Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 10 Juni 2020

Lafadz Merindu #7

Cerita bersambung

Sore itu cuaca mendung dan angin menghembus kencang. Langit dihiasi kilatan putih mahakarya sang pencipta.
Ira dan Fatih sedang menunggu Khalil di ruang kerja lelaki itu karena undangan makan malam dari Rani.
Pintu ruangan terbuka, sontak  Ira bangun. Ia terkejut melihat wanita berdiri di sana. Dan di belakangnya ada Khalil. Mereka mengenakan pakaian yang sama.

"Masuk Yasmin," titah Khalil, wanita itu mengangguk malu.
"Kenalkan ini Humaira, dan ini putraku Fatih." Ira dan Yasmin bersalaman.
"Ganteng banget, lucunya," puji Yasmin melihat Fatih dalam gendongan Ira. "Boleh aku gendong?"
Ira mengangguk, ia menyerahkan Fatih pada wanita cantik itu.

"Mirip sama kamu, Mas." Ira terkejut mendengar sebutan wanita itu untuk suaminya. Ia melihat sekilas ke arah lelaki tersebut.
"Benarkah?" tanggap Khalil dengan nada biasa. "Iya, gantengnya nurun ya?"
Khalil tersenyum samar. "Besok kamu pantau pasien ruang melati, kemungkinan saya masuk sore."
Yasmin mengangguk, matanya melihat lelaki berjambang tipis itu dengan tatapan memuja.
Ira berdeham, matanya menatap nyalang wanita di sampingnya. "Biasa saja lihatnya Mba." alhasil wajah Yasmin merona merah kedapatan menatap suami orang di depan istrinya.

Khalil yang sedang fokus ke resume pasiennya melihat ke arah Ira dengan tatapan bertanya. ira mengendikkan bahunya.

"Masih ada sepuluh menit lagi untuk inspeksi, kamu masih mau di sini, Yasmin?"
Yasmin berpamitan setelah menyerahkan Fatih. Ia teramat malu.
"Kita berangkat sekarang, satu jam lagi adzan." Ira mengangguk, lantas mereka berangkat menuju ke rumah Mahesa dan Rani.
Hujan lebat mengguyur kota jakarta, lalu lintas padat ikut meramaikan suasana senja itu.

Akhirnya mereka sampai ke rumah saat adzan maghrib. Menunaikan tiga rakaat berjamaah.
"Adam belum datang, Bu?" tanya Khalil saat mereka sudah berkumpul di ruang tamu.
"Masih di jalan, sebentar lagi juga sampai," jawab Rani. Ia mengalihkan pandangan pada menantunya. "Kamu pucat Ra, sakit?"
"Tidak Bu," sahutnya sembari melihat Rani dengan tersenyum.
"Kalian baik-baik saja kan?" Mahesa ikut bersuara saat menemukan kejanggalan diantara keduanya.
"Kami baik Ayah." Khalil yang menjawab. Ia mencoba tersenyum pada istrinya.
"Kamu sudah dewasa Khalil dan juga sudah pernah berkeluarga. Ayah harap tidak terjadi masalah kedepannya. Cukup Adam dan Caca yang yang merasa kecewa dengan sikap mereka dulu. Ayah tidak mau terulang yang kedua kalinya di keluarga ini," papar Mahesa panjang lebar, menekankan kejadian putri dan menantunya dua tahun yang silam.

Khalil menunduk, kedua tangannya saling meremat. Ia sendiri bingung, apa yang akan terjadi dengan rumah tangganya ke depan.

"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam," jawab mereka serempak saat melihat Adam dan Mina masuk.
"Wah, anak gadis Mama Caca baru sampai." Rani berseru heboh melihat cucunya datang. "Yuk, kita langsung makan."

Semua anggota keluarga Mahesa, terkecuali putri bungsunya, Caca, menikmati makan malam bersama, menyambut kepulangan Khalil dari Suriah yang mengemban tugas kemanusiaan.
Ira merasa kasihan melihat keadaan suami sahabatnya. Walaupun tidak kurus, Adam terlihat kacau. Gadis itu tidak tahu detail penyebab kepergian sahabatnya. Yang ia tahu Caca ingin melanjutkan studinya ke Perancis.

"Mina nginap aja ya Dam," pinta Rani melihat ke arah Adam. Adam tersenyum. "Besok bisa ke sini lagi Bu, nggak usah nginap."
Rani berdecak, "Besoknya kamu bisa jadi bulan depan Adam." Adam terkekeh. "Lihat kan Ra, nggak Adam nggak Khalil, posesifnya kebangetan."
"Mas Khalil mending Bu, ada Ira. Aku sendirian kalau Mina juga ikut Ibu," timpal Khalil bijak.
"Sudah bicara dengan Caca, Dam?" tanya Mahesa. Adam menggeleng. "Aku belum siap Ayah, yang penting Mina bisa berkomunikasi dengan Caca aku sudah bersyukur."

Mahesa menghela nafas berat. Dua tahun sudah kepergian putrinya, tapi mereka masih belum membuka diri. Ia tidak bisa memaksa keduanya.
Ira dan Khalil saling melirik, saat Ayahnya diam. Sementara Rani pura-pura sibuk dengan kedua cucunya.
Mahesa menatap tajam putra sulungnya. "Ini yang terakhir, kalau masih mau melihat Ayahmu sehat." setelah mengatakan itu Mahesa meninggalkan mereka semua.
Adam dan Mina pamit tidak lama setelah Mahesa masuk ke kamar, meninggalkan Khalil dan Rani. Sementara Ira menyiapkan susu Fatih di belakang.

"Sudah tujuh bulan, Khalil. Kalian masih diam di tempat?" Rani menatap dengan putus asa ke arah putranya.
"Dengan tidak mengurangi rasa sayang Ibu pada almarhumah istrimu, apa Ira tidak layak diperlakukan seperti seorang istri?" tanya Rani penuh harap, walaupun ia sudah tahu jalan pikir putranya.
"Maaf Bu," ucap Khalil tidak berani melihat wajah luka wanita yang sudah melahirkannya.
"Lima bulan kamu di sana, pernah kamu tahu bagaimana repotnya Ira mengurus Fatih? Ia bahkan menolak saat Ibu memintanya menginap di rumah Ibu agar bisa membantunya." Khalil masih diam mendengarkan perkataan ibunya.
"Setiap hari jumat ia mengunjungi makam Almira tanpa sepengetahuan Ibu, sampai akhirnya di hari kepulanganmu, Ibu memergokinya." Rani menyeka ujung matanya. "Ibu menyayanginya, sebagaimana Ibu menyayangi Caca, adikmu."
Khalil tidak merasa apapun saat Ibunya begitu menyanjung gadis yang sudah berstatus istrinya.
"Sejak kepergianmu, Ira sering murung. Ia juga jarang makan meski setiap hari ia masak dan akan berakhir di meja Ibu, alasannya tetap sama kalau Ibu bertanya, ia sedang puasa." Khalil menatap Rani, mencari kebohongan di sana. Namun nihil. Rani kembali menangis.

Berarti benar, Ira memang jarang makan. Pantas saja tubuh itu terlihat sangat kurus dari terakhir yang ia lihat. Selama tiga hari kepulangannya, ia juga tidak pernah melihat gadis itu makan. Baru malam ini ia melihat Ira makan.

"Ibu kenapa nangis?" Khalil melihat Ira menghampiri Rani dengan tatapan bingung. "Ibu kenapa Mas?" tanyanya pada Khalil.
Rani memeluk Ira, ia mengusap punggung gadis malang itu. "Maafkan Ibu Ra, maaf."
Ira melepaskan pelukan Rani. "Ibu bicara apa, kenapa minta maaf. Bukankah aku sudah memberitahu Ibu, aku akan bersabar dengan caraku, Bu. Percaya sama aku," ucap Ira meyakinkan Rani saat mengetahui penyebab ibu mertuanya menangis.

"Kalau sudah lelah, Ibu mohon berhentilah." Ira tersenyum. Ia mengusap tangan Rani. "Ira selalu mendengarkan nasehat Ibu."
Rani mengangguk, bagaimanapun ia merasa bersalah mengingat perlakuan putranya pada gadis sebaik Ira. Khalil dan Ira pamit setelah lama saling diam diantara mereka.
***

Khalil mendapat telpon dari mantan ibu mertuanya dan mengabarkan kalau Ira dan Fatih berada di rumah orang tua Almira.

Ketika sampai di sana, ia melihat pemandangan yang membuat emosinya tersulut.
"Saya pikir ingin mengantar Maira," kata Raja menoleh ke arah Khalil. "Tapi kamu sudah datang."
Ira ikut menoleh, ia melihat Khalil yang datang. "Mas Khalil?" Khalil bergabung bersama mereka berdua.
"Fatih mana?" Ira kicep mendapat tatapan tajam lelaki tersebut. "Di dalam sama Ibu, Mas."
Raja tidak suka Khalil mengintimidasi wanita pujaannya, sekalipun sudah berstatus istri orang.
"Ikut saya temui Ibu," perintah Khalil tegas. Ira menurut setelah melirik sekilas Raja, mereka masuk ke dalam.
"Khalil sudah datang? Maaf Ibu culik Ira dan Fatih." Mala terkekeh.
"Tidak apa-apa Bu, saya mau pamit pulang sekalian jemput Fatih."
"Loh kok buru-buru, makan malam di sini ya, sebentar lagi sudah adzan magrib." Khalil tidak bisa menolak ajakan Mala, ia tidak ingin mantan mertuanya tersinggung.

Setelah menunaikan kewajiban, mereka melanjutkan makan malam bersama keluarga mantan istri Khalil.
"Makan yang banyak Maira, kamu kelihatan kurus." Ira tertawa pelan mendengar perkataan Raja. Sedangkan Khalil tidak bisa berkutik.
"Maira pasti capek ngurusin Fatih ya?" tanya Mala melihat wanita berhijab itu.
Ira tersenyum. "Tidak Bu, Ira suka sama Fatih."
"Maira suka anak kecil Bu, dulu aja anak orang hampir diculik nya," timpal Raja dan membuat Ira kembali tertawa.
"Benar Maira?" tanya Mala kaget. Ira menggeleng, "Bukan begitu Bu, anak itu nangis, aku bawa ke lapangan karena di sana banyak orang, malah pak polisi ini yang nuduh sembarangan," elak Ira.

Raja tertawa, mengingat pertemuan pertama mereka kala itu. "Oke yang itu, kalau anak Pak Sekdes?" Ira terkekeh. "Itu bukan nyulik Kak, Maira aja yang gemes sama anak itu."
Mereka tertawa bersama, seolah lupa hubungan mantan ipar dengan laki-laki yang berusaha meredam amarah di samping Ira.
"Jadi, Maira tipe penyayang ya? Wah beruntungnya Fatih dapat ibu sambung sepertimu, Nak. Ibu titip Fatih ya sayang?"
Ira mengangguk, mantan mertua Khalil baik, Raja juga baik. Tapi ia belum tahu ayah Almira. Apakah mereka orang baik semua? Semoga saja, batinnya.

"Sering-sering ke sini ya Maira, nanti biar paman Fatih yang jemput," pesan Mala saat mereka pamit.
"Insya Alloh, Bu. Kami pergi dulu." Ira menyalami Mala dan juga Raja.
"Hati-hati Khalil." Khalil mengangguk dan melajukan mobilnya membelah keramaian lalu lintas malam.
"Bahagia banget." Khalil berkata sambil fokus ke jalan.
"Alhamdulillah, ketemu orang baik kita harus bahagia, Mas."
Khalil menoleh sekilas ke arah gadis yang memangku putranya. " Ketemu mantan ya?"
"Iya, mantan keluarga Mas," tanggapnya dengan senyum tipis.
"Ck, perhatian banget Mas Raja sama kamu," dengus Khalil sehingga membuat gadis itu menoleh ke arahnya.
"Sekali-kali nggak apa-apa kok Mas, jarang -jarang kan ada yang perhatian sama aku?"

Khalil tidak suka Ira bicara seperti itu mengingat statusnya sebagai istri. Mobil memasuki pekarangan rumah Khalil. Ira membawa Fatih masuk ke kamar dan menidurkannya dalam box.
"Kamu butuh perhatian?" cerca Khalil sinis, ia menahan kekesalannya dari tadi sampai Ira selesai menidurkan Fatih.
"Aku nggak ngomong seperti itu." Khalil duduk di ranjang, ia melihat gadis itu membuka jilbabnya di depan cermin dan duduk di bangku.
"Sepertinya kalian dekat banget." Ira melihat Khalil lewat cermin.
"Lumayan."
"Sedekat apa?" selidiknya.
"Kita sudah pernah membahasnya, Mas," sahut Ira malas.
"Saya hanya tahu Mas Raja pernah melamarmu, tidak lebih."
Ira menceplok rambutnya asal, sehingga lehernya yang putih dan jenjang itu terekspos.
"Ya hanya itu,"
"Kalau hanya itu, bagaimana ia bisa tahu tentang kamu yang suka anak kecil?" sela Khalil cepat.
"Em,"
"Ada yang kamu sembunyikan?" Ira menggeleng mendapat tuduhan mendadak dari lelaki itu.
"Apa penting untukmu Mas?"
"Jawab saja."

Ira menghela nafas berat sebelum menjawab pertanyaan Khalil.

==========

"Kami pernah dekat."

Alis Khalil menukik tajam mendengar jawaban singkat Ira. "Kedekatan seperti apa?"
"Sebatas kakak adik," jawab gadis itu bersamaan ponselnya berdering. Nama Raja tertera di layar. Ia melihat Khalil yang juga sedang menatapnya.
"Kenapa tidak diangkat?" tanya Khalil melihat Ira hanya menggenggam benda pipih tersebut. Dering ponsel berhenti, berganti dengan bunyi bip tanda pesan masuk.

Khalil bangun, ia mengambil ponsel dari tangan Ira. "Ini maksudmu dengan hubungan Kakak-adik?" Khalil memperlihatkan isi pesan Raja.

Raja : Kakak selalu ada di sampingmu, jangan merasa sendiri. Sayang kamu.
Ira tersenyum. "Itu bukan dari aku." Ia tidak protes ketika Khalil menghapus pesan tersebut.
"Kalau tidak ada saya, pasti kamu membalas pesannya." tuduh Khalil sepihak. Ira tertawa pelan. "Mungkin, tapi tidak mesti nggak ada Mas, kalau aku mau pasti juga aku balas."
Khalil mengeratkan rahangnya, "Coba saja kalau berani." Ira memicingkan matanya menatap laki-laki yang berdiri berhadapan dengannya.
"Kamu tau kehormatan suami itu ada di tangan seorang istri?" Ira tidak menjawab, ia memilih menatap wajah lelaki sangar itu. "Kalau kamu mencari perhatian pada laki-laki lain itu sama saja kamu tidak menghargai saya."

Ira berdiri, mensejajarkan tubuhnya dengan Khalil. Ia mendongakkan wajahnya agar bisa menatap lekat mata kelam ayah Fatih. "Aku wanita, aku juga butuh perhatian."
"Tapi tidak harus Mas Raja," balas Khalil telak. "Berarti yang lain boleh?"
Khalil harus menunduk sedikit, "Kenapa harus yang lain kalau di sini ada yang halal?" Ira panas dingin, ia tidak bisa mengelak karena tangan Khalil sudah melingkar di pinggangnya.
"Mau perhatian seperti apa?" bisiknya. Sapaan hangat nafasnya menjalar di wajah merona gadis itu.
"Aku mau yang tulus, bukan terpaksa." Ira mencoba berkata tegas walau kakinya sebentar lagi melumer seperti jelly.
"Kalau saya terpaksa melakukannya, kamu mau apa?" tantang Khalil, dahi keduanya sudah bersentuhan. "Aku yang tidak mau." tegas Ira berusaha keluar dari belitan tangan lelaki itu.

Jantungnya berdentam keras  ketika sapuan dan sentuhan lembut bibir Khalil menempel di bibirnya. Ia memejamkan mata saat rasa asing menyusup ke dadanya. Saat sadar ia berusaha memberontak, namun tangan Khalil menekan kuat tengkuknya memberikan segala rasa yang sudah berubah liar dalam dirinya dan akhirnya Ira kalah saat tidak bisa mengimbangi duda beranak satu itu, ia memberikan segala jiwa dan raganya setelah tujuh bulan pernikahannya mengecap rasa lain bersama laki-laki yang sudah bertahta di hatinya.

Alloh adalah Zat yang maha sempurna. Ketika penyatuan suci dengan Khalil, Ira tidak lupa bermunajat. Mengharap ridho-Nya karena telah menyempurnakan separuh imannya bersama pria yang sudah mengakadnya.
Ira bukan tipe wanita manja, sebelum adzan ia sudah bangun. Setelah mandi ia menggelar sajadah melaksanakan sholat sunat dua rakaat.

Khalil bangun saat mendengar tangisan Fatih dan tidak menemukan keberadaan Ira di sana. Ia menggendong putranya dan membawanya keluar.

"Fatih sudah bangun?" Ira menghampiri dua lelaki beda generasi itu. Ia mengulurkan tangannya. "Sama Ibu yuk."
Khalil mencuri pandang ke arah Ira yang tampak cantik pagi ini dengan rambut basahnya digerai begitu saja juga baju yang di kenakan Ira sedikit kedodoran di tubuhnya dan itu membuat nilai plus di mata lelaki itu.
Ira berlalu dari hadapan Khalil membawa Fatih bersamanya menyiapkan susu dan memandikannya.
"Mas nggak kerja?" tanya Ira melihat Khalil bersantai di belakang rumah setelah sarapan.
Khalil melihat wanita itu menghampirinya. "Masuk malam," jawabnya singkat. Ia memperhatikan jejak tadi malam yang sempat ia tinggalkan di leher wanita itu. Bayangan tadi malam kembali merenggut kewarasannya.

"Apa semua yang ada pada diri kamu, pertama untuk saya?" Ira yang duduk di samping Khalil menoleh. "Maksud Mas?"
"Kamu bahkan tidak bisa membalas ciuman saya."
Ira tersedak, ia ingin bangun, tapi tangannya di cekal lelaki itu dan membuat jantungnya berdetak keras sehingga ia menarik nafas dalam untuk menormalkan kembali tapi tidak berhasil.
"Benar kamu tidak pernah pacaran?" Wajah Ira mendapat serangan hawa gurun sahara. Panasnya menjalar ke seluruh tubuhnya.
Khalil tersenyum. "Apa Mas Raja pernah menyentuhmu?" Ira terbelalak, apa maksud lelaki ini, bukankah tadi Khalil sendiri yang bilang kalau dia yang pertama untuknya.
"Maksudku, mungkin dia pernah memegang tanganmu atau mencium keningmu," ralat Khalil melihat keterkejutan gadis itu.
Ira menunduk, memang Raja pernah mencium keningnya dan itu kali pertama seorang Ira menampar laki-laki. Khalil mengeratkan rahangnya ketika Ira tidak menjawab dan membalas tatapan matanya.

Ia tersenyum sinis. "Jadi benar, Mas Raja pernah menciummu, dimana?" Khalil mengusap bibir merah yang masih membengkak akibat ulahnya tadi malam. "Di sini?"
Ira menggeleng. "Jadi di mana, jangan buat saya naik pitam gara-gara laki-laki itu."
"Di kening."
Khalil speechless dengan jawaban santai Ira. "Kamu tau perbedaan letak ciuman seorang lelaki?" Ira bergeming.
"Kalau lelaki menciummu di kening, ia sangat menyayangi wanita itu. Dan ia tidak sanggup melepaskannya." lantas tindakan Khalil selanjutnya sangat tidak baik bagi kesehatan Ira.
Laki-laki itu mencium keningnya dalam dan bertahan sedikit lama di sana. Khalil menyusuri setiap inci wajah wanita di depannya dengan jemari yang menggelitik perut Ira.

"Jika ia menciummu di sini," jemari Khalil berhenti di bibir merah Ira. "Ia ingin memilikimu seutuhnya." Jantung Ira bergemuruh, darahnya berdesir ketika otaknya mengirim singnal warning yang harus segera di tanggapi. Namun ia terlambat karena Khalil bergerak cepat menghentikan segala pemikiran Ira yang terlalu peka terhadap keadaan sekitar.
Tubuh Ira kembali hanyut dalam buaian asmara Khalil. Walau Khalil yang lebih dominan ia tetap menikmatinya. Karena sentuhan lembut lelaki itu sungguh memabukkan.

"Astaghfirullah, Khalil!"
Keduanya melepaskan diri saat mendengar teriakan seseorang. Ira tidak sanggup berada dalam situasi seperti ini, ia sungguh malu.
"Ibu, kenapa nggak kasih salam dulu?" protes Khalil melihat Ibunya berdiri di pintu belakang da ada Fatih dalam gendongannya.
"Mana dengar kalian salam Ibu, anaknya nangis kejer gini aja nggak ada yang tahu." Rani mengomeli pasangan itu. ira mendekat, ia mau mengambil Fatih dalam gendongan ibu mertuanya.
"Nggak usah, itu suamimu mau protes lagi. Urus dia dulu." setelah mengatakan itu Rani meninggalkan keduanya. Ira tidak berani melihat suaminya. Ia memilih pergi.
"Kita belum selesai."
Langkah Ira terhenti. Namun dia enggan berbalik. Ia tidak mau Khalil melihat wajahnya sekarang.
"Apa perlu saya gendong?" sontak wanita itu berbalik. Ia duduk di samping Khalil. Berusaha bersikap sewajarnya.
"Kalau belum fokus, kita bisa mengul,"
"Mas mau bicara apa lagi?" potong Ira cepat.
Khalil tersenyum. "Sekarang saya sudah memilikimu, dan saya berhak melakukan apapun terhadapmu."
Ira tertegun dengan kalimat Khalil, tapi ia tidak ingin menanggapi.
"Sudah?"
Khalil tertawa melihat respon Ira, ia mengangguk. Mereka masuk bersamaan ke dalam dan bergabung dengan Rani.
"Anak gadis orang jangan dimainin Khalil," nasehat Rani begitu keduanya duduk.
"Udah nggak gadis lagi Bu."
Ira kembali tersedak. Kali ini terasa sakit sampai air matanya meluber. Khalil menepuk pelan punggung wanita itu sementara Rani mengambil air minum.

Ira mati-matian menahan malu melihat Rani yang sering mengerling nakal ke arahnya, sedangkan Khalil stay cool no coment.

Bersambung #8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER