Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 08 Juni 2020

Lafadz Merindu #5

Cerita bersambung

"Kenapa dibawa turun Ra?" tanya Rani saat melihat Ira turun dengan Fatih dalam gendongannya.
"Enak di bawah bu," sahut Ira sambil duduk di samping Rani, ia memangku Fatih yang masih tidur.

Rani sudah selesai membereskan pakaian Mina, ia memindahkan keranjang ke samping sofa.
"Bu," panggil Ira, melihat wanita paruh baya itu dengan tatapan bersalah. Rani mengusap bahu Ira.
"Ibu tahu apa yang ingin kamu katakan, Ibu tidak apa-apa kalau memang kamu tidak bisa menerima anak ibu."

Ira menunduk, air matanya mengalir dan terasa hangat di wajahnya. "Apa dasar ibu meminta Ira menikah karena Fatih?" tanya Ira sesenggukan.
Rani ikut menangis, ikut merasakan kesakitan dan kekecewaan gadis itu atas sikapnya.

"Maafkan Ibu, nak."
Ira menggeleng, awalnya dia memang tidak tau siapa yang datang melamarnya tapi ia tetap meminta petunjuk untuk masa depannya.

"Kapan ibu ke Jogja?" Rani menyeka ujung matanya, menatap sahabat putrinya yang telah ia anggap seperti anak sendiri.
"Sehari setelah Khalil menitipkan Fatih padamu, maaf Ibu tidak memberitahu," jawab Rani . Ira mendengar dengan seksama.
"Ibu tau, kamu baik dan juga sayang sama Fatih, karena itu Ibu mau meminangmu untuk Khalil," papar Rani.
"Bagaimana dengan kak Khalil, Bu?" tanya Ira menatap kosong ke depan. Rani merasa bersalah pada Ira.
"Kalau kamu tidak mau, nggak apa-apa, Ra."
"Aku tanya kak Khalil Bu, apa dia setuju dengan keinginan Ibu?" tanya Ira sekali lagi dengan tenang. Rani tidak menjawab dan Ira tau apa arti diamnya Rani.

Ia menghela nafas berat. "Baiklah, aku mau jadi ibu sambung untuk Fatih." Rani terkejut, ia kembali menitikkan air matanya.
"Jangan memaksakan diri, nak."
"Tidak Bu, aku ikhlas."  jawaban tenang, tegas dan lembut Ira membuat Rani terkesiap.
"Aku terima pinangan kak Khalil, demi Fatih Bu." Ira menunduk, mencium wajah Fatih dengan syahdu seolah ingin mengungkapkan perasaannya.

Rani trenyuh melihat pemandangan itu, sekalipun ia bahagia karena Ira akan menjadi menantu dan ibu untuk Fatih, namun tak bisa dipungkiri hatinya ikut sakit.
"Aku sudah terlanjur jatuh hati pada Fatih Bu, aku akan belajar sabar menghadapi kak Khalil, aku tidak akan menuntut apa-apa."

Khalil mendengar pembicaraan dua wanita tersebut tanpa sepengetahuan mereka, ia bahagia bisa mewujudkan keinginan ibunya tanpa ia tahu, sikapnya nanti akan menorehkan luka di hati sahabat adiknya itu.
Semua berbahagia melihat dua insan yang  kini sudah terikat dalam janji suci, janji yang akan membawa keduanya mencapai titik karunia dan keridhoan sang Khaliq setelah melalui gelombang pasang surut  bahtera rumah tangga.
Seperti kesepakatan awal antara Khalil dan Ira, mereka tinggal di rumah yang pernah ditempati Khalil dan almarhumah istrinya, walaupun Mahesa dan Rani sudah menyuruh mereka untuk membeli rumah lain.

Ira sungkan saat Khalil menyuruhnya masuk ke kamar laki-laki tersebut untuk istirahat. Ia pikir Khalil akan menyuruhnya tidur di kamar tamu.
"Tidurlah, Fatih juga sudah tidur," titah Khalil melihat Ira belum juga masuk. Ira mengucapkan basmalah sebelum menyeret langkah masuk ke kamar laki-laki yang sudah berstatus suaminya.
Ia takjub dengan suasana kamar Khalil, perpaduan coklat dan cream mewarnai dinding kamar itu dan furniture di kamarnyapun senada dengan warna cat dinding.

Ira mendekat ke ranjang, di sana ada Fatih  sedang terlelap. Ia memperhatikan wajah damai bayi mungil yang kini sudah menjadi malaikat kecilnya, menyibak selimut, ia berbaring di samping Fatih ikut terpejam setelah mencium pipi putranya.
Ira tidak tau Khalil tidur dimana, atau apakah laki-laki itu tidur atau tidak karena saat ia bangun, Khalil tidak ada di kamar. Setelah menunaikan kewajibannya, ia ke dapur menyiapkan sarapan pertama untuk suaminya.

Khalil datang saat Ira baru saja selesai memandikan Fatih, ia melihat gadis itu telaten mengurus Fatih dan sekali-kali berbincang dengan anaknya.

"Wah, anak Ayah sudah mandi." Ira tersenyum melihat Khalil, ia melanjutkan kegiatannya memakai baju di tubuh mungil Fatih.
"Aku masak nasi goreng nugget, mungkin sudah agak dingin, sebentar aku panaskan." Ira meninggalkan Khalil dan Fatih di kamar, ia bergegas ke dapur tanpa menunggu jawaban suaminya.

Khalil menyusul Ira, ia melihat gadis itu cekatan menyiapkan sarapan untuknya, padahal ia sudah sarapan di luar, karena tidak ingin merepotkan gadis itu di hari pertama ia tinggal bersamanya.
"Sama Ibu yuk, Ayah sarapan dulu." Ira mengambil Fatih dari tangan Khalil, ia membawa anaknya ke ruang tamu.
Karena tidak ingin mengecewakan Ira, Khalil terpaksa menikmati masakan pertama dari gadis tersebut setelah sah menjadi istrinya.

"Mas nggak tugas?" tanya Ira saat melihat Khalil belum berganti pakaian.
"Enggak, saya cuti tiga hari." Ira mengangguk.
"Kamu nggak mau keluar, atau ke mana gitu?" tanya Khalil. Ira mengerutkan keningnya.
"Memang mau ke mana?" Ira balik bertanya karena bingung, tidak mungkinkan ia bilang mau pulang ke rumah tantenya karena ini baru hari pertama ia di sini.
"Belanja, mungkin?"

Ira mengerjap, ia berpikir sejenak. Isi kulkas masih penuh karena sempat dilihatnya saat masak tadi, perlengkapan Fatih pun sudah di beli ibu mertuanya. Lantas mau belanja apa?
"Semuanya masih ada, bahkan perlengkapan Fatih juga masih banyak," jawab Ira jujur. Khalil mengangguk, ia hanya mengajak Ira berkomunikasi karena tidak ingin membuat gadis itu asing di rumahnya.

Khalil masuk ke ruang kerjanya, saat mendapat telepon, meninggalkan Ira yang masih memberikan putranya susu.
"Saya keluar sebentar," kata Khalil pada Ira. Ira mengangguk. "Hati-hati."
"Iya."

Sepeninggal Khalil, Ira tidak tau harus mengerjakan apa lagi, ia memutuskan untuk berkeliling rumah Khalil, setelah memastikan Fatih tidur.
Ada lima kamar di rumah Khalil, tiga di lantai atas dan dua di bawah, termasuk kamarnya yang berada di bawah. Ira mengitari lantai atas. Setelah melihat dua kamar di lantai atas, ia menyusuri koridor yang menghubungkan teras pembatas dan kamar ketiga.
Perlahan, ia membuka pintu kamar. Ira terkejut melihat pemandangan di kamar yang merupakan ruang kerja suaminya. Foto Khalil dan Almira memenuhi ruangan tersebut.

Mulai dari masa kuliah, koas dan menikah, semuanya ada di sana. Ira mendekat pada meja kerja Khalil. Di sana ada sebuah foto Khalil dan almarhumah istrinya terletak di atas sebuah buku.

Dadanya sesak saat mengetahui Khalil menjalin hubungan yang cukup lama dengan bunda Fatih, setelah membaca catatan milik Khalil dan Almira yang berada di bawah Foto tersebut, kenapa Caca tidak pernah bercerita tentang Almira, apa sahabatnya itu juga tidak tahu?
Ira keluar dari ruang kerja Khalil saat ia merasa sudah sedikit lama di sana. Ia mengkhawatirkan Fatih. Dengan tergesa ia turun dari lantai atas dan mengecek putranya.

"Maaf, Ibu sudah lancang mempunyai perasaan pada ayahmu." gumam Ira pada putranya yang masih terlelap, ia tidak sadar hawa hangat yang menimpa wajahnya dan bulir bening menetes di sana.

Ira kembali menguatkan tujuannya menerima pinangan Khalil hanya untuk Fatih, walaupun ada semburat cinta untuk ayah putranya, ia tidak ingin gara-gara cinta sepihaknya membuat perhatian untuk Fatih terpecahkan karena ia sungguh menyayangi putra dari laki-laki yang namanya sudah lama singgah di hati gadis itu.

Khalil pulang setelah jam makan siang, ia mencari keberadaan Ira dan Fatih yang tidak ada di kamar. Ia menemukan mereka di teras belakang.
Ia bingung melihat Ira menatap kosong ke halaman, sedangkan Fatih ada di pangkuannya. Khalil berdeham, namun tidak membuat Ira menyadari kedatangannya.

"Ehm."
Dehaman kedua sedikit keras sehingga  membuat gadis itu menoleh, Ira tersenyum melihat Khalil yang datang. Sedangkan Khalil terkejut, karena ada jejak air mata di wajah gadis itu.
Sepertinya, Ira tidak menyadari keadaannya. Ia bangun dari bangkunya. "Sudah makan?"
Khalil mengangguk, matanya masih menatap lekat wajah Ira.

"Kamu,"
"Aku,"
Mereka berucap bersamaan.
"Aku sedikit pusing, bisa belikan obat untukku? Tadinya aku mau pergi dengan Fatih, tapi takut Mas pulang malah tidak ada orang di rumah," kata Ira mengawali kecanggungan keduanya saat ia menangkap ekspresi curiga di mata suaminya.
"Ada obat di rumah." Ira mengikuti langkah Khalil, ia duduk di kasur corak setelah meletakkan Fatih ke dalam box.
Khalil menyerahkan sebutir obat pada Ira. "Minumlah, biasanya Almira juga minum ini saat pusing."
Ira menerima obat tersebut dengan menyunggingkan senyumnya, mengabaikan retak yang belum berkeping di hatinya.
Khalil mengusap tengkuknya, ia kelepasan menyebutkan nama Almira di depan Ira.
"Aku nggak apa-apa, santai aja," kata Ira masih dengan senyum manisnya saat melihat gerak-gerik Khalil.
"Jangan lupa, aku ada di sini untuk Fatih." ujarnya tulus dan masih tersenyum. Tapi berefek lain pada hati Khalil.

==========

Setelah kejadian tadi siang, Khalil mendekam di ruang kerjanya sepanjang hari, Ia bahkan melewatkan makan malam yang di siapkan Ira.
Ira khawatir, ia menuju ke ruang kerja Khalil dan mengetuk pintunya. Khalil membuka pintu. Ia melihat Humaira berdiri di depannya dengan rambut terjuntai ke pinggang.
"Makan dulu, Mas. Sudah tengah malam, nggak baik tidur dengan perut kosong."

Khalil mengikuti langkah Ira ke meja makan, ia melihat gadis itu telaten menata piring dan lauk yang baru saja dipanaskan.
"Aku tinggal sebentar Mas, nengokin Fatih." Khalil mengangguk. Ira bergegas ke kamar meihat Fatih dan memindahkannya ke dalam box lantas ia kembali turun setelah memastikan Fatih sudah tidur.

Ira duduk di samping Khalil, memperhatikan laki-laki itu yang tidak menikmati makanannya.
"Jangan dijadikan beban pikiran, Mas." Khalil menoleh sekilas. "Kita bisa jadi teman," kata Ira bijak, ia tau Khalil tampak tertekan.
"Aku ikhlas menerima permintaan Ibu, lillahi ta'ala aku ridho," sambungnya. Khalil meletakkan sendoknya di piring yang masih tersisa butiran nasi.
"Tetaplah jadi orang tua normal buat Fatih, aku tidak akan mengusik kehidupan Mas."
Khalil tidak menjawab, bahkan ia tidak ingin melihat wajah gadis di depannya, ia takut melihat raut luka di wajah Ira.
Ira memandang lekat wajah lelaki di sampingnya, ia tahu lelaki itu sedang memikirkan sesuatu dan itu tidak jauh dari hubungan mereka saat ini.

Lama saling diam, Ira memutuskan masuk ke kamar, sebelum melangkah ia mengatakan sesuatu yang memaksa mata lelaki itu menatap wanita yang kini sudah menjadi istrinya.
"Kalau tidak nyaman satu kamar, aku bisa pindah ke kamar lain." setelah mengatakan itu Ira masuk ke kamar, meninggalkan Khalil dengan segudang pikirannya.

Khalil memikirkan perkataan Ira, ia memang tidak nyaman dengan kehadiran Ira, tapi ia tidak mau egois karena wanita tersebut sudah baik mau menerima Fatih. Ia mau menikahi Ira karena ibunya yang memaksa, memang dari dulu Rani sangat menginginkan Ira menjadi bagian dari keluarganya.
Perlahan Khalil membuka pintu kamar, ia melihat Ira tidur di sisi ranjang sebelah kiri membelakanginya. Ia mendekat, namun tidak berbaring, ia hanya memperhatikan gadis itu dari belakang. Ira yang tidak merasakan tidak ada pergerakan dari belakangnya bangun.

"Mau kemana?" tanya Khalil melihat Ira mengambil bantal seperti hendak keluar.
"Mas tidur di sini, aku ke kamar sebelah."
Khalil tidak berkata apa-apa, namun tangannya reflek menarik lengan gadis  yang melewatinya.
"Tetap di sini."
Ira berbalik, ia melihat Khalil yang menatapnya datar. Mencoba menebak isi pikiran lelaki itu.
"Bukankah kamu bilang, kita bisa berteman?"  Ira mengangguk, ia kembali ke ranjang saat kaitan tangan Khalil terlepas.

Khalil berbaring di samping Ira, mereka tidur terlentang. tidak ada yang bersuara, hanya deruan nafas yang terdengar.
"Belum ngantuk?" tanya Khalil setelah cukup lama mereka saling diam, ia melihat gadis itu belum memejamkan matanya.
"Belum," Jawab Ira jujur. Ia memang tidak bisa tidur, karena ini kali pertama dia satu ranjang dengan lelaki lain, tapi ia bersikap biasa saja tidak terlalu menampakkannya.
"Ada yang mengganggu pikiranmu?" sontak Ira menoleh, kenapa Khalil bertanya seperti itu, batinnya. Karena ia yakin kini pikiran Khalil lah yang sedang terganggu.
"Tidak, mungkin Mas yang sedang banyak pikiran," sahutnya tepat mengenai sisi dalam diri Khalil.
"Semoga kamu nyaman tinggal di sini," kata Khalil dengan pandangan ke atas, satu tangannya berada di bawah kepala. "Karena aku tidak akan tinggal di rumah lain, sekalipun itu rumah Ibu," sambungnya.

Ada denyutan kecil di hati gadis itu yang coba ia abaikan saat mendengar kalimat yang keluar dari mulut Khalil. Sakit, tapi tidak berdarah.
"Tidak apa-apa, aku pernah bilang, di sini peranku hanya untuk Fatih. Di manapun aku bisa tinggal asal tetap bisa melihatnya."
Khalil menoleh, ia melihat wajah tenang Ira tanpa emosi di sana.

Tidak ada lagi yang bersuara, mereka sibuk dengan pikiran masing-masing, sehingga tanpa sadar mereka terlelap bersama.

Suara rengekan Fatih menyentak alam mimpi Ira. Ia ingin bangun, tapi sesuatu menahan perutnya dari belakang. Ira bisa merasakan hembusan nafas di sekitar lehernya. Hawa hangat menyapa wajahnya.
Ira memindahkan tangan Khalil yang membelit tubuhnya, ia bangun dan menyiapkan susu untuk Fatih.

Setelah memeriksa popoknya, ia menimang putranya sampai tidur kembali.
Ira kembali tidur, ia memperhatikan wajah damai lelaki yang kini sudah menjadi suaminya. Ia tersenyum getir mengingat hati laki-laki itu yang tidak tersentuh, karena hanya ada satu nama yang bersemayam di sana. Dan itu adalah Almira, Bunda Fatih.
Denyutan kecil itu kembali menemani rasanya saat ini, sampai mata indahnya lelah dan terpejam dengan sendirinya.

Pagi menyapa, namun kedua insan itu masih terlena dengan bunga tidurnya. Dingin yang menyeruak semakin mengeratkan pelukan keduanya.
Khalil yang pertama bangun, merasa bingung dengan posisi tidur keduanya. Seingatnya tadi malam jarak mereka cukup jelas, kenapa sekarang malah saling memeluk. Wajah Ira berada di dada Khalil dan tangan yang memeluk lelaki tersebut.
Ira merasa ada tepukan pelan di wajahnya. Ia mengerjap. Sesaat hawa dingin hilang tergantikan dengan panas bak gurun sahara saat ia menyadari posisi mereka yang sangat dekat
Sedikit salah tingkah, Ira bangun dan langsung masuk ke kamar mandi. Ia mencuci wajahnya yang terasa panas dan menormalkan detak jantungnya yang mulai tidak normal.

Pagi ini sarapan keluarga baru itu terganggu dengan kedatangan Raja Mahardika, kakak laki-laki Almira yang mengunjungi Fatih.
"Apa kabar Mas?" tanya Khalil saat mereka sudah duduk di ruang tamu, sementara Ira masuk ke kamar melihat Fatih.

Raja menatap sinis mantan adik iparnya. Belum juga kering tanah merah adiknya, suaminya malah sudah melabuhkan hati pada wanita lain.
"Seperti yang kamu lihat," jawabnya datar. Khalil tahu, Raja tidak terima dengan keputusannya menikahi Humaira maka dari itu ia tidak mengabari lelaki itu. Ia hanya memberi tahu orang tua Raja.
"Secepat itukah kamu berpaling dari Al?" datar, tapi cukup menusuk jantung Khalil mendengar pertanyaan Raja.
"Aku melakukannya untuk Fatih, Mas."
Raja tertawa pelan. Ia bukan tipe yang mudah percaya pada orang, apalagi bukti di depan matanya. Baru dua bulan Almira meninggal, Khalil sudah mempunyai wanita lain.
Tawanya terhenti saat melihat sosok yang sedang berjalan ke arahnya. Jantungnya berhenti berdetak, nafasnya tercekat. Matanya tidak berkedip menatap wanita yang semakin dekat.

"Maira?"
Ira tersentak. Ia mengenal suara itu, dan wajah itu sudah berubah. Sudah dewasa dan matang.
"Kak Raja?" seru Ira, Raja mengangguk. "Ini benaran Kakak?" tanyanya lagi, memastikan matanya tidak salah mengenali orang.
Raja mengangguk antusias, dan senyum di bibirnya tak pudar sedetikpun melihat wajah wanita itu.
Khalil berdeham setelah sepersekian menit merasa jadi objek asing di sana.

"Ini ..." kalimat Raja menggantung di udara. Khalil mengangguk. "Iya Mas, ini istriku. Humaira."
Raja menatap Ira, seolah ingin memastikan kebenarannya. "Iya Kak, aku sudah menikah dengan Mas khalil." Raja menelan susah salivanya.
Ira tersenyum. "Kakak temannya Mas Khalil?" Raja melihat sekilas ke arah Khalil.
"Ira, Mas Raja ini Kakaknya Almira." Khalil yang menjawab pertanyaan Ira. Gadis itu terkejut dan kentara sekali ketegangan di wajahnya, baru kali ini Khalil melihat langsung ekspresi gadis itu.

Ira tidak sanggup bicara, bahkan ia tidak berani melihat Raja. Ia tidak ingin dicap sebagai wanita jahat oleh Raja yang sudah dianggap seperti kakak sendiri dan ternyata laki-laki itu merupakan kakak dari wanita yang sangat dicintai suaminya.

Jantung Raja terasa diremuk, saat mengetahui status Ira sekarang, enam tahun tidak bertemu, saat takdir mempertemukan mereka malah sakit yang ia dapatkan.
Sebagai lelaki, Khalil bisa merasakan kekecewaan di mata Raja saat ia mengatakan Ira miliknya. Walaupun ia sendiri penasaran bagaimana Raja dan Ira bisa saling kenal.

Raja pamit setelah menggendong Fatih sebentar, ia beralasan ada urusan mendadak yang harus segera diselesaikan.

"Kamu kenal Mas Raja?"
"Hah?"
Ira tersentak dari lamunannya, matanya mengerjap dua kali sebelum mengatur kembali konsentrasinya.
"Sejak kapan kenal Mas Raja?" tanya Khalil dengan nada tenang.

Ira kembali memutar memorinya saat pertemuannya dengan laki-laki yang kini bertugas sebagai abdi negara itu bermula.
"Saat aku masih SMA." Khalil mengerut keningnya dalam, mendengar jawaban Ira.
"Berarti sudah lama?"
Ira mengangguk. Fatih yang berada di pangkuannya tidak bisa mengambil alih perhatiannya karena gadis itu masih syok dengan kenyataan yang baru saja ia ketahui.
"Kalian pernah pacaran?" selidik Khalil. Dan detik berikutnya ia merasa ada sesuatu yang menghantam dadanya saat menyadari bahasa tubuh Ira yang tegang.

Dan ...

Bersambung #6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER