Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Jumat, 05 Juni 2020

Lafadz Merindu #2

Cerita bersambung

==========
Satu minggu setelah kunjungan Rani, kehidupan Ira tidak lagi sama.
Hampir tiap hari ia memikirkan keadaan Rani dan juga Khalil, ia merasa bersalah tapi ia juga tidak mau dianggap gampangan oleh lelaki itu.
Bagaimanapun ia pernah ditolak.

Nama Khalil memang belum terhapus sempurna di hatinya, namun bukan berarti tidak akan.
Ia akan terus berusaha semampunya.
Namun, Karena pekerjaannya yang padat hingga fokus pikirannya terpecah tidak lagi berpusat pada sosok Rani dan Khalil.

Benar kata orang bijak,  Kalaupun sulit mendapatkan cinta yang ingin di raih lebih sulit melupakannya saat ia sudah dimiliki.
Seperti Ira yang  kembali dipertemukan dengan Khalil, upaya yang sedang dilakukan gadis itu berdampak pada perasaannya kini.

Khalil masih sama seperti dulu, dingin dan  cuek.
Ia tidak ambil pusing dengan kehadiran Ira, sahabat adiknya di acara ini.
Jangankan menyapa, meliriknya saja ia tidak sudi, ada hati lain yang sedang dijaganya walaupun raganya tak lagi nyata.
Ira bingung, bagian mana dari laki-laki itu kacau seperti yang dikatakan Rani, toh Khalil baik-baik saja.
Ira menepis pikirannya yang tiba-tiba memikirkan Khalil.
Ia fokus menyimak narasumber yang sedang berbicara di depan, bukankah tujuannya ke sini mengikuti seminar?

Setelah selesai seminar, Ira ingin balik ke kliniknya.
Namun saat membuka pintu mobilnya, ia mendengar seseorang menyebut namanya.
Ira terkejut melihat Rani berjalan tergopoh-gopoh menghampirinya.
"Ibu?"
Rani tersenyum.
"Kenapa ibu di sini?" tanya Ira bingung.
"Ibu dari rumah sakit, kamu ngapain di sini?"
"Ira baru selesai seminar, bu. Ibu mau pulang?"
"Iya," sahut Rani.
"Ira anterin, bu."
Rani mengerjap. "Nggak ngerepotin?"
Ira tertawa, lantas ia menggeleng.
"Yuk, bu."
"Klinik nggak apa-apa kamu tinggal, Ra?"
"Nggak bu, ada asisten saya."
Rani mengulas senyum, ia bangga dengan sosok wanita di sampingnya, seandainya saja...
... Ah seandainya.

Mobil Ira berhenti di depan rumah sahabatnya.
"Mampir dulu sebentar yuk," ajak Rani sebelum membuka pintu mobil.
"Ira harus balik bu."
"Katanya tadi ada asistennya, yuk, sebentar saja."
Ira mendesah dalam hati, namun langkahnya mengikuti Rani yang masuk ke rumahnya.
Sepi, batin Ira.
"Sebentar, ibu tinggal dulu Ra."
Ira mengangguk, ia mengambil ponsel mengirim pesan pada Ima, asistennya.

Rani kembali ke ruang tamu dengan seorang bayi di gendongannya.
Jantungnya berdetak kencang saat melihat bayi di pangkuan Rani.
"Ini..."
"Iya, Ra. Ini putra Khalil, kamu mau gendong?"
Ira melongo.
Namun terkejut saat bayi tersebut sudah berada di tangannya dan membeku saat melihatnya mengerjap.
Duplikat kak Khalil, batinnya.

Rani tersenyum melihat Ira.
Ia yakin, Ira bukan sosok yang kejam. Walaupun di sini dirinya yang kejam melibatkan gadis tak berdosa itu dalam kehidupan putranya.
"Siapa namanya, bu?"
Rani kembali tersenyum, bahkan saat bertanya saja gadis itu tidak mengalihkan pandangannya dari Fatih.
"Nauval al fatih."
"Fatih?" beonya dengan mata menatap bayi mungil di pangkunya seperti terhipnotis.
Ada gelenyar aneh saat bayi dua bulan itu tersenyum dan menggerakkan dua bola Matanya yang bulat.
Hatinya terasa sejuk, tidak disadarinya bibirnya melengkung ke atas.
"Fatih?"
Ira masih terkesima dengan wajah polos Fatih dan tidak menyadari ada sosok lain yang menatapnya dari tadi.
"Kamu sudah pulang?"
Khalil tidak menjawab, ia melihat wanita yang sempat dilihatnya tadi di acara seminar sedang memangku anaknya.
Ia berdeham keras.
Ira menoleh ke samping dan sedikit terkejut melihat keberadaan Khalil, sedikit kikuk karena tatapan tajam Khalil.
"Ira ibu yang ajak Khalil, tadi kami ketemu di depan gedung seminar," ucap Rani mencairkan keadaan.
Khalil tidak merespon ucapan Ibunya, ia mengambil Fatih dari pangkuan Ira dan membawanya masuk ke kamar.
Rani menghela nafas. "Maaf ya Ra."
"Tidak apa-apa bu."
"Oya Ra, kamu kan pinter masak, bantuin ibu yuk, ibu lagi pengen asam manis gurame."
Masak?
Karena tidak enak, Ira menyetujui permintaan ibu sahabatnya itu, dulu ia memang sering ikut memasak bareng Caca dan Rani.
"Bu, coba lihat Fatih kok nangis terus," kata Khalil menghampiri Ibunya di dapur.
Rani mencuci tangannya.
"Kamu tinggalin Fatih, Khalil?"
"Aku cuma mau panggilin ibu," elaknya.
"Sama aja, aturan kan bisa kamu bawa ke sini," omel Rani melihat sikap putranya yang kadang sedikit lemot kalau sedang panik.

Rani meninggalkan Khalil dan Ira di dapur.
Ira mengaduk pelan kuah yang hampir mendidih, ia mengambil sendok dan menyicipinya.
Pas.

Setelah menuangkan ke mangkuk, ia meletakkannya di atas meja. Mengabaikan tatapan tajam lelaki itu yang duduk di kursi utama meja makan.
"Ngapain kamu ke sini?"
Ira mencuci peralatan bekas masak, tidak ingin menjawab pertanyaan Khalil, bukankah tadi Rani sudah memberitahunya?
"Kalau kamu ke sini mau mengambil hatiku, silahkan pulang."
Ira membeku.
Ia kembali merasakan luka di tempat  yang sama yang pernah di torehkan Khalil.
Dadanya terasa sesak.
"Aku sama sekali tidak tertarik padamu, bagaimanapun usahamu mendekatiku."
Piring di tangan Ira jatuh, ia buru-buru memungutnya dan membuat Khalil mengeram marah karena darah yang terus mengalir dari tangan Ira.
Ira menangis.
Sakit.
Ya, sakit.
Tapi bukan tangannya.
"Ira?" seru Rani panik saat melihat Ira yang masih jongkok dengan pecahan beling di genggamannya.
"Khalil, apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu diam saja, Hah?"
Khalil mengepalkan tangannya, "Letakkan beling itu, ikut saya ke kamar."
"Tidak usah," kata Ira yang sudah bangun dan mencuci tangannya.
Khalil menarik lengan gadis itu dan membawanya ke kamar.

Air mata Ira terus mengalir, sesak di dadanya semakin nyata terasa.
"Kamu mau perhatian saya, kan?"
Ira menggigit bibir bawahnya sampai berdarah karena menahan sakit di relung hatinya.
Khalil membersihkan darah di telapak tangan kanan dan jemari Ira dengan kasa dan menekannya.
"Selamat kamu berhasil," ucap Khalil dengan tangannya yang cekatan mengobati luka di tangan Ira.
Jari-jarinya yang terlatih menyusup ke sela jemari gadis itu, dan ia tertegun saat melihat cincin yang tersemat di jari manis Ira.
Ia menatap gadis itu. "Kamu sudah menikah?
Ira terhenyak, kenapa tiba-tiba Khalil menanyakan hal itu?
Mata mereka bertemu.
Ira tau, ada kekecewaan di mata Khalil, tapi untuk apa?
Ira mengalihkan pandangannya ke samping, tanpa sengaja ia melihat pigura besar Khalil dan Almira saat menikah.
"Kenapa, kakak pikir aku masih mengharapkan kakak?"
Ira bisa merasakan tangan Khalil yang meremas tangannya yang sedang terluka, ia meringis dalam hati.
"Aku juga bisa seperti itu," katanya dengan menunjukkan foto pernikahan Khalil di dinding dengan dagunya.
Khalil memutar cincin di jari manis tangan Ira, ia sedikit ragu.
"Kenapa tidak di jari kiri?"
"Kenapa? Bukannya sama saja, yang penting aku sudah taken." Ira mengatakannya dengan tegas, seolah-olah memang benar ucapannya itu.

Khalil menatap seksama gadis di depannya, pandangannya jatuh pada bibir sahabat adiknya itu dan melihat ada jejak darah segar di sana.
Ia mengusap lembut bibir Ira dengan lembut, membuat pemiliknya tegang.
Jantung Ira berdetak kencang, matanya menatap lurus laki-laki di depannya yang sedang membuat darahnya berdesir.
Posisi mereka yang duduk berdampingan membuat mereka bisa mendengar detak jantung masing-masing.
Ira menepis tangan Khalil dari bibirnya, ia tidak mau terjebak dalam suasana seperti ini.
Khakil kembali bersikap dingin.
Ia menutup luka itu dengan kasa yang sudah ada antiseptik.
"Besok ke rumah sakit, temui aku di ruanganku, masih ingat kan?"

Ira berdiri hendak keluar dari kamar lelaki itu.
Namun lengannya di tangkap Khalil, "Kamu belum menjawab."
Khalil mendekat.
"Lepaskan," kata Ira yang melihat lelaki itu semakin dekat.
Khalil mencondongkan wajahnya, yang membuat Ira reflek memejamkan mata takut terjadi hal yang iya iya.
"Kenapa kamu menutup mata, apa yang kamu pikirkan?"
Wajah Ira panas, ia menyentak tangan laki-laki itu dan keluar dari kamarnya.

Bersambung #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER