Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 07 Juni 2022

Jangan Bawa Cintaku #3

Cerita bersambung

...........Ika benar-benar panik, ia bingung apa yang harus dilakukan apabila Leo benar-benar datang kerumahnya.
“Iya mas..” Rina masih bertelpon.
Ika meremas-remas tangannya sendiri.
“Aku menunggu mas Leo disini dulu ya mbak, katanya mau kemari. Ini lho, kunci mobil kok kebawa oleh aku tadi. Habisnya aku melihat tergeletak dimeja depan, lalu aku masukkan saja ke dalam tas aku.”
Ika tak menjawab. Ia sibuk menata batinnya. Sibuk mencari alasan untuk menghindar, tapi bagaimana caranya? Sedangkan ini adalah tempat tinggalnya? Tubuh Ika sudah basah oleh keringat. Lalu ia berdiri dan masuk kedalam rumah, mengambil air dingin dan meneguknya segelas.
“Kalau aku disini terus, pasti aku tak akan bertemu dia. Tapi nggak mungkin bu Rina diam saja. Begitu suaminya datang pasti dia berteriak memanggil, bukan hanya untuk pamitan, tapi juga untuk memperkenalkan suaminya. Ya Tuhan... apa yang harus aku lakukan?”
Ika mondar mandir diruang dapur yang sempit. Tak ada apa-apapun pasti juga akan gerah berada disana, apalagi dengan hati yang gelisah seperti ini.
Lalu Ika masuk kekamar mandi.

“Apakah ini sebuah persembunyian yang bagus? Kalau aku bilang sedang dikamar mandi, ma’af, pasti mereka juga akan menunggu sampai aku keluar.”

Ika ingin menjerit sekuat-kuatnya untuk melampiaskan kegelisahan itu. Lalu dia keluar, dan teriakan Rina dari luar membuatnya hampir pingsan. Bukannya ia langsung berlari kedepan, tapi tetap tegak dipintu kamar mandi.

“mBak Yantiiii...” itu teriakan yang sudah ketiga kalinya.
Kaki Ika justru gemetar. Ia berpegangan pada pintu kamar mandi itu, karena tubuhnya terasa limbung.

“Jangan-jangan aku mau pingsan...” keluhnya lirih.
Langkah-langkah kaki mendekat membuatnya menyandarkan tubuhnya dipintu itu.

“Bu.. dicari bu Rina..” itu kata Dian yang datang menyusulnya ke belakang.
“Aaad.. ada tamu ?” tanyanya terbata.
“Tidak bu, ibu sakit?”
“Tidak, eh.. perut ibu sakit.. sedikit.. Tidak ada tamu?” tanyanya lagi.
“Tidak, bapaknya Dina menelpon, bahwa dia tidak jadi kemari karena disamperin temannya. Gitu kata bu Rina tadi.”

Tubuh lemas itu seperti mendapat kekuatan baru. Sambil menghela napas berat, Ika melangkah kedepan.

“mBak Yanti.. aduh, kok wajah mbak Yanti agak pucat? Kenapa tadi?”
“Iin..ini bu, perut saya tadi.. sakit.. jadi..”
“Sekarang masih sakit? Kebetulan aku selalu membawa obat di tas aku..”
“Tidak bu.. sekarang sudah baikan kok..”
“Sungguh?”
“Sungguh bu.. “
“Ini m bak, suami menelpon lagi, katanya tidak jadi menyusul kemari karena sudah disamperin temannya. Hari ini jadual main tennis. Syukurlah, jadi Dina bisa lebih lama bermain sama Dian.”

Ika kembali menghembuskan nafas, kali ini terasa lega.
***

Tapi malam itu Ika tak bisa tidur. Sekali dua kali bisa lolos dari pertemuannya dengan Leo. Bagaimana besok? Bagaimana lusa? Bagaimana... dan bagaimana..?

“Rupanya kelulusan Dian yang kemudian membuat Dian pinsah sekolah, bukan sebuah jalan untuk menghindar. Masih banyak kesempatan untuk bisa bertemu, karena Rina sudah tahu rumah ini, dan Dina selalu ingin bermain dengan Dian. Apakah ikatan darah itu yang membuat mereka dekat? “

Ika membolak-balikkan tubuhnya, dan berusaha memejamkan matanya dan tidur, karena pagi-pagi sekali dia harus bangun dan mencari nafkah. Tapi lewat tengah malam mata itu belum juga terpejam.

“Apakah aku harus pindah dari rumah ini? Tampaknya ini adalah satu-satunya jalan, agar hidupku lebih tenang. Tapi itu tidak mudah. Harus ada rumah yang harga sewanya murah. Benar, besok aku akan bertanya-tanya. Syukurlah yang dekat dengan sekolah Dian nantinya.”

Menjelang pagi Ika baru bisa terlelap, dan akibatnya dia bangun kesiangan. Itupun karena Dian membangunkannya.

“Ibu.. ibu sakit?” tanya Dian pelan sambil memegang tangan ibunya.

Ika terperanjat, lalu bangkit tiba-tiba.

“Sudah siang? Aduh.. ibu kesiangan nak.. belum membuat sarapan untuk kamu.”
“Dian sudah menggoreng telur bu.”
“Ya ampun nak.. ma’af ya..”

Ika bergegas keluar dari kamar, membuat minuman dengan teh celup dari air termos yang masih panas.

“Dian, minum tehnya dulu. Biar ibu buatkan yang nanti bisa kamu bawa ke sekolah ya.”
“Iya bu,” kata Dian sambil menyuap sarapannya.”

Ika lari kekamar mandi, subuh telah lewat, tapi ia tak bisa meninggalkannya. Selesai bersujud, Dian sudah selesai pula sarapan. Ika membantu memasukkan bekal Dian ke dalam tasnya.

“Ibu kesiangan ya, kepasarnya sudah siang.”
“Iya nak, ibu mau langsung siap-siap dan berangkat.”
“Iya bu.. ibu hati-hati ya.”
“Iya Dian, kamu juga harus berhati-hati.”
***

Agak siang Ika mulai menjajakan belanjaannya. Hampir disetiap dia singgah, ibu-ibu menanyakan, kok siang mbak Ika. Dan Ika hanya menjawabnya sambil tersenyum.
Tapi ketika ia ingin menyerahkan belanjaan pesanan Rina, kembali Ika dibuat bingung. Ia menoleh kesana kemari, berharap bertemu tukang sampah yang kemarin menolongnya. Tapi tak ada. Ia melihat keranjang-keranjang sampah ditepi jalan sudah kosong, berarti tukang sampah itu sudah lewat.

“Aduuh.. bagaimana ini..”

Ia masih memarkir sepeda motornya ditempat yang agak jauh dari rumah Rina, sambil menenteng belanjaan yang kali ini agak banyak.
Benar-benar tak ada yang bisa menolongnya pagi itu, sementara Ika sudah merasa sangat kesiangan.

“Apa boleh buat, aku harus melakukannya.”

Lalu diambilnya helmnya, agar bisa menutup wajahnya seandainya Leo ada.
Perlahan Ika melangkah memasuki halaman. Ada mobil diparkir dihalaman, entah itu mobil Leo, atau mobil Rina, Ika tak tahu, karena mobil mereka dua-duanya sama, baik warna maupun merknya.
Ika menghela nafas lega, ketika ia sudah meletakkan belanjaan itu diteras. Bergegas Ika keluar dari halaman, tapi ketika sampai digerbang, seseorang berteriak memanggil.

“Eeh.. mbak.. tunggu dulu..”

Ika gemetar, suara itu sangat dikenalnya. Suara Leo, untuk apa dia memanggilnya? Ika menoleh sejenak, kemudian nekat pergi dari sana, cepat-cepat menstarter motornya dan berlalu.

“Mana mas? Sudah mas panggil ?” tanya Rina yang baru saja keluar sambil membawa domet.
“Aku sudah berteriak, ia hanya menoleh kemudian pergi. Selalu seperti terburu-buru,” omel Leo.
“Lhoooh.. gimana mbak Yanti itu.. kan aku belum bayar..”
“Mengapa ketika nitip kamu tidak sekalian membayarnya?” tegur Leo.
“Sudah nitip aku, tapi pasti masih kurang, aku mau menambahnya, tapi dia menolak. Aku pikir bisa aku bayar pagi ini sambil niti[ lagi.”
“Hm.. bakalan kesana lagi sore nanti,” ejek Leo sambil tersenyum.
“Bagaimana lagi mas, mas kan tahu sendiri, simbok akan kembali kapan, aku repot kalau harus ke pasar sendiri.”
“Belanja di supermarket lah, kan banyak sayuran dan daging dijual disana.”
“Aku lebih suka belanja di mbak Yanti, sayurnya segar, daging juga pasti baru, bukan daging beku yang ada di supermarket.”
“Ya sudah, aku mau berangkat kerja nih, sudah agak siang.”
“mBak Yanti tadi terburu-buru karena sudah kesiangan juga tampaknya.”
“Oh ya, nanti kalau aku tidak bisa pulang makan siang dirumah, tolong kamu jemput Dina ya.”
“Nanti kalau mas nggak bisa jemput, aku dikabari kan?”
“Iya, aku kabari, tampaknya ada meeting siang nanti.”
“Iya mas.. nggak apa-apa kalau aku harus menjemput Dina,sekalian aku mampir ke mbak Yanti saja kalau begitu. Lagiaan sorenya kan mau ada tamu.”
“Baiklah, kalau begitu langsung aja ya, aku nggak usah ngabari lagi.”
“Tapi jangan lupa, pulangnya jangan kesorean, katanya ibu sama kakak kamu nanti mau datang kemari.”
“Iya, aku ingat.”
***

Siang itu Ika menyelonjorkan kakinya diatas kursi panjang, sambil melihat kearah televisi yang dinyalakan, tanpa menikmati acaranya. Pikirannya masih tertumpu pada keinginannya untuk pindah. Kontrakan rumah ini juga tinggal dua bulan lagi, tapi Ika belum menemukan rumah tinggal baru yang akan ditempatinya.

“Kalau bisa dekat dengan sekolah Dian, jadi aku bisa melepas dengan nyaman walau dia naik sepeda sendiri.,” gumamnya.
“Permisi...”

Ika bangkit dari duduknya dan bergegas kedepan. Dilihatnya pak Kartiman pemilik rumah ini sedang berdiri didepan teras.

“Oh, pak Kartiman.. tumben siang-siangan.. silahkan duduk pak..”
“Terimakasih nak, syukurlah nak Ika sudah ada dirumah.”
“Saya sudah pulang dari tadi dan sudah selesai memasak. Tumben pak, ada perlu apa?”
“Begini nak Ika. Kalau tidak salah, kontrakan nak Ika sudah hampir habis kira-kira dua bulan mendatang.”
“Iya pak, benar, saya baru saja memikirkannya, dan...”
“Nak Ika..saya mau minta tolong,” pak Kartiman memotong kalimat Ika yang belum diselesaikan.
“Iya pak, apa yang bisa saya bantu?”
“Kalau nak Ika tidak keberatan, bolehkah saya minta perpanjangan uang kontrak untuk setahun mendatang? Mm.. ma’af nak, so’alnya sa’at ini isteri saya kan sedang sakit, dan itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.”

Ika merasa lemas. Padahal dia ingin bilang kalau sampai dua bulan saja kontrakannya, dan dia sedang berpikir untuk mencari kontrakan lain. Sementara pak Kartiman membutuhkan biaya untuk isterinya yang sedang sakit.

“Bagaimana nak Ika? Saya minta ma’af ya nak, harusnya belum sa’atnya nak Ika membayar perpanjangan kontrak, tapi saya bingung harus minta tolong pada siapa,” kata pak Kartiman memelas, sambil menundukkan kepalanya.

Ika merasa iba mendengar dan melihat bagaimana pak Kartiman dengan sangat sedih mengucapkannya.

“Sekali lagi saya minta ma’af ya nak.”

Barangkali pak Kartiman mengira, seperti tahun-tahun sebelumnya, Ika selalu memperpanjang kontrak rumahnya karena sudah merasa nyaman tinggal dirumah itu. Mana pak Kartiman tahu bahwa sa’at ini dia sedang menghindari seseorang?

“Bagaimana nak?” desak pak Kartika karena melihat Ika diam saja.
“Iya pak, mm.. bagaimana ya.. bolehkah saya memikirkannya lagi?” kata Ika ragu-ragu.
“Tapi nak, tolong jangan lama-lama ya nak, so’alnya kalau uangnya sudah dapat, saya baru akan membawa isteri saya kerumah sakit.”

Aduuh.. hati Ika yang penuh kasih tak sampai hati menolaknya. Memang benar dia punya tabungan untuk membayar kontrak rumah, tapi sebenarnya dia tak ingin memperpanjang. Ia belum sempat mengatakannya pada pemilik rumah, malah keduluan pemilik rumah minta perpanjangan.

“Baiklah pak, tapi besok saya mengambil uangnya dulu ya pak,” akhirnya kata Ika.
“Terimakasih sekali ya nak.”
“Besok saya antarkan ke rumah sepulang saya dari kerja.”

Sepeninggal pak Kartiman, Ika duduk sambil menyandarkan kepalanya yang terasa berat. Ada dua pilihan yang harus dipilihnya salah satu, menjauh dari Leo, atau mengasihani orang yang sedang sakit. Dan ternyata Ika memilih yang terakhir. Iba hatinya melihat penderitaan orang lain, lalu memilih mengesampingkan kepentingannya sendiri.

“Ya Tuhan, semua ini adalah kehendakMu,” bisiknya sambil berlinang air mata.

Sebuah mobil yang berhenti dijalan depan rumahnya, membuat Ika kemudian berdiri dan menyambutnya. Dari dalam mobil turun seorang anak kecil cantik dengan rambut dikepang dua, lalu mengikuti dibelakangnya, Rina.

“Pasti untuk membayar belanjaan, semoga tidak pesan lagi, bisik batin Ika.
“mBak Yanti.. kenapa tadi bur-buru pergi?”
“Ma’af bu, saya agak kesiangan,” jawab ika.
“Aku juga berpikir demikian, tadi datangnya agak siang. Dian belum sampai rumah?”
“Belum bu, kan dia naik sepeda, lagian sering ada tambahan pelajaran, jadi pulangnya lebih siang. Silahkan duduk bu.”
“Tidak usah mbak, saya hanya mau nitip pesanan lagi sama uangnya. Kalau kurang bilang mbak, dan kalau bisa, setiap kali mengirim jangan terburu pergi.”
“Iya bu, kalau tidak kesiangan,” kata Ika sambil tersenyum, walau agak kecut senyuman itu, so’alnya dibawah uang yang diulurkan ada secarik kertas catatan pesanan belanjaan lagi.

Aduuh.. Ika hanya bisa mengeluh dalam hati, tak mampu menolaknya.
***

“Selamat siang,” sapa Ika begitu memasuki rumah pak Kartiman.
“Selamat siang, oh nak Ika yang datang rupanya.
“Saya hanya ingin menyerahkan uang kontrakan rumah setahun kedepan pak, seperti yang bapak inginkan kemarin.”
Oh, iya nak, terimakasih banyak, dan saya minta ma’af karena sesungguhnya belum sa’atnya saya memintanya.”
“Tidak apa-apa pak, kan sebenarnya uangnya memang sudah ada. Ibu sakit apa pak?”
“Sakit lever nak, sebenarnya dokter minta supaya dirawat dirumah sakit, tapi saya belum punya uangnya. Itu sebabnya saya minta tolong pada nak Ika.”
“Oh, gitu ya pak, sebaiknya bapak segera membawa ibu kerumah sakit, supaya tidak terlanbat ditangani.”
“Iya nak, segera, mungkin nanti.”
“Ini uangnya pak, saya belum tahu, apa bapak ingin menaikkan sewa rumahnya.”
“Tidak nak, karena saya memintanya lebih dulu, maka saya tidak menaikkannya sekarang. Biar saja sama dengan tahun kemarin.”
“Baiklah pak. Ini uangnya,” kata Ika sambil menyerahkan amplop berisi uang.
“Surat perjanjiannya akan saya buat besok ya nak, biar saya mengurusi isteri saya dulu.”
“Iya pak, tidak apa-apa. Bolehkan saya menengok ibu?”
“Silahkan nak, tapi tadi dia tidur.”

Pak Kartiman mengantarkan Ika menjenguk isterinya dikamar, dan kembali Ika merasa iba. Bu Kartiman tampak tidur, wajahnya pucat. Lalu Ika keluar karena tak takut mengganggu tidurnya. Sebelum pulang, ia berpesan agar pak Kartiman segera membawanya ke rumah sakit,
***

Hari demi hari dilaluinya dengan selalu was-was, apalagi kalau sedang mengantarkan pesanan bu Rina. Terkadang ia minta tolong kepada tukang sampah, kalau kebetulan dia lewat. Selebihnya dilakukannya dengan menyembunyikan wajahnya dibalik helm yang selalu dibawanya. Aduhai, ini membuat hidupnya selalu tertekan. Hari-harinya selalu diliputi rasa was-was dan ketakutan.
Hampir ada jalan, yaitu dengn pindah dari rumah itu dan pergi ketempat jauh, tapi mendadak si pemilik rumah butuh pertolongan. Mana bisa Ika mengabaikannya hanya karena memikirkan diri sendiri?

“Baiklah, mungkin tahun depan, aduh.. setahun? Alangkah lamanya. Setahun dalam perasaan selalu was-was dan khawatir?” kata batinnya.

Lalu Ika menghitung-hitung uangnya. Seandainya direlakannya uang kontrak yang setahun itu, lalu dia mencari yang lain. Bisakah ? Ika tak tahan dengan semua ini. Harus ada jalan untuk pergi jauh yang tak ada kemungkinan bisa bertemu laki-laki ganteng yang dibencinya.
***

Dian sudah selesai ujian, dan sangat mengejutkan, Dian lulus dengan nilai terbaik, sehingga dia bisa memilih ke sekolah mana yang diinginkan, dan mendapat bea siswa.
Ika memeluk Dian dengan air mata berlinang.

“Kamu membuat ibu bangga nak, teruslah bersekolah dan jadi orang, ibu mendukungmu,” bisiknya ditelinga anaknya.
“Ibu, besok sa’at perpisahan sekolah, semua orang tua murid harus hadir ya, dari kelas satu sampai kelas enam,” kata Dian.
“Baiklah nak, ibu pasti datang.”

Tapi tiba-tiba Ika terkejut sendiri.
Nah, bagaimana kalau Leo juga hadir diacara itu?

==========

Ika mencari jalan untuk menghindar. Kalau tak datang, Dian pasti kecewa. Boleh saja dia pura-pura tak kenal seandainya bertemu, tapi Rina pasti mengenalnya dan pasti menyapanya.

“Ya Tuhan, mengapa aku harus mengalami hal yang seperti ini? Aku merasa teraniaya ketika dia meninggalkan aku, dan aku sudah menerimanya dengan ikhlas, walau sakit itu tetap terbawa. Lalu aku sudah hidup tenang bersama anak semata wayangku. Lalu mengapa aku harus berdekatan bengan keluarganya, dan memungkinkan untuk aku bisa bertemu lagi dengannya? Tidaak, ini buruk.. seandainya aku bertemu dan kembali luka itu menganga, bagaimana dengan isterinya? Jangan sampai, jangan sampai aku merusak kebahagiaan mereka. Isterinya sungguh baik, anaknya sungguh baik.. biarkan mereka bahagia, aku harus pergi, tapi mengapa ada saja hambatan untuk menghindar?”

Tapi kemudian Ika memutuskan, akan tetap pergi dan merelakan uang yang sudah diberikan untuk pak Kartiman. Memang akan menguras uang tabungannya, tapi itu lebih baik. Ia akan berusaha mencarinya lagi nanti.
***

Hari itu Dian dipanggil oleh gurunya. Ada tawaran untuk masuk ke sekolah negri dengan bea siswa, di sekolah favorit pula. Tapi letak sekolah itu agak jauh dari rumah.

“Mas Diaaaan... “ keluar dari ruang kepala sekolah, teriakan Dina menyambutnya.
“Mas Dian kalau sudah lulus, mau sekolah dimana?”
“SMP dong Din, tapi agak jauh dari sini.”
“Aduuh, bagaimana kalau jauh, aku nggak bisa ketemu dong.”
“Nanti main kerumah saja kalau mau ketemu.”
“Aku nggak usah bawa roti dua kalau begitu, kan mas Dian nggak ada?”
“Iya.. satu saja, kalau mau.. dihabisin sendiri juga boleh kok..” kata Dian sambil tertawa.
“Ya nggak bisa, nanti perutku jadi genduut..” lalu keduanya tertawa-tawa.
“Kalau kamu ingin tanya pelajaran, main saja kerumah aku.”
“Iya .. tapi nanti pelajaran aku lebih susah kan, kalau aku sudah kelas empat?”
“Semakin lama semakin susah. Tapi kan kamu juga semakin besar. Kalau sudah besar, pelajarannya bukan pelajaran anak kecil lagi. Ya kan?”
“Iya ya..”
“Sekarang aku mau pulang dulu ya..”
“Eh, jangan, ini rotinya belum dimakan. Yang ini isi coklat.”
“Yaah.. masa mau pulang harus makan roti dulu.”
“Iya.. ayo.. cepet dimakan dulu,” kata Dina sambil menarik-narik tangan Dian untuk diajaknya duduk di bangku taman sekolah.
“Ya sudah, terimakasih ya Dina..”
“Besok kalau aku main kerumah mas Dian, pasti aku bawakan roti yang enak untuk mas Dian.”
“Kamu itu. Jangan sering-sering memberi roti aku, nanti ibu kamu marah lho.”
“Nggak.. ibu nggak marah kok. Ibu aku itu baiiiik.. banget.”
“Kalau kadang-kadang nggak apa-apa, kalau keseringan, aku yang malu dong. Dikira aku yang minta, bagaimana?”
“Kan aku yang minta sama ibu, bukan mas Dian yang minta.”
“Sama saja ..”
“Rotinya enak kan?”
“Enak, terimakasih ya Dina.”
“Sama-sama,” jawab Dina dengan mulut penuh roti.
“Sa’at perpisahan nanti apakah kamu akan menari?” tanya Dian.
“Aku malu...”
“Mengapa malu? Banyak teman-teman kamu bisa melakukannya, dan mereka tidak malu.”
“Nggak mau ah..Mas Dian juga mau menari ?”
“Tidak, aku mau baca puisi.”
“Puisi itu apa?”
“Apa ya.. puisi itu.. sebuah syair.. eh.. pokoknya kata-kata yang bagus.. yang dirangkai sehingga punya arti.. aduh gimana ya.. besok kamu bisa melihat deh.”
“Mas Dian akan datang bersama ibu dan bapak?” tanya Dina tiba-tiba.
“Sama ibu. Aku tidak punya bapak,” kata Dian pelan.

Terkadang ada rasa sedih mengingat dia tidak tahu siapa bapaknya. Kata ibunya, bapaknya sudah meninggal sebelum Dian dilahirkan. Sa’at menjawab ketika Dian bertanya, Dian melihat air mata menggenangi pelupuk mata ibunya. Sejak itulah Dian tak pernah menanyakannya.

“O, mas Dian tidak punya bapak?”
“Bapakku sudah meninggal.”
“Kasihan,” kata Dina yang tiba-tiba merasa iba kepada ‘nasib sahabatnya’.
“Tidak apa-apa, ibuku sangat baik.”
“Sama, ibuku juga sangat baik. Jangan sedih ya.” Kata Dina sambil menggigit rotinya yang tinggal sepotong kecil. Ucapan yang keluar dari mulut mungil itu seakan bermaksud menghibur.
***

“Iya nak, sekolah kamu nanti jauh dari rumah,” kata Ika ketika Dian mengatakan tentang sekolah yang diusulkan gurunya.
“Dian bisa naik sepeda sendiri kan bu?”
“Iya sih, tapi kalau terlalu jauh ibu nggak tega. Tapi tenang saja, ibu akan mencari rumah yang dekat dengan sekolah kamu.”
“Berarti kita akan pindah dari sini?”
“Iya, mulai besok ibu akan mencari-cari, barangkali ada rumah yang bisa kita kontrak disana.”
“Sayang ya kalau harus pergi dari sini, Dian sudah kerasan tinggal disini.”
“Iya benar, demikian juga ibu, tapi nanti juga kita akan kerasan ditempat yang baru. Kita lihat saja nanti.”
“Bolehkah Dian ikut kalau ibu mencari rumah?”
“Apa kamu nggak akan masuk sekolah lagi?”
“Ya enggak bu, hanya persiapan untuk perpisahan. Nanti Dian akan membaca puisi sa’at perpisahan.”
“Oh ya? Kamu suka baca puisi ? Ibu belum pernah dengar lho..” kata Ika sambil tersenyum senang.
“Nanti ibu lihat saja. Dian lebih suka membaca puisi daripada harus menari, nanti ada teman yang akan menari juga.”
“Tampaknya ramai ya?”
“Ramai bu, tapi juga sedih,”
“Kenapa sedih ?”
“Kan harus berpisah dengan teman-teman lama, dengan guru-guru.. dengan Dina juga.”

Ika termenung menangkap nama terakhir yang diucapkan Dian. Rupanya Dian juga sayang sama Dina. Ada apa ini? Apakah darah dalam daging mereka saling bicara? Saling mengikat dan mengatakan bahwa mereka adalah sama? Ada sedih yang membersit dihati Ika. Seharusnya saudara memang bersatu. Duuh..

“Perpisahan itu menyedihkan bukan bu?”
“Iya nak, pasti.. tapi kan hanya berpisah disekitar sekolah saja. Kalian masih bisa saling bertemu. Bersama teman, bersama para guru. Ya kan?”
“Iya sih bu..”

Tapi bagaimanapun Ika tetap saja gelisah. Keinginannya pergi begitu ia mendapatkan kontrakan baru sudah bulat. Esok lagi ia akan mulai mencarinya, karena kemana Dian akan bersekolah sudah ditetapkannya, dan Dian juga suka.
***

“Ibu.. dengar.. Dina kasihan deh sama mas Dian..” kata Dina ketika makan siang bersama ibu dan bapaknya.
“Kenapa kasihan?” tanya Leo.
“Dia itu pak.. nggak punya bapak seperti Dina.. Kasihan kan ?”
“Bapaknya kemana ?” tanya Rina.
“Katanya sudah meninggal.”
“Kamu kok perhatian banget sih sama Dian?” tanya Leo.
“Dia kan sahabatnya Dina, pak.”
“Aku juga heran, mereka itu sahabatan banget. Dan mas tahu nggak, wajah mereka itu agak-agak mirip.. gitu.”
“Masa?”
“Iya, kalau dijadikan saudara pasti semua orang mengira bahwa mereka itu memang saudara seibu seayah.”
“Oh ya ? Lucu ya.. ada anak mirip.. kemudian bersahabat.. “
“Dia itu menjadi kakak aku, ya kan bu?”
“Iya, boleh...”
“Masa anaknya pak Leo punya saudara anak tukang sayur?” sergah Leo.
“Ya nggak apa-apa kan mas, namanya anak-anak. Lagian Dian itu anak pintar, lulusnya saja juara lho mas, nggak ada tandingannya. Nanti kalau mas bilang begitu, anak kita akan membeda-bedakan status orang tua mereka. Nggak baik itu.”

Leo tak menjawab, menyelesaikan makan siangnya dan beranjak dari ruang makan.

“Apa bapak marah?”
“Tidak, mengapa harus marah? Bapak sudah selesai makan, lalu segera kembali ke kantor. Jadi bukannya marah,” kata Rina.
“Besok kalau acara perpisahan sekolah, bapak sama ibu datang kan?”
“Iya, pasti nak..”
“Mas Dian akan membaca puisi.”
“Bagus itu.”
“Bagaimana membaca puisi itu bu?”
“Puisi itu ungkapan yang ditulis dengan bahasa yang bagus. Nah, yang membaca puisi itu juga harus mendalami isi puisi itu. Penuh perasaan.. begitu. Belum mengerti ya? Sebentar lagi kamu akan mengerti.”
“Coba ibu beri contoh..”
“Hahaaa... ibu tidak bisa membuat puisi.. nanti saja kalau mas Dian membaca puisi kamu perhatikan ya.”
“Iya..”
“Rina.. aku kembali ke kantor ya,” teriakan Leo dari depan.
“Oh, iya mas..” kata Rina sambil berdiri meninggalkan meja makan untuk mengantarkan suaminya.
***

Sore itu Ika pamit pada Dian, karena ingin membezoek bu Kartiman di rumah sakit.

“Bolehkah Dian ikut ?”
“Jangan Dian, rumah sakit kurang bagus untuk anak-anak. Kamu tunggu dirumah saja, ibu tak akan lama.”
“Baiklah bu..”

Ketika Ika keluar halaman, dilihatnya sebuah mobil berhenti didepan rumah pak Kartiman. Penumpangnya seorang laki-laki muda, tampak bingung karena rumah itu kosong.
Ika menghentikan motornya, karena laki-laki muda itu tampak ingin bertanya.

“Mencari siapa mas?”
“Pak Kartiman pergi ya?”
“Iya mas, kan bu Kartiman sakit dirumah sakit, mungkin pak Kartiman menunggu disana. Ini saya juga mau bezoek kesana.”
“Oh, kebetulan kalau begitu, kita bisa sama-sama.”
“Tapi saya naik motor mas, mas mengikuti saya dari belakang?”
“Jangan begitu mbak. mBak rumahnya disini?”
“Ya, saya mengontrak dirumah pak Kartiman, disitu saya tinggal.”
“Bagaimana kalau motor mbak ditinggal saja dirumah, lalu kita sama-sama ke rumah sakit ?”

Ika tampak ragu-ragu, harus naik mobil bersama laki-laki yang belum dikenal sebelumnya? Kok nggak enak rasanya.

“Saya Broto mbak, Subroto, keponakan pak Kartiman. Saya datang karena mendengar bu Kartiman sakit. Apa mbak takut, naik mobil bersama saya?”
“Bukan begitu.. tapi..”
“Kalau jalan sama-sama tapi satunya naik mobil satunya lagi naik motor kan nggak enak mbak, apa mbak takut sama saya?”
“Bukan.. bukan takut.. tapi.. baiklah, saya masukkan dulu motornya.”

Ika memutar kembali motornya, dan memasukkannya ke rumah.

“Nggak jadi bu ?”
“Jadi, itu ada keponakan pak Kartiman mau bezoek juga ke rumah sakit, jadi ibu berangkat kesana naik mobilnya.”
“Oh.. kebetulan kalau begitu,” kata Dian.

Agak sungkan sebenarnya Ika duduk berdua bersama seorang laki-laki yang baru dikenalnya. Tapi karena dia keponakan pak Kartiman, Ika agak merasa tenang.

“Sudah lama mbak mengontrak rumah om Kartiman?”
“Sudah lumayan lama, duabelasan tahun kira-kira.”
“Wouw.. kok saya tidak tahu, padahal sering mengunjungi om saya. Tapi memang sudah setahun saya tidak datang kemari karena saya ditugaskan ke luar Jawa.”
“Iya, karena saya jarang keluar, setelah kerja langsung dirumah saja.”
“mBak belum memperkenalkan nama ya, jadi nggak enak saya harus memanggil apa.”
“Nama saya Ika Wijayanti. Biasa dipanggil Ika.”
“Wah, bagus sekali namanya. mBak kerja dimana? Diperusahaan apa?”
“Saya? Saya tukang sayur keliling..”

Broto menoleh kesamping. Menatap wajah cantik yang tampak lembut itu, dengan pandangan tak percaya. Masih muda, cantik, menjadi tukang sayur keliling. Aduhai.

“Saya bukan pegawai kantoran. Pendidikan saya tidak tinggi.”

Dan pernyataan rendah hati itu membuat Broto kagum. Wanita sederhana yang menarik bukan?

“Oh, itu bagus. Berusaha sendiri, tanpa bergantung kepada orang lain. mBak Ika hebat.”
“Saya hanya orang rendahan..” kata Ika seakan bergumam.
“Ouww.. jangan begitu mbak, darimana mbak menemukan kata rendahan itu? Seorang yang berjuang demi hidup adalah pejuang. Dan pejuang itu sangat luar biasa. Tidak bergantung orang lain. Berdiri diatas kaki sendiri. Hebat mbak Ika.”

Ika terdiam. Matanya menatap kedepan, kearah lalu lintas sore yang semrawut. Ada rasa senang ketika mendengar seseorang memujinya. Itu belum pernah didengarnya.
Penjual sayur adalah penjual sayur. Hidupnya di jalanan. Keras dan harus kuat. Tak ada pujian yang pernah didengarnya.
Disanjung sebagai wanita hebat? Ika melirik kearah laki-laki disampingnya. Masih muda, tidak jelek. Sungkan mengakui bahwa dia sedikit ganteng. Tapi memang ganteng kok. Tapi Ika tak peduli.
Wajah ganteng itu mengingatkannya kepada seseorang yang telah menorehkan luka dalam dihatinya. 
Luka yang terkadang masih meneteskan darah, pedih dan nyeri.

“Saya mengatakan yang sebenarnya. Keluar dari hati saya yang paling dalam,” lanjut Broto.
“Terimakasih,” katanya tanpa menoleh kesamping.
“Om Kartiman itu tidak mempunyai seorang anakpun. Ketika kecil saya pernah diasuhnya sampai saya lulus SMA, karena saya sudah tidak punya orang tua. Beliau adalah adiknya bapak saya almarhum. Kemudian saya melanjutkan kuliah sambil bekerja apa saja, karena om Kartiman juga hanya seorang pensiunan guru. Pagi hari, saya menjual koran dan menjajakannya dipinggir jalan, lalu siang bekeja di bengkel, kuliah sore hari. Saya berjuang agar bisa menyelesaikan kuliah saya. Dan setelah saya lulus kuliah, saya mendapat pekerjaan yang mapan, dikota lain.”

Mau tak mau Ika menoleh kesamping. Laki-laki ganteng ini pernah menjajakan koran sambil kuliah?

“Saya tidak pernah malu mengerjakan apapun. Itu sebabnya saya sangat mengagumi mbak Ika yang tak segan menjajakan sayuran dari rumah ke rumah.”

Sekarang Ika mengerti, mengapa Broto memuji-mujinya. Ternyata dia pernah melakukan hal yang mirip seperti dirinya.

“Mbak tidak ingin kuliah?”
“Saya sudah punya anak, yang baru saja lulus SD.”

Dan tiba-tiba Broto mengerem mobilnya kuat-kuat, tak sengaja, hanya karena terkejut mendengar Ika sudah punya anak segede itu.

“Oh, ma’af..” hanya itu yang diucapkan Broto.
“Hati-hati mas, jalanan ramai.”
“Iya, ma’af..” ulangnya.
“Kita hampir sampai,” kata Ika.
***

Setelah membezoek bu Kartiman, Broto mengantarkan Ika pulang, lalu kembali lagi kerumah sakit, sambil membeli makanan untuk pak Kartiman yang terus menerus menunggui isterinya.

“Lama sekali kamu tidak pulang To?”
“Iya om, kan saya sudah bilang bahwa saya ditugaskan ke luar Jawa selama setahun. Mengapa kalau saya menelpon, om tidak pernah bilang bahwa ibu sakit ?”

Bu Kartiman minta agar Broto memanggilnya ibu, karena mereka sudah mengangkatnya sebagai anak. Tapi pak Kartiman membiarkannya memanggil om karena sejak kecil memang begitu.

“Mana mungkin aku berani merepotkan kamu le, kamu masih harus banyak menabung untuk hari tua kamu, sedangkan aku masih bisa berusaha mencari uang.”
“Bukankah om pernah bilang bahwa uang pensiun om hanya cukup untuk makan? Sedangkan biaya rumah sakit pasti tidak sedikit.”
“Aku kan punya rumah yang bisa aku kontrakkan. Karena ibumu harus dirawat dirumah sakit, maka aku minta nak Ika agar membayar kontrakan setahun kedepan, biarpun sebenarnya dia masih punya waktu dua bulan. Yah, bagaimana lagi le, ibumu kan harus segera mendapat obat.”
“Bukankah mbak Ika hanya pedagang sayur? Dimana suaminya bekerja?”
“Dia sudah tidak punya suami. Kasihan sekali, dia melahirkan juga ketika sudah mengontrak disitu. Tampaknya dia menjadi korban perbuatan yang tidak sepantasnya dari seorang laki-laki yang semula dicintainya."
“Oh ya? Kasihan sekali. Kok Broto tidak pernah melihat dia ”
“Waktu itu kan kamu sibuk bekerja dan kuliah, tidak dikota ini pula, mana memperhatikan orang yang mengontrak rumah om, sementara kamu belum tentu sebulan dua bulan pulang? Apalagi nak Ika tidak pernah keluar rumah kecuali kalau dia menjajakan dagangannya.”
“Iya om, saya sejak lulus SMA sangat jarang pulang, karena sibuk mengumpulkan uang untuk kuliah. Setelah bekerja juga sering dinas keluar kota, bahkan ke luar Jawa.”
“Tapi om senang, kamu sudah jadi orang. Sudah lima tahunan bekerja, pastinya sudah siap punya isteri. Apa kamu sudah punya calon?”
“Belum om,” jawabnya. Tapi diam-diam terbayang wajah si tukang sayur cantik yang baru saja diantarkannya pulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER