Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 06 Juni 2020

Lafadz Merindu #3

Cerita bersambung

Ira bingung saat mendapat telpon dari Rani yang menyuruhnya ke rumah.
Selesai di klinik, ia langsung ke rumah sahabatnya dan sampai saat adzan maghrib.
"Ira sholat dulu bu," katanya setelah menyalami Rani dan mencium pipi Fatih.
Rani mengangguk.
Ia tersenyum puas, melihat Ira berlalu. Semoga rencananya berjalan mulus, ia akan membuat dua orang yang berbeda sisi itu menyadari perasaannya masing-masing.

"Sudah makan?"
"Nggak sempat, bu."
Rani mengajak Ira ke meja makan, "Ibu hanya sempat masak ini, nggak sempat Fatih agak rewel."
Ira menggeleng. "Ini cukup kok, bu."
Ia lantas menikmati makan malamnya di temani Rani dan Fatih.
"Ini tidak apa-apa, Ira habisin bu?"
"Cuma sedikit, ibu kirain malah nggak cukup."
Ira tertawa.
"Ada apa ibu menyuruh Ira, ke sini?" tanya Ira seraya membersihkan mulutnya dengan tisu.
Rani tersenyum, "Ayah lagi di luar kota Ra, Khalil lembur terus."
Keadaan ini pasti bukan yang pertama dh, jadi untuk apa Rani memintanya ke sini.
"Ibu bosan sendirian, nggak apa-apa kan ibu minta tolong?"
"Nggak sih bu," sahut ira pelan dengan hati masih gamang.
Tidak apa-apa Ira pulang larut, ia sudah biasa, tapi tidak untuk kasus ini.
"loh, Khalil kamu sudah pulang, bukannya kamu lembur?"

Khalil melihat gadis yang duduk di samping ibunya. Ngapain dia ke sini malam-malam, pikirnya.
"Tidak bu, alhamdulillah dokter Ivan sudah masuk."
Rani manggut-manggut, "Kamu sudah makan?"
"Belum bu," sahutnya kemudian ia naik ke lantai atas.
"Ra, coba lihat ada apa saja di kulkas, masakin buat Khalil ya?"
Ira melongo, ingin protes, tapi meras tidak enak.
"Ibu tinggal dulu, gantiin popok Fatih."
Ira tidak percaya.
Apa baru saja Rani memintanya memasak untuk laki-laki itu?
Dan sekarang tinggal dirinya di ruang tengah.
Mau tak mau, Ira melangkah ke dapur menyiapkan makan malam untuk kakak sahabatnya itu.
Ada ayam, tahu dan kentang di dalam kulkas.
Ia akan membuat semur kering.

Khalil yang baru saja turun selesai mandi mencium harum masakan yang menggugah seleranya.
"Masak apa?"
Ira terkejut melihat Khalil berdiri di sampingnya dengan jarak yang sangat dekat dan kepala melongok ke wajan.

Ira berusaha mengatur degup jantung nya.
"Semur ayam," sahutnya dengan tangan masih mengaduk masakan.
"Masih lama?"
"Sebentar lagi, tunggu di sana dulu," jawabnya sambil menoleh sekilas ke kursi meja makan.
"Saya tidak tau kamu bisa masak."

Ira mendengus, berharap laki-laki itu menjauh dari sampingnya.
"Lumayan, berhijab dan bisa masak. Kategori istri idaman," sambungnya dan membuat gadis di sampingnya tersedak.
Dengan buru-buru Ira menuangkan air putih dan menegaknya. Tenggorokannya terasa perih.
"Biar aku saja." Ira ingin mengambil sendok dan mangkuk di tangan Khalil yang segera di jauhkan laki-laki itu.
"Kelamaan, saya sudah lapar."

Khalil sudah duduk dengan sepiring nasi dan mangkuk berisi semur ayam.
"Ambilkan saya minum."
Ira meletakkan segelas air di depan Khalil dan keluar dari dapur.
"Mau kemana?"
"Pamit sama ibu," sahutnya tanpa berbalik.

Kesehatan jantungnya tidak bagus kalau dekat dengan Khalil apalagi dengan upaya move on-nya.
Ia melihat Rani di ruang tengah dan Fatih dalam box sedang menonton.
"Kebetulan ada kamu Ra."
"Ada apa, bu?"
Rani memegang perutnya dan meringis sakit. "Ibu ke kamar mandi sebentar, titip Fatih ya?"
"Baik, bu."

Ira melihat Fatih terjaga, ia menggendong bayi tersebut seraya menimang dan mengecup pipinya.
Masih kecil aja udah ganteng banget, besarnya nanti gimana ya, pasti sangat rupawan.
Seperti ayahnya, batin Ira.
Namun ia segera menggeleng kepalanya berusaha menepis pikiran gilanya.
"Ini susunya."
Ira mengambil botol susu dari tangan ayah Fatih tanpa menatapnya.
"Sudah cocok jadi ibu."
Wajah Ira panas.
Jantungnya kembali menggila.
Setelah puas, Ira meletakkan Fatih yang sudah tidur ke dalam box-nya.

Khalil memperhatikan gadis itu dengan seksama, dan ia membenarkan pernyataan Rani tentang sisi Ira yang keibuan.
Ira mengambil tas yang berada di pojok sofa.
"Saya pulang dulu, pamitkan ke ibu."
"Buatkan saya teh, baru kamu pulang."
"Hah?"
"Itung-itung belajar."
Belajar?
Ira sudah kesal setengah mati pada makhluk di depannya, ingin sekali ia melemprnya ke gurun sahara.
"Mau pulang, Ra?"
Ira tersenyum puas saat melihat Rani, ia bisa segera pergi dari hadapan ayah bayi yang tak berdosa itu.
"Iy ..."
"Gulanya satu sendok saja," sela Khalil tanpa melihat Ira dan Rani.
Ira mengepalkan tangannya, ingin sekali ia tonjok wajah songong itu.
Rani menatap kedua orang tersebut.
"Kamu mau bikin teh?"
Pertanyaan Rani tertuju pada Ira yang sedang menahan kesal.
"Ngga ..."
"Cepetan Ra."
Lagi, Ira melangkahkan kaki jenjangnya ke dapur membuat secangkir teh.
Ingatkan Ira besok membeli sianida untuk Khalil.
Khusus untuk Khalil.

"Berapa sendok?" tanya Khalil saat dia menyesap teh bikinan gadis yang masih berada di sana.
"Kenapa?"
Khalil menatapnya tajam mendengar nada bicara Ira.
Ira membuang mukanya.
"Terlalu manis." Khalil kembali menyesap tehnya. "Mungkin, lain kali saya harus memberimu sendok takar."
Ira tertegun.
Lain kali?
Ira meneguk ludahnya, mencerna kalimat lelaki yang sudah mencuri hatinya.
Khalil melihat Ira dengan tatapan bingung.
"Katanya mau pulang, kenapa masih di sini?"
Gadis cantik itu tergagap. Ia keluar dari rumah sahabatnya dengan kesal.
***

Hujan mengguyur ibu kota pagi ini. Akhir pekan sendu namun lalu lintas tetap padat tidak mempengaruhi penduduknya untuk beraktifitas.
Termasuk Ira dan Ami yang sedang berada di sebuah swalayan.

"Tinggal minyak dan gula, tan."
Ami mengangguk sambil melihat isi keranjangnya, dan Ira mencoret satu persatu list yang sudah ada.
"Ra, bikinin tante Fla cake dong."
"Kapan?"
"Nanti sore"
Langkah Ira terhenti. "Besok aja gimana tan."
"Memangnya kamu mau ke mana?"
Ira tersenyum, matanya mengerling dan ia melanjutkan langkahnya mencari list yang belum didapat mengabaikan pertanyaan Ami.

Selesai belanja, Ira ke toilet. Menyuruh Ami memesan terlebih dahulu.
Ia tidak sadar saat seseorang mengikutinya dari belakang saat ia kembali dari toilet.
"Berhenti."
Ira terlonjak kaget.
Ia berbalik, dan melihat lelaki yang sudah membuatnya marah dengan Fatih dalam gendongannya.

Khalil meletakkan keranjang kecil di lantai sebelum menyerahkan Fatih kepada Ira dan menimbulkan kernyitan cantik di kening gadis itu.
"Ikut saya."
"Ke mana?"
Khalil mengangkat keranjang yang ada di tangannya.
Ira berdiri di samping Khalil, menunggu antrian di depan kasir.
"Cowok ya, bu?"
Ira melihat ke samping kanan, saat seorang wanita menyapanya.
"Iya," jawabnya dengan ramah.
"Ganteng ya bu."
"Makasih tante." Ira berbicara menyerupai anak kecil dan membuat wanita itu tertawa.
Ia mencium pipi Fatih berkali-kali tanpa menyadari tatapan lelaki di sampingnya, yang tak lain adalah Khalil.
"Suaminya juga ganteng loh mba, lihat tu," celetuk gadis tanggung di samping wanita tadi seraya menunjuk Khalil dengan dagunya.
Wanita itu mengangguk.
Sedangkan Ira berpura-pura tidak mendengarnya.
"Yuk," ajak Khalil setelah selesai. Mereka berjalan berdampingan.
"Ini mau ke mana?" tanya Ira saat melihat Khalil tidak masuk ke dalam lift.
"Saya lapar."
"Maaf, aku harus pergi, tan ..."
"Makan dulu, nanti kita pulang."
Kita?

Mereka masuk ke sebuah resto yang juga sama dengan resto yang tadi Ira dan Ami masuk.
Mati.
Ira tau, Ami melihatnya.
"Itu bukannya tante kamu?"
Ira tidak menjawab, kenapa harus kebetulan bertemu dengan lelaki ini? Pikirnya.

Ira terpaksa mengikuti langkah Ayah Fatih yang menuju ke meja tantenya.
"Siang tante."
"Siang Khalil." Ira menatap jahil keponakannya.
"Di tungguin makan, eh malah belajar ngasuh Fatih. Mau jadi ibu yang baik ya?"

Ira menarik ujung jilbabnya pelan. Menepis gugup yang tiba-tiba melanda akibat serangan pandangan ayah Fatih yang kali ini sulit di tebaknya.
"Duduk dulu, Ra. Nanti di lanjutin program sakinah mawaddahnya."
Ira bedecak kagum melihat kepiawaian Ami menggodanya.
Bukan sekali dua kali.
Tapi sering.
Catet.
Tapi jangan sekarang dong.
Ira tidak bisa berkutik, karena ada dia diantara mereka.

==========

Weekend Humaira berakhir tragis di rumah sahabatnya. Bagaimana tidak, ia sudah punya rencana dengan Sean dan Dena sore ini, tapi Khalil memaksanya ikut ke rumah dengan alasan ia tidak bisa fokus menyetir kalau Fatih di dalam box.

"Khalil ke mana, Ra?" tanya Rani saat melihat Ira di ruang tamu.
"Nggak tau, bu."
"Kamu nggak tanya?"
Ira menggeleng.
Untuk apa dia mengetahui kemana laki-laki itu pergi, yang menjadi urusannya sekarang bagaimana ia melepaskan diri dari keluarga sahabatnya ini.
"Kamu bawa Fatih dulu ke kamar ayahnya, ibu mau keluar sebentar."
Ya ampun, bagaimana ia bisa pergi kalau seperti ini.
"Em, bu ..."
"Iya, ada apa Ra?"
"Em, Ira ada janji dengan teman, bu."
Rani menatap gadis di depannya, bingung. "Gimana ya Ra, ibu juga buru-buru nih."
Ira mendesah dalam hati, kalau begini ceritanya alamat dia lagi yang harus mengalah.
"Atau, nanti coba kamu hubungi Khalil, Ra."
Lemas, Ira mengangguk.
"Ya sudah, ibu tinggal," pamit Rani.

Sepeninggal Rani, Ira menuju ke kamar Khalil.
Namun saat meraih handle pintu, pikirannya kembali melayang pada kejadian beberapa hari yang lalu.
Ia berbalik dan terkejut melihat Khalil di depannya.
"Tidurkan Fatih di kamar."
"Kakak saja, aku juga mau pulang."
Khalil tidak mengacuhkan perkataan Ira, ia membuka pintu kamarnya.
"Kak, aku harus pulang."
"Fatih sudah tidur, baringkan ia di sana," kata Khalil tanpa melihat Ira.
Ira menurut, ia meletakkan tubuh mungil Fatih di ranjang king size milik Khalil setelah itu ia keluar.
"Buatkan aku teh, sendok takarnya dalam lemari."
"Aku mau pulang."
Ira langsung keluar meninggalkan laki-laki itu, arloji di tangannya sudah menunjukkan angka tiga.
Khalil mendengus.
Ia keluar dari kamar menyusul Ira.
"Mau kemana?"
Ira tidak menjawab, ia ke ruang tengah mengambil tas-nya dan bergegas keluar.
Khalil mencekal lengan gadis tersebut. "Kamu nggak punya mulut?"
Ira meneguk ludahnya, saat tatapan elang dihunuskan Khalil.
"Aku mau pulang, kak."
"Saya sudah izin ke tante Ami," kata Khalil dengan tangan masih menahan lengan gadis tersebut. "Jadi, untuk apa kamu pulang?"
"Aku ada janji dengan kak Sean dan ..."
"Mau kencan?" potong Khalil dengan senyum sinis.
"Terserah kakak, aku harus pergi sekarang."
Khalil menarik lengan Ira dan membawa gadis itu kembali ke kamarnya.
"Di sini saja, tungguin Fatih."
Ira menyentakkan tangannya. "Aku nggak bisa."

Emosi Khalil tersirat jelas dari gurat wajahnya.
"Tetap di sini, atau,"
"Atau apa?" tantang Ira geram melihat sikap Khalil yang kelewatan.
"Kamu wanita, tidak baik bicara seperti itu," desis Khalil.
"Penting mana, janji tidak jelasmu itu atau ... Fatih?"
Apa hubungannya, batin Ira.
"Jangan menyangkut pautkan Fatih denganku, aku bukan ibunya."
"Apa itu kode?"
"Kode?" beo Ira tidak paham.

Khalil mengantongi kunci pintu kamarnya tanpa sepengetahuan Ira. Ia duduk di sisi ranjang, dekat dengan Fatih.

"Sejak pulang tadi, Fatih sudah minum susu?" tanya Khalil tanpa memperdulikan Ira yang masih bengong.
Ira menggeleng, ada rasa haru di hatinya melihat bagaimana Khalil mencium dengan sayang putranya.
"Kak, nggak enak kalau aku nggak pergi sekarang, kak Sean dan Dena pasti sudah nungguin."
"Fatih?"
"Kan ada kakak?"
Khalil berdeham. "Kabari mereka, kamu tidak bisa ikut."
Ira berdecak.
"Biasakan dirimu bersama Fatih."
Oh Tuhan, bolehkah Ira terpesona?
Padahal, kata-kata Khalil tidak sedikitpun terdengar romantis, tapi cukup membuat jantung gadis itu jumpalitan.
"Minimal, saat ibu tidak ada, ada kamu yang buatkan susu."
Baru saja dibuat terbang, eh sekali jatuh sakit banget.
Nyess di dada Ira.
Ia mengumpat dalam hati, dan semakin kesal saat tidak bisa membuka pintu kamar Fatih yang sudah terkunci.
"Tidak baik kak, kita hanya berdua di kamar," ucapnya tanpa melihat ke arah lelaki yang sedang menatapnya, karena kondisi wajahnya yang tidak baik-baik saja.
"Kenapa?"
"Kita bukan muhrim," tegas Ira.
"Kenapa kamu nggak sabar?"
Mendengar pertanyaan Khalil, Ira berbalik. "Sabar?"
"Memang kamu sudah siap?"
Pertanyaan Khalil semakin membuat gadis itu bingung.
"Siap apa?"
Khalil tersenyum, senyum limited edition yang jarang gadis itu lihat.
"Bikin teh saja kamu belum tau takaran gula, bagaimana kamu menyiapkan hatimu?"
Ira menelan ludahnya lagi.
Ini, maksudnya?
"Masih mau berkarir atau ngurus Fatih?"
"Hah?"
Khalil bangun, dan membuka pintu kamarnya.
"Buatkan teh, saya tunggu di ruang tengah."

Setelah mengatakan itu ia meningalkan Ira yang masih mematung di kamarnya.
Apa laki-laki itu, memintanya menjadi ibu sambung untuk Fatih?
Tapi bagaimana mungkin? Bukankah Khalil sudah menolaknya?
Mengingat itu, kembali membuka luka yang belum kering di hatinya yang pernah ditorehkan laki-laki itu.
"Sampai kapan mau diaduk?"
Ira tidak menoleh, ia meletakkan sendok di wastafel dan membawa cangkir ke ruang tamu.
"Saya ambil belanjaan dulu di mobil."
Ira tau, pasti susah karena ada Fatih di gendongan Khalil.
"Fatih biar sama aku."
"Boleh?"
Ira mengangguk, pertanyaan Khalil hanya untuk menyudutkannya.
"Sama ibu dulu ya sayang."

Tubuh Ira menegang saat mendengar sebutan Khalil untuknya dan wajahnya panas.
Apa benar jiwanya kacau, batin Ira saat mengingat pertemuannya dengan Rani di klinik kala itu.
Ia mendekap Fatih, mencium pipinya berkali-kali dan membuat sang empunya menggeliat geli.
"Main sama tante ya sayang?"
Ira membawa Fatih ke ruang tengah, di sana ada sofa dan permadani yang terhampar.
Ira berbicara dengan Fatih, seolah ia paham bahasa bayi itu yang terus mengoceh.
"Tante cium lagi ya?"

Khalil mengambil Fatih dari pangkuan Ira, dan duduk di samping gadis itu.
"Buatkan susu Fatih, bu."
Ira mengedarkan pandangannya.
"Ibu sudah pulang?"
"Belum."
Jadi ...
"Cepetan dong bu, Fatih pasti sudah haus ni, ya kan sayang?"
Ira menggigit bibir bawahnya, saat mengetahui sebutan itu untuknya.
Berarti yang tadi ...
"Jangan suka menggigit bibir, bahaya. Apalagi di depan orang lain."
Datar.
Nada kalimatnya sangat datar.
Tapi, bisa membuat gadis itu mati kutu.

Ia bergegas ke dapur, menyiapkan susu Fatih.
Ira heran, kenapa jantungnya tidak tau malu dari tadi berdetak tak karuan. Hanya dengan kalimat itu.
Benarkah hanya?
Ira menggeleng, saat logikanya berkompromi dengan naluri.
Apalagi wajahnya, ingatkan ia nanti untuk membuang semua jenis blush on. Dan ia pastikan akan mencari bedak putih seperti kapur untuk menutupi kelancangan rona di wajahnya.
Ia tersenyum miris.
Dampak stres sepertinya sudah memberikan signal.

"Lama sekali."
Ira menyerahkan botol susu, dan duduk agak jauh dari Khalil.
"Mau sama ayah apa ibu, nak?
Ira kembali salah tingkah.
"Sama ayah saja ya, kan ibu udah bikinin susu."

Fatih memang haus, tidak butuh lama bagi bayi itu menghabiskan asupan nutrisinya.
"Sudah adzan, kamu nggak sholat?"
"Hah?"
Khalil menatap gadis itu dengan bingung. "Dari tadi hah hah terus, kamu kenapa? Grogi?"
Astaga.
Itu mulut apa nggak bisa sekali aja buat jantungnya tenang, batin Ira.
"Besok ada kunjungan menteri ke rumah sakit, Fatih sama kamu ya?"
"Saya juga kerja," protes Ira tak terima, apa ia baby sitter.
"Yang cari nafkah itu kepala keluarga."
Apa hubungannya, coba?
"Yang di rumah cukup jaga anak," sambung Khalil.
"Terserah, besok aku juga ada pasien penting."
Khalil memgendikkan bahunya.
"Besok sama ibu dulu ya, nak? Ayah cari duit."
Ira mengeram dalam hati.

Bersambung #4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER