Jilid #2
KEJAHILAN ADIK PEREMPUAN"Micha, kamu udah siap belum? Buruan, bentar lagi pesawat adikmu mendarat lho." suara Ayah mulai terdengar gusar.
"Iya Ayah, ini udah siap kok. Yuk berangkat. Sebelum Athena ngambek karena kita telat jemput," seruku, buru-buru keluar dari dalam kamar.
Yah, hari ini adikku satu-satunya akan datang. Tujuannya bukan untuk kerja disini, tapi lebih kepada menghabiskan liburan semester.
Sebenarnya Ayah sempat melarang, sebab biaya tiket yang cukup mahal menjelang libur seperti ini.
Tapi ketika dia mulai ngambek, mau tidak mau Ayah mewujudkan keinginannya, dengan catatan semua hasil ujian semesternya harus A.
Dan di sinilah kami sekarang, menunggu dia di ruang kedatangan luar negeri.
"Ayah, Kakak..." sebuah suara cempreng terdengar di kejauhan.
Aku celingak-celinguk mencari sumber suara tersebut. Maklumlah, hari ini bandara padat dengan turis-turis dari luar.
"Athena, bagaimana kabarmu, dek? Lama gak ketemu. Kok makin pendek aja?" sapaku sambil mengusap kepalanya.
"Ihh... Kakak mulai deh. Ngeledek aku lagi. Mana ada tambah pendek, kakak kali tuh." jawabnya, manyun.
"Canda... canda. Gak usah dimasukkin hati lah. Kakak cuma kangen aja ngeledekin kamu," ujarku sambil tertawa.
"Kalian ini, sudah jangan berantem. Baru juga ketemu udah gini," ucap Ayah, berusaha meredam suara kami.
"Iya Ayah, Micha cuma becanda kok, gak serius. Yaudah yuk balik ke rumah. Lapar nih, tadi pas pergi belum sempat sarapan." jawabku, mengalihkan pembicaraan.
Sepanjang perjalanan kami lebih banyak diisi dengan obrolan antara Athena dan Ayah.
Maklum jika dibandingkan denganku, mereka berdua termasuk jarang berkomunikasi.
Sebab Ayah sendiri sudah jarang aktif di media sosial dan adikku sedang memasuki masa-masa sibuknya di kampus.
"Athena, nanti kamu tidur di kamar yang berada samping Ayah, yah. Biar kamu gak gangguin kakakmu," jelas Ayah ketika kami sampai di rumah.
"Yah Ayah, padahal aku mau sekamar sama kak Micha. Kok malah dipisah sih," erangnya, mulai menampakkan wajah cemberut.
"Kamu kan tau kalo kakakmu itu sibuk, jadi jangan diganggu. Lagipula selama kamu di sini juga pasti dia akan tetap menghabiskan waktu sama kamu. Jelas?" seru Ayah, kali ini dengan nada tegas.
"Iya deh... Aku nurut aja. Tapi nanti janji yah, temenin aku jalan-jalan selama di sini." jawabnya.
"Iya... iya... Kemanapun kamu ingin pergi, nanti Ayah atau kakak kamu yang menemani. Asalkan waktunya jangan mendadak aja."
"Iya Ayah, aku paham."
Aku hanya bisa tersenyum mendengarkan percakapan mereka. Tak ingin ikut menambahkan jika Ayah sedang berbicara dengan nada tegas seperti itu.
Lagipula perutku sudah mulai "bernyanyi", minta diisi.
Sebelum berlalu, tak lupa kubawa koper milik Athena ke kamar yang Ayah maksud.
Cukup berat ternyata. Membuatku bertanya-tanya apa gerangan isi di dalamnya.
Sebab liburan semester yang dia miliki hanya 2 minggu, tapi koper yang dibawa bisa dikategorikan besar.
"Dek, kamu mau pindahan apa? Ini koper kok berat amat. Liburanmu cuma 2 minggu aja, kan?" tanyaku penasaran
"Aku bawa mainanku, kak. Mana tau kakak sama Ayah sibuk jadi gak bisa selalu temenin aku. Jadi mending mainanku dibawa sekalian," jawabnya.
Namun dapat kulihat sebuah senyum usil tersungging di bibirnya.
"Kamu gak bawa barang yang aneh-aneh kan? Kakak tau banget keusilan kamu, dek." tanyaku, tidak yakin dengan jawaban darinya.
"Tenang aja kak, gak usah khawatir. Kalo aku bawa yang aneh-aneh, gak mungkinlah aku bisa lewatin pos imigrasi di bandara." jawabnya, berkelit.
Kali ini aku hanya bisa membenarkan perkataannya. Semoga saja memang benar dia tidak sedang berniat usil selama liburan di sini.
Sebab dia selalu berhasil membuatku tidak bisa tidur selama berhari-hari dengan keusilannya itu.
Maklumlah, namanya anak seni teater, jadi segala macam ide pasti selalu ada di benaknya.
Tanpa bertanya lagi, buru-buru kuseret koper itu ke dalam kamar yang akan dia tempati, karena perutku yang sejak tadi "bernyanyi" sudah tidak bisa diajak berkompromi.
***
Senja mulai berganti malam. Tak terasa 1 jam yang awalnya kuniatkan untuk istirahat, malah berakhir dengan aku yang terbangun saat hari mulai gelap.
Mungkin aku terlalu lelah dengan kesibukan di galeri. Belum lagi deadline lukisan dari beberapa vendor yang minta diselesaikan dengan cepat, sudah pasti ikut membuat pikiranku penat.
Ingin rasanya kulanjutkan mengistirahatkan diri di peraduan. Tapi rasa haus mulai merayapi tenggorokan.
Meski malas, mau tidak mau aku harus menyeret tubuhku menuju ke arah dapur.
Kamarku memang terletak di bagian utara rumah, sehingga membutuhkan sedikit waktu untuk mencapai dapur.
Sengaja aku meminta Ayah menyiapkan kamar ini, agar tak ada yang mengganggu ketika aku sibuk mengejar deadline lukisan.
Apalagi ruangan di depan pintu kamar telah kusulap menjadi mini studio, sehingga membuatku semakin nyaman dan betah untuk bekerja dari rumah.
Saat berjalan menuju dapur, samar-samar kuperhatikan ada sesosok anak kecil yang sedang duduk di sebuah kursi goyang yang berada di sudut mini studio milikku.
Siapa gerangan anak itu? Seingatku tidak ada tetangga Ayah yang memiliki anak kecil.
Apa mungkin hari ini Ayah kedatangan tamu?
Ingin rasanya kuabaikan saja anak itu, namun suara tawa yang tiba-tiba terdengar seketika membuat bulu kudukku berdiri.
Sudut ruangan itu memang cukup gelap, karena di situ selalu menjadi tempatku melepaskan penat setelah seharian melukis.
Hanya ada lampu temaram yang meneranginya. Rasa penasaran menggerogoti diri ini, namun tak urung aku juga ragu, sebab pada dasarnya hal seperti inilah yang paling kutakutkan.
Rumah ini tidak terlalu luas, masih dapat dikategorikan berukuran standar.
Tapi keberadaan beberapa pohon besar tua di pekarangan terkadang sering membuatku merinding di malam hari, membayangkan yang tidak-tidak.
Aku mencoba memanggil Ayah dan Athena, namun tak ada jawaban dari mereka. Malah suara tawa itu semakin nyaring terdengar, seiring langkahku yang makin dekat dengan si anak.
Aku pun mulai berkomat-kamit dalam hati, berdoa memohon kekuatan jika harus dihadapkan pada pemandangan yang tak diinginkan.
Bagaimana tidak, sebelumnya tidak pernah kudengarkan suara tawa yang menyeramkan di bagian manapun rumah ini.
Lantas hari ini, ketika aku terlambat bangun, aku harus dihadapkan dengan keadaan ini.
Perlahan namun pasti aku semakin memperpendek jarak dengan kursi goyang itu. Sedikit berharap jika memang yang duduk di situ hanya seorang anak kecil yang kesasar.
Kucoba meraih pundak anak itu, begitu ringkih dan dingin.
Keberanianku nyaris padam, namun aku harus bisa bertahan.
Sekali lagi kusentuh pundak itu, kali ini sambil berusaha membalikkan tubuh yang duduk di sana.
Namun apa yang kulihat sungguh membuatku terkejut bukan kepalang. Aku sampai menjerit histeris saking takutnya.
Suara tawa itu pun semakin menjadi seiring dengan kuatnya jeritanku. Kali ini di ikuti dengan gerakan si anak kecil yang ternyata adalah boneka yang paling menyeramkan di seantero dunia.
Bagaimana bisa boneka itu ada di sini? Siapa gerangan yang membawanya? Bukankah semua hal tentang boneka itu hanya ada dalam film saja?
Kucoba mengedipkan mata sejenak, berharap apa yang kulihat saat ini hanyalah mimpi belaka.
Namun sayangnya itu tidak terjadi. Boneka itu tetap ada, bahkan sekarang dia berjalan mendekati diriku yang tadi sempat terjatuh karena kaget.
Tak ayal lagi, meski harus tertatih, aku berusaha untuk bangkit berdiri dan kemudian berlari sekencang mungkin, berusaha mencari keberadaan Ayah dan Athena.
Di mana gerangan mereka?
Apa mereka tidak mendengarkan jeritanku tadi?
Ataukah mereka sedang jalan-jalan saat aku terlelap?
Tapi apa iya Ayah akan meninggalkanku begitu saja di rumah?
Pikiranku berkecamuk. Rasa panik ikut menghampiri.
Bagaimana caranya meloloskan diri dari sini?
Satu per satu jendela kudatangi. Tapi tak ada satupun yang dapat kubuka.
Kok bisa?
Apa karena ketakutan hingga aku tidak memiliki kekuatan untuk membuka 1 jendela pun?
Sang boneka semakin nyaring tertawa. Aroma busuk tercium, seiring dengan semakin dekatnya dia denganku.
Aku semakin panik, tatkala pintu utama rumah pun ternyata terkunci.
Ke mana lagi aku harus lari? Kunci cadangan milikku ada di dalam kamar.
Apa iya aku harus kembali lagi ke sana?
Bagaimana jika ada hal lain yang lebih menyeramkan tengah menungguku di dalam kamar?
Kucoba menguatkan hati, sambil tetap berkomat-kamit melantunkan doa. Sedikit keberanian kutanamkan dalam diri untuk menghadapi boneka itu.
Yah, aku harus kembali ke dalam kamar untuk mengambil kunci cadangan karena hanya itu jalan keluar yang kumiliki.
Jadi, mau tidak mau, aku harus menghadapi dia, meski nyawa taruhannya.
Beruntung ada vas bunga yang diletakkan pada meja di dekat pintu.
Cukup berat. Rasanya mampu untuk melumpuhkan sementara sang boneka yang semakin gencar mengejarku.
Sambil menghitung dalam hati, seketika kubalikkan badan dan kemudian memukul boneka itu dengan vas bunga.
1...2...3
Tak ada tanda-tanda pergerakan dari si boneka. Mungkin dia benar-benar pingsan.
Ini kesempatan emasku untuk lari sekencang mungkin menuju kamar.
Tujuanku untuk mengambil kunci sekaligus handphone supaya bisa menghubungi Ayah.
Setelah memastikan keadaan aman dan si boneka benar-benar tidak mengikutiku lagi, pintu kamar pun kubuka.
Namun aroma anyir yang menyengat justru tercium dari dalamnya.
Tuhan...
Apalagi ini?
Tidak cukupkah sudah menghadirkan boneka Annablle yang menjadi ketakutan terbesarku itu di sini?
Kenapa harus ada bau-bau aneh lain yang berasal dari kamarku sendiri?
Perlahan tapi pasti aku berusaha meraih tombol lampu kamar.
Nihil.
Ruangan tetap gelap-gulita.
Kukuatkan hati untuk melangkah mendekati meja yang ada di samping tempat tidurku.
Tak lupa doa tetap kulantunkan, berharap semua gangguan ini bisa segera pergi.
Sekelebat bayangan terasa berjalan di belakangku. Bulu kudukku kembali merinding.
Bau anyir yang menusuk semakin jelas tercium. Kunci cadangan maupun handphone sudah berhasil kudapatkan, namun tubuhku kaku, seolah tak mampu digerakkan.
Rasa dingin mulai merambati bagian belakang tubuh ini. Inginku berteriak, tapi bibir ini kelu, seolah bisu.
Aku hanya bisa memejamkan mata sembari melantunkan semua doa yang kuketahui. Berharap rasa dingin itu segera lenyap.
Dan ternyata berhasil. Bau anyir serta rasa dingin itu tiba-tiba lenyap.
Kukuatkan diri untuk membuka mata dan membalikkan badan. Namun apa yang kulihat justru membuatku ketakutan setengah mati.
Sesosok makhluk tak kasat mata dengan wajah menyeramkan dan tubuh keriput tengah berdiri di dekat pintu kamar.
Dapat kulihat mata yang melotot ke arahku itu nyaris keluar dari rongganya. Tak ayal lagi, aku menjerit histeris.
Takut. Panik.
Karena makhluk itu perlahan-lahan berjalan mendekat ke arah tubuhku yang berdiri kaku di sini.
"Kak Micha... Kak. Ada apa? Kenapa menjerit histeris begitu?" suara Athena samar-samar terdengar di pendengaranku.
==========
Hari ini merupakan hari yang super sibuk buatku. Selain harus mempersiapkan pameran yang akan digelar minggu depan, aku juga disibukkan dengan Athena, yang hampir setiap hari minta ditemani jalan-jalan.
Entah itu ke tempat wisata di sini, atau sekedar belanja ini-itu.
Ayah saja sampai geleng-geleng kepala dibuatnya. Saat datang ke sini saja, kopernya sudah begitu berat, bagaimana nanti saat pulang?
Dengan semua belanjaan yang dia borong, aku yakin perlu 2 koper untuk mengemasnya.
“Kak Micha, hari ini temenin aku ke mall lagi yah… Kemarin ada barang yang belum sempat kebeli.”
“Ya ampun… Masih belum selesai juga belanjamu, dek? Udah mau meledak kopermu, masih mau nambah lagi?”
“Kan nanti bisa beli koper baru sekalian, buat belanjaan yang kubeli di sini.”
“Yaudah lah yah, terserah kamu. Kakak cuma bisa ngingetin aja, jangan sampai bagasimu over.”
Tanpa menunggu ucapanku selesai, Athena ternyata sudah hilang dari hadapanku.
Tipikal anak bungsu. Apa-apa gak bisa dilarang, karena yang ada bisa ngambek tujuh-turunan.
Aku hanya bisa mengelus dada menghadapi semua tingkahnya. Belum lagi dengan keusilannya yang bener-bener suka bikin jantung copot.
Flashback on…
"Kak Micha... Kak. Ada apa? Kenapa menjerit histeris begitu?" suara Athena samar-samar terdengar di pendengaranku.
Inginku teriak memanggil namanya, namun lidah ini kelu, tak mampu mengucapkan sepatah katapun.
Aku berusaha menggerakkan tubuh yang terasa kaku, akibat rasa takut yang begitu kuat.
Bahkan untuk membuka matapun aku tidak berani, karena tau sosok menyeramkan itu masih ada di sana.
“Kak Micha, ini Athena. Kak, sebenarnya ada apa? Kenapa kakak duduk di lantai begini?” kali ini suara itu terdengar disertai dengan tangan mungil yang berusaha mengguncang-guncangkan badanku.
“Athena… I-itu,” suaraku masih terbata-bata, belum mampu mengatakan apa yang terjadi.
“Iya kak, itu apa? Bilang ke aku apa maksud kakak.”
“I-itu, ada makhluk yang menyeramkan di dekat pintu kamar kakak. Mending kamu cari Ayah sekarang, minta bantuan,” jelasku samar.
Suaraku nyaris tak terdengar bahkan oleh diriku sendiri.
“Makhluk apa, kak? Gak ada siapa-siapa di sini.”
Seketika mataku terbuka. Sambil berusaha untuk bangkit, aku mengedarkan pandangan ke sekeliling ruangan.
Kosong.
Tak ada kehadiran makhluk lain selain aku dan Athena di sini.
Apa dia pergi karena kedatangan Athena? Tapi kok bisa secepat itu dia lenyap?
Rasanya terlalu aneh. Apalagi tadi aku sempat teriak-teriak minta tolong, namun tak ada 1 orangpun yang menjawab.
Apa jangan-jangan ini ulah usil adikku lagi?
“Ayah kemana, dek?” kali ini suaraku sudah terdengar tenang.
Berusaha menetralisir rasa takut yang tersisa. Aku harus bisa, karena kejadian malam ini sudah cukup aneh bagiku. Jadi aku harus menemukan jawabannya.
“Ayah lagi keluar, kak. Katanya ada undangan dari temannya di cafe sekitar sini.”
“Dari jam berapa Ayah pergi?”
“Udah dari sore tadi, waktu kakak masih tidur.”
“Terus ada orang yang datang gak selama kakak tidur?”
“Gak tuh. Dari tadi aku di ruang nonton sendirian.”
Bingo.
Ternyata adikku ini masih seperti dulu. Selalu menjawab apa adanya jika ditanya.
Alhasil dia tidak sadar sekarang kalau aku akhirnya tau apa yang sebenarnya sudah terjadi.
Fixed, kejadian barusan itu bagian dari keusilan adikku.
Karena jika memang dia tidak kemana-mana sejak tadi, harusnya dia mendengar teriakanku.
Karena jarak antara ruang nonton dengan kamarku tidak terlalu jauh. Malah sangat dekat dengan pintu utama rumah.
“Sejak tadi kamu ngapain aja, dek? Jujur sama kakak, gak usah bohong, apalagi ngeles,” kali ini nada bicaraku mulai terdengar dingin dan sedikit ketus.
“Lha, aku gak ngapa-ngapain kak. Bener deh, sumpah. Aku dari tadi cuma nonton aja,” suaranya mulai terdengar gugup, tapi masih berusaha berkelit.
"Kamu mau kakak laporin kelakuanmu sore ini ke Ayah? Apa kamu ingin liburanmu dibatalkan dan Ayah menyuruhmu untuk pulang besok?” jelasku dengan nada mengancam.
“Yah jangan kak. Iya deh iya, maaf. Aku tadi iseng usilin kakak dengan mainan dan kostum baru. Itu sebenarnya barang yang bakal jadi properti pementasan bulan depan. Tapi aku coba dulu, mau lihat gimana reaksi orang.”
“Terus? Puas kamu udah nakutin kakak sendiri sampai kayak gitu? Kalo kakak mati ketakutan gimana? Bisa kamu jelasin ke Ayah penyebabnya?” teriakku, lantang.
Jelas sekali sarat akan emosi terpendam di dalamnya.
“I-iya maaf kak. Gak ada maksud kayak gitu, kok. Makanya kan tadi aku langsung berhenti waktu liat kakak jatuh sampai kayak gitu.”
“Bersyukur kakakmu ini cuma jatuh. Kalo sampai jantungan gimana? Kamu tuh yah, mau ngapain aja gak pernah mikirin baik atau buruknya dulu. Nanti kalo udah kejadian beneran, baru deh kamu kapok.”
“Maaf kak. Aku gak maksud mau bikin kakak celaka, kok. Kan cuma ngetes aja.”
“Udah, kakak gak mau dengar lagi alasan kamu. Sekarang kamu keluar dari kamar kakak dan bersihkan semua peralatan iseng kamu itu sebelum Ayah datang. Mulai besok jangan minta kakak temenin kamu jalan-jalan. Minta tolong aja sama Ayah sana.”
“Iya kak.”
Dapat kulihat adikku berjalan dengan gontai meninggalkan kamar. Sesekali terdengar suara barang di pindah atau benda terseret.
Sepertinya memang dia benar-benar membersihkan semua sisa-sisa keusilannya tadi.
Yah, kali ini memang aku benar-benar marah besar. Sebab keusilan yang dia lakukan sudah membuatku ketakutan setengah mati, bahkan nyaris pingsan.
Jika saja otakku tidak dipaksa untuk berpikir, mungkin dia masih akan melanjutkan keisengannya itu selama liburan di sini.
Flashback off…
“Ayo kak, kita berangkat. Mumpung masih sore, jadi belum ramai.”
Beginilah jadinya. Meski aku sudah mengatakan tidak mau menemani dia jalan, tetap saja ketika Ayah memberi perintah, aku harus menuruti.
Aku sengaja tidak menceritakan kejadian itu pada Ayah, karena aku tidak ingin membuat beliau marah.
Sebab di usia beliau sekarang, marah-marah tidak akan sehat bagi jantung.
Baru saja mobil ini masuk ke dalam pelataran parkir mall, teleponku tiba-tiba berdering. Dari siapa gerangan ya?
Semua yang tahu bahwa aku sibuk dan tidak bisa diganggu pasti akan mengirimkan chat terlebih dulu sebelum menelepon.
Jika ada yang nekat seperti ini, berarti ini sesuatu yang urgent.
Sambil berusaha mengatur posisi mobil agar sesuai, aku mencoba mengamati nama yang tertera di layar.
Eric.
Apa jangan-jangan sudah ada titik terang dari penyelidikanku itu?
“Dek, kamu turun duluan. Tunggu kakak di cafe tempat kita biasa makan. Kakak harus menjawab telepon ini dulu, nanti kakak nyusul.”
“Yaudah kalo gitu. Tapi jangan lama-lama yah, kak.”
Tanpa membalas ucapan Athena, aku langsung menerima telepon dari Eric.
“Assalamu’alaikum. Iya, Ric. Ada apa? Apa ada kabar baik buatku?
“Wa’alaikumsalam. Iya, Mich. Alhamdulillah ada titik terang dari pencarian kamu itu. Nomor telepon yang kamu berikan kemarin memang benar milik dari tante kamu dan nomor kamu sengaja di blocked. Tapi aku berhasil melacak alamat rumahnya.”
“Serius kamu, Ric? Mana alamatnya? Bisa kamu kirimkan via WA gak?”
“Sabar, Mich. Kalo ngomong itu tarik nafas dulu. Kamu gak usah khawatir. Aku udah datang ke alamat itu, karena ternyata dia sebenarnya tinggal di kota seberang. Aku sengaja undang dia untuk datang di pameran kamu nanti.”
“Lha, emang dia mau? Aku kan belum seterkenal pelukis dunia lainnya.”
“Kamu gak usah khawatir gitu. Dia pasti datang kok. Kebetulan ternyata dia termasuk orang yang senang dengan karya pelukis pemula. Makanya dia gak nolak waktu aku beri undangan itu.”
“Alasan apa yang kamu pakai sampai dia setuju?”
“Yah aku bilang aja kalo yang mau pameran ini adikku. Dan karena dia juga seorang dosen di jurusan seni yang terkenal di sini, jadi aku undang dia.”
“Alhamdulillah… Makasih lho, Ric. Aku gak tau harus gimana lagi membalas jasa-jasa kamu ini.”
“Nanti aja makasihnya, kalo kamu udah ketemu dengan tantemu itu.”
Aku cuma bisa tersenyum mendengar ucapan Eric.
Akhirnya setelah hampir lima bulan berlalu, aku mendapatkan jawaban yang melegakan hati.
Bahkan tanpa kuminta pun, Eric malah sudah mengatur pertemuan tepat saat pameranku diselenggarakan.
Semoga tidak ada rintangan yang menggagalkan rencana ini.
Tapi sebelumnya aku harus bisa membuat Athena mengerti dengan situasi yang mungkin terjadi jika Ayah akhirnya bertemu dengan wanita itu.
Karena aku tidak ingin ada apapun yang menghalangi kebahagiaan Ayah.
Bersambung #4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel