Cerita bersambung
“Iya om, nanti kalau sudah ketemu yang cocok..” kata Broto sambil tersenyum, dan kembali wajah gadis penjaja sayur itu terbayang.
Tampaknya umurnya tak jauh dibawahnya, atau mungkin sepantaran. Tapi sudah punya anak segede itu.
“Memangnya kenapa kalau dia sudah punya anak? Dan sepertinya dia cukup menderita dengan membesarkan anak seorang diri,” pikir Broto.
“Apa yang kamu pikirkan Broto?” tiba-tiba bu Kartiman nyeletuk.
“Oh, ibu sudah bangun?” kata Broto sambil mendekat.
“Aku mendengar semuanya. Om kamu benar, kamu sebaiknya segera mencari isteri, keburu tua. Ya kalau aku masih bisa menunggui kamu menikah, kalau enggak?”
“Mengapa ibu berkata begitu? Ibu akan kembali sehat, dan nanti menunggui sampai Broto punya anak banyak. Ya kan bu?”
“Berharap yang terbaik bu, jangan berpikir yang tidak-tidak,” sambung pak Kartiman.
“Kata dokter bagaimana om, apakah ibu masih akan lama dirawat dirumah sakit?”
“Ibumu sudah semakin baik, kamu lihat, wajahnya sudah tidak sepucat semula. Kalau tidak apa-apa, aku akan merawatnya dirumah saja, supaya tidak kebanyakan biaya.”
“Om, saya kira tidak usah tergesa-gesa membawa ibu pulang. Biar benar-benar sehat dulu, so’al biaya biar Broto yang memikirkannya.”
“Jangan le, ibu sama om mu itu tidak ingin menyusahkan kamu,” kata bu Kartiman.
“Benar, sa’atnya kamu memikirkan diri kamu sendiri. Setiap bulan kamu sudah mengirimi kami uang, dan itu sudah cukup.”
“Mengapa om berkata begitu ? Apa yang om dan ibu lakukan sejak Broto masih kecil, tak ternilai harganya. Apa artinya uang bulanan yang tidak seberapa itu? Tidak, biarkan Broto melakukan apa saja untuk kesembuhan ibu.”
“Bukankah kamu juga harus memikirkan hidup kamu? Nanti isteri kamu kecewa kalau kamu tidak bisa membahagiakannya.”
“Seorang isteri yang baik harus bisa menerima apapun keadaan suaminya. Nanti Broto akan mencari isteri yang baik itu om, percayalah.”
“Ya sudah le, terserah kamu saja. Malam ini kamu pulang kerumah ya, tidur dirumah kan lebih enak, aku biar disini saja nungguin ibumu,” kata pak Kartiman sambil mengusap setitik air matanya. Mau tak mau ia terharu mendengar penuturan Broto.
“Bolehkan saya juga ikut menunggui ibu disini? Nggak apa-apa, saya akan menggelar tikar dibawah.”
“Kamu kan baru datang, kamu butuh mandi, ganti pakaian. Ya kan?”
“Iya, ini Broto mau pulang dulu, mandi, ganti pakaian, lalu kembali kesini.”
“Anak baik.. semoga kamu segera menemukan kebahagiaan,” kata bu Kartiman yang memang sudah tampak lebih segar.
“Aamiin.. do’akan Broto ya bu.”
“Do’a ibu selalu untuk kamu nak.”
***
“Apakah sakitnya bu Kartiman itu parah bu?” tanya Dian ketika ibunya sudah sampai dirumah.
“Semula lumayan parah, tapi ketika ibu datang tadi, wajahnya sudah tidak pucat semula. Waktu ibu kerumahnya, wajahnya pucat sekali.”
“Berarti segera sembuh ya bu?”
“Iya nak, semoga bu Kartiman segera sembuh.”
“Siapa yang tadi datang membezoek bu Kartiman bersama ibu?”
“Itu keponakannya pak Kartiman, tapi seperti diangkat anak oleh pak Kartiman.”
“Kok seperti tidak pernah lihat ya bu.”
“Karena dia bekerja di Jakarta, baru datang sore tadi.”
“O.. pasti dia kaya, mobilnya bagus, tadi Dian melihatnya.”
“Iya, pastinya.”
“Ibu sudah jadi mencari rumah yang didekat sekolah Dian nanti ?”
“Belum nak, mungkin besok.. karena kemarin itu agak banyak yang pesan, ibu pulang sudah siang.”
“Iya bu, nggak apa-apa, cuma ingin tahu saja.”
“Besok kamu ke sekolah ?”
“Iya bu, hanya latihan untuk acara perpisahan besok. Tapi pulangnya juga nggak siang-siang amat.”
“Ya sudah nggak apa-apa.. duuh, ibu buru-buru ingin melihat kamu baca puisi di panggung.”
“Ibu.. “ kata Dian tersipu.
“Puisinya kamu yang buat?”
“Iya.. tapi jelek bu, nanti jangan ditertawakan ya?”
“Ya enggak.. masa sebuah karya ditertawakan? Ibu bangga kalau kamu bisa melakukan sesuatu yang baik.”
“Benar ya bu, jangan ditertawakan?”
“Enggak sayang, nanti ibu akan bertepuk tangan lebih keras dari yang lain.”
Tapi tiba-tiba Ika kembali terbayang bagaimana kalau ketemu Leo. Bagaimana caranya menghindar sementara Rina pasti mengenalnya lalu berteriak memanggil, duh.. bagaimana ia bisa menghindar?”
“Biasanya bersembunyi dibalik helm, masa dalam suatu acara aku harus memakai helm, bisa jadi bahan tertawaan dong,” pikir Ika bingung.
“Permisi...”
Ika melongok ke depan, tapi Dian sudah berlari lebih dulu.
“Mencari siapa pak?”
“Anak ganteng, kamu putranya mbak Ika?”
“Iya..” jawab Dian bingung.”
“Ayo salaman dulu, ini om Broto..”
Dengan ragu Dian menyalami laki-laki gagah didepannya.
“Oh, ada mas Broto, katanya kembali ke rumah sakit?” tiba-tiba Ika muncul.
“Iya, sekarang mau pulang, mandi.”
“Oh..”
“Tapi ma’af mbak, bolehkah saya numpang mandi disini? Air dirumah om Kartiman macet, nggak nyala.”
“Baiklah, silahkan mas.”
“Saya pulang dulu mengambil handuk dan ganti pakaian. Sungguh saya minta ma’af telah mengganggu.”
“Tidak apa-apa mas..”
Ketika Broto berlalu, Ika menyuruh Dian menyalakan air di kamar mandi, karena setelah dipakai bak mandinya jadi tidak penuh.
“Itu tadi yang bersama ibu ke rumah sakit?”
“Iya nak, itu keponakannya pak Kartiman. Tolong nanti persilahkan masuk ya. Tunjukkan dimana kamar mandinya.”
“Ya bu.”
Ika masuk kedalam, nggak enak menunggui laki-laki asing yang mau mandi.
***
Ketika pagi remang itu Ika keluar dari halaman rumah, dilihatnya Broto sedang turun dari mobilnya. Broto mengembangkan senyumnya dan melangkah mendekat, membuat Ika kemudian menghentikan motornya.
“Mau berangkat ke pasar mbak?”
“Iya mas, harus ke pasar dulu, baru muter nemuin langganan.”
“Rajin sekali..”
“Biasa mas, setiap hari juga begini. Kalau kesiangan para langganan sudah pada pergi kepasar sendiri. Tadi tidur dirumah sakit?”
“Iya, menemani om Kartiman. Kebetulan saya cuti seminggu, jadi bisa ikut menunggu dirumah sakit. Tapi sepertinya dua atau tiga hari lagi boleh pulang kok.”
“Syukurlah mas, saya ikut senang. Saya pergi dulu ya mas, kalau mas mau mandi, ada Dian dirumah, dia ke sekolah agak siang.”
“Baiklah, terimakasih mbak.”
Ika berlalu setelah menganggukkan kepalanya. Broto terpaku ditempatnya, tak berkedip memandangi Ika dari belakang, sampai menghilang ditikungan.
Broto ingin kembali ke rumah pak Kartiman yang ada disebelah, tapi dilihatnya Dian berdiri di teras.
“Diaaan.” Broto memanggil, lalu melangkah mendekat.
“Ya om..”
“Nanti om mau numpang mandi lagi, boleh ?”
“Boleh om.”
“Ke sekolah jam berapa?”
“Agak siang, So’alnya sudah nggak ada pelajaran, sudah lulusan.”
“Wauww.. Dian sudah lulus ? Bagus nggak nilainya?”
Dian hanya tersenyum, masa dia harus bilang kalau juara? Tidak, mewarisi watak ibunya, Dian sangat lembut dan rendah hati.
“Baiklah, om mengambil handuk dulu ya.”
“Ya om..”
***
Selesai mandi, Broto belum kembali kerumah pak Kartiman. Ia menemani Dian yang sedang mengelap sepedanya.
“Mau berangkat jam berapa?”
“Agak siang nggak apa-apa, kan tidak ada pelajaran.”
“Kalau begitu ngapain datang ke sekolah?”
“Ada latihan-latihan untuk acara perpisahan om.”
“Oh.. Dian mau mengisi acara apa?”
“Nggak kok..” jawabnya malu-malu.
“Nggak bagaimana ?”
“Hanya.. baca puisi..”
“Wauw, hebat.. puisinya yang bikin Dian sendiri?”
Dian mengangguk.
Broto sangat mengagumi Ika yang gigih bekerja, dan sekarang dia mengagumi Dian yang ramah dan baik hati. Ganteng lagi.
“Tampaknya Dian juga pintar di sekolah.”
“Nggak, biasa saja.”
“Kapan acara perpisahannya?”
“Hari Minggu ini om..”
“Lhoh.. empat hari lagi? Om boleh datang dong..”
“Boleh ..”
“Nanti bilang sama ibu, kalau om mau ikut melihat Dian baca puisi ya.”
***
“Gimana bu, sekarang rasanya badanmu, sudah lebih enak kan?” tanya pak Kartiman pada isterinya.
“Sudah pak, lha kok ya nggak boleh pulang sekarang ya?”
“Nunggu dokternya bu. Kemarin itu katanya dua atau tiga hari lagi, tapi kalau nanti dokternya bilang oke, ya mungkin besok boleh pulang.”
“Masih besok.. nggak kerasan aku disini.”
“Ibu itu aneh, siapa juga yang kerasan tidur di rumah sakit ? Biar makan tidur dilayani, pasti nggak ada yang suka.”
“Iya. Lha mana, Broto kok lama sekali belum kembali, katanya cuma mau mandi?”
“Mungkin setelah mandi dia jalan-jalan, cari makan atau apa bu, nanti juga pasti kemari.”
“Semalam dia bilang bahwa air dirumah kita tidak mengalir ya pak?”
“Iya, kemudian dia mandi rutempatnya mbak Ika.”
“Ada yang rusak atau bagaimana ?”
“Ini kan kemarau bu, jadi sebenarnya kalau bapak ada, ya bapak kasih tahu kalau sebelum memompa harus dipancing dulu airnya.”
“Iya, kok tadi bapak nggak ngasih tahu?”
“Biar saja bu, kasihan kalau dia susah-susah hanya untuk mandi. Paling-paling dia sudah mandi rumahnya mbak Ika lagi.”
“Kasihan kalau mengganggu mbak Ika terus.”
“mBak Ika memompa airnya dulu ke tandon di atas, pakai sedotan Sanyo itu, jadi ya nggak begitu susah.”
“Hayo.. lagi ngomongin Broto ya?” tiba-tiba Broto sudah muncul diantara mereka.
“Wah, panjang umur kamu le. Ibumu menanyakan kamu terus, kok nggak datang-datang, gitu.”
“Bu, Broto akan ada disini selama seminggu, jadi lebih banyak waktu nanti bersama ibu dan om.”
“Iya, ibu tahu. Kamu tadi mandi dimana ?”
“Di tempatnya mbak Ika. Kan airnya belum bisa juga bu.”
“Tuh kan bu, apa kata bapak, dia mandi di rumah tempat mbak Ika.”
“Jangan-jangan kamu memang suka mandi disana karena mbak Ika kan cantik?” seloroh bu Kartiman.
Broto hanya tertawa.
“Ibu bisa saja. Broto kesana kan karena air dirumah kita tidak mengalir?”
“Sebetulnya bisa, tapi pompanya harus diguyur air dulu sambil dipompa-pompa gitu. Maklum, kalau kemarau memang begitu, harus dipancing.”
“Oh, gitu ya om.”
“Kalau lebih senang mandi disana ya biar saja pak, lihat tuh, dia senyum-senyum gitu. Kamu tertarik ya sama dia?” seloroh bu Kartiman lagi.
“Ibu jangan begitu, masa Broto mau sama nak Ika yang sudah janda? Gadis-gadis di Jakarta kan cantik-cantik?” kata pak Kartiman.
“Memangnya kenapa kalau sudah janda om?” kata Broto.
“O.. jadi benarkah?”
“Apanya om ?”
“Itu, apa yang diungkapkan ibumu? Tentang mbak Ika?”
Broto tertawa terbahak. Tak ingin mengatakan apapun, tapi wajah cerah kemerahan itu tertangkap oleh Kartiman. Benarkah anak angkatnya suka sama Ika? Ika memang cantik, tapi pantaskah seorang manager perusahaan besar mempersunting seorang tukang sayur? Pak Kartiman merasa ragu.
“Om, tadi saya sudah membayar semua biaya untuk ibu selama dirawat. Masih ada saya titipkan beberapa sampai ibu boleh pulang nanti. Kurangnya nanti akan saya tambahkan.”
“Broto, mengapa kamu membayar semuanya? Om sudah menyiapkannya untuk itu.”
“Tidak om, ini kewajiban saya, om jangan memikirkan apa-apa.”
***
“Bu, jangan lupa, nanti om Broto mau ikut ke perpisahan sekolah Dian,” kata Dian sebelum berangkat.
“Aduuh, mengapa ya.. kamu pasti bicara tentang acara disekolah kamu.”
“Iya bu, memangnya kenapa kalau dia ikut ? Biar saja bu, kan dia tidak akan mengganggu.”
“Iya sih..”
“Selamat pagi...”
Dian berlari kedepan. Dilihatnya Broto berdiri didepan teras.
“Dian mau berangkat sekarang?”
“Iya om.”
“Bilang sama ibu, bareng sama om, naik mobil om saja.”
“Aduh, mas Broto, jadi ngrepotin.. saya mau boncengan saja sama Dian.”
“Jangan begitu mbak, saya ingin menyaksikan Dian baca puisi, masa berangkat sendiri-sendiri?”
“Iya bu.. biar saja. Masa ibu naik sepeda motor, lalu om Broto ngikut dibelakang..” kata Dian seenaknya, padahal ibunya merasa sungkan.
“Ayo kita berangkat sekarang mbak.”
“Ah, ya sudahlah, terimakasih mas,” kata Ika pada akhirnya.
Ketiganya berangkat ke sekolah Dian. Dian duduk didepan, tampaknya senang sekali. Baru dua kali dia naik mobil, dulu ketika pulang sekolah bersama Dian, sekarang naik mobilnya Broto.
“Om dari Jakarta naik mobil sendiri?” tanya Dian yang mulai akrab dengan Broto. Dian duduk didepan disamping kemudi, sedangkan ibunya dibelakang. Agak heran melihat Dian sangat akrab dengan Broto. Ika tidak tahu bahwa setiap pagi ketika Broto menumpang mandi, pasti keduanya ngobrol kesana kemari.
“Iya. Om lebih suka mengendarai mobil sendiri, santai, tidak diburu waktu. Setibanya disini kalau mau kemana-mana juga tidak usah mencari taksi.”
Dian mengangguk sambil tersenyum.
“Itu sekolah Dian sudah kelihatan om,” tiba-tiba Dian berteriak.
“Oh, nggak begitu jauh ya?”
Mobil Broto berhenti didekat sekolah, tidak persis didepan sekolah. Dian heran karena ibunya kemudian mengenakan kacamata hitam yang lebar.
“Ibu.. kaca mata baru ya?”
Ika tersenyum, jari telunjuk ditutupkan didepan mulut, pertanda meminta agar Dian tidak banyak bicara.
“Ibu cantik..” bisik Dian.
Ika mengikuti Dian masuk ke halaman, tapi tiba-tiba didengarnya Rina berteriak.
“Itu mas Diaaaan..” teriak Rina.
Ika pucat pasti, ada Leo diantara Rina dan Dina. Lebih pucat lagi ketika melihat Leo menatapnya tak berkedip.
==========
......Ketika dengan tubuh gemetar Ika bingung harus menunggu Rina yang mendekatinya atau meninggalkannya, tiba-tiba seorang panitia mendekat.
“Ibu wali murid dari anak kelas enam?” tanyanya.
“Iya, benar.”
“Masuk lewat sini bu, tempatnya disendirikan.”
“Mendengar hal itu Ika segera melangkah kearah yang ditunjuk, sambil... menggandeng lengan Broto.
Aduhai, Broto sangat terkejut ketika tiba-tiba Ika menggandengnya. Barangkali juga dia gemetar. Sayangnya hanya beberapa langkah saja, kemudian tangan itu melepaskan pegangannya.
“Ma’af mas..” kata Ika lirih.
Broto tersenyum. Dalam hati dia berkata mengapa harus meminta ma’af ?
Digandeng seumur hidup juga mau kok. Ahaaa.. sayangnya ia hanya berkata dalam hati, seandainya diucapkannya barangkali Ika justru akan lari terbirit-birit.
Ika dan Broto bak sepasang suami isteri, didudukkannya di kursi depan, karena bagi orang tua murid yang anaknya sudah akan meninggalkan sekolah itu memang didudukkan dibagian depan.
Ika mencari-cari Dian, mengapa tidak mengikutinya. Ternyata Dian masih ada dibelakang, berbincang dengan si cantik Dina. Ika membiarkannya, asalkan jangan mengajak dirinya mendekati kedua orang tua Dina.
“Siapa tadi ?” tanya Leo ketika keduanya sudah dipersilahkan duduk oleh penerima tamu.
“Yang mana? Yang pakai kacamata hitam tadi?”
“Iya..”
“Hm, jangan bilang mas terpesona ya, dia cantik bukan?”
“Kamu itu ditanya apa.. jawabnya apa.. “ kata Leo sambil bersungut.
“Itu tadi kan ibunya Dian.. mbak Yanti tukang sayur. Cantik sekali, aku hampir tidak mengenalnya. Penampilannya beda sih.”
“Yang sama Dina itu, namanya Dian?”
“Iya.. ganteng ya. Heran aku, kok wajahnya mirip kamu ya mas?”
“Kamu ini ada-ada saja. Masa anak tukang sayur wajahnya mirip aku?”
“Lho mas, memangnya kenapa? Memangnya yang boleh punya wajah ganteng cuma pemilik perusahaan terkenal? Anak tukang sayur nggak boleh ganteng?”
“Boleh saja, tapi jangan bilang mirip aku dong..”
“Memang iya..” kata Rina sambil tertawa.
“Hmmm...”
“Lihat mas, Dina sama Dian itu kan seperti saudara kandung? Mirip bukan?”
Tapi Leo tidak menjawab. Ia masih terbayang wajah cantik berkacamata hitam yang kemudian menjauh sambil menggandeng laki-laki ganteng yang datang bersamanya. Leo merasa mengenalnya. Biarpun wajahnya tersamar oleh kacamata hitam, tapi ada yang serasa dikenalnya. Apanya ya? Leo sibuk mengingat-ingat. Tukang sayur, cantik.. kapan dia berkenalan dengan tukang sayur cantik? Dia mirip seseorang. Leo hampir mengingatnya, ketika tiba-tiba dari pengeras suara seorang pembawa acara membacakan acara yang akan digelar.
Ah, Leo tak peduli. Ia kembali mengingat ingat. Ia juga tak peduli ketika acara demi acara disuguhkan. Matanya menatap ke arah panggung, tapi pikirannya selalu ke arah wanita cantik berkaca-mata hitam.
“Apa aku sudah gila? Apakah aku hanya tertarik kepada wajah cantik itu, lalu merasa pernah mengingatnya? Tidaak, Leo bukan mata keranjang. Tapi bukankah semua wajah cantik itu menarik? Hushh! Leo, bukankah isterimu juga cantik? Tapi mengapa wajah itu mengganggu kamu? Sungguh aku tidak bohong, aku pernah mengenalnya. Siapa tadi namanya, mm.. isteriku memanggilnya Yanti. Pernahkah aku mengenal seorang wanita dengan nama Yanti?” Leo berbicara dengan batinnya sendiri, dan perasaan seperti itu tak pernah dirasakan sebelumnya.
Pidato demi pidato lewat begitu saja dari perhatiannya. Sudah sering dia mendengarkan pidato, dan itu membosankan. Dia sendiri setiap harus memberikan sambutan di setiap acara, tak pernah sepanjang yang didengarnya.
Lalu sebuah gemuruh tepuk tangan memenuhi ruangan itu. Leo menatap keatas panggung. Seorang anak berdiri disana, lalu disusul dengan anak-anak lainnya, yang ketika naik keatas panggung selalu diiringi dengan tepukan yang membahana.
“Apa itu?” tanya Leo.
“Mas itu gimana sih? Nggak dengar atau nggak memperhatikan? Itu kan anak kelas enam yang lulus dengan nilai terbaik disekolah ini. Yang nomor satu itu Dian, lihat, Dina melonjak-lonjak didepan. Senang dia, sahabatnya adalah juara,” kata Rina penuh semangat.
Lalu Leo memperhatikan anak-anak itu, terutama si juara yang menurut isterinya wajahnya ganteng mirip dirinya.
“Dia...” serunya. Leo tiba-tiba teringat pernah marah kepada anak itu, bahkan hampir menamparnya.
“Ada apa dia?”
“Aku hampir menabraknya ketika dia menyeberang tanpa melihat jalan.”
“Ya ampun mas, hati-hati dong kalau mengemudi. Untung baru hampir, kalau menabrak beneran bagaimana?”
“Kok aku yang disalahin sih, dia itu, nyebrang nggak ngelihat kiri kanan. Aku marah, habis aku terkejut sekali, jantungku hampor copot,” omelnya.
“Sabar lah mas, dia kan anak-anak.”
“Aku sudah sabar tuh, untung sepertinya ibunya segera datang lalu mengajaknya minggir. Eh, apa dia wanita yang berkaca mata hitam itu tadi ya?”
“Lhoh, mas tadi kan sudah melihatnya. Menurut mas wajahnya sama atau tidak?”
“Dulu aku nggak perhatian, dia memakai helm, kemudian buru-buru menarik anaknya minggir.”
“Acara selanjutnya adalah...”
Leo dan Rina menoleh kearah panggung, anak-anak yang meraih nilai terbaik sudah turun dari atas panggung.
“Pembacaan puisi oleh anak kita... Ardian..” lanjut pembawa acara.
Tepuk tangan kembali terdengar.
“Mas, sang juara akan membaca puisi,” seru Rina.
“Ardian.. namanya mirip dengan namaku. Leo Ardiansyah.. hm.. mengapa aku harus memikirkannya? Terserah orang tuanya anaknya mau dinamakan apa,” kata Leo dalam hati.
Ardian sudah naik keatas panggung, lalu membungkukkan badannya penuh hormat. Senyap seketika, lalu sebuah alunan musik lembut terdengar.
“UNTUK IBU.
Ibu,
Barangkali kalau aku melihat seorang bidadari
Itu adalah ibu
Wajah cantik dan lembutmu
Adalah bidadari bersayap yang setiap hari menghiasi mimpi dan jagaku
Engkau adalah pohon rindang tempatku bernaung
Engkau adalah matahari penerang jiwa ketika lelah dan suntuk
Engkau adalah bintang penghias hidupku
Engkau adalah bulan penghangat malamku
Ibu,
Aku tahu, kau sembunyikan letih dan lelahmu
Kau sembunyikan tetesan keringat yang tak berhenti membasah
Agar aku terus melangkah, Agar aku bisa meraih asa dan harap
Dan aku tumbuh dalam gelimang kasih sayangmu
Yang tak henti mengguyur hidupku
Ibu,
pohon rindangku, matahari penghangat jiwaku, penghangat ladang kehidupan yang tak pernah berhenti bergulir
Tanamkan dihatimu, aku sayang ibu.
Lalu tepuk tangan yang sangat riuh terdengar, gemuruh dan panjang, lalu tetes mata diantara para hadirin tampak membasahi pipi. Suara Dian melengking keras, mengharu biru, lalu sebelum membungkukkan tubuhnya, Dian mengusap dulu air matanya.
Ika sibuk mengusap air matanya. Batinnya bagai teriris, mendengar Dian seakan memujanya. Tapi dia bahagia, mendengar Dian berkata bahwa dia menyayanginya.
Tepukan belum berhenti ketika Dian turun dari atas panggung. Beberapa guru berdiri dan menyalaminya, bahkan ada yang memeluknya erat.
“Dian, kamu luar biasa,” bisik beberapa guru.
“Terimakasih,” hanya itu yang diucapkannya, lalu dia berlari mendekati ibunya, dan memeluknya erat.
“Terimakasih nak,” bisik Ika sambil menghamburkan air matanya. Broto merogoh sapu tangannya, diulurkan kearah Dian, lalu Dian mengusap air mata itu.
“Dian memang hebat,” kata Broto yang kemudian juga menyalaminya dan memeluknya.
“Mas Diaaaan..” teriak Dina membuat Dian melepaskan pelukan Broto.
“Hadiah untuk mas Dian..” lanjut Dina sambil mengulurkan sebuah bungkusan kecil.
“Apa ini?”
“Buka aja..” kata Dina kemayu.
Dibantu Broto, Dian membuka bungkusan yang diberikan Dina.
“Wauww.. sebuah jam tangan..” teriak Dian dengan wajah berseri. Sudah lama Dian ingin memiliki jam tangan, tapi takut memintanya, dan dekarang Dina memberinya hadiah.
“Bagus kan mas?”
“Bagus sekali. Siapa membelinya?”
“Aku sama ibu. Kata ibu, ini hadiah bagus untuk mas Dian.”
“Terimakasih Dina..”
“Ayo dipakai mas.. cepatlah, dipakai..” desak Dina.
Lalu Dian memakainya, kembali Broto membantunya.
“Waah.. bagus Dian, kamu bertambah ganteng,” puji Broto.
“Bu, aku ke bu Rina dulu untuk mengucapkan terimakasih ya,” kata Dian.
Ika ingin mencegahnya, karena tak ingin Dian mendekati Leo, tapi Dian sudah berlari diikuti Dina mendekati ibunya.
“Bu Rina, terimakasih ya,” kata Dian ketika sudah ada didekat Rina.
“Anak pintar, terimakasih kembali, kamu suka?” kata Rina sambil memeluk Dian.
“Suka sekali bu,” jawab Dian sambil mengangguk.
“Itu bapak aku,” kata Dina.
“Terimakasih om..”
Leo menatap Dian tak berkedip.
“Kamu anak kecil yang hampir tertabrak mobilku kan? Ingat nggak ?”
Dian menatap Leo, mengingat-ingat.
“Oh iya.. itu om galak yang hampir menampar aku waktu itu,” bisik batin Dian.
Dian undur kebelakang, mengira om ganteng itu masih ingin memarahinya.
“Tidak apa-apa Dian, itu pelajaran buat kamu, agar kamu lebih berhati-hati ketika mengendarai sepeda dijalan. Ya?” kata Rina ramah.
Dian mengangguk, lalu membalikkan tubuhnya, kembali kepada ibunya.
“Mas, tampaknya acara tinggal ramah tamah saja, saya mau pulang duluan,” kata Ika kepada Broto.
“Oh, pulang? Baiklah.. mana Dian?”
Ika melambaikan tangannya ke arah Dian, yang memang sedang menuju ke arahnya.
“Ya bu.”
“Kepala ibu agak pusing, kita pulang sekarang ya?”
“Pusing? Dian ambilkan obat di ruang guru ya?” kata Dian khawatir.
“Tidak, dirumah ada obat kok. Yang penting kita pulang dulu, lewat samping saja, sungkan dilihat orang kalau mendahului pulang.”
“Baiklah, lewat samping juga bisa,” jawab Dian.
***
“Kemana Broto tadi pak, kok dari tadi aku nggak lihat?”
“Tadi mau pamit, ibu sedang tidur. Dia mengantar mbak Ika sama Dian ke acara perpisahan sekolahnya Dian.”
“O.. gitu ya? Kelihatannya Broto sangat perhatian sama nak Ika..”
“Itulah yang aku tidak tahu bu, kalau ditanya dia cuma tertawa saja. Apa benar Broto suka, atau hanya karena kasihan saja.”
“Seandainya Broto suka sama nak Ika, apa bapak juga setuju?”
“Itu tergantung yang mau menjalani kan bu, kalau Broto suka, mbak Ika juga suka, ya silahkan saja.”
“Nak Ika itu baik, memang dia sudah punya anak sebesar Dian. Tapi kalau Broto main-main ya kasihan nak Ika.”
“Mereka kan baru beberapa hari bertemu, kalau seorang laki-laki melihat wanita cantik biasanya terus responnya pengin kenal.. pengin dekat.. tapi itu bukan berarti lalu Broto ingin mengambilnya sebagai isteri kan bu.”
“Iya sih.. Ya semoga saja Broto bisa menemukan yang terbaik untuk pendampingnya. Sudah sekian lama kok ya nggak ketemu-ketemu, yang dicari itu yang seperti apa?”
“Mestinya yang cocok dihati, ya kan bu.”
“Pastinya..”
“Obatnya diminum dulu lho bu, nanti ibu lupa.”
“Nggak, ini sudah ibu siapkan, tinggal minum saja. Biar aku mengambil sendiri pak minumnya, tidak usah dilayani terus, aku kan sudah sembuh.”
“Ya belum benar-benar sembuh, masih pemulihan, dokter kan bilang ibu harus hati-hati dan lebih banyak beristirahat.”
“Iya.. iya.. ibu sudah tahu.”
***
“mBak Ika benar-benar pusing ?” kata Broto setelah sampai dirumah.
“Enggak mas, sudah mendingan, “
“Kalau masih pusing, kelihatannya saya punya obat pusing dirumah, saya ambilkan dulu ya mbak.”
“Oh, tidak usah mas, saya punya kok. Terimakasih banyak sudah diantarkan ke acara perpisahannya Dian.”
“Sama-sama mbak. Tapi aku suka, meriah sekali, dan paling berkesan adalah ketika Dian membaca puisi.. hebat dia bisa membuat puisi seindah itu, dan membacanya dengan penuh perasaan. Kalau pantas saya ingin menangis tadi.”
“Saya juga tidak tahu bagaimana dia bisa melakukannya. Anak itu sering melakukan hal yang tak terduga.”
“Anak hebat.”
“Terimakasih mas.”
“Barangkali mbak Ika butuh istirahat karena agak kurang enak badan, saya pamit dulu ya mbak. Kalau butuh apa-apa biar Dian menemui saya.”
“Iya mas, terimakasih banyak.
***
“Dian, ibu sudah menemukan rumah didekat sekolah kamu besok. Menurut ibu sih lumayan, kita harus mendandaninya sedikit, karena itu rumah lama, ada yang bocor juga.”
“Bolehkah Dian ikut melihatnya ?”
“Nanti sepulang dari jualan, ibu ajak kamu ke sana. Barangkali kamu suka.”
“Baiklah bu.. ibu cepat pulang ya?”
“Iya, secepatnya ibu pulang. Mudah-mudahan dagangannya laris ya nak.”
“Aamiin.”
Ika sudah berangkat ke pasar ketika Broto datang ke rumahnya.
“Diaaan...”
Dian yang mendengar suara Broto segera lari kedepan.
“Om Broto mau mandi disini?”
“Tidak, dirumah sudah ada air. Pak Kartiman sudah mengajari bagaimana memompa air, jadi sudah beberapa hari ini mandi dirumah.”
“Oh, baguslah om.”
“Dian sudah mandi ?”
“Sudah om.”
“Ibu sudah berangkat ?”
“Sudah dari tadi.. barangkali ini sudah muter-muter di kampung-kampung.”
“Ibu kamu rajin ya..”
“Iya.. orang tidak punya harus rajin. Besok kalau Dian sudah bisa mencari uang, ibu akan saya larang bekerja lagi. Kasihan, capek kan setiap hari muter-muter keluar masuk kampung.”
“Kamu anak hebat, pasti kamu akan bisa melakukannya.”
“Aamiin..”
“Ayuk kita jalan-jalan.”
“Kemana?”
“Pokoknya jalan. Om sudah lama tidak muter-muter dikota ini. Besok kan om sudah balik ke Jakarta.”
“Tapi pulangnya tidak sampai siang kan om?”
“Tidak, memangnya kamu mau pergi?”
“Nanti kalau ibu sudah pulang, mau lihat rumah.”
“Mau lihat rumah? Rumah apa maksudnya?”
“Ya rumah, yang mau dikontrak ibu nanti. “
“Ibu mau mengontrak rumah lagi? Bukankah kontrakan disini sudah diperpanjang lagi?”
“Ibu ingin cari rumah yang agak dekat dengan sekolah Dian. Ibu itu nggak tegaan.”
Broto diam, kalau Ika pindah, sementara rumah itu sudah dibayar untuk setahun kedepan, berarti pak Kartiman harus mengembalikan uangnya.
“Oh, baiklah.. ayo kita jalan saja dulu, sebentar saja, sebelum ibu pulang kita pasti sudah sampai dirumah.”
***
Ika sudah sampai dirumah Leo. Biasanya debar itu sudah berkurang karena dia bisa menutupi wajahnya dengan helm. Tapi setelah kemarin Leo melihatnya dan tampak mengamatinya, Ika jadi berdebar lebih kencang. Ia melihat kekiri dan kekanan barangkali ada yang bisa menolongnya. Tapi tak ada. Sementara dia harus segera menjajakan dagangannya ke tempat lain, apalagi ia akan pergi bersama Dian nanti.
Ika melangkah, tetap mengenakan helmnya, dan cepat-cepat pergi setelah meletakkan belanjaan Rina. Tapi ketika dia melangkah dan hampir sampai di gerbang, didegarnya suara berteriak.
“mBak tunggu!”
Ika berdebar, itu suara Leo, rupanya Leo tidak mengantar Dina kesekolah karena sekolah sudah libur. Ika mempercepat langkahnya, tapi ia mendengar langkah-langkah kaki mengejar, yang semakin dekat.
“Tunggu sebentar, saya mau bicara,” katanya. Dan tiba-tiba saja Leo sudah berada didepannya. Ika haj mpir pingsan karenanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel