Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 07 Juni 2020

Lafadz Merindu #4

Cerita bersambung

Khalil memang duplikat Mahesa dalam bersikap. Tidak tanggung-tanggung, pagi ini ia membawa Fatih ke klinik Ira beserta seperangkat keperluan putranya. Mulai dari susu, makanan, popok, pakaian ganti, dan perlengkapan mandi.
"Kakak nggak boleh gitu dong, aku juga kerja," protes Ira melihat Khalil dengan kesal.
"Nanti kita bicara, saya buru-buru."
Ira melongo melihat Khalil sudah keluar dari ruangannya. Setelah menitipkan Fatih pada Ima, ia mengejar Khalil yang sudah sampai di pintu keluar.
"Kak!" serunya. Khalil menoleh.
"Apa lagi?"
"Aku kan sudah bilang, hari ini ada pasien penting."
"Saya tidak punya waktu lagi," kata Khalil membuka pintu mobilnya dan melesat dari hadapan Ira.
Ira berdecak kesal, apa yang harus ia lakukan sekarang. Apa ia harus menghubungi Ami, batinnya. Ira menggeleng cepat, bisa-bisa tantenya itu akan meledeknya habis-habisan.

Ira masuk ke kliniknya, mencari keberadaan Ima. "Ma, Fatih sama kamu dulu ya." Ima mengangguk. Ira masuk ke ruangannya karena sepuluh menit lagi pak  Teguh, kliennya datang.
Tidak lupa ia berikan perlengkapan makan Fatih yang sudah disiapkan Khalil.

Setelah selesai bertugas Ira bergegas menghampiri Ima di ruangannya, ia tersenyum melihat Fatih sudah tidur di box-nya.
"Anteng anaknya bu, tidak rewel," kata Ima gemas. Ira tertawa pelan.
"Alhamdulillah, oya Ima, nanti adzan dzuhur tutup saja kliniknya, aku ada urusan."
Ima mengangguk.
Ira memperhatikan wajah lelap bayi mungil yang sangat mirip dengan ayahnya, Khalil. Pasti Almira sangat mencintai Khalil, pun sebaliknya.
Khalil heran, kenapa klinik Ira sudah tutup, padahal baru jam dua. Biasanya klinik itu buka sampai malam. Ia mencoba menghubungi Ira, namun tidak ada jawaban.

Saat berbelok di pertigaan, ia melihat sosok gadis itu sedang tertawa dengan seseorang yang sangat dikenalnya.
Khalil berdeham, dua pasang mata  menoleh ke arahnya. "Wah, disusul nih," goda sean saat melihat rona merah di wajah Ira.
Khalil menggeserkan bangku di samping Ira yang sedang memangku putranya. "Ngapain kalian di sini?" tanya Khalil melihat Sean dan Ira bergantian.
Sean tertawa. "Santai mas, kita cuma kebetulan ketemu kok." Khalil menoleh ke samping, melihat Ira yang asyik dengan Fatih.
"Fatih rewel?" Ira menatapnya sekilas sebelum menggeleng.
"Terus kenapa klinik sudah tutup?" Ira menatap laki di sampingnya tak percaya. Bagaimana ia bisa fokus, kalau ada bayi di tempatnya bekerja.
"Aku nggak bisa bekerja, kalau konsentrasi terbagi."
"Jadi, Fatih membuatmu tidak fokus?"
"Aku nggak bilang gitu kak," elak Ira. Khalil melihat putranya yang nyaman di pangkuan Ira.

Sean memperhatikan dua orang di depannya, ia tersenyum. Dua orang yang berbeda menurutnya. Ira yang penurut dan Khalil tipe yang menuntut.
"Kan sudah saya bilang, fokus aja sama Fatih." Ira gelagapan, bisa-bisanya Khalil berkata seperti itu di depan Sean.
"Nanti kamu juga bakalan di rumah terus," sambungnya tanpa memperhatikan raut wajah Ira yang sudah seperti kepiting rebus.
"Wah, aku ketinggalan info sepertinya." Sean bertepuk tangan, dari tadi ia dikacangin tapi sekarang ia merasa terhibur dengan pasangan ini.
Ira jadi salah tingkah. "Nggak usah di dengerin kak, kak Khalil asal ngomong," kata Ira meyakinkan Sean.
"Iya Sean, Mas kalau serius nanti, tunggu akad." Ira ingin sekali lenyap dari hadapan dua pria ini, terutama Khalil.
"Yang baik harus disegerakan mas," ucap Sean mantap. Ira pura-pura tidak mendengar ucapan Sean.
"Insya Alloh, dalam waktu dekat ini. Doakan ya?"
"Pasti mas," sahut Sean antusias, sesekali ia mengerling jenaka ke arah Ira yang sudah mati kutu.
"Aku mau pulang." Ira membenarkan kain gendong Fatih lantas ia bangun. Khalil pun berdiri.
"Sean, mas duluan ya, kasian Ira. Pasti capek."
Sean mengangguk, ia mengantar Khalil dan Ira sampai ke pintu cafe. "Hati-hati, mas."
"Oke, see you."

==========

Ira terkejut saat mendapat telpon dari ibunya dua hari yang lalu, biasanya ia yang menghubungi orang tuanya yang berada di Jogja dan mengabarkan seseorang telah datang untuk meminangnya.
Ia bingung dengan perasaannya, apa ini saatnya untuk menghapus nama Khalil dari hatinya, tapi sebagian hatinya menolak lamaran tersebut.

"Ra, ada Khalil di depan." Ira melihat Ami masuk dengan menenteng sebuah kotak. Ia mengangguk dan menghampiri laki-laki yang sudah satu minggu tidak mengusik kehidupannya.
Ira selalu takjub dengan penampilan Khalil, apalagi hari ini, lelaki itu mengenakan kemeja putih dan celana jins yang semakin menampakkan sisi dewasanya.
"Saya tidak disuruh masuk?" Ira tersipu kedapatan sedang mengagumi pria tersebut.
"Silahkan masuk," ucapnya pelan, hampir tak terdengar. Khalil masuk dan duduk di sofa panjang. Ira heran melihat satu nampan di atas meja, kapan Ami membuatkannya.

"Fatih kemana?" tanya Ira basa-basi, menghapus kecanggungan diantara mereka.
Khalil memperhatikan gadis di depannya yang memakai kerudung ungu sangat cocok dengan warna kulitnya kuning langsat.
"Saya titipkan sama ibu." Ira mengangguk, ia bingung mau bertanya apa lagi, tiba-tiba saja kosa katanya hilang.
"Ini boleh di minum?" Khalil mengangkat gelas berisi teh panas yang disediakan Ami, Ira merasa tidak enak. Kenapa ia bisa  lupa menyuruh laki-laki itu minum.
"Boleh, kak. Maaf."
"Tante mana?" tanya Khalil tidak melihat lagi wanita yang membukakan pintu untuknya tadi.
"Ada, aku panggil?" Khalil menggeleng,  kemudian ia mengambil sesuatu dari saku kemejanya dan menyerahkan pada gadis di depannya.

Ira mengerjap, saat melihat apa yang ada di tangan Khalil, ia mengenali benda itu. Wajahnya sudah merah padam menahan malu.
"Punya kamu?"
"Dapat dari mana?"
Khalil tersenyum. "Penting pertanyaan itu?" Ira menunduk, mencoba menyembunyikan wajahnya.
"Kamu nggak mau menyimpannya?"
Ira semakin salah tingkah, jangankan mengambil melihat wajah laki-laki itu saja ia sudah malu.
"Apa tidak sama lagi, seperti apa yang pernah terlukis di buku ini?" Reflek, Ira mengangkat wajahnya sehingga tatapan keduanya beradu.

Ingatan Ira kembali pada pembicaraan dengan orang tuanya tentang seseorang yang sudah meminangnya, walaupun ia belum memberikan jawaban tapi dua kali ia sholat istikharah, hatinya merasa terpanggil untuk menerima pinangan tersebut.

"Maaf."
Khalil menatap gadis itu dengan seksama. "Tidak apa-apa, maaf sudah mengganggu waktumu belakangan ini."
Dada Ira sesak mendengar perkataan Khalil, bahkan laki-laki itu tidak mau mengetahui alasan Ira menolaknya secara tidak langsung.
"Aku masih mau bertemu dengan Fatih, kak," kata Ira penuh harap. Khalil tersenyum, ia tau Ira akan meminta hal tersebut.
"Boleh, temui saja di rumah, kapanpun kamu mau." Ira ikut tersenyum, walau nantinya tidak akan sama lagi. "Asal tidak mengganggu waktu kerjamu," sambung Khalil. Ira mengangguk.
"Saya permisi dulu, pamitkan ke tante."
"Iya." Ira mengantar Khalil ke depan, menunggu hingga mobil laki-laki itu hilang dari penglihatannya.

Air mulai menggenang di pelupuk mata, ke depannya ia tidak bisa lagi melihat laki-laki yang baru satu bulan ini kembali bertemu dengannya. Mungkin memang bukan Khalil jodohnya, tapi hatinya sangat menginginkan menjadi tulang rusuk Khalil.

Ira mengunjungi rumah Rani, ia merindukan Fatih karena sudah satu minggu ia tidak melihatnya karena kesibukan di klinik.
Ia melihat, Rani sedang menyusun baju anak perempuan di keranjang. "Ini bukannya baju anak cewek bu?" Rani mengangguk.
"Tadi malam Mina nginap di sini." Ira mengerjap, "Kemarin Adam lembur, baru saja pulang langsung dijemput putrinya."
"Aku malah belum lihat bu anaknya Caca, cantik ya bu? Kok cepat banget mas Adam jemput?"
Rani tertawa melihat ekspresi Ira, "Adam itu protektif banget sama putrinya Ra, ibu saja nggak tau gimana caranya bisa membuat Mina nginap lama di sini."
Ira mengangguk, ia yakin bukan tanpa alasan Adam melakukan itu, ini pasti ada kaitannya dengan kepergian Caca.
"Mina, mirip siapa bu?"
"Duplikat Caca, Ra," jawab Rani tersenyum. Ira tertawa mengingat wajah sahabatnya yang sudah lama tidak bertemu.
"Obat Fatih di mana bu?" Ira terkejut mendengar suara yang satu minggu ini tidak di dengarnya. Khalil menghampiri ibu dan sahabat adiknya itu, ia tersenyum. "Kapan datang?"
"Sudah dari tadi kak." Khalil mengangguk. "Di mana bu?" tanyanya menatap Rani.
"Di lemari dekat televisi."
"Fatih sakit?" tanya Ira menatap Rani.
"Iya Ra, sudah satu minggu ini demam." jawaban Rani membuat sudut hatinya ngilu, kenapa Khalil tidak memberitahunya.
"Aku boleh lihat Fatih kak?" Khalil mengangguk. Ira naik ke kamar Khalil, ia melihat  Fatih terlelap di atas ranjang memakai sweater yang pas di tubuh kecilnya.
Ia duduk di sisi ranjang, mencium pipi Fatih yang masih hangat, setitik air menetes di pipinya membayangkan rasa sakit yang sedang dialami Fatih.
"Nggak kerja?" Ira menyeka ujung matanya saat melihat Khalil, ia mengangguk.
"Cuma demam kok, nanti juga sembuh," kata Khalil menenangkannya saat mengetahui gadis itu menangis.
"Sudah satu minggu, kenapa aku nggak di kabarin?" tanya Ira saat Khalil memasukkan obat ke dalam spuit.
Khalil tersenyum. "Kamu khawatir?"
"Aku serius," ucap Ira menatap lekat lelaki yang berdiri di depannya.
"Kalau serius, kenapa pinangan saya di tolak?" Ira tersedak. Ia bingung, kapan laki-laki ini meminangnya.
"Jangan bercanda kak."
Khalil menatapnya tepat di manik coklat gadis itu. "Saya tidak bercanda, kalau kamu tidak percaya, kenapa tidak kamu tanyakan pada orang tuamu, atau juga tante Ami?"
Ira gelagapan, wajahnya panas setelah mencerna ucapan Khalil. Ia kesal, kenapa ia tidak menanyakan laki-laki yang datang melamarnya, dan kenapa juga orang tuanya tidak memberitahu.
"Atau, kamu bisa tanyakan pada ibu, beliau yang datang ke sana."
Ira menutup wajahnya, bagaimana bisa ia membuat wanita itu bersedih untuk yang kedua kalinya. "Kenapa tidak ada yang kasih tahu aku?" isaknya.
"Aku yang meminta, karena aku ingin mendengar jawaban langsung darimu, dan kamu sudah memberikan jawabannya."
Ira menggeleng, air matanya luruh bersamaan dengan hatinya yang sudah tidak terbentuk. "Aku menolak kakak waktu itu karena hatiku sudah terpanggil untuk menerima pinangan itu, yang tidak aku ketahui rupanya itu pinangan kakak, maaf."

Fatih menggeliat, mungkin ia terganggu dengan suara tangis Ira. Ira menepuk pelan lengan bayi itu hingga ia terlelap kembali.

"Jadi," Khalil menggantungkan kalimatnya, melihat gadis yang duduk di sisi putranya sibuk mengusap air mata dengan tangannya. Ira tidak berani menatap wajah laki-laki itu, karena ia baru sadar sudah mengatakan perasaannya secara tidak langsung.
"Masih mau jadi ibu untuk Fatih?" Khalil menunggu jawaban Ira, ia tidak ingin memaksa gadis itu karena ia tidak bisa berjanji untuk tidak menorehkan luka di hati sahabat adiknya.
Ira tidak menjawab, meski ia sudah memiliki jawabannya ia memilih diam. "Boleh aku bawa Fatih ke bawah?"

Khalil tersenyum, ia tau Ira malu. "Kemanapun boleh, Fatih pasti tidak keberatan di bawa sama ibunya."
Ira tersipu, ia menggendong Fatih dengan hati-hati dan membawanya turun tanpa melihat Khalil.

Bersambung #5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER