Cerita bersambung
"Kak Raja pernah melamarku, Mas." jawaban Ira membuat Khalil terkejut. Ia sama sekali tidak berpikir sampai ke situ karena saat itu Ira masih SMA.
"Dan kamu tidak menerimanya karena kamu sudah duluan menaruh rasa pada saya?" tuding Khalil tidak tanggung-tanggung. Ira menggeleng, "Bukan Mas, saat itu aku masih SMA, aku belum berpikir untuk menikah."
Jawaban Ira tidak memuaskan bagi seorang Khalil Mukarram.
"Jadi kamu mengelak perasaanmu sekarang setelah bertemu lagi dengan Mas Raja?"
Ira bingung, ini arah bicaranya kemana. Kenapa malah topiknya berganti. Bukankah tadi Khalil menanyakan hubungannya dengan Raja?
"Apa kamu bisa menempatkan dua pria dalam hatimu?" tanya Khalil sinis. Dua jarinya memainkan dagu seraya menatap tajam gadis yang sedang memangku putranya.
"Menurut Mas?"
Khalil geram melihat sikap Ira yang sangat tenang menghadapinya. "Kenapa malah balik nanya, atau memang benar kalau kamu wanita seperti itu."
Ira menepuk pelan tubuh Fatih saat putranya itu menggeliat.
"Kalaupun benar, tidak masalah kan dengan Mas, karena sampai sekarang aku belum bisa memiliki hatimu," jawab Ira tanpa melihat ke arah Khalil karena fokus menatap wajah duplikatnya.
Khalil tertawa. "Kalau di hatimu masih ada nama lelaki lain kenapa menerimaku?"
"Aku memikirkan Fatih,"
"Secara tidak langsung kamu menerima saya," sela Khalil cepat, ia tidak membiarkan gadis itu melanjutkan kalimatnya.
Ira meringis dalam hati. Tidak ingin berlarut dalam obrolan tidak waras ini, ia bangun meninggalkan Khalil.
"Saya sedang bicara." Ira berbalik saat mendengar nada tegas dalam kalimat suaminya. Ia melihat, laki-laki itu menatapnya tajam.
"Apapun hubunganmu dengan Mas Raja di masa lalu, saya harap tidak berbekas." Ira tidak mengerti maksud Khalil.
Tapi ia juga tidak ingin bertanya, "Fatih belum minum susu," katanya seraya berjalan ke kamar. Khalil menyusul gadis itu, ia menarik pelan lengan Ira karena ada Fatih dalam gendongannya, sehingga posisi mereka tersisa beberapa jarak.
"Fatih masih tidur, kita perlu bicara."
Khalil tidak menyadari keadaan Jantung Ira yang sedang berdendang tak jelas di sana, namun gadis itu tetap mempertahankan ekspresi tenangnya.
"Bicara apa lagi, Mas?"
Khalil tersenyum sinis. "Tentang kamu, apa masih banyak yang tidak saya ketahui selain kamu yang tergila-gila pada Kakak sahabatmu?"
Ira tidak suka penggalan kalimat yang digunakan laki-laki itu, namun ia juga tidak protes.
"Kamu terlalu percaya diri Mas," ucapnya tenang dan ada senyum yang terukir di sana.
Khalil tertawa, dalam posisi yang sangat dekat seperti ini, Ira bisa melihat dengan jelas deretan gigi putih laki-laki itu dan garis tawa yang tercetak jelas di wajah Khalil.
Degup jantungnya semakin tak karuan ketika Khalil semakin dekat. "Benar, saya terlalu percaya diri."
"Mas mau apa?" tanya Ira sedikit gelagapan saat punggungnya menabrak dinding dan tubuhnya terkurung dalam kungkungan tangan kekar Khalil yang merapat ke dinding.
Khalil menatap intens wanita di depannya. Wanita yang sering hadir dalam kehidupannya bersama dengan sang adik, dari Caca juga ia tau perasaan gila gadis ini padanya sejak masih SMP. Dan sekarang gadis ini sudah resmi menjadi istrinya.
Rasa hangat menyapa gadis itu, kala pandang keduanya menemukan titik temu masing-masing.
Ira memejamkan matanya saat wajah Khalil sedikit merunduk. Ia tidak berani melihat mata itu dan ia juga takut terjadi yang iya-iya. Khalil sadar ini salah, ia meninggalkan gadis itu dalam diam, bahkan saat gadis itu masih menutup matanya.
Ira tersenyum getir, saat merasakan hawa hangat tadi perlahan menghilang. Ia membuka mata dan melihat Fatih dalam dekapannya.
Tetes bening itu kembali jatuh di wajahnya untuk yang kesekian kali. Ikut merasakan luka gadis cantik itu namun ia tidak larut dalam luka yang sering menyapa itu karena dering ponsel mengalihkan perhatiannya.
Ira mengangkat ponselnya, tidak ada suara di seberang sana setelah dua kali ia memberi salam. Ia hampir memutuskan panggilan tersebut, tapi jarinya tertahan menyentuh ikon merah ketika namanya mengalun dari seberang.
"Maira," jantungnya seolah berhenti berdetak mendengar suara itu.
"Kakak?"
"Kakak mau ketemu sama kamu, alamatnya Kakak Chat." Ira tidak sempat menjawab karena panggilan diputuskan sepihak. Ia juga tidak sadar, sejak dari tadi Khalil berdiri tidak jauh darinya.
Ira masuk ke kamar setelah menyiapkan susu putranya serta ikut berbaring di samping Fatih.
"Mau keluar?" Ira menoleh ke pintu yang terbuka dan ada Khalil di sana.
"Kemana?"
"Saya mau makan di luar." Khalil duduk di kursi depan nakas, ia memperhatikan Fatih sedang mengoceh sambil memainkan jarinya.
Ira mengangguk, lantas mereka berangkat.
"Belum bisa move on?" tanya Khalil ketika mereka sedang dalam perjalanan.
Kening Ira mengernyit, ia menatap laki-laki di sampingnya.
"Katanya mau fokus sama Fatih, memang bisa kalau pikiran masih kebagi sama yang lain?"
"Mas ngomong apa?" tanya Ira dengan suara rendah.
"Nggak usah berlagak bodoh."
Ira memperbaiki letak topi mungil putranya. "Mas ngajak aku keluar untuk apa?" tanyanya mengabaikan sindiran Khalil.
"Kenapa kamu berkelit?"
Ira tidak menjawab, ia memilih melihat jalanan yang tidak begitu ramai lewat kaca samping.
"Seharusnya kamu senang, impian kamu jadi Kakak ipar Caca tercapai." Ira tertegun mendengar ucapan Khalil. "Jadi sekarang untuk apa kamu memikirkan laki-laki lain?"
Seketika pikiran gadis itu melayang pada kejadian tadi pagi. Hatinya sakit mengingat kebodohannya di depan Khalil. Ia tahu apa yang akan terjadi seandainya Khalil tidak meninggalkannya. Dan mirisnya, ia juga tahu mengapa Khalil memilih pergi dalam diam.
Mereka sampai di sebuah swalayan. Ira tidak bertanya kenapa Khalil membawanya ke sini.
"Fatih biar saya yang gendong." Ira menyerahkan bayi mungil itu pada Ayahnya.
Mereka jalan beriringan masuk ke area resto yang berada di lantai dua.
"Coba jadi wanita yang setia pada satu lelaki," kata Khalil setelah mereka memesan makanan. Ia menatap lurus ke depan, di mana seorang lelaki sedang menuju ke arah mereka tanpa Ira sadari tentunya.
"Kalau kamu tidak ingin saya meragukan perasaanmu," sambungnya, ia tidak membiarkan gadis itu bicara sampai sebuah suara mengejutkannya.
"Kak Raja?"
Raja tersenyum melihat gadis pujaannya. "Boleh saya gabung?"
Ira melihat Khalil juga tersenyum, tapi ada yang disembunyikan lelaki itu.
"Duduklah Mas," titah Khalil. "Sepertinya kita akan sering bertemu." Khalil berbicara santai, ia menempatkan Raja sebagai lelaki yang sedang mengejar wanita berstatus istrinya, bukan sebagai mantan kakak iparnya.
Raja memgendikkan bahunya. "Mungkin." Kemudian dia menoleh ke samping, "Chatt Kakak kenapa nggak dibalas?"
Ira jadi salah tingkah, saat dua perhatian laki-laki itu mengarah padanya.
"Maaf," cicitnya pelan dan membuat garis ketat di rahang Raja menguar.
Khalil berdeham, "Mba Puput apa kabarnya, Mas?" tanyanya mengalihkan topik dua orang itu.
"Saya tidak tahu, sudah lama juga tidak bertemu dengannya," jawab Raja, sesekali pandangannya mengarah ke samping di mana gadis pujaannya berada.
"Benarkah? Saya pikir, Mas sudah melamar Mba Puput." Khalil pura-pura kaget.
Raja mengangguk, "Saya tidak suka Puput, dia saja yang selalu menngejar saya."
"Maksudnya, dia cinta mati sama Mas?" tanya Khalil. Ira mengambil air mineral yang disediakan di atas meja dan menghabiskan setengah isinya. Ia tahu kemana arah bicara lelaki itu.
Lagi, Raja mengangguk. "Sama dong Mas."
Raja menatap tajam ke arah Khalil mendengar ucapan mantan adik iparnya. "Apa maksudmu?"
"Saya juga menikahi wanita seperti itu," sahutnya santai, netranya membidik wanita di depanya yang sedang berusaha menghilangkan rona mencolok itu, namun bisa dipastikan usahanya tidak akan berhasil.
"Hampir dua puluh tahun ia menyimpannya dalam diam," sambungnya dan membuat tatapan laki-laki di sampingnya teralihkan.
Khalil tertawa pelan saat melihat ekspresi Raja. Ia yakin Raja marah.
Khalil hanya menjaga wanita yang sudah dimilikinya, ia tidak salahkan?
==========
"Aku menyayangkan sikap Mas hari ini," kata Ira saat mereka masuk ke rumah, sejak di mobil tadi gadis itu menutup mulutnya.
"Kenapa, kamu malu?"
Ira tertawa kecil. "Tidak, aku hanya mengkhawatirkan Kak Raja."
"Siapa dia memang sampai kamu harus mengkhawatirkannya?"
"Dia laki-laki yang tahu cara menghargai perasaan wanita."
Khalil tersenyum sinis. "Menolak gadis yang mencintainya, apa masih bisa disebut laki-laki baik?"
Ira menatap laki-laki di depannya dengan datar, namun pikirannya bergejolak. "Aku tidak berhak mengatakan dia jahat kalau )hanya menolak sesuatu yang tidak diinginkannya."
"Kalau begitu, saya lebih baik dari dia dong. Karena mau menerimamu walaupun saya pernah menolak," cibir Khalil. Ira takjub dengan kepiawaian debat suaminya, mungkin lain kali ia akan meladeninya. Tidak sekarang, karena ia mau menidurkan putranya.
Ira mengendikkan bahunya acuh lantas ia bergegas masuk ke kamar. Khalil mengikuti gadis itu ke kamar. Ia melihat Ira menidurkan anaknya dalam box dengan penuh kasih.
"Kamu,"
"Fatih sedang tidur," sela Ira cepat saat melihat suaminya kembali ingin adu mulut. Dulu-dulu saja ngomongnya susah, kenapa sekarang malah lancar banget ngoceh, batinnya.
"Aku mau istirahat, kalau keluar tutup pintunya." Khalil tidak percaya dengan ucapan wanita tersebut, bukankah dia diusir secara tidak langsung?
Hari, minggu dan bulan berganti. Dan keadaannya masih sama. Khalil yang sibuk dengan jurnal kedokterannya, pun Ira yang menitik fokuskan perhatian pada Fatih sepenuhnya sehingga tidak ada kesempatan bagi keduanya menjalin hubungan layaknya suami istri.
Apalagi saat ini, Khalil sedang ada tugas kemanusiaan di negara konflik, mereka berpisah hampir lima bulan. Hanya ada sambungan telepon, dan mereka hanya bicara tentang Fatih. Seperti sekarang, mereka sedang video call.
"Fatih sudah tidur, Mas. Nih lihat," kata Ira sambil menunjukkan Fatih yang sudah terlelap di ranjang mereka.
Khalil terkekeh melihat posisi tidur Fatih, persis sepertinya. "Tumben, biasanya jam segini masih melek."
"Iya, tadi kecapean." Ira meletakkan ponselnya di nakas yang ia beri penyangga sementara ia melipat beberapa pakaian Fatih.
"Memang ngapain aja Fatih seharian ini?" tanya Khalil, ia melihat gadis itu tidak menatap layar ponsel. Memilih sibuk dengan baju putranya.
"Ibu tadi datang, tau sendiri gimana Ibu kalau ketemu cucunya."
Khalil mengangguk. "Kamu capek?"
Ira menatap layar ponselnya, seketika pandangan mereka bertemu. Jarak jutaan mil yang terpisahkan tetap membuat darahnya berdesir kala mendengar suara lelaki itu. Apalagi sekarang, saat mata keduanya saling berpandangan lewat benda pipih itu, bisa ia rasakan dentuman yang menggila di sana.
"Tidak Mas," jawab Ira, ia kembali fokus pada kegiatannya. Khalil masih memperhatikan gadis itu. Lima bulan mereka berpisah, tapi ia tidak merindukan gadis itu. Sengaja ia menerima tugas ini, untuk menguji hatinya. Tapi ia gagal, karena masih ada pemiliknya di sana.
"Jaga kesehatanmu, jangan terlalu capek. Besok saya pulang."
Begitu sambungan terputus. Air mata kembali menemani malam gadis itu selama lima bulan ini. Ia lemah dan merutuk perasaannya yang terlalu dalam pada lelaki itu.
Rindu itu menggebu, tapi tidak berani ia ungkapkan. Dan rindu itu telah merenggut sepercik asanya, tanpa ia sadari.
Ira terhenyak, saat ia berada di dalam mobil. Air mata kembali membasahi wajah cantiknya.
Sore kelabu, mendung dan gerimis samar menemani perasaannya ketika ia melihat Khalil di sana. Rani mengusap bahu menantunya, berusaha menyalurkan ketenangan di sana.
Bel berdenting. Ira membuka pintu rumahnya, mengukir senyum tulus menyambut kepulangan suaminya.
"Fatih mana?" tanya Khalil ketika melangkah masuk dan tidak melihat putranya.
"Ada di ruang tengah, Mas," jawab Ira. Ia membawa ransel Khalil ke belakang, sebelum menyusul.
Ira tersenyum bahagia melihat, Khalil bercanda menggelitiki perut putranya dan Fatih cekikikan menahan geli.
Cukup, cukup seperti ini, batinnya.
"Ayah mandi dulu, nanti main lagi ya sayang." Khalil mengecup puncak kepala putranya dan masuk ke kamar. Ira mengikuti suaminya, ia menyiapkan pakaian ganti Khalil setelah itu keluar melihat Fatih.
Usai makan malam, Ira menidurkan Fatih. Usia Fatih yang sudah memasuki umur tujuh bulan membuatnya semakin aktif dan lebih banyak menyita perhatian gadis itu.
"Fatih sudah tidur?" tanya Khalil saat Ira meletakkan secangkir teh di atas meja.
"Sudah Mas," sahut Ira melirik sekilas lelaki itu. "Saya ke kamar dulu."
"Kamu tidak ingin menemani suamimu setelah sekian lama tidak bertemu?"
Ira tersenyum. Ia duduk di sofa panjang, berjarak satu meter dari sofa utama yang diduduki Khalil.
Lelaki itu memperhatikan Ira dengan seksama, dan menemukan perbedaan yang mencolok pada gadis tersebut.
"Kamu diet?" Ira menggeleng pelan.
"Tapi kamu kelihatan kurus," kata Khalil jujur. Ira hanya tersenyum, dan itu membuat Khalil mengerut kening.
"Besok ulang tahun Mina, kita kasih kado apa Mas?" tanya Ira mengalihkan pembicaraan.
"Besok kita lihat," jawab Khalil. ia menyesap tehnya. Menikmati setiap tegukan yang masuk ke kerongkongan.
"Fatih nggak ngrepotin kamu kan?"
Ira menggeleng, ia memang tidak merasa repot. Yang ada malah ia menikmati kebersamaan dengan putranya.
"Ibu sering ke sini, jadi aku enggak sendirian momong Fatih." Khalil mengangguk, saat netra keduanya bertemu Ira memalingkan wajahnya ke sembarang arah, karena Khalil mengetahui sesuatu.
"Kamu habis nangis?" Ira meremas sisi bajunya. Tidak mendapatkan jawaban Khalil pindah ke samping Ira.
Ia mengait dagu gadis itu dan pandangan keduanya kembali bertemu. "Kenapa?"
Ira menelan salivanya. "Maaf, sejak dari tadi pagi aku nonton drama korea, endingnya nyesek. Yah gini jadinya," papar Ira serius, ingin menutupi kebohongan yang dibuatnya.
"Sejak kapan suka nonton? Bukannya kamu tipe yang sangat realistis?"
Ira terhenyak. Bagaimana laki-laki ini bisa tahu?
"Kamu bukan wanita pemimpi seperti gadis lain, kamu tidak suka dengan roman picisan. Apa kamu sedang mencoba membohongiku?"
Satu nama terbersit dalam pikirannya. Caca. Pasti sahabatnya yang telah memberitahu laki-laki itu.
"Tidak suka, bukan berarti tidak akan." jawaban mantap Ira membuat Khalil tersenyum sinis.
"Semoga saya tidak akan tau apa yang sedang kamu tutupi."
"Mas tidak ingin istirahat?" tanya Ira setelah sekian lama mereka diam. Khalil sepertinya sedang sibuk dengan ponselnya.
"Tadi pergi kemana dengan Ibu?"
"Hah?"
"Perlu saya ulangi?" tanya Khalil menatap tajam gadis di depannya.
"Em," Ira menunduk. Ia tidak berani melihat wajah Khalil. Laki-laki itu masih menunggu jawaban jujur dari wanita itu meski dirinya sudah tahu.
"Maaf." satu kata dari Ira membuat emosi Khalil tersulut. "Apa sulit untukmu berkata jujur?"
"Aku ke makam Mba Almira." jawab Ira cepat.
"Untuk apa?" desis Khalil.
"Aku hanya ziarah."
"Ziarah tiap hari jum'at selama lima bulan ini?" Ira terperangah. Dari mana lagi laki-laki ini tahu?
"Apa yang kamu harapkan dengan mengunjungi istriku?" tajam dan menikam kalimat yang keluar dari mulut Khalil.
"Aku hanya mengunjunginya, karena Mas tidak ada di sini." Ira menjawab dengan tenang, matanya menatap wajah penuh amarah di depannya.
"Kamu berpikir, aku akan luluh saat mengetahui kamu sering mengunjungi pusaranya?"
Ira menggeleng. "Dari dulu aku bukan pemimpi, jadi aku tidak berharap apapun dari Mas. Kalau Mas merasa kepentinganku di sini sudah usai, Mas boleh menyuruhku pergi. Lillaahi Ta'ala, aku tidak berani mengharapkan apapun dari Mas."
Santai dan santun kalimat itu. Namun berhasil mengusik sisi dalam diri lelaki itu. "Kamu menyerah?"
"Aku sedang tidak berjuang, untuk apa aku menyerah?"
"Jadi hanya sampai di sini?" lelaki itu megatupkan rahangnya. Giginya bergemalatuk menahan marah.
Ira bertahan untuk tidak mengeluarkan cairan panas yang mendesak itu. "Aku sadar posisiku di sini."
"Kalau kamu sadar, untuk apa kamu ke makam istriku!" Bentakan pertama di usia enam bulan pernikahan mereka. Air mata Ira mengalir begitu saja. Dadanya sesak menahan sakit. Isakannya masih ia tahan.
"Maaf," cicit Ira samar.
Khalil mengusap wajahnya kasar, ia meninggalkan gadis itu sendirian dan naik ke lantai atas.
Ira memukul dadanya yang terasa sesak, berharap bebas dari beban yang menimpanya. Air mata kembali menjadi saksi dari luka yang di goreskan oleh laki-laki yang sama.
Khalil bangun saat matahari sudah sangat terik. Ia tidak menemukan keberadaan Ira dan Fatih di luar.
Pelan ia buka pintu kamar. Matanya menangkap sosok gadis itu duduk di kursi menatap kosong ke luar jendela kaca dengan Fatih di pangkuannya.
"Mas mau makan?" tanya Ira ketika menyadari kehadiran Khalil, ia bangun dan melangkah ke arah lelaki itu.
Khalil memerhatikan wajah lelah wanita di depannya. Wajah putih bak porselen itu lusuh dengan kantung mata menghiasi.
"Kamu tidak tidur?" Ira tersenyum mendengar pertanyaan Khalil. "Tidur kok, ini baru bangun. Yuk makan dulu, Mas pasti lapar."
Khalil mengikuti langkah gadis itu. Ia duduk di kursi utama. "kamu nggak makan?" tanyanya saat melihat Ira hanya melihatnya makan.
"Sudah tadi."
Khalil menghabiskan makanannya. "Fatih biar sama saya, kamu tidur dulu."
"Tidak apa-apa Mas, aku tidak ngantuk."
Khalil menyeret gadis itu ke kamar, ia berhenti di depan cermin. "Lihat dirimu, apa masih bisa menjaga Fatih saat kondisimu seperti ini!"
Ira terkejut menatap bayangannya dalam cermin. "Masih bisa berkilah?"
Ira tidak menjawab, ia memilih pergi dari hadapan lelaki tersebut setelah menyerahkan Fatih pada ayahnya.
Bersambung #7
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel