Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 04 Juni 2020

Lafadz Merindu #1

Cerita bersambung
Karya : Ryani Muhammad

Humaira, gadis cantik dengan rambut sebahu itu berlari saat memasuki area kampus.
Banyak pasang mata yang memperhatikan gadis itu karena tingkahnya pagi ini.
Jika pagi ini bukan mata kuliah bimbingan konseling dengan asuhan pak Rajiv, mungkin Ia masih berleha-leha di kamarnya.
"Sepuluh menit lebih dari jam saya, silahkan keluar."
Ira, sapaan akrabnya, hanya bisa melongo.
"Jangan lupa tutup pintu."
Ira mengumpat dalam hati. Ia sudah berlari tunggang langgang tetap saja di usir, dasar pak Raden.
Ia menyusuri koridor kampusnya, tujuannya sekarang adalah kantin yang masih sepi, hanya ada beberapa mahasiswa di sana.

Semenjak sahabatnya Caca menikah, ia lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan mempersiapkan segala hal tentang dunia per-skripsian.
Bukan tidak ada teman lain, Ia tetap bergaul dengan teman sekampusnya, tapi cuma Caca yang mengerti dirinya, pun sebaliknya.

Apa kabar dia sekarang?
Ira mengaduk teh hijau pesanannya, pikirannya berhijrah entah kemana.
Ia rindu.
Tentu.
Selama Caca memutuskan keluar negeri setahun yang lalu, Ira tidak pernah lagi main ke rumahnya dan otomatis Ia tidak bertemu lagi dengan Khalil.
Dulu, dia sering bertemu lelaki itu karena Khalil sering menjemput Caca, tapi sekarang?
Setahun belakangan ini Ia jarang bertemu dengan Khalil karena Ia sendiri sedang disibukkan dengan kuliah dan skripsinya yang baru saja selesai ACC judul.

Ira terkejut saat bahunya ditepuk dari belakang, Ia menoleh dan mencebikkan bibirnya saat melihat Andri.
"Ngapain di sini, nggak masuk?"
Ira mendengus. "Lo sendiri?"
"Elah ni anak di tanya juga."
Ira menyesap minumannya. "Biasa, pak Raden, mana diijinin gue masuk kalau telat, padahal cuma sepuluh menit."
Andri terkekeh, "Lo kek nggak tau dia aja, jangankan sepuluh menit, sedetik aja tu Raden nggak ridho."
Ira menghela nafasnya.
"Caca apa kabar ya Ndri? Gue kangen sama dia."
"Semoga aja baik," Andri menjeda kalimatnya saat nama Caca kembali hadir di ingatannya, hampir satu tahun ini wanita itu memutuskan komunikasi dengannya.
"Gue malah nggak tau dia pergi," sambungnya saat merasa aneh dengan tatapan Ira.
"Lo kangen juga?"
"Ya iyalah, gue kan sahabatnya juga," timpuk Andri cepat dan membuang muka.
Ira tersenyum sinis.
"Sepertinya ada bau-bau frenjon di sini."
Andri tergagap, namun Ia cepat menguasai diri.
"Gila lo."
Ira terbahak, dan itu membuat Andri kesal.
"Kalau bisa dikatakan friendzone itu, ya Sean, kan mereka punya perasaan yang sama."
"Iya sih, kalau lo kan cinta sepihak," ledek Ira.
Andri menjitak kepala Ira sebelum Ia berlenggang pergi, Ia tidak mau menampakkan perasaannya kepada orang lain.
Termasuk dia, yang sudah pergi, biarlah Ia simpan sendri.

Melihat arloji di pergelangan tangannya, Ira beranjak meninggalkan area kampus.
"Sudah pulang?"
"Iya tan," jawabnya saat melihat Ami, tantenya ingin keluar.
"Temenin tante yuk, dari pada kamu bengong di rumah."
"Ke mana?"
"Rumah sakit, jengukin anak pak Budi baru selesai operasi."
Ira mengerling, "Anaknya apa bapaknya?"
"Dua-duanya," sahut Ami cuek, Ia tau tidak bisa berselit lidah dengan ponakannya yang satu ini.
"Gercep tan?"
"Ikut nggak, tante tinggalin ya!"
Ira tertawa puas bisa menggoda tantenya.
"Sakit apa sih tan, sampai harus operasi?" tanya Ira saat mereka sudah di jalan.
"Usus buntu katanya."
Ira mengangguk.

Langkah kaki Ira terhenti di depan pintu ruang rawat anak pak Budi saat mendengar suara yang sangat dirindukannya.
"Ra, ngapain di situ?" Ami yang sudah masuk, bingung saat melihat tidak ada Ira di sampingnya.
"Em, itu tan, anu," gugupnya, iya tidak tau harus bicara apa saat Ami sudah menyeretnya masuk.
"Hai kak Ira," sapa Moris anaknya pak Budi.
Ira senyum mesem, karena mata Khalil yang sudah mentapnya.
"Kamu?"
Ira tersenyum miris saat mendengar suara Khalil.
"Iya kak."
"Kami tetanggaan sama pak Budi Khalil," ucap Ami menengahi kecanggungan mereka.
Khalil manggut-manggut.
"Baiklah, kalau begitu saya permisi dulu pak Budi."
Ira mengejar langkah Khalil, ia menarik lengan lelaki itu.
Kernyitannya di keningnya membuat Ira nyengir tak karuan.
"He he he, maaf kak." Ira melepaskan tangannya.
"Ada apa?"
To the point banget ni orang, batin Ira.
"Em, aku minta kontak Caca dong kak."
Khalil merogoh saku celananya, dan memberikan benda pipih tersebut pada sahabat adiknya.
"Kira-kira kapan Caca pulang kak?" tanyanya saat sudah menyalin kontak Caca.
"Kan sudah ada kontak, nanti bisa kamu tanyakan."
Khalil berbalik, namun tangannya kembali ditarik Ira.
"Apa lagi?"
"Kakak mau ke mana?"
Khalil menatapnya tajam, kenapa dengan cewek ini, pikirnya.

Ira tidak melepaskan tangannya padahal lelaki itu sudah melihatnya.
"Sampai kapan kamu mau pegang tangan saya?"
Ira mengulas senyum manisnya.
"Gimana kalau Kita makan siang dulu kak?"
Khalil melepaskan tangan Ira yang tertaut di lengannya.
"Maaf, pasien saya sudah menunggu."
Ira mengekorinya sampai Khalil masuk ke ruangannya.
"Kenapa kamu ikuti saya?"
"Saya tunggu di sini, kakak lanjutin kerja kakak."
Khalil meninggalkan Ira di ruangannya mengunjungi pasien lainnya.

Ira melihat ponselnya di sela-sela waktu menunggu Khalil, ia mengirim pesan kepada Ami untuk tidak menunggunya karena Ia akan pulang dengan Khalil.
Cukup sembilan tahun dia diam.
Ini awal dari perjuangannya.
Khalil merasa gondok saat menemukan Ira masih berada di ruangannya.
"Sudah kak?"
"kenapa kamu masih di sini?"
"Nungguin kakak, kita kan mau makan siang bareng."
"Kapan aku bilang?"
Ira berdecak, "Cepetan kak, aku lapar."
Bukannya pergi, Khalil mengambil setumpuk map dan mulai mengecek satu persatu.
"Kerja lagi?"
Khalil tidak menjawab.
oy, Ira tidak kehabisan akal, Ia punya inisiatif sendiri.

Setelah satu jam mereka sibuk dengan pekerjaan dan pikirannya masing-masing, terdengar suara pintu di ketuk.
"Biar aku yang buka, kak," kata Ira saat melihat Khalil bangun dari bangkunya.
Khalil bingung melihat seorang kurir restoran ternama yang datang.
"Terima kasih mas," ucap Ira seraya menutup pintu dengan serenteng makanan ditangannya.
Ia membuka kotak nasi dan air mineral kemudian menatanya di meja tanpa memperdulikan tatapan Khalil.
"Makan dulu kak."
"Siapa yang memintamu memesan ini semua?"
"Tinggal makan apa susahnya sih, sini," kata Ira sedikit jengkel.
"Kamu saja yang makan."
"Ck, ya kali nasi segini banyak aku yang habisin."
Khalil yang sudah kembali fokus pada kerjaannya mengabaikan perkataan Ira.
"Ayo dong kak."
Khalil tidak terpengaruh.
Sampai ia kaget saat sendok berada di depan mulutnya.
Ia menatap tajam gadis di sampingnya dan membuat jantung Ira berdegup kencang karena posisi mereka yang sangat dekat dan tatapan elang milik laki-laki itu.
"Mas ..."
Khalil melihat arah suara yang berasal dari pintu ruangannya yang sudah terbuka.
Dan ...
Di sana ada ...

==========

"Mas ..."
Khalil tersenyum saat melihat Almira, gadis pujaannya masuk ke ruangannya.
Almira tersenyum kecut.
"Lagi makan ya?"
"Iya, mba mau gabung?" sahut Ira tanpa memperdulikan raut wajah keduanya.
"Lanjutkan, saya permisi dulu."
Khalil bangun dari bangkunya, Ia menarik lengan Almira sudah keluar dari ruangannya.
Hati Ira?
Dia yang tau.
"Kok langsung pergi, ada apa?" tanya Khalil saat berhasil mencegat Almira.
"Tidak ada, kebetulan lewat, ya mampir aja."
Khalil menelisik wajah gadis itu, mencari kebohongan di sana.
"Ya sudah lanjutin makannya, nanti aku hubungi."
Almira berlalu dari ruangan Khalil.
"Pacar?" tanya Ira ketika Khalik masuk.
"Kalau sudah selesai, tinggalkan saya sendiri."
Ira duduk di sofa, menikmati makan siangnya yang terasa hambar.
"Makan dulu, setelah itu aku akan pergi."
"Aku tidak lapar."
"Kalau begitu aku akan tetap di sini," ucap Ira santai.
Ira menutup kotak nasinya, Ia melihat Khalil yang juga sedang menatapnya.
"Yang tadi pacar kakak?"
"Kenapa kamu suka dengan urusan orang lain?"
Ira menggigit pipi dalamnya, geram melihat sikap Khalil.
"Aku cuma nanya, kenapa sewot?"
Netra Khalil menghujam manik coklat du depannya.
"Kalau iya kenapa?"
"Kalau begitu, aku mundur teratur, nggak mau di cap sebagai pelakor oleh ibu-ibu KBM yang baca kisahku ini."
Khalil tercengang.

Ia tidak bodoh menafsirkan segala tingkah Ira selama ini, apalagi Caca yang sering memanggilnya dengan sebutan kakak ipar.
Ibunya juga, selalu mengatakan Humaira, sahabat adiknya itu memiliki sifat keibuan dan Ia menyukainya.
Tapi, baru kali ini ia mendengar langsung pengakuan dari mulut gadis ini.
"Kalau begitu pergilah, saya juga tidak menginginkan wanita sepertimu."
Ira tertawa.
"Terimakasih dan maaf sudah mengganggu waktu kakak."

Ira melenggang keluar.
Ia tertawa sendiri.
Mengutuk mulutnya yang tanpa sadar sudah membuat pengakuan.
Baru saja berjuang sudah menyerah, bukankah itu konyol?
Tak apalah, yang penting ia tidak di sebut pelakor.

Tanpa sadar, ia sudah berjalan sangat jauh dari area rumah sakit.
Ia kembali tertawa, ternyata di tolak itu bisa bikin nggak waras, buktinya ia sanggup menempuh rute sejauh itu dengan berjalan kaki.

"Yang habis kencan, kok mukanya kusut?"
"Tan, bayarin taksi dong di depan." Ia mengabaikan godaan Ami.
"Lah katanya dianterin Khalil,"
"Nggak jadi, kak Khalil sibuk."
Ami mengambil uang lantas membayar sopir taksi yang sudah menunggu di gerbang rumahnya.
"Tan, lihat tas aku nggak?" Ira berteriak dari atas.
"Nggak, kamu taro mana?"
"Kayaknya tadi di sofa deh."
Ami memindahkan bantal di sofanya. "Nggak ada Ra."
"Apa ketinggalan di taksi ya tan?"
"Kalau tinggal di taksi pasti sudah kamu bayarin ongkosnya," sela Ami.
Ira mengetuk keningnya sambil mondar mandir.
"Assalamu'alaikum."
Ami dan Ira menoleh ke asal suara.
"Wa'alaikumsalam."
"Khalil?"
Ngapain dia ke sini, batin Ira.
"Maaf tante, ini mau balikin tas kepoanakan tante."
"Oh, itu yang punya dari tadi mondar mandir terus, terimakasih Khalil, masuk dulu," ajak Ami beramah tamah.
"Tidak usah tante, saya langsung pulang, sudah sore juga ini."
"O, ya udah pamit dulu sama Ira," Kata Ami saat melihat Khalil tidak ada niatan untuk masuk.
Ira tebatuk.
"Hah?"
"Iya, tadi mukanya kusut banget waktu pulang, kayaknya ngambek nggak kamu anterin."
Khalil tersenyum tidak enak pada wanita paruh baya di depannya.
Sedangkan Ira sudah salah tingkah dengan mulut combreng tantenya.
Ia mengambil tas di tangan Khalil.
"Terimakasih," ucapnya yang terdengar dingin di telinga Khalil.
Lantas Ia naik ke kamarnya.
"Maaf, sepertinya Ira masih marah."
"Tidak apa-apa, saya permisi dulu tante."
"Iya."
Ira mengambil ponselnya, ingin menghubungi sahabatnya.

Sampai dering ketiga, tidak diangkat.
Ira menghempaskan tubuhnya di ranjang.
"Kenapa nggak lo angkat sih Ca? Gue kangen banget," gumamnya.
Setelah itu ia tertidur.

Hari ini Ira kedatangan Sean ke kampusnya, sehingga ia bisa mengajak laki-laki tersebut mojok bareng di caffe langganan mereka saat masih ada Caca.
"Kamu dapat kontak Caca?" tanya Sean saat mendengar cerita Ira.
"Gue gitu loh, kak."
"Ck, bagiin sini."
Ira menyodorkan ponselnya.
"Tapi selama satu minggu ini gue telpon, chatt, nggak pernah dibales."
Sean mengernyitkan keningnya.
"Kamu nggak nanya mas Khalil?"
Seketika raut wajah Ira berubah saat nama laki-laki itu disebut.
"Em, males gue kak."
"Kenapa? Apa terjadi sesuatu?"
Ira menggeleng, "Males aja."
"Kamu ditolak?"
Ira mengerjap, berusaha mengalihkan pandangan agar pria di depannya ini tidak bisa menebak isi pikirannya.
"Gila, nggak berani gue nembak dia."
Sean terkekeh. "Siapa tau kan, kamu mulai perjuangin mas Khalil."
"Coba kakak hubungin, kali aja diangkat," kata Ira mengalihkan pembicaraan.
Sean menyeringai, namun tetap mengikuti saran Ira.
Ira bisa melihat raut kecewa di wajah Sean.
"Nihil ya kak?"
"Hm."
Ira bingung, apa yang dilakukan sahabatnya di sana? Sampai tidak sempat mengangkat telponnya.
"Mas Khalil?"
Ira tersentak.
"Sean?"
Khalil berjabat tangan dengan Sean, sementara Ira mengacuhkannya.
Berpura-pura sibuk dengan gawainya.
"Ini?" tunjuk Sean ke arah wanita di samping Khalil.
"Pacar mas, Insya Alloh akan segera mas halalkan."
Sean sempat melirik Ira, ia yakin pendengaran wanita itu masih bagus.
"Almira."
"Sean."
Ira bangkit dari kursinya. "Gue duluan kak, bentar lagi pak Juned masuk."

Setengah berlari Ira meninggalkan caffe tersebut.
Sean melihat punggung yang sudah menjauh itu dengan tatapan prihatin.
Padahal Ira bilang tadi, hari ini dia ke kampus hanya ketemu dosbimnya.
Nasib yang hampir sama, batin Sean.

"Yakin nggak datang Ra?" tanya Ami sekali lagi saat ia sudah siap.
Dari semalam ia membujuk ponakannya itu untuk menghadiri resepsi pernikahan Khalil, tapi dengan tegas Ira tidak mau.
Ia sedang belajar move on.
Tidak gampang.

Sembilan tahun memendam rasa berakhir seperti ini.
Sakit hati?
Iya.
Penolakan Khalil membuat harga dirinya jatuh.
Masih kuat di ingatannya saat Khalil mengatakan tidak menginginkannya.
Dan saat itu pula Ia bertekad akan melupakan laki-laki itu, walaupun terasa sulit.
"Yakin, sana gih telat juga nanti, jangan lupa bilangin ibu, Ira nggak bisa datang lagi sidang."
"Sidang juga nggak seharian kali Ra." Ami membenarkan letak bros di hijabnya.
"Tante yang berangkat duluan, apa Ira?" lama-lama kesal juga ia melihat tantenya, dari semalam itu aja topiknya.
Ami memilih mengalah, berdebat dengan orang yang sedang galau ditinggal gebetan nikah ya gini.

Ira menatap cerminnya, mencari cela di wajahya.
Apa jelek benget ya gue, sampai segitunya gue di tolak, batinnya.
Air matanya luruh, dadanya sesak saat mengingat sebentar lagi laki-laki pujaannya akan menjadi milik wanita lain.
Miris banget kisah cintanya, belum satu bulan ia ditolak, undangan pernikahan sudah sampai ke rumah tantenya.
Ira menelungkupkan wajahnya di meja rias.
Menangisi pria yang sudah terjebak di Hatinya selama sembilan tahun, kini harus ia relakan pada wanita lain yang menjadi pilihannya.

Bersambung #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER