Cerita bersambung
Karya : Tien Kumalasari
................Ika Wijayanti meletakkan bakul dagangannya didapur. Sayur yang dijualnya tinggal sedikit. Ia memasukkannya kedalam kulkas agar besok bisa dijual kembali. Lalu dia duduk dikursi dapur, sambil meneguk air dingin yang sudah disiapkannya, lalu mengelap keringatnya yang membasahi dahi dan tengkuknya.
Perempuan cantik dan masih tergolong muda itu bekerja dengan menjual sayur keliling. Ada sepeda motor butut yang membantunya membawa dagangannya. Tak banyak pendapatan yang didapatnya, namun disyukurinya, karena pendapatan yang diterimanya cukup untuk membayar sewa rumah kecil yang ditempatinya bersama Ardian anaknya, dan membiayai sekolah anaknya yang sudah hampir lulus Sekolah Dasar. Kedua orang tuanya sudah lama meninggal, sebelum Ardian dilahirkan. Mereka juga bukan orang berada yang meninggalkan banyak harta untuk Ika, anak tunggalnya.
Ketika itu ibunya sudah sakit keras karena penyakit thypus yang terlambat ditangani, lalu meninggal tak lama kemudian.
Ada malam yang begitu buruk, yang mengatakan bahwa impiannya kandas, yang membuatnya terpuruk dalam derita berkepanjangan. Yang membuat ayahnya kemudian meninggal karena terlalu sedih memikirkan nasib anaknya.
Semuanya sudah berlalu, Ika telah berhasil melampaui semuanya.
Sekarang ini Ika tak merasa kekurangan. Ia dan Ardian bisa berpakaian pantas dan cukup makan, itu adalah anugerah. Tak banyak yang ingin diraihnya, kecuali membesarkan anaknya dan membuatnya menjadi orang.
Setelah cukup beristirahat, Ika memasak sayur karena tak lama lagi Ardian akan pulang sekolah. Ia hanya membuat sayur bayam dengan ceme, lalu menggoreng tempe dan tahu kesukaan Ardian.
Setelah selesai, ia menatanya di meja, lalu pergi mandi.
“Ibuu... Dian sudah pulang..” sebuah teriakan nyaring itu membuat senyum Ika terkembang. Ia sudah selesai mandi dan berpakaian bersih, lalu keluar menyambut buah hatinya.
“Sayang, bersihkan kaki tangan, lalu ganti pakaian kamu dengan yang sudah ibu siapkan,” Katanya sambil mencium ubun-ubun anaknya.
“Ibu masak apa hari ini ?”
“Masak enak, sudah sana cuci kaki tangan dulu, pakai sabun ya, yang bersih.”
“Ada tempe goreng nggak..”
“Adaa... Aduuh Dian, ibu kan tidak pernah lupa makanan kesukaan kamu.”
Ardian berlari kekamar mandi, Ika menunggunya didepan meja makan.
Bahagia rasanya, ketika sudah duduk berdua dengan buah hatinya. Hanya itu yang dia miliki, sebuah benih yang tumbuh menjadi besar, yang semula amat dibencinya, tapi kemudian sangat disayanginya.
Terbayang peristiwa mengerikan itu. Benci sekali bila mengingatnya, ketika pria tampan yang dicintainya hanya menginginkan tubuhnya, meninggalkan siksa dan kerak kering yang membakar hatinya. Meluluhkan cinta yang semula diagungkannya.
“Ma’af Ika, aku belum berani menikah, aku masih terlalu muda. Kedua orang tuaku akan murka,” jawabnya enteng ketika ia menuntut tanggung jawabnya.
Laki-laki muda nan tampan itu melenggang dengan nyaman, membiarkan tangis Ika melengking bahkan memenuhi angkasa.
Ika merasa dibodohi. Ia menurut saja ketika Leo mengajaknya berpesta, lalu entah bagaimana caranya, tiba-tiba dia tak sadar apa yang terjadi, dan ketika sadar ia sudah berada disebuah kamar, dan Leo terbaring disampingnya.
Ika bangkit dan melihat pakaiannya yang sudah tak karuan.
“Leo..! Apa yang kamu lakukan?” jeritnya sekuat ia bisa melakukannya.
Leo menggeliat, iapun tampak terkejut.
“Leo !!”
Ika membetulkan letak bajunya. Ia merasa ada yang aneh, ada yang berbeda.
“Leoooo..! Bisakah kamu menjawabnya?”
“Aku.. aku..” Leo gelagapan. Ia juga membetulkan semua pakaiannya, bahkan yang terserak dilantai.
“Aku tak tahu, bagaimana ini bisa terjadi.”
“Kamu sudah gila Leo !!”
“Ini.. pasti perbuatan orang-orang gila itu. Bukan aku.. aku tak sadar melakukannya. Ma’af Ika..”
“Kamu gila! Gila! Gila!!”
“Ma’af.. aku tak sengaja.. sungguh ini bukan keinginan aku..”
Ika terisak. Ia sangat mencintai Leo, laki-laki ganteng yang dikenalnya sejak mereka sekolah. Tapi dia tak ingin Leo mengotori cintanya dengan perbuatan busuk yang dilakukannya. Ia terus terisak, sampai ketika Leo menarik tangannya.
“Ayo aku antar pulang,” katanya lembut.
Ika menatap wajah tampan yang tampak pucat itu, dan melihat matanya yang kemerahan.
“Bagaimana dengan kejadian ini? Kamu menodai aku.”
“Kita pulang dulu, besok kita bicara lagi.”
Ika menurut, berharap keesokan harinya ada ungkapan rasa tanggung jawab dari Leo.
“Ibuuu... aku sudah selesai,” teriakan itu membuyarkan lamunannya.
“Oh, iya sayang.. ayo kita makan..” kata Ika riang.
“Asyiiik.. ada tempe goreng lagi..”
“Bukankah ibu selalu menggoreng tempe setiap hari?”
“Kemarin tidak kan, ibu memasak tempe yang rasanya manis, Dian nggak suka.”
“Ohh.. iya, ma’af.. itu namanya tempe bacem nak, nggak suka ya?”
“Enak yang ini..” kata Dian sambil menggigit tempe gorengnya.
“Baiklah, mulai sekarang akan ada tempe goreng untuk kesayanganku ini,” kata Ika sambil membubuhkan nasi dipiring anaknya.
“Ini sayur bayem, Dian juga suka.”
“Dian harus suka semua sayur, karena sayuran itu vitamin yang sangat bagus.”
“Iya, Dian tahu,” katanya sambil menyendok sayurnya.
Ika tersenyum, menatap wajah tampan buah hatinya tak berkedip.
“Dia seperti Leo, benar-benar sepeti Leo,” bisiknya dalam hati.
“Ibu mengapa tidak makan?”
“Oh... iya, ibu juga mau makan..” kata Ika sambil menyendok nasi dan sayurnya.
Lalu sambil menyuap makanannya, ia terus menatap wajah kecil yang dengan lahap menikmati nasi dan sayur bayamnya. Aduhai, Ika menyadari bahwa dia sangat mencintai laki-laki pemilik wajah tampan, yang dulu dengan sangat manis selalu membisikkan kata-kata cinta ditelinganya. Itu dulu, sebelum prahara malam itu melanda.
“Ibu, makanan Dian hampir habis, mengapa ibu tidak makan?” kata Dian ketika melihat ibunya hanya memegangi sendoknya.
“Aduuh.. anak pintar, iya.. ibu melihat kamu makan, jadi lupa menyuapkan makanan kemulut ibu sendiri,” jawab Ika sambil tersenyum.
“Nasinya mau nambah bu..”
“Oh, baiklah, ibu ambilkan atau ambil sendiri?”
“Ambil sendiri saja..”
Ika melanjutkan menyuap makanannya. Akhirnya ia harus melupakan semuanya. Merubah cinta kepada laki-laki yang telah meneteskan benih dirahimnya, menjadi kebencian yang tak akan terobati.
“Ibu, jangan lupa besok harus membayar uang sekolah dan uang untuk ujian ya. Besok batas terakhir pembayaran.”
“Iya sayang, sudah ibu siapkan. Ingatkan ibu kalau ibu lupa ya.”
***
Setiap pagi Ika berangkat lebih dulu, karena pagi-pagi sekali dia harus menjajakan sayurannya. Ia menyiapkan baju seragam anaknya dan sarapan, barulah berangkat. Dian sudah tahu apa yang harus dilakukannya sebelum berangkat sekolah. Berdandan rapi, sarapan, lalu mengunci rumah. Dian dan ibunya membawa masing-masing kunci rumah, supaya tidak kebingungan bagi yang pulang terlebih dulu. Sejak kelas empat ibunya mengijinkan Dian pergi kesekolah dengan naik sepeda sendiri, karena tempat sekolahnya tidak begitu jauh dari rumah.
Ika menjajakannya dari rumah kerumah, terkadang membawakan pesanan mereka. Banyak langganan yang harus dipenuhi permintaannya, dan para langganan biasanya puas atas pelayanan Ika. Kecuali ramah dan baik kepada semua orang, ia juga selalu membawa sayuran yang masih baru dan segar.
Sudah beberapa rumah yang dia layani pagi itu, ketika seorang wanita cantik berdiri ditengah gerbang rumahnya dan menghentikannya.
“Sayurnya masih banyak mbak?”
“Masih bu.. silahkan.. “ kata Ika sambil menstandard kan motornya lalu menurun kan semua dagangannya diatas tikar plastik yang selalu dibawanya.
“Masih banyak ya.. ada daging ?”
“Ada bu, dagingnya selalu yang bagus, ini ada yang satu ons an, ada yang seperempat kiloan. Daging ayam juga ada, tapi tinggal paha setengah kilo bu.”
“Aku mau yang seperempatan dua bungkus ya, daging sapi saja. Kentangnya ada ?”
“Ada bu, ini sekiloan..”
“Wortel, seperempat saja. “
Ika melayani pembelinya dengan sangat ramah. Ia menempatkan semua yang dibeli pelanggannya kedalam sebuah kantung plastik.
“Biasanya pembantu saya yang belanja dipasar, tapi hari ini dia pamit pulang ke kampung karena sakit. Yaah, agak repot aku mbak. Nggak tau sampai berapa lama nanti dia pulangnya, sementara suami aku tidak suka masakan yang beli diluar. Maunya memasak sendiri dirumah.”
“Benar bu, agak repot ya.. Bagaimana kalau ibu pesan yang akan dimasak besok, lalu saya bawakan ?”
“Oh .. bagus mbak.. boleh, aku ambil dulu uangnya sambil aku catatkan untuk belanjaan besok ya. So’alnya aku nggak suka kepasar. Kotor dan bau,” katanya sambil berlalu, tak lupa membawa belanjaan yang sudah dipesannya.
Ika mengangguk. Senang mendapat pelanggan baru, seorang wanita cantik. Tampaknya orang berada, rumahnya bagus, ada mobil bagus terparkir di halaman.
“Aduuh.. orang kaya itu segan ya kepasar tradisional? Kotor dan bau. Padahal aku setiap hari keluar masuk pasar. Nggak apa-apa sih untuk aku.. kalau nggak mau kotor dan bau.. ya nggak dapat duit ..” gumamnya sambil memasukkan kembali barang-barang dagangannya kedalam keranjang.
“Ini mbak, duitnya tadi, ini catatan pesanan saya untuk besok.”
“Baiklah bu... ini kembaliannya..”
“Sudah bawa saja dulu mbak, besok saya tinggal nambahin.. gitu kan enak.”
“Oh, ya sudah bu, terimakasih sudah belanja, saya permisi dulu..”
Wanita cantik itu mengangguk, lalu menutup gerbangnya dan masuk kedalam rumah.
***
Ika masih terus menjajakan barang dagangannya. Disebuah ujung jalan, beberapa ibu sudah menunggu. Ika berhenti sambil tersenyum.
“Agak siang sih hari ini, mbak Ika?” tanya seorang ibu.
“Iya bu, ma’af.. ada yang belanja agak banyak di gang sebelum ini,” jawab Ika sambil menurunkan barang dagangannya.
Ibu-ibu segera berebut mengambil sayuran yang dijualnya. Ika melayaninya dengan sabar. Bahkan ketika seorang ibu dengan nyinyir menawar dagangannya, ia tetap melayaninya sambil tersenyum manis.
“Mahal amat sih mbak Ika, biasanya sebiji juga seribu. Ini tiga biji duaribu boleh kan?” kata seorang ibu menawar buah ceme yang dipilihnya.
“Jangan dong bu, ya sudah untuk ibu duaribu limaratus saja.”
“Waduuh.. bu Kirman ini.. cuma limaratus rupiah saja kok ya ditawar, kasihan mbak Ika yang sudah bersusah payah menggendong dagangannya kemana-mana,” tukas ibu yang lain, yang sebel karena bu Kirman memang suka menawar.
“Lho, nawar ya boleh kan, namanya orang belanja, kalau bisa murah bukankah lebih irit?”
“Huhh..” ibu yang lain mencibir. Tapi Ika tersenyum saja.
Agak lama Ika melayani beberapa pembeli disitu, lumayan banyak ibu-ibu yang belanja.
Jam sepuluh pagi biasanya Ika sudah pulang.
***
Ketika itu sayur segarnya sudah hampir habis. Paling-paling tinggal satu atau dua ikat, yang akan dimasaknya sendiri nanti dirumah.
Ketika ia memasuki rumah, ia terkejut ketika melihat kartu pembayaran uang sekolah berikut uangnya masih tergeletak di meja.
“Aduuh, bagaimana Dian ini? Katanya ini hari terakhir. Harus aku susulkan ke sekolah nih. Tapi aku belum mandi.. bagaimana, badanku pasti bau.. nanti Dian malu ibunya kesekolah dengan tubuh bau sayuran, terkadang amis juga. Ya sudah, aku mandi dulu saja, nggak apa-apa seandainya Dian lapar dan aku belum sempat memasak. Masih ada sisa sayur dan telur.”
Lalu Ika segera mengangkat keranjang dagangannya turun, diletakkannya didapur, kemudian dia pergi mandi sebelum berangkat ke sekolah anaknya.
“Anak itu teledor sekali. Ribut mengingatkan ibunya, ee.. dia sendiri lupa membawanya. Menyesal tadi tidak aku masukkan kedalam tasnya sekalian,” omel Ika sambil masuk kekamar mandi.
***
Ketika sampai disekolah, banyak anak-anak bermain dihalaman. Rupanya memang sa’at istirahat. Ika mencari-cari diantara anak-anak itu, barangkali Dian sedang bermain bersama mereka. Tapi ia tak melihatnya. Mungkin sedang ada dibelakang sekolah atau apa, lalu Ika langsung masuk keruang guru.
“Selamat siang,” sapa Ika.
“Selamat siang bu, ada yang bisa kami bantu?” sambut salah seorang guru yang sedang berkumpul diruang itu.
“Saya mau membayar uang sekolah anak saya, dan uang untuk membayar ujian. Tadi sudah saya siapkan, rupanya dia lupa membawanya.”
“Oh.. iya, namanya juga anak-anak. Siapa anak ibu dan kelas berapa?”
“Namanya Ardian, kelas enam A, bu.”
“Iya lah, kelas enam, kan membayar uang ujian,” kata guru itu sambil tertawa.
“Mari silahkan duduk bu.”
“Namanya Ardian?” tiba-tiba salah seorang guru lainnya bertanya.
“Iya bu..”
“Saya wali kelasnya Ardian, tadi dia pamit pulang untuk mengambil uangnya yang ketinggalan.”
“Ya ampuun, jadi dia pulang ya, pantesan saya cari dihalaman tidak kelihatan. Pasti dia bingung uangnya sudah saya ambil.”
“Ya sudah bu, ibu bayarkan saja, nanti kan dia juga tahu kalau ibu sudah membayarkannya.”
“Baiklah bu.” Kata Ika sambil mengeluarkan kartu pembayaran Dian dan langsung membayarnya.
Melangkah keluar dari ruang guru, Ika mencoba mencari lagi apakah Dian sudah ada diantara mereka, ternyata belum ada.
“Aku tadi juga tidak memperhatikan kiri kanan sih, harusnya bersimpangan tadi, entah dimana,” gumam Ika sambil menstarter sepeda motornya, lalu keluar dari halaman sekolah.
***
Dian kebingungan, ketika dirumah tidak menemukan yang dicarinya.
“Tadi dimeja sini, kok nggak ada. Bukankah sebelum berangkat ibu meletakkannya disini? Apa aku lupa sudah aku masukkan kedalam tas ya? Tapi tadi sudah aku cari tidak ada tuh.”
Lalu Dian masuk kekamar, melihat barangkali tertinggal di atas tempat tidur, tidak ada juga. Dian kemudian keluar rumah dan menuntun sepedanya untuk kembali ke sekolah.
Jalanan sangat ramai siang itu, Dian mengayuh sepedanya pelan dan selalu minggir. Itu pesan ibunya wanti-wanti. Tapi Dian masih kepikiran tentang uang itu. Ia sama sekali tidak tahu bahwa ibunya sudah pulang dan sekarang mengantarkan uangnya ke sekolah.
“Bagaimana nanti aku bilang sama ibu guru ya. Uangnya nggak ada, lalu aku bayar pakai apa?” gumamnya sambil terus mengayuh sepedanya. Ia benar-benar bingung dan tak tahu harus melakukan apa.
“Apa aku mencari ibu dulu untuk meminta uang lagi ya? Pasti ibu marah, tapi daripada tidak membayar uang sekolah dan uang ujian, bukankah lebih baik dimarahi oleh ibu? Tapi harus mencari ibu kemana? Barangkali ibu masih berkeliling di kampung-kampung untuk menjajakan dagangannya. Tapi sesiang ini ibu sudah sampai dimana ?”
Lalu tanpa berfikir panjang, Dian menyeberang kekanan jalan, berharap akan bertemu ibunya digang yang ada didepan sana.
Dalam kebingungan Dian tak berpikir jernih. Tanpa menoleh kekiri dan kekanan, sepedanya nyelonong begitu saja.
Terdengar rem mobil berderit kencang. Dian terkejut lalu menghentikan sepedanya ditengah jalan. Dadanya berdegup kencang karena nyaris tertabrak mobil. Dengan wajah pucat pasi dia memutar sepedanya kembali ke pinggir. Tapi tanpa diduga pengemudi mobil itu turun dan menghardiknya.
“Kamu mau mati ?” hardiknya.
Wajah Dian pucat pasi.
“Diaaaan !” Ika melihat anaknya dari seberang jalan. Terkejut dia melihat ada seorang laki-laki menghardik anaknya, dan tampak sudah mengayunkan tangannya.
Mata laki-laki itu meredup, terpana melihat wajah anak kecil ganteng yang menatapnya dengan wajah pucat. Karena itulah maka dia tak langsung menamparnya. Ada sesuatu yang menarik dari si anak. Entah apa.
Sepasang mata anak kecil itu memandangi laki-laki ganteng yang nyaris menamparnya.
“Diaaan !” Ika kembali berteriak begitu sampai didekat anaknya. Tertegun memandangi laki-laki ganteng yang menatap Dian dengan tangan masih terangkat keatas.
==========
..............Ika mengenali laki-laki itu, lelaki yang dibencinya setinggi langit sedalam lautan. Ia berharap tak akan pernah bertemu lagi dengannya. Tapi siang ini laki-laki itu sedang mengangkat tangannya dan siap menampar anaknya. Kemarahan Ika memuncak.
“Anak ini adalah darah daging kamu!!” tapi teriakan itu hanya dilontarkan dalam hati. Ia menatap laki-laki itu dengan mata berapi-api, lalu menggandeng tangan anaknya ke pinggir, yang masih dengan erat menggenggam setang sepedanya. Ika berusaha menyembunyikan wajahnya dari laki-laki itu.
Melihat seorang perempuan menggandeng anak kecil itu, si pengemudi kemudian kembali ke mobilnya dan berlalu.
“Apa kamu terluka?” kata Ika sambil mengamati bagian-bagian tubuh anaknya.
“Tidak bu..”
“Mengapa kamu mau menyeberang? Kalau kembali ke sekolah kan tidak harus menyeberang?”
“Mau mencari ibu.”
“Mencari ibu ke seberang?”
“Barangkali ibu masih jualan di gang itu.”
“Ya ampuun, mengapa juga kamu mencari ibu?”
“Mau minta uang bu, uang untuk bayar sekolah hilang,” katanya lirih, takut ibunya marah.
“Dian, uang kamu tidak hilang. Kamu tinggalkan di meja, lalu ketika pulang, ibu melihatnya, kemudian ibu membayarkannya ke sekolah kamu.”
“Ibu dari sekolah Dian?”
“Iya.. mencari kamu disekolah tidak ada.”
“Dian pulang mau mengambil uangnya..”
“Anak baik, ya sudah, semuanya sudah beres, uang sekolah sudah ibu bayarkan, sekarang kamu harus kembali kesekolah bukan?”
“Iya bu..”
“Kamu bisa kesekolah sendiri?”
Dian mengangguk. Setelah bertemu ibunya ia merasa lebih tenang. Kemudian ia mencium tangan ibunya dan kembali mengayuh sepedanya ke sekolah.
Titik air mata Ika menatap punggung anaknya yang mengayuh sepedanya kembali ke sekolah.
Tak tega Ika menstarter sepeda motornya, mengikuti Dian dari belakang, sampai masuk kehalaman sekolah.
***
Sampai masuk kedalam rumah, hati Ika masih diliputi perasaan tak menentu. Ia melihat Leo, dan hampir memakinya ketika melihat dia nyaris menampar anaknya. Untunglah masih terlintas diotaknya bahwa ia tak ingin dikenali laki-laki yang sangat dibencinya itu.
“Dia masih seganteng dulu, tapi lebih matang. Apakah dia sudah punya isteri? Sudah punya anak? Seperti apa isterinya, seperti apa anaknya? Bahagiakah hidupnya?”
Lalu Ika marah kepada dirinya sendiri karena ia kembali memikirkan Leo.
“Huh.. benci.. benci.. benciii!” teriaknya dalam hati.
Setelah membersihkan diri dikamar mandi dan berganti pakaian, Ika melihat sisa sayur yang bisa dimasak. Dilihatnya jam yang ada didinding, dan ia merasa masih cukup waktu untuk memasak. Ada sawi, wortel dan ayam. Ia akan memacak ca sawi dan ayam. Tapi ia lupa menyisakan tempe untuk Dian. Pasti dia protes karena tak ada tempe goreng dimeja makan.
“Ya sudahlah, nanti aku ganti dengan ayam goreng saja. Lalu aku bilang.. ma’af ya le.. ibu lupa menyisakan tempe untuk kamu..”
Tapi sambil memasak itu bayangan laki-laki tampan yang nyaris menghajar anaknya kembali merayapi benaknya. Perasaan kesal dan marah membakar hatinya. Peristiwa buruk dan perlakuan yang semena-mena sa’at itu, membuat hidupnya sengsara, batinnya menderita, dan membuat anak semata wayangnya tumbuh tanpa tahu siapa yang mengukir jiwa raganya. Ika merajang sayuran dengan gemas, seperti merajang-rajang tubuh laki-laki yang pernah dicintainya.
“Hiih... hiihh.. hihhhh... !!” ucapnya dengan gemas, dan sayur yang seharusnya dirajang agak kasar kemudian menjadi irisan-irisan halus, bukan seperti yang diinginkannya.
Lalu ia juga merajang bumbu-bumbunya dengan gemas.
“Auuuwww !” tiba-tiba Ika berteriak. Darah menetes dari jari telunjuknya yang terluka.
Ika berlari ketempat dia menyimpan obat-obatan. Rasa perih bukan hanya pada jarinya, tapi juga hatinya.
“Ya Tuhan.. apa yang terjadi pada diri aku ini? Mengapa tiba-tiba aku bertemu dia.. lalu mengingatnya kembali, lalu kebencian yang sudah lama mengendap menjadi tumbuh kembali,” bisiknya sambil membalut luka dijarinya, tapi tak mampu membalut luka dihatinya.
“Yaaah...!” lalu Ika berteriak lagi, ayam goreng yang hanya dua potong itu hangus dalam penggorengan, ketika dia sibuk merawat lukanya.
Ika mematikan kompor. Urung memasak sayur.. urung menggoreng ayam pengganti tempe kesukaan Ardian. Sebetulnya masih ada dua potong ayam di kulkas, tapi Ika segan memasak lagi.
Lalu Ika duduk dikursi, mengambil segelas air dingin dan meminumnya habis.
***
“Ibuuuu...” Dian meletakkan sepedanya disamping rumah sambil berteriak memanggl ibunya. Namun ketika masuk tak dilihatnya siapapun.
“Ibuu... dimana ya ibu, tapi sepeda motornya ada. Berarti ibu tidak pergi kemana-mana.”
Lalu Dian mencari keseluruh rumah. Didapur diihatnya ada ayam gosong masih teronggok di wajan.
“Wah.. ayamnya gosong, sayang banget.”
Dian membuka tudung saji diatas meja makan, tapi hanya dilihatnya semangkuk nasi.
“Apa ibu tidak memasak ?”
Dian masuk kekamar mandi, membersihkan diri, lalu ketika masuk kekamar, baju ganti sudah disiapkan ibunya.
“Ibu kemana ya?”
Lalu ketika Dian keluar dari kamar, dilihatnya ibunya sudah ada didapur, menata lauk dimeja makan.
“Ibu dari mana ?”
“Dian.. syukurlah kamu sudah pulang. Ibu membeli lauk diwarung sebelah. Ini ada tempe kesukaan kamu,” kata Ika sambil menarik kursi agar anaknya duduk.
“Ibu tidak masak?”
“Tidak.. “
“Itu kenapa jari ibu?”
“Kena pisau nak, itu sebabnya ibu tidak memasak.”
“Sakit ya bu?”
“Enggak nak, hanya sedikit perih, sekarang sudah nggak terasa apa-apa.”
“Ibu tidak berhati-hati sih.”
“Iya Dian, kamu benar, ibu tidak berhati-hati.”
“Lalu ayamnya gosong kan bu?”
Ika tertawa.
“Iya, ibu lupa membuangnya... Ayo makan saja, ini juga enak. Kamu nggak suka ?”
“Suka kok bu.”
“Baiklah, ayo kita makan..”
***
“Ibu, aku sudah pulaaang,” teriak Andina sambil berlari kecil masuk kerumah. Gadis kecil cantik dengan rambut dikepang sebahu itu kemudian memeluk pinggang ibunya.
“Andina sayang, dijemput bapak ya?”
“Iya.. mengapa bukan ibu yang menjemput?”
“Ibu tadi masak, lalu minta tolong bapak, supaya menjemput Andina dulu sebelum pulang makan siang.”
“Oh.. iya.”
“Ayo cuci kaki tangan dulu dan ganti pakaian kamu, habis itu kita makan sama-sama.”
“Baik ibu.”
Ketika Rina selesai menggantikan baju Andina, Leo sudah duduk di meja makan.
“Ini siapa yang masak ?” kata Leo sambil menatap semua hidangan yang tersedia.
“Aku dong mas, kan simbok nggak ada,” jawab Rina sambil tersenyum.
“Benar? Bukan dari beli di warung ?”
“Enak saja, aku susah-susah masak dikirain beli diwarung.”
“Katanya kalau nggak ada simbok repot belanja.”
“Ternyata di kampung ini ada tukang sayur keliling yang jualannya lumayan lengkap, dan sayurannya juga segar. Ada ikan laut, daging sapi, daging ayam.. pokoknya semua yang aku cari ada. Seneng aku.”
“Oh ya?”
“Penjualnya cantik, ramah. Aku sudah pesan untuk masak besok pagi. Aku beri dia catatan, dan dia besedia memenuhi. Lega aku mas, daripada belanja dipasar sendiri seperti simbok, duuh.. pasti kotor dan bau.”
“Namanya juga pasar. Kalau bersih ya bukan pasar namanya.”
“Enak nggak masakanku mas?”
“Enak.. kalau nggak enak ya nggak akan habis sepiring. Cuma agak keasinan..”
“Katanya enak, ujungnya keasinan..” kata Rina cemberut.
“Kok cemberut? Tadi nanya, dijawab marah.. gimana sih? Apa aku harus bohong supaya kamu senang? O, iya.. aku ingat kata teman aku, katanya kalau ingin menyenangkan seorang wanita, lebih baik bohong dikit-dikit.. gitu.”
“Hiiih... gitu ya.”
“Makanya aku terus terang, kan aku nggak suka bohong?”
“Yang bener... nggak suka bohong ?”
“Bener lah, aku ini laki-laki jujur, tahu..”
“Baiklah, beruntung aku dapat suami jujur.”
“Ibu sama bapak ngomongin apa sih?” kata Dina yang menyuap makanannya sambil menatap kedua orang tuanya.
Leo dan Rina tertawa.
“Nggak ngomongin apa-apa.. ibu sama bapak cuma bercanda.”
“Makan sambil bercanda itu kan nggak boleh,” celoteh Dina.
“Oh iya.. bapak lupa. Hup.. jangan bercanda lagi, ayo kita habiskan masakan ibu.”
“Katanya keasinan, kok nambah lagi?”
“Keasinan dikit, tapi enak..”
“Baiklah, ini nggak bohong kan?”
“Kan aku sudah bilang bahwa aku tak pernah bohong?”
“Oh baguslah, tapi awas ya kalau sampai ketahuan bohong.”
“Kok main ancam sih .”
“Pokoknya awas kalau sampai ketahuan.”
“Bapak sama ibu nggak boleh bertengkar,” celetuk Dina lagi.
“Nggak.. bapak sama ibu nggak bertengar Dina, ayo habisin makannya.”
“Ibu, besok kalau bawain bekal untuk Dina, rotinya bawain dua ya.”
“Lho, yang ibu bawain masih kurang?”
“Yang satu lagi mau Dina berikan ke teman Dina. Kasihan dia nggak pernah bawa bekal. Bukan teman sekelas sih, dia lebih besar dari Dina, sudah kelas enam. Dina kan baru kelas tiga?”
“Oh, anak baik. Iya nak, besok ibu bawakan dua iris roti untuk Dina dan temannya. Tapi mengapa Dina bagi makanan Dina dengan anak yang sudah lebih besar?”
“Dia sering ngajarin Dina kalau waktu istirahat dan Dina nggak bisa ngerjain ulangan.”
“Oh, begitu, berarti dia anak pintar.”
“Kata bu guru, dia selalu juara kelas.”
“Kalau begitu Dina juga harus rajin supaya bisa jadi juara.”
Mereka keluarga bahagia, setidaknya itulah yang tampak ketika mereka sedang bersama.
***
“Tangan ibu masih sakit?” tanya Ardian ketika sedang belajar dan ditungguin ibunya.
“Tidak, sudah tidak sakit lagi. Lihat, hanya ibu tutup dengan plester, tidak diperban seperti tadi.
“Besok ibu harus hati-hati kalau memasak.”
“Iya sayang, besok ibu akan lebih berhati-hati. Ayo teruskan belajarnya.”
“Ini sudah selesai bu, semua PR sudah Dian kerjakan.”
“Bagus kalau begitu.”
“Mulai besok, Dian pulang lebih siang dari biasanya.”
“Memangnya kenapa?”
“Ada tambahan pelajaran, kan mau ujian?”
“Oh iya nak, kalau begitu apa Dian perlu membawa bekal? Ibu bawakan nasi sama lauk ya?”
“Terserah ibu saja. Tapi sebetulnya setiap hari Dian diberi roti oleh teman Dian. Eh, bukan teman sekelas Dian sih, dia anak kelas tiga.”
“Oh ya? Kamu kelihatan lapar barangkali. Mengapa nggak bilang ibu supaya membawakan bekal saja? Malu ah..kalau harus minta sama teman.”
“Dian nggak minta bu, tapi dikasih. Dia selalu membawa roti, Dian pasti dikasih separo.”
“Ya sudah, mulai besok ibu bawakan bekal ya. Buat makan sa’at istirahat, supaya kalau pulangnya agak lambat, tidak merasa lapar.”
“Iya, terserah ibu saja.”
“Sekarang sudah malam, sa’atnya tidur. Yuuk..”
Ketika berbaring disamping anaknya, terbayang kembali wajah laki-laki tampan yang sangat dibencinya.
“Mengapa sejak tadi aku teringat terus? Padahal sudah bertahun-tahun aku melupakannya. Aku benci ingatan itu, aku benci.. benci.. benci,” pekiknya dalam hati.
Lalu ditatapnya wajah polos kesayangannya, yang mulai memejamkan matanya.
“Wajahmu mirip sekali dengan dia, tapi kamu adalah buah hatiku,” bisiknya, lalu diciumnya kening anaknya.
***
“Dian, ini bekal untuk kamu, nasi dan ayam goreng ragi,” kata Ika pagi itu sebelum berangkat ke pasar.
“Iya bu.. ada tempenya nggak?”
“Aduuh, ibu belum kepasar, nanti sepulang dari berdagang ibu pasti menggoreng tempe untuk kamu.”
“Terimakasih bu.”
“Segera mandi, lalu sarapan. Awas ya, jangan lupa bekalnya. Oh ya, ibu masukin sekalian kedalam tas kamu saja. Kamu itu teledor, sering lupa ini .. itu,” kata Ika sambil memasukkan bekal kedalam tas anaknya.
“Iya bu. Dian mandi dulu.”
“Ibu berangkat ya, hati-hati dijalan. Jangan menyeberang sembarangan, harus melihat kekiri dan kekanan sebelumnya.”
“Baik ibu,” jawab Dian sambil masuk kekamar mandi.
***
Hari masih remang ketika Ika memasuki pasar, memilih sayuran yang akan dibawanya, lalu mengambil semua dagangan yang sudah dipesan sebelumnya. Ia juga menyiapkan pesanan ibu cantik yang Ika belum tahu namanya, yang minta dibelanjakan karena nggak suka masuk pasar yang kotor dan bau. Ika tersenyum dalam hati.
Begitu selesai menata dagangan di keranjang dan menyiapkan pesanan si ibu cantik, Ika berangkat menjajakan dagangannya seperti biasa.
Ia masuk gang, keluar gang, yang sudah biasa dilaluinya setiap hari karena disitulah para pelanggan menunggunya.
“mBak Ika, apakah ada daun kemangi ?” tanya seorang ibu ketika Ika sudah menggelar dagangannya.
“Waduh, tadi ada sih, sebentar.. oh ini masih sisa seikat bu, cukupkah?”
“Iya, seikat saja, cukup kok.”
“Lha ini bungkusan apa, kok disendirikan, tidak digelar disitu ?” kata seorang ibu yang lain ketika melihat keresek yang masih tergantung di sepeda motornya.
“Oh, itu pesenan ibu.. siapa ya.. yang rumahnya bagus diujung sana.. nggak tahu namanya saya. Orangnya cantik.”
“Oh, diujung sana, sebelah selatan jalan? Ada pohon mangga didepan rumah?”
“Iya bu..”
“Itu namanya bu Rina, tumben belanja sama mbak Ika, biasanya pembantunya yang belanja.”
“Katanya pembantunya sedang sakit, pulang ke desa..”
“O.. pantesan. Orang kaya, nggak pernah ngumpul seperti kita-kita ini.. ya bu,” kata salah seorang ibu yang diiyakan oleh ibu-ibu yang lain.
Setelah selesai, Ika segera menuju ke rumah ibu cantik yang memesan belanjaan dan kata ibu-ibu tadi namanya Rina.
Ketika ia berhenti didepan gerbang, rumah itu tampak sepi. Mobil yang biasanya diparkir dihalaman juga tak tampak. Ika mengambil keresek berisi pesanan bu Rina, lalu membuka gerbang perlahan.
“Kalau bu Rina pergi, biar aku tinggal saja belanjaannya di teras. Pasti dia sudah tahu karena ini barang-barang yang dipesannya. Uangnya besok juga nggak masalah,” pikir Ika,
Perlahan dia mendekati rumah, tapi ketika akan meletakkan keresek itu, tiba-tiba pintu terbuka. Bu Rina cantik muncul dari balik pintu.
“Oh, itu pesananku ya mbak?”
“Iya bu.. “
“Berapa semuanya?”
“Sudah saya tulis di catatan ibu kemarin.”
“Oh, baiklah, ini aku pesan untuk besok lagi ya.” Kata Rina sambil memberikan uang dan selembar kertas.
“Baik bu, terimakasih. Saya kira tadi ibu pergi, habis pintunya tertutup, mobilnya nggak kelihatan.”
“Oh, aku sedang dibelakang. Mobilnya keluar, suami saya sedang mengantarkan anaknya ke sekolah.”
“Oh, begitu ya bu. Baiklah bu, saya permisi dulu.”
Ika membalikkan tubuhnya, tapi tiba-tiba dilihatnya seorang laki-laki turun dari mobil dan menuding-nuding kearah motornya.
“Oh, ma’af mbak, sepeda motor kamu menghalangi mobil suamiku..” kata bu Rina.
“Oh, ma’af.”
Ika bergegas keluar, berusaha meminggirkan motornya. Tapi pandangannya terpaku pada laki-laki yang sudah kembali naik ke mobilnya, dan bersiap masuk ke halaman. Gemetar tangan Ika ketika menuntun sepeda motornya, sehingga kemudian dia terjatuh, menindih motor dengan keranjang penuh sayuran dagangannya.
Bersambung #2
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel