasa ke pasar, nggak suka, kotor dan bau.”
“Kamu itu perempuan atau bukan? Masa perempuan tidak suka masuk pasar? Jangan jadi perempuan kalau begitu,” kata Leo sengit.

Rina terkejut. Sejak kemarin Leo bicara dengan kasar.

“Mas, kok gitu sih sejak kemarin? Apa salahku mas?”
“Salahmu adalah, mengapa kamu hadir dalam kehidupan aku !”

Rina terhenyak. Serasa bermimpi mendengar kata-kata suaminya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER