Cerita bersambung
Rina yang melihatnya dari jauh segera berlari mendekat, dan lebih dulu menolong Ika bangkit.
“Gimana sih mbak nggak usah terburu-buru lah. Ada yang luka?” tanya Rina.
“Tidak.. tidak.. terimakasih.”
Leo yang sudah turun segera membantu mendirikan lagi sepeda motor yang roboh. Terburu-buru Ika memakai helmnya, membenarkan letak keranjangnya .. lalu menstarter sepeda motornya, dan memacunya menjauh.
“Eh, ya ampun.. kenapa tukang sayur itu seperti dikejar setan begitu?”“Perempuan aneh, dibantuin kok seperti melihat setan begitu..”
“Takut sama kamu rupanya mas, habis tadi kamu melototin dia karena motornya ada ditengah gerbang.”
“Enggak lah, masa aku melotot..”
“Tapi mas kelihatan marah, sambil menuding-nuding sepeda motornya..”
“Ya salah sendiri, mengapa naruh sepeda motor sembarangan.”
“So’alnya dia pikir cuma sebentar, cuma meletakkan belanjaan pesanan aku.”
Leo tak menjawab, segera masuk kembali ke mobilnya, lalu memasukkannya ke halaman. Tapi ada juga di pikiran Leo, mengapa penjual sayur itu tampak ketakutan dan ingin segera lari dari hadapannya.
“Masa sih hanya karena aku menuding-nuding motornya saja dia ketakutan sampai seperti melihat hantu ?” pikirnya.
Rina membawa keresek belanjaannya kebelakang, lalu menata meja makan untuk sarapan suaminya sebelum berangkat bekerja.
***
Ika berhenti diantara kerumunan ibu-ibu yang menunggu diujung sebuah gang. Tempat itu agak luas, sehingga Ika selalu menggelar dagangannya disitu. Begitu turun, Ika langsung mengambil sebuah keresek berisi minuman bekalnya. Tanpa menyapa ibu-ibu lebih dulu, dia langsung menenggak minumannya begitu saja, sambil menata nafasnya yang terengah-engah.
“mBak Ika kenapa? Agak pucat begitu?”
“Iya, seperti ketakutan.. ada apa?”
“O, pasti dikejar anjing piaraan pak Nurman disebelah timur gang itu, anjingnya galak. Tapi didalam kerangkeng, nggak bakalan mengejar sih.”
“Bukan bu.. bukan dikejar anjing, dan bukan apa-apa.. saya hanya takut kesiangan..” jawab Ika sekenanya.
“Walaah, ini masih pagi kok mbak Ika.. ayo.. aku bantu menata dagangannya..” kata ibu yang lain. Sudah biasa begitu, kalau Ika datang, lalu menggelar tikar, pasti beberapa ibu ikut menata sayur dan semua dagangan, lalu berebut memilih. Rame sekali. Bebarapa sa’at lamanya Ika terhibur dengan celoteh ibu-ibu yang membeli dagangannya, juga kesibukannya mengambilkan dan membungkus. Ia juga berhasil mengibaskan wajah tampan yang sangat dibencinya, yang tiba-tiba saja muncul disekitarnya. Di tempat dia menjajakan sayur, dan dijalan ketika hampir menabrak anaknya. Aduhai. Seandainya tak ada kesibukan itu pasti Ika akan terus menerus menyesali pertemuan demi pertemuan dengannya.
“mBak Ika, saya mau ikan segarnya. Ini nila bukan?”
“Iya bu, itu Nila.. kalau yang ini mujahir.”
“Saya lebih suka nila, lebih berdaging ya..” kata ibu yang lain.
“Benar.. saya juga .. itu ibu ambil semua?”
“Nggak bu, saya setengah kilo saja, yang makan cuma saya dan suami.”
“Baiklah, saya separo, bu Umi separo ya mbak Ika..”
“Ya bu, biar saya bungkus sekalian. Ini sudah dibersihkan, ibu tinggal mencucinya lagi atau memotong-motongnya kalau ingin.”
“mBak Ika, besok aku mau dibawakan ayam utuh ya, bisa kan ?”
“Tentu saja bisa bu, mau buat ikan panggang utuh ya?”
“Iya, kalau bisa dibelah sekalian..jadi aku tinggal memberi bumbu.. “
“Enaknya diungkep dulu bu, jadi bimbunya lebih merasuk.”
“Benar.. wah.. jadi ikutan pengin jeng..”
“Yang sudah dipotong-potong juga enak, dibumbui dulu lalu dipanggang..”
“Jangan lupa bawa lalapan lengkap, mentimun, kemangi, dan sebagainya ya.”
“Iya, kalau mau ini sudah ada kemanginya, dimasukkan kulkas besok masih segar bu, tapi jangan lupa dibungkus kertas koran dulu,” kata Ika.
“O, gitu ya..”
“Iya, kalau dibungkus koran tidak cepat layu.. masih segar kalau hanya sehari dua hari.”
“Hm, terimakasih, mbak Ika ini masih muda tapi pintar ya.”
“Saya kan biasa jualan sayur bu, jadi tahu bagaimana merawatnya,” jawab Ika.
Agak lama Ika berada ditempat itu, karena banyak ibu-ibu merubungnya untuk belanja. Dagangannya juga hampir habis, alamat dia bisa segera pulang dan memasak untuk sang buah hati.
***
“Mas Diaaaan...” teriak Dina ketika sa’at istirahat tiba.
Ardian mendekat. Gadis mungil cantik itu setiap istirahat selalu mencarinya, hanya untuk memberinya sepotong roti bekalnya.
“Ya, Dina.. nggak bisa ngerjain PR lagi ?”
“Bisa kok.. ini .. ada roti untuk mas Dian..”
“Dina, mas Dian sudah membawa bekal, makan saja rotinya untuk kamu sendiri.”
“Tapi ibu membawakan dua iris roti selai strobery.. enak mas.. kata ibu, untuk Dina satu, untuk mas Dian satu..”
“Tapi mas Dian sudah membawa bekal, untuk istirahat ke dua nanti, so’alnya nanti ada tambahan pelajaran."
“Roti juga ?”
“Bukan, nasi.. kamu mau?”
“Nggak ah, tapi roti sama nasi kan beda... ayolah mas Dian, terima saja, kan sudah dibawain sama ibu.”
“Dina, kamu selalu baik sana mas Dian..”
“Kan mas Dian juga selalu baik sama Dina.”
Entah mengapa, Dina sangat dekat dengan Dian. Keduanya memiliki rasa saling memperhatikan. Apakah karena ada ikatan darah diantara keduanya, entahlah.. Usia yang berbeda sekitar tiga tahunan tak membuat ada jarak diantara mereka. Pastilah keduanya sama-sama tidak mengetahui bahwa ada benang-benang halus yang mengikat mereka, dan Allah mempertemukannya, yang pasti karena Dia memang harus menuntun mereka untuk bertemu. Entahlah..
“Ini mas, ayo kita makan sama-sama..” kata Dina yang kemudian menarik Dian agar duduk disebuah bangku dibawah pohon rindang. Mereka tak menghiraukan teman-teman mereka yang bermain dihalaman.
“Enak kan ?”
“Iya enak sekali. Terimakasih Dina. Kamu punya adik?”
“Mas Dian punya adik ?”
“Tidak..”
“Sama.. aku juga tidak punya adik.”
“Kamu itu adikku..” kata Dian tanpa sengaja.
“Aku nanti mau bilang sama ibu, bahwa aku punya kakak Dian.”
“Ibumu pasti tidak suka.”
“Suka kok..”
“Kamu kan anak orang kaya.”
“Mas Dian anak orang miskin ?”
Dian mengangguk. Karena dia berangkat kesekolah dengan sepeda, sedang banyak teman-teman atau murid disekolahnya yang selalu diantar dan dijemput mobil.. maka Dian merasa bahwa dia anak orang miskin.
“Memangnya kalau miskin tidak punya roti ?” tanya Dina polos.
“Aku jarang makan roti.”
“Nanti aku bilang sama ibu, supaya setiap hari memberi roti pada mas Dian.”
“Tidak usah, aku malu dong.”
“Tidak apa-apa, ibu punya roti banyak kok..”
“Jangan Dina, nanti aku dimarahi ibuku sendiri..”
“Nggak apa-apa.. nanti aku bilang sama ibu..” kata Dian yang kemudian berlari, mendekati teman-temannya yang lain.
***
Ika memasak didapur, ia tak ingin Dian kecewa karena tak ada tempe goreng kesukaannya. Apapun sayurnya, ia selalu menanyakan, adakah tempe goreng? Lalu Ika tersenyum sendiri. Tapi ketika tiba-tiba pinggang kanannya terasa sakit, Ika teringat ketika berada dirumah bu Rina dan melihat Leo. Gara-gara ketakutan maka ketika dia sedang menuntun sepeda motornya, tanpa diduga sepeda motor itu roboh kekanan dan dia menjatuhinya. Pinggangnya entah terantuk apa, rasanya sangat nyeri. Barangkali memar, ia belum melihatnya. Lalu ia mengelusnya perlahan, sebelum melanjutkan memasak.
“Mengapa aku harus ketemu lagi sama dia?” keluhnya lirih.
Ika membalik tempe yang sudah digorengnya, takut gosong seperti nasib ikan ayamnya kemarin.
“Aduh, padahal bu Rina memesan belanjaan lagi untuk besok pagi. Apa yang harus aku lakukan? Aku sudah menyanggupinya dan dia sudah menitipkan uang sebagian,” gumam Ika.
Ia membalik tempe gorengnya sekali lagi sebelum mengentasnya.
Ketika selesai menata nasi dan lauk di atas meja, Ika duduk termenung di kursi. Berpikir untuk menghindari pertemuan dengan Leo. Sekali dua kali ia berhasil menghindar, lalu bagaimana besok pagi, atau lusa kalau bu Rina masih ingin menitip lagi seperti yang sudah?.
Ika beranjak berdiri ketika kembali pinggangnya terasa nyeri. Ia mengambil handuk dan baju untuk ganti, lalu masuk kekamar mandi. Ia harus melihat seperti apa luka dipinggang kanannya.
Dan memang benar, pinggang yang terasa nyeri itu meninggalkan bercak kebiruan yang mungkin karena terlambat ditangani, kebiruan itu sudah menjadi ungu. Ika merabanya dan menggigit bibir menahan sakit.
“Aduh, aku harus mengobati dengan apa ini?”
Selesai mandi Ika mencari obat gosok, barangkali dengan itu rasa sakitnya bisa berkurang.
“Adduh.. ternyata diraba saja terasa sakit.”
Perlahan Ika menggosok memar itu dengan obat gosok yang hangat.
***
“Ibu.. tadi mas Dian sudah Dina beri roti, bukan separo seperti biasanya, tapi utuh,” celoteh Dina ketika selesai makan siang itu.
“Anak pintar. Ibu senang kamu menjadi anak yang baik hati dan suka berbagi.”
“Dia itu anak orang miskin..”
“Eeh.. mengapa Dina bilang begitu? Nggak boleh lho.”
“Iya bu, dia sendiri yang bilang.”
“Jangan lagi mengatakan dia miskin, nanti dia malu, kemudian tidak mau lagi berteman dengan kamu.”
“Mau kok. Dia baik..”
“Benar, tapi nggak boleh bilang begitu lagi, ya?”
“Besok ibu beri lagi dua roti untuk bekal ya bu?”
“Iya sayang, jangan khawatir, sekarang ibu mau istirahat, dan kamu juga harus bobuk siang.”
“Bolehkah mas Dian menjadi kakaknya Dina?”
“Boleh saja..”
“Besok aku mau bilang kalau ibu tidak marah.”
“Memangnya kenapa ibu marah?”
“Tadi mas Dian bilang kalau ibu tidak suka, karena dia miskin.”
“Tidak, ibu tidak akan marah, ibu suka kamu banyak teman, apalagi dia pintar.”
“Baiklah.. sekarang aku mau bobuk.. besok aku mau bilang sama dia bahwa ibu tidak akan marah kalau aku punya kakak mas Dian.”
Rina tersenyum, terkadang Rina heran, seperti apa sih yang namanya Dian, kok Dina begitu suka dan baik hati sama dia?
***
“Ibuuu....” begitu teriak Dian setiap kali pulang sekolah.
“Dian, kamu baru pulang?”
“Kan aku sudah bilang kalau hari ini ada tambahan pelajaran?”
“Oh iya, ibu lupa.. Ganti baju dan cuci kaki tangan, ayo ibu temenin makan.”
“Dian masih kenyang bu, kan tadi ibu membawakan bekal untuk Dian.”
“Kan dimakan sa’at istirahat tadi? Kok masih kenyang?”
“Tadi, Dina memberi Dian roti lagi. Dan tadi itu rotinya besar, utuh, tidak seperti biasanya dibagi dua sama dia.”
“Aduuh.. mengapa dia sangat baik sama Dian?”
“Nggak tahu tuh bu, aku sudah menolak, dia memaksa. Katanya hari ini ibunya membawakan dua roti, yang satu untuk Dian.”
“Memangnya kamu kenal sama ibunya?”
“Ya tidak bu..”
“Ya sudah, tidak apa-apa, asalkan diberi, dan bukan karena kamu yang minta. Karena menolak pemberian itu juga tidak baik.”
“Ya bu.”
“Ganti baju dan cuci kaki tangan nak.”
Dian meletakkan tas sekolahnya kemudian setengah berlari ke kamar mandi.
***
Pagi itu seperti janjinya, Ika membelanjakan pesanan Rina, tapi sampai didepan gerbang, dia ragu-ragu untuk melangkah masuk. Ada rasa was-was kalau bertemu lagi dengan Leo. Ika sudah berjanji dalam hati, bahwa ini yang terakhir dia menerima pesanan Rina, karena dia tak ingin terganggu oleh pertemuannya dengan Leo.
Cukup sudah semuanya, dan Ika berharap ia tak akan lagi bertemu dengannya.
Dia mundur dari gerbang itu, agar tak menghalangi seandainya ada mobil mau masuk ataupun keluar.
Tapi tetap saja hatinya berdebar tak karuan. Bagaimana.. bagaimana.. bagaimana.. itu terus yang dipikirkannya.
Ketika dia masih saja membawa keresek berisi pesanan Rina, dan tak segera masuk, seseorang tiba-tiba menyapanya.
“mBak Ika, kok nggak masuk? Itu pesenan bu Rina kan ?”
Ika menoleh, dan seorang pelanggannya lewat, membuatnya malu.
“Oh, iya.. iya bu, takutnya bu Rina tidak ada dirumah,” jawabnya sekenanya.
“Ada kok, baru saja aku melihat dia berdiri di teras.”
“Baiklah,” lalu mau tak mau Ika melangkah memasuki gerbang, dan terburu-buru masuk. Seperti kemarin mobil Leo tidak terparkir di halaman. Ika khawatir akan berpapasan lagi dengannya. Itu sebabnya dia cepat-cepat masuk, meletakkannya di teras, lalu membalikkan tubuhnya untuk segera keluar.
“Lho, mbak.. kok buru-buru, aku kan belum bayar?” teriakan itu membuat langkahnya terhenti.
“Ini, sudah aku siapkan uangnya, kok belum-belum mau pergi.”
Ika terpaksa kembali.
“Ma’af bu, so’alnya saya juga sudah janji datang pagi-pagi untuk seorang pelanggan.”
“Ya sudah, tapi ini diterima dulu uangnya, sama catatan belanjaan untuk besok pagi.”
“Tapi bu.. ini.. eh.. besok.. ma’af.. saya tidak bisa.. “
“Tidak bisa? Kenapa?”
“Besok.. ss..saya.. tidak jualan..”
“Kenapa?”
“Ada.. keperluan bu.. ma’af sekali.”
“Oh, baiklah.. ya sudah.. lusa saja kalau sudah jualan, bawa saja catatannya.”
Aduuh... Ika mengeluh dalam hati. Mau tak mau ia menerima catatan itu, sambil mencari jalan.. bagaimana caranya memberikan belanjaan pesanannya tanpa dia harus datang kesana.
Ia bergegas keluar, dan beruntung tidak berpapasan dengan pemilik wajah ganteng yang sangat dibencinya.
***
Ketika sampai dirumah, Ika terkejut ketika melihat sepeda Dian masih berada didalam rumah. Ika mengamati sepeda itu, dan ternyata ban depannya kempes.
“Aduuh, pasti Dian kesekolah sambil berjalan kaki. Kasihan sekali, udara sangat panas begini.”
Ika ingin pergi ketempat tukang tambal ban, tapi ia memilih memasak dulu, lalu akan menjemput ke sekolah Dian nanti sa’at dia pulang.
Begitu selesai memasak, Ika menurunkan keranjang belanjaannya, lalu mengeluarkan sepeda motornya.
“Jangan sampai terlambat, supaya Dian tak perlu pulang dengan berjalan kaki,” gumamnya pelan.
Namun ketika dia sedang menstarter sepeda motornya, dilihatnya sebuah mobil berhenti. Berdebar hati Ika karena seperti mengenal mobil itu. Ia ingin kembali masuk kerumah, ketika sebuah teriakan terdengar.
“Ibuuuu..”
Ika menoleh, dan melihat Dian turun dari mobil bersama seorang gadis kecil.
==========
..........Mau tak mau Ika berhenti melangkah, menunggu Dian dan gadis cantik itu mendekat, dengan hati berdebar tak menentu. Aduhai, siapa anak kecil ini, dan siapa yang masih ada didalam mobil? Lalu Ika menghibur hatinya, bahwa pasti banyak mobil dengan warna dan merk yang sama.
“Ibuu...”
“Ya sayang....”
“Ini teman Dian.. yang suka memberi roti.. namanya Dina..”
“Ooh... Dina...” senyum Ika merekah.. lalu Dina menyalami tangan Ika, dan menciumnya.
“Andina..” katanya kemayu.
“Kalian bersama siapa?” dan dada Ika kembali bergetar..
“Kami pulang awal, karena ada rapat disekolah bu.”
“Bagaimana kalian bisa bersama?”
“Mas Dian jalan kaki, lalu Dina minta ibu berhenti..”
“Iya bu.. Dina dijemput ibunya, lalu mengantar Dian pulang,” kata Dian.
Kepala Ika terasa seperti tersiram segayung air es.. mendengar bahwa Dina ternyata bersama ibunya. Siapapun pemilik mobil itu, yang pasti bukan seorang laki-laki yang diduganya adalah Leo.
“Oh, ya ampuun, terimakasih banyak Dina, bersama ibu ya?”
Dan tiba-tiba jantung Ika kembali berhenti ketika melihat siapa yang turun, seorang perempuan cantik, dan ramah, yang sudah dikenalnya. Bu Rina.
“Ya Tuhan... ya Tuhan... Dina ini anaknya bu Rina?” pekik batinnya tanpa bisa mengatakan apa-apa ketika bu Rina mendekatinya.
“mBak...” sapanya sambil tersenyum.
“Mm... bu.. Rina?”
“Ternyata dia anakmu? Dina sangat dekat dengannya,” kata bu Rina sambil menyalami Ika dan menggenggam tangannya.
“Ter.. terimakasih banyak bu... telah sudi mengantarkan anak saya.. tadi ban sepedanya kempes, jadi dia jalan kaki.”
“Anak-anak dipulangkan awal, karena gurunya ada rapat, lalu wali kelas Dina menelpon aku. Jadi aku segera menjemputnya, tapi dijalan Dina melihat Dian berjalan kaki, lalu meminta aku berhenti, dan mengantarkannya pulang,” kata Rina panjang lebar.
“Terimakasih banyak.. terimakasih.. mm.. silahkan duduk.. bu,” masih gugup Ika ketika mempersilahkan tamunya duduk.
“Tapi ini sudah siang, barangkali tidak lama lagi suamiku akan pulang untuk makan siang.”
“Ooh..”
“Ibu.. bolehkah Dina bermain disini?”
“Lain kali saja Dina, nanti bapak mencari kita.”
“Biar bapak menjemput Dina kemari, ya bu..”
Jantung Ika kembali berdegup kencang mendengar kata-kata Dina. Kalau bapaknya menjemput, bukankah ia akan bertemu. Jangaaan.. jangaaan... do’anya dalam hati.
“Dina.. lain kali pasti ibu akan mengantar kamu main kemari, sekarang kan belum pamit sama bapak, nanti kalau bapak pulang mencari kita bagaimana?”
Dina mengangguk, lalu menyalami Ika dengan manis.
“Dina pulang dulu ya, mas Dian.. Dina pulang dulu..” kata Dina sambil menyalami Ika dan Dian.
“Terimakasih sayang, sudah berbagi roti setiap hari sama mas Dian,” kata Ika lembut. Agak tenang hatinya ketika bu Rina menolak permintaan anaknya.
“Ibu punya roti banyak kok.. ya kan bu..”
“Iya.. iya.. sudah ya mbak.. kami pamit dulu. Saya juga berterimakasih, Dian sering membantu Dina menggarap pekerjaan rumahnya.”
“Iya bu Rina, sama-sama..”
“Senang anak-anak kita bersahabat .”
Ika mengantarkan mereka sampai naik keatas mobilnya. Ketika melangkah kembali kearah rumah, Ika benar-benar gelisah.
“Jadi Dina itu anaknya Leo.. ya Tuhan, apa artinya semua ini? Saudara sedarah, kemudian bersahabat. Mengapa.. mengapa.. Tapi aku tak ingin bertemu dia.. aku jangan sampai bertemu dia..aku benci semuanya.. aku benci..” jerit batin Ika.
“Ibuuu.. tadi sepeda Dian kempes, jadi Dian kesekolah dengan berjalan kaki.”
“Iya, ibu baru tahu ketika pulang. Ayo ganti baju dulu dan makan, ibu mau ke tukang tambal ban, supaya besok kamu tidak harus jalan kaki.”
“Nanti biar Dian saja yang membawa ke tukang tambal. Bukankah sebelum perempatan itu ada?”
“Iya nak, boleh, nanti ibu temani. Sekarang ganti bajumu, lalu kita makan. Yuk..”
***
Pagi itu Ika merasa sangat gelisah. Dia sudah berbohong, dengan mengatakan kepada Rina bahwa dia tidak jualan hari ini, hanya karena menghindari bertemu dengan Leo. Tapi ternyata Allah menghendaki lain. Anaknya Leo sahabat Dian. Dan kemungkinan bertemu pasti akan ada, apalagi Rina sudah tahu dimana rumahnya.
Kalau nanti Rina tahu bahwa dia berjualan, tidak seperti apa yang dia katakan kemarin, apa yang harus dikatakannya?
“Aduuh.. ternyata berbohong itu juga menyiksa. Seperti menghambat langkah aku. Seperti dikejar-kejar sesuatu yang membuat aku takut,” bisiknya dalam hati, sambil menata dagangannya dipagi buta itu.
Tapi setelah dipikirnya masak-masak, Ika kemudian menyiapkan apa yang dipesan Rina kemarin. Wanita itu baik, mengapa harus menjadi korban kebohongannya? Tapi Ika kemudian mencari akal, bagaimana caranya supaya ia bisa menyerahkan pesanannya tanpa harus pergi kerumah Rina.
“Adakah yang bisa membantu ya? Semoga ada anak-anak lewat, atau seseorang yang bisa memberi aku pertolongan,” batinnya.
Ika hampir sampai dirumah Leo. Hatinya kebat-kebit tidak karuan. Ia berhenti agak jauh dari sana. Keresek berisi pesanan telah ditentengnya, tapi ia tak ingin masuk. Ia menoleh kekiri dan kekanan, barangkali ada yang bisa dimintai pertolongan.
“Duuh... siapa ya... sungguh aku tak ingin masuk kesana.”
Beberapa sa’at lamanya Ika hanya termangu. Tapi tiba-tiba dilihatnya seorang laki-laki mendorong gerobak sampah. Ika menunggu sampai tukang sampah itu mendekat.
“Pak, bolehkah saya minta tolong?” sapanya sambil membuka dompetnya, mengambil uang sepuluhan ribu.
“Iya bu, “ tukang sampah itu berhenti.
“Minta tolong ya pak, berikan bungkusan belanjaan ini kerumah itu, yang gerbangnya cat hitam itu.”
“O, rumah pak Leo ?”
“Iya..pak, katakan kalau saya sedang tergesa-gesa, jadi tidak bisa kesana.”
“Oh, iya bu, baiklah.”
“Terimakasih ya pak, ini sekedar untuk beli teh hangat ya pak,” kata Ika sambil mengulurkan bungkusan dan uang kepada tukang sampah itu.”
“Terimakasih banyak bu.”
Ika merasa lega, lalu dia menstarter motornya dan siap menjajakan dagangannya ketempat lain.
***
“Lho.. ini apa pak?” tanya Rina ketika melihat tukang sampah memberikan bungkusan belanjaan.
“Ini bu, tukang sayur minta tolong agar saya memberikan pesanan ibu.”
“Lho, mana tukang sayurnya? Katanya nggak jualan hari ini.”
“Sudah pergi bu, katanya sedang terburu-buru atau bagaimana, gitu.”
“Oh, ya sudah, terimakasih ya pak. Ini untuk bapak..” kata Rina sambil mengulurkan selembar uang untuk si tukang sampah.
“Bu, tadi mbaknya yang tukang sayur itu sudah memberi saya uang.”
“Tidak apa-apa, ini dari saya, terima saja, jangan pernah menampik rejeki.”
“Baiklah bu, terimakasih banyak, saya permisi,” kata tukang sampah sambil berlalu.
“Aku kira benar-benar nggak jualan, tapi kok ini membelikan pesananku juga. Baik sekali mbaknya itu, rupanya dia khawatir aku tidak bisa memasak kalau dia tidak membelanjakan pesananku. Tapi berarti aku berhutang dong. Nanti aku mau kerumahnya saja untuk membayar, sekalian mengajak Dina, pasti dia senang,” gumamnya sambil membawa belanjaan itu ke belakang.”
***
“Aku menjemput Dina, ternyata sudah pulang,” kata Leo ketika pulang makan.
“Lho, kan aku sudah mengirim pesan ke mas, bahwa Dina sudah aku jemput karena pulang lebih awal?” jawab Rina.
“Masa? Aku nggak baca pesan kamu sih.”
“Ibu guru rapat semua,” celetuk Dina.
“Enak dong cepat pulang.”
“Tadi Dina mampir kerumah mas Dian.”
“Siapa tuh?”
“Itu, yang setiap hari Dina beri roti..”
“O, anak kelas enam yang sering ngajarin kamu?”
“Iya pak. Tadi karena mas Dian jalan kaki, lalu Dina minta agar ibu mengantarnya pulang.”
“Apa dia tidak dijemput?”
“Biasanya naik sepeda kok pak.”
“O..”
“Mas tahu nggak, yang namanya Dian itu ternyata anak tukang sayur yang sering aku titipin belanjaan.”
“Oh ya? Kamu tadi ketemu?”
“Ya ketika mengantar Dian pulang itu, ibunya sudah siap mau menjemput ke sekolah, karena katanya ban sepedanya kempes. Jadi aku ketemu deh. Ee... ternyata dia.”
“Tadi Dina mau main disana dulu, supaya nanti bapak menjemput. Tapi nggak boleh sama ibu.”
“Kalau Dina mau main, harus bilang dulu sebelumnya. Mana Dina belum makan juga kan?”
“Lain kali boleh kan main kesana?”
“Ya, kalau Dina libur, ibu antar kesana.”
“Benar?”
“Iya Dina. Oh iya, nanti ibu mau kesana, mungkin agak sorean.”
“Horeee.. Dina ikut kan?”
“Boleh..”
“Ngapain sore-sore main kerumah tukang sayur?”
“Tadi itu dia harusnya nggak jualan, tapi karena aku sudah nitip pesanan, dia belanjakan juga, dan belanjaan itu dititipkan di tukang sampah, jadi aku belum membayar pesananku itu.”
“Ooh, baik sekali dia, mau diantar?”
“Nggak usah, aku sendiri saja sama Dina.”
***
Sore itu Ika lebih banyak melamun. Setelah mandi dia duduk termenung didepan rumah. Banyak yang dipikirkannya. Kedekatan anaknya dengan anaknya Rina, membuatnya was-was kalau suatu ketika harus bertemu dengan Leo. Ia sudah berjanji pada dirinya bahwa dia tak ingin bertemu. Dia tak ingin pertemuan itu akan mengorek kisah lama yang kembali menimbulkan luka. Apalagi Leo sudah punya isteri yang dia kenal baik. Seperti apa nanti pertemuan diantara keduanya, sungguh akan membuatnya risau.
“Jangan-jangan nanti akan merusak rumah tangga mereka kalau sampai bu Rina tahu. Tapi bagaimana caranya menghindar ? Sekolah Dian dan Dina.... Oh ya, bukankah Dian sudah hampir ujian dan kalau dia lulus, dia harus berpindah sekolah?” gumamnya.
Ika tersenyum, merasa agak lega. Tapi bukankah Rina sudah tahu rumahnya ? Dan senyum itu menghilang tiba-tiba.
“Apa yang harus aku lakukan? Aku tinggal disini sejak Dian belum lahir, haruskah pindah lagi? Bisakah mendapatkan rumah yang nyaman dan sewanya terjangkau oleh aku?”
“Ibuuu...” tiba-tina Dian sudah ada didekatnya.
“Ada apa ? Kamu kalau memanggil ibu pasti deh sambil berteriak, ibu jadi kaget.”
Dian meleletkan lidahnya.
“Ma’af...” kata Dian sambil memeluk ibunya dari belakang
“Ibu sedang ngapain ?” lanjut Dian.
“Tidak ngapa-ngapain.. Lagi duduk-duduk saja. Habis kamu kan lagi belajar.. nanti ibu mengganggu dong.”
“Sudah selesai..”
“Bagus, ayo duduk disini sama ibu.”
“Bu.. besok kalau lulus, Dian mau melanjutkan kemana ya?”
“Terserah kamu, mau melanjutkan kemana? Kalau bisa ya sekolah negri, biar biayanya nggak begitu mahal..”
“Kata bu guru, karena nilai Dian bagus, besok pasti bisa masuk ke sekolah negri .”
“Syukurlah, anak ibu harus pintar..”
“Nanti kalau Dian sudah lulus.. nggak akan ketemu lagi sama Dina..”
“Oh iya ya.. kamu suka ya punya adik seperti Dina?” kata Ika, yang dalam hati mengatakan bahwa gadis itu memang adiknya seayah.
“Dia itu lucu.. “
“Iya, cantik dan lucu...”
“Mas Diaaaan...!”
Ika dan Dian menoleh. Dilihatnya Dina berlari-lari kecil menuju kearah rumah.
“Baru diomongin... dia muncul,” kata Dian sambil tertawa.
Rina tampak berjalan dibelakang Dina yang sudah mendahului.
Setelah Dina menyalami Ika, kemudian Ika berdiri menyambut kedatangan Rina.
“Sedang sibuk mbak?” tanya Rina setelah dipersilahkan duduk di teras.
“Tidak bu, sedang santai bersama Dian. Dari mana bu?”
“Dari rumah. Tadi kan belanjaannya mbak kirim melalui tukang sampah, jadi aku belum membayar kan mbak?”
“Oh.. iya, ma’af ya bu, tadi saya sedang terburu-buru.”
“Tidak apa-apa, aku yang minta ma’af, karena merepotkan .. maunya nggak jualan tapi terpaksa membelanjakan pesanan saya.”
“Cuma sedikit kan bu, nggak apa-apa..”
“Ini uangnya mbak..” kata Rina sambil mengeluarkan selembar uang ratusan ribu.”
“Saya ambilkan kembaliannya dulu bu.”
“Tidak, biar saja nitip disini, kan aku masih mau pesen untuk besok pagi..” kata Rina sambil mengulurkan selembar catatan belanjaan.
Tuh kan.. Ika kembali merasa bingung. Mau menolak, harus dengan alasan apa lagi..kalau tidak ditolak, sungguh dia segan datang kerumahnya. Mana banyak sekali pesanannya kali ini.
“mBak, ini agak banyak, karena nanti sore mertua mau datang bersama saudara-saudaranya suami, jadi aku masak agak banyak.”
Mertua... mertua.. mertua... Ika teringat, ketika itu berharap bisa menjadi menantunya setelah Leo melakukan hal terkutuk itu, tapi wanita cantik yang duduk didepannya itulah yang kemudian menjadi menantunya. Ada rasa teriris yang terasa perih, merajang hatinya.
“Apakah uangnya kurang ya mbak?”
“Tidak, itu gampang bu.. “ kata Ika dengan wajah sedikit suram.
“mbak tidak keberatan kan, saya nitip belanjaan terus?”
“Oh, tidak bu.. tentu saja tidak,” jawaban itu bertentangan dengan isi hatinya, karena sungkan, dan karena tak mendapatkan alasan untuk menolaknya.
“Atau saya tambah lagi saja uangnya, daripada ...”
“Tidak.. ini cukup bu, gampang kalau kurang,” kata Ika memotong ucapan Rina.
“Baiklah, terimakasih ya mbak. Aduh, kita sudah saling kenal tapi kok aku belum tahu nama mbaknya ya..”
Ika tertegun. Kalau dia mengatakan namanya, lalu Leo tahu, dan mengingat nama itu, bagaimana? Mungkin juga tidak teringat, tapi rasanya Ika tak ingin mengatakannya.
“Boleh tahu namanya mbak?”
“Oh, iya.. saya... mm.. saya.. panggil saja saya.. Yanti..”
“O, mbak Yanti, nah enak jadinya.. tidak hanya mbak.. mbak.. saja.. Kan mbak Yanti sudah tahu nama saya? Atau belum ? Saya bu Leo.. atau panggil saja saya bu Rina, karena orang-orang memanggil saya dengan nama itu.”
“Bu Leo..? Tidaaak.. menyebut nama itu saja aku merasa sakit..” kata batin Ika.
“Iya, bu Rina.. saya sudah tahu, dari tetangga bu Rina yang sering belanja kepada saya.”
“Oh, gitu ya.. Syukurlah. mBak Yanti disini tinggal sama Dian, dan suami? Atau Dian punya saudara ?”
Duuh.. suami? Suami apa.. tak ada yang mau menjadi suami aku.. Ika kembali merasa perih, lalu ia berdiri, bermaksud menyembunyikan air mata yang mulai mengambang.
“Eh, mbak Yanti.. mau kemana?”
“Sebentar bu..” kata Ika sambil terus masuk kedalam. Diruang tengah dilihatnya Dian dan Dina sedang duduk berdua sambil melihat-lihat gambar dari buku yang dimiliki Dian. Ika mengacuhkannya, langsung kebelakang, pura-pura membuat teh untuk tamunya. Ia mengambil dua buah cangkir, sambil mengusap air matanya. Ia menghela nafas berat, sambil mengaduk gula yang dibubuhkannya kedalam teh hangat yang akan disuguhkannya kepada tamunya.
“Aku tak boleh memperlihatkan perubahan sikap ini, aku harus bisa menahannya,” gumamnya pelan sambil membawa nampan dengan cangkir-cangkir diatasnya.
“Lhoooh.. ternyata mbak Yanti repot-repot..”
“Nggak apa-apa bu, cuma air saja.. silahkan bu.”
“Terimakasih mbak.”
“mBak Dina.. ini minum tehnya..” teriak Ika.
“Iya.. nanti dulu bu,” Dina menjawab sambil berteriak dari dalam.
“Biarkan saja mbak..” kata Rina sambil menghirup teh nya.
Tiba-tiba telpon Rina berdering.
“”Hallo mas.. apa? Oh.. ya ampuun..kunci mobil mas terbawa aku? Ma’af.. tadi tergeletak didepan lalu aku memasukkannya kedalam tas. Baiklah.. oh, mau menyusul kemari? Nggak apa-apa, susul saja kemari, sudah tahu tempatnya?”
Dan tiba-tiba jantung Ika seperti berhenti berdetak. Kedua telapak tangannya terasa dingin.
Bersambung #3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel