Ira mematung mendengar ultimatum suaminya. Ia tidak mengerti kenapa Khalil begitu mudah mengucapkan kata itu.
Perlahan, tubuhnya berbalik menghadap lelaki yang baru saja mengucapkan kata keramat yang dibenci sejuta umat.
"Mas yakin?" Ira menatap dalam lelaki yang memakai jas putih dengan langkah pasti ia mendekat memangkas jarak di antara keduanya.
"Kalau aku keluar, status istri yang melekat padaku seketika hilang." netranya menusuk tajam manik kelam di depannya. "Lantas apa yang aku dapat kalau aku bertahan, bukankah selama ini hubungan ini hanya stuck di sini saja."
"Setidaknya kamu masih bisa dekat dengan Fatih." Khalil menelan ludahnya, ada desir aneh saat aroma tubuh wanita itu menguar ke indera penciumannya.
"Kalau Mas pikir dengan membawa nama Fatih aku akan luluh, Mas salah." jawaban Ira membuat Khalil menarik ujung bibirnya ke satu sisi.
"Kalau begitu, Saya yang akan membuatmu tetap bertahan. Bukankah hanya ada aku di hatimu?" seringai sinis muncul di bibir suami Humaira. Sejenak wanita itu tertegun, namun hanya sejenak karena selanjutnya ia mampu mengatupkan mulut lelaki itu.
"Kalau hanya ada nama Mas di sini," Ira meraba dadanya berusaha setenang mungkin meski jantungnya tidak mau bekerjasama. "Aku tidak mungkin pergi dengan Kak Raja."
Khalil mengatupkan rahang saat kata-kata Ira berhasil menyulut emosinya. "Maaf, Kak Raja pasti sudah lama menunggu, aku pergi du,"
Ira terhenyak dengan tindakan spontan lelaki itu yang memutuskan kalimatnya dengan ciuman. Membelai setiap inci keindahan wanita itu dan memberikan sesuatu yang Ira rindukan selama dua bulan ini. Menyibak tirai indah dengan lembut menghempas kabut yang sudah mereka ciptakan.
Saat saling memuja, merengkuh rasa yang sudah lama dihimpit keduanya dalam mahligai surgawi Ira mendengar bisikan suaminya "Berikan aku seorang putri dan tetaplah bersamaku selamanya." setelah itu mereka kembali larut dalam lenguhan yang samar terdengar dari dalam ruangan dokter Khalil Mukarram.
Ira merasa wajahnya panas saat Khalil memakaikan pakaian untuknya dan memperlakukannya dengan lembut.
"Nanti saja." Khalil mengambil pashmina hitam dengan motif sabit dari tangan istrinya. Ia masih ingin melihat wanita itu dengan rambut panjangnya. Menikmati setiap inci keindahan wanita di pangkuannya.
"Saya tidak tahu ada apa dengan hati ini. Saya akui salah juga egois ingin memilikimu saat hati dalam kebimbangan, tapi saya tidak rela ada nama lain yang terselip di sini." Khalil menunjuk dada Ira yang tidak disadarinya telah menghantarkan aliran panas di wajah wanita itu.
"Dengan Yasmin aku tidak punya perasaan apapun. Kami rekan kerja." lingkaran tangan di pinggang Ira dieratkannya.
"Tapi dia suka sama Mas." entah keberanian dari mana Ira menyela ucapan suaminya.
Khalil tertawa, "Bukan dia saja, hampir semua spesies wanita di sini suka sama Ayah Fatih. Termasuk kamu kan?"
Eh.
Ira mengembungkan pipinya, tidak sadar kalau Khalil memperhatikannya. "Lebih baik disukai kan, dari pada dibenci?"
"Tapi sikap Mas itu memberi celah pada Yasmin?"
"Apa begitu menurutmu?" Ira mengangguk.
"Tapi hatiku tidak mudah tersentuh, karena sudah ada pemiliknya."
"Iya, aku sudah membuktikannya." Khalil mengangguk dan itu membuat titik bening menetes dari pelupuk wanita itu. Ira tahu siapa pemilik hati suaminya, dua kandidat yang tidak bisa ia kalahkan.
Merasakan ada yang jatuh di lengan yang melingkar di perut istrinya, Khalil menatap wajah istrinya. Ia menyeka bulir di wajah putih Ira yang sedikit chubby.
"Sedikitnya kamu sudah berhasil membuat lelaki ini gila." Khalil menghirup wangi surai hitam Ira hingga ia memejamkan matanya. "Apalagi kamu menyebut nama laki-laki lain, aku tidak tahu kegilaan apa yang aku lakukan nanti."
Ira tidak tahu bagaimana ekspresi Khalik saat mengucapkan kalimat itu. Yang ia rasakan jantungnya selalu menggila saat berada di dekat dengan pria ini.
Ponselnya kembali berdering, tidak nyaring karena ponsel itu berada dalam tas-nya.
"Jangan bergerak, diam saja seperti ini." Ira jadi salah tingkah, sebenarnya ia tidak ingin berada dalam posisi ini. Apalagi lelaki itu terus menatapnya.
"Aku lihat du..." Ira memejamkan matanya saat ia merasa gigitan lembut di telinganya. Hangat nafas lelaki itu menerpa sisi wajahnya.
"Mas..." suara Ira hilang dalam dekapan suaminya. Menyambut kembali rona memabukkan dan menghanyutkan dari Khalil. Sekali lagi, kurang dari waktu satu jam mereka kembali terbuai dalam pesona masing-masing berbagi rasa yang sempat hilang dan memberi asa bahagia yang akan tertoreh luka lagi untuk kesekian kalinya di hati Humaira.
***
Mobil Khalil memasuki pekarangan rumah Mahesa. Mereka berjalan beriringan masuk ke rumah yang menyimpan kenangan berbeda bagi keduanya.
"Fatih mana, Bu?" Khalil menyisir sudut rumah orang tuanya mencari keberadaan Fatih.
"Loh, kan Raja udah ngabarin." bingung, Rani menatap keduanya.
"Nggak ada, memang Kak Raja bawa Fatih ke mana?" tanya Khalil menahan kesal. "Katanya sih jalan-jalan aja. Kangen," sahut Rani seraya memperhatikan Ira.
"Kamu gemukan Ra." Ira terkekeh. "Ibu serius," kata Rani lagi melihat menantunya dengan seksama.
Khalil juga memperhatikan Ira dan membuat gadis itu jadi salah tingkah. Seketika rahangnya mengeras.
"Kami istirahat dulu Bu, capek." Khalil tidak menunggu jawaban Rani, ia menyeret Ira ke kamarnya.
Ira merasa ada yang aneh dengan Khalil, otaknya mengirim signal waspada karena emosi laki-laki ini sama tidak tertebak.
"Kamu masih minum pil itu?" tanya Khalil dengan nada tajam, matanya menusuk manik jernih dan teduh wanita itu. Ira menggeleng dengan kernyitan kecil di keningnya.
Khalil melepaskan kaitan tangannya. Ia mengusap kasar wajahnya, "Maaf."
Ira tertegun, apa ia tidak salah dengar? Khalil baru saja mengucapkan kalimat yang tidak pernah ia dengar.
"Jangan minum pil itu, karena akan menghancurkanmu."
Ira duduk di samping Khalil, di sisi ranjang. Ia memperhatikan Khalil seperti menyimpan luka yang teramat dalam.
Mata mereka bertubrukan. Hangat menyeruak masuk kedalam hati Humaira menembus dinding yang selama ini menanti tatapan itu. Tatapan penuh kasih dan cinta bersamaan pelukan hangat yang seakan tidak ingin dilepaskan pria tersebut.
"Al, aku mohon jangan tinggalkan aku." tubuh Ira membeku, air bening itu lolos. Luka kembali tergores dan sepertinya tidak akan pernah kering saat nama Almira terselip dalam pelukannya.
Khalil melepaskan pelukannya, ia bingung melihat istrinya menangis.
"Ira, kamu menangis?"
Tatapan wanita itu kosong. Khalil menggoyangkan bahu Ira tapi tidak ada reaksi.
"Ira." masih tidak ada respon.
"Humaira!" sentakan keras dari Khalil membuat wanita tersebut sadar. Linglung, hal pertama yang dirasakannya. Menatap ke seluruh penjuru ruangannya.
"Papa." Khalil bingung mendengar kalimat pertama yang keluar dari mulut istrinya. Ia menatap Khalil dengan tatapan memohon. "Papa di mana?"
Khalil tidak tahu apa yang sudah terjadi pada Ira, apalagi saat Ira menanyakan keberadaan papanya.
"Papa mana Kak?" Khalil terhenyak saat mendengar sebutan Ira untuknya, ia memeluk tubuh istrinya. "Ada apa denganmu Ra?"
"Papa mana Kak? Papa nggak jemput Ira?" Ira melepaskan pelukan Khalil. Ia bingung kenapa ia berada di kamar kakak sahabatnya. Ini pasti kelakuan Caca, ia harus memberi pelajaran pada sahabatnya itu.
"Kak, kita bukan muhrim." ucapnya dengan rona merah di wajah. "Tapi kalau Kakak ngebet, Ira mau kok dihalalin."
Setelah mengatakan itu ia berlari meninggalkan Khalil. Ira malu dan mengutuk dirinya kenapa bisa berakhir di kamar laki-laki itu.
"Ibu, Caca mana?" tanya Ira saat mendapati Rani di teras belakang rumah. "Dicariin di kamar juga nggak ada."
Giliran Rani yang bingung, kenapa Ira malah menanyakan Caca. "Ra, kamu,"
"Bu," Khalil menghampiri keduanya menginterupsi kalimat yang nyaris keluar dari mulut Rani.
Ira menunduk malu, tangannya memainkan pashmina yang terulur ke bawah dan kelakuannya itu tidak luput dari perhatian Rani.
"Ira kenapa Khalil?" Rani menatap bingung ke arah putranya saat melihat gelengan kepala Khalil.
"Bu, Ira pamit ya. Tante pasti nyariin nanti."
Rani dan Khalil saling menatap saat Ira menyalami keduanya. Tangan Khalil sigap menangkap lengan istrinya yang bersikap aneh hari ini.
"Kakak antar?" lidahnya kelu saat menyebutkan kata kakak di depan istrinya. Mereka berada di depan pintu bersamaan Raja dan Fatih yang baru datang.
"Kak Raja?" Ira terkejut melihat kedatangan pria yang pernah menjadi masa lalunya ada di sini. Ia memperhatikan bayi laki-laki dalam gendongan Raja.
"Anak Kakak?"
Raja tidak menjawab, namun rahangnya mengeras melihat sikap aneh wanita pujaannya. Ia menatap tajam ke sosok yang memegang lengan Ira.
"Apalagi ini?" desisnya, Fatih sudah mengulurkan tangannya pada Ira. Bayi itu ingin Ira yang menggendongnya.
"Mau sama Tante?" Ira mengambil Fatih, menciumnya gemas.
Rani terisak di belakang melihat pemandangan itu. "Apa yang terjadi Ra?" ia meremas bajunya.
"Ganteng, namanya siapa Kak?" Ira melihat sekilas ke arah Raja tanpa memperhatikan ekspresi kedua lelaki di sekitarnya pun keadaan yang panas.
"Kamu suka?" Khalil mengambil alih perhatian istrinya. Ira mengangguk antusias.
"Kita bawa pulang ya," ajak Khalil dan menimbulkan kernyitan cantik di paras wanita itu.
"Anak orang, Kak."
"Di kasih kok, ya kan?" Khalil melihat mantan kakak iparnya, perlahan Raja mengangguk.
"Beneran Kak?" Ira memastikan sekali lagi. "Iya, kamu bawa pulang ya. Jaga baik-baik." mata Raja sudah merah, ia tidak sanggup melihat keadaan Ira seperti ini. Sungguh ini lebih menyakitkan dari penolakan gadis itu beberapa tahun silam. Ia segera pamit.
"Ada apa dengan Kak Raja?" gumamnya. Khalil menatap gadis di sampingnya.
"Namanya Fatih, ibunya meninggal saat melahirkannya." Ira membalas tatapan lelaki pujaannya. "Dan, dia minta kamu jaga Fatih dengan baik."
"Kasihan, terus Kak Raja nggak mau membesarkan anaknya ini?" tanya Ira, menatap sayang bayi yang sangat aktif dalam gendongannya.
Khalil tidak menjawab, dadanya sesak melihat keadaan ini. Ia yakin sesuatu telah terjadi yang tanpa disadarinya pemicu keadaan Ira seperti ini adalah dirinya sendiri.
"Kita bawa pulang, terus jaga bareng. Kakak jadi Ayah. Kamu jadi Ibu, mau?"
Ira tersenyum malu, rona cantik itu menghiasi wajahnya dan membuat Khalil meringis dalam hati. Rona yang selalu ia lihat dulu. Saat Caca menggoda istrinya dengan sebutan calon kakak ipar.
==========
"Kok malah ke klinik Kak?" tanya Ira saat mobil Khalil parkir di area Klinik. "Kakak sedang ada pekerjaan?"
Khalil mengangguk, "Bolehkan temenin Kakak sebentar?" ragu, namun anggukan kepalanya membuat lengkungan di bibir laki-laki itu. Ira bingung karena sudah dua kali ia melihat kakak sahabatnya tersenyum dan juga nada lembut yang digunakannya.
Mereka masuk ke dalam lift menuju lantai tiga. Khalil bergerak cepat saat menyadari perubahan pada wanita itu. Sebagai seorang dokter walaupun bukan bagiannya ia cukup tahu ini ada hubungannya dengan gangguan memori Ira.
Setelah mengirim chatt menjelaskan secara singkat siapa yang akan diajaknya dan keadaan yang menimpa Ira pada sahabatnya yang berprofesi seorang psikolog ia membawa Ira ke kliniknya.
Ira terkejut saat melihat wanita cantik dan anggun membuka pintu ruangan yang di ketuk Khalil.
"Mba Mayang?"
Sahabat Khalil yang merupakan kakak tingkat Ira juga kaget melihat Ira. Mereka tidak bertemu setelah mayang lulus.
"Humaira. Ini kamu?" Mayang memperhatikan Ira dengan takjub. Ira mengangguk.
"Masuk yuk," ajak Mayang pada keduanya. "Kita ngobrol di dalam."
Ira dan Mayang duduk berdampingan, sementara Khalil di sofa single. "Kamu apa kabar Ra, dua tahun nggak ketemu pangling saya sama kamu."
Ira tersenyum malu di puji Mayang, kakak tingkatnya yang juga sahabat pria itu dan menciptakan semu merah di wajahnya.
"Mba berlebihan," ucapnya malu.
Kini Mayang menatap tajam lelaki di hadapannya. "Jadi dia ..." Mayang menggantungkan kalimatnya memperhatikan Khalil dengan seksama. Khalil tidak menjawab, ia malah mengutuk Mayang dalam hatinya. Jelas-jelas tadi sudah dia chatt keadaan dan status Ira, eh malah nyinggung lagi.
"Oke." Mayang membenarkan posisi duduknya. Menyamping penuh, menoleh pada Ira.
"Kamu selesai kuliah, Mba dengar langsung buka praktek?" Mayang mulai membuka sesi pertanyaan umum pada Ira. Ira mengangguk.
"Wah, hebat. Tapi masih di kota ini kan?" lagi Ira mengangguk. "Tapi kok kita nggak pernah ketemu ya?"
Ira tersenyum. "Aku cuma bertahan satu tahun di klinik Mba." Khalil sedikit tegang.
"Satu tahun? kenapa, apa kamu merasa terikat dengan pekerjaan ini?" pancing Mayang, matanya masih menatap lurus wanita di sampingnya.
Ira menggeleng, "Ada tanggung jawab lain yang wajib aku emban, Mba." Khalil menelan salivanya, menduga-duga kalimat selanjutnya.
"Seperti apa kewajiban itu?"
Ira memainkan ujung jilbabnya, air mata menitik di wajah cantiknya. "Aku ngurus Papa, laki-laki pertama yang menjagaku dari kerasnya kehidupan. Beliau juga yang mengizinkanku menginjak tanah ibu kota ini." Ira menghapus air matanya. "Maaf Mba, aku jadi melow gini."
Mayang tersenyum, sesekali ia melirik laki-laki yang berstatus suami Ira. Ada gurat tegang dan sedih di sana.
"Makanya, sekarang terima siapapun lelaki yang mau dekat sama kamu. Asalkan pria itu baik." Khalil mengumpat dalam hati mendengar nasehat Mayang pada istrinya, nasehat macam apa itu.
Pipi Ira merona, ia menunduk. "Nggak ada yang mau Mba, sama Ira."
Mayang tertawa sampai terbahak. Ira tidak aneh dengan pemandangan ini karena ia tahu bagaimana perilaku Mayang di kampus.
"Bram ketua HIMA, Faris dosen cool ganteng lagi. Mau Mba buka kartu yang lain?"
Seketika Ira melihat Khalil, tatapan keduanya bertemu. Gurat kemarahan tersirat di wajah lelaki itu.
"Apa sih Mba." kata Ira sedikit canggung, ia tidak tahu kenapa perasaannya tidak enak melihat raut wajah laki-laki itu.
Mayang tersenyum, "Kamu tidak ada niat nikah, Ra?" ia kembali pada sesi terapinya.
"Ada Mba, kita wanita hanya bisa menunggu."
"Apa kamu menunggu Khalil?" Ira terpaku, sepertinya ia pernah mendengar pertanyaan serupa hanya penggalan kalimatnya berbeda dan masa itu ia berpikir cukup matang. tapi itu sebelum ...
"Kamu ingin cerita Ra?" Mayang melihat Ira sedikit tegang dan bingung.
"Aku tidak ingin terburu-buru memutuskan sesuatu Mba. Aku takut itu awal luka yang aku toreh sendiri." Ira tidak sadar kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Matanya menatap lurus ke sebelah meja pembatas antara dirinya dan Khalil.
"Bukankah setiap luka bisa disembuhkan?"
Ira mengangguk, "Benar Mba, Luka itu bisa disembuhkan. Tapi kalau luka itu terulang di bekas luka yang sama apa masih bisa sembuh? Yang aku takutkan bukan sembuh, tapi ..." bibir Ira bergetar, air matanya mengalir dan luka tersibak di matanya.
Mayang memeluk Ira, menyalurkan ketenangan pada wanita itu. Seketika ia mematung merasakan sesuatu menghalangi pelukannya.
Sesuatu itu masih kecil tapi terasa. Ia menguraikan pelukannya dan menatap intens wajah adik tingkatnya. Air matanya ikut mengalir merasakan luka yang tengah dipendam Ira sehingga mengakibatkan keadaan psikisnya drop seperti ini.
Khalil bingung melihat kedua wanita itu menangis.
"Mba tinggal sebentar Ra." Mayang menoleh pada Khalil, "Ikut aku."
Ira merasa lelah, ia berbaring di sofa ruangan Mayang melepas penat di tubuhnya setelah kedua orang itu pergi.
"Humaira Hamil."
Khalil terpaku dengan tatapan tak percaya pada Mayang, sahabatnya.
"Sadar nggak kamu, memorinya hanya hilang tentang pernikahan dan kehidupan satu tahun belakang ini denganmu." Mayang tersenyum miris.
"Bahkan kamu tidak tau istrimu hamil, aku meragukan perasaanmu pada Humaira," ucap Mayang penuh dengan intimidasi.
Mayang melanjutkan kalimatnya, "Kenapa kamu berani mengajaknya hidup bersamamu saat hatimu tidak menerimanya, padahal di luar sana banyak laki-laki yang memuja istrimu. Dan jabatannya lebih elit dibandingkan denganmu. Jujur sebagai sahabat aku kecewa."
"Apa keadaan psikisnya tidak membahayakan kehamilan?"
"Tergantung, semakin berat skala depresinya maka akan semakin banyak obat yang akan dikonsumsinya." Mayang bersandar dengan bersedekap dada di kursi kebanggaannya.
"Tugasmu sekarang, kenalkan ia pada kehamilannya."
Khalil menyugar rambutnya, "Bagaimana bisa, sedangkan yang ia tahu ia masih gadis."
"Itulah tugasmu. Bikin anak orang depresi sekalian bunting bisa, giliran tanggung jawab aja, mukanya melas."
Laki-laki itu berdecak mendengar kalimat tidak difilter yang keluar dari mulut sahabatnya.
"Humaira mengalami gangguan memori. Biasanya gangguan memori ini hanya terjadi dalam jangka pendek asalkan sering konsultasi dan tentunya menjaga mood dan perasaannya diprioritaskan."
Mayang menatap lurus sahabatnya, "Kamu tidak ingin tahu penyebab gangguan memori pada istrimu?"
Khalil tidak menjawab, alhasil senyum sinis terbit di bibir Mayang. "Konsentrasinya terganggu karena ia fokus pada masalah inti yang mungkin saja datang dari kamu," cibirnya. Gadis itu kembali melanjutkan kalimatnya.
"Ia memendam sendiri, mencari jalan sendiri sehingga saat klimaks ya seperti ini. hanya dia yang tahu rasanya. Karena aku kenal sosok Humaira dengan baik, wajar hal ini terjadi padanya."
Khalil menyimak dengan baik kalimat Mayang tidak memperdulikan cibiranya.
"Tapi aku tidak pernah lihat tanda-tanda stres atau apalah itu, makanya aku tidak kepikiran sampai ke sini."
"Berarti kamu belum mengenal baik sosok istrimu. Sedikit terlambat memang mengingat keadaan Humaira, tapi aku harap kamu tetap optimis." Mayang bangun dari singgasananya.
"Pulanglah, besok kembali lagi. Dia pasti bosan di luar."
Khalil menghela nafas berat, mereka keluar bersamaan dan sedikit terkejut melihat Ira terlelap di sofa dengan posisi miring ke kanan dan kedua tangan bertumpu di pipinya.
Langkah Khalik mendekat, ia berlutut di depan wanita itu dan meraba pelan perut yang mulai membuncit. Bagaimana bisa ia tidak tahu, bahkan hari ini dua kali ia menggauli istrinya.
Mayang terharu dan kecewa melihat pasangan itu. Yang satu cinta mati yang satunya lagi dibutakan cinta masa lalu. Ia menggelengkan kepalanya.
Ira bingung, arah mobil Khalil berlawanan dengan arah rumah tantenya. Apa laki-laki ini akan mengajak bertemu temannya lagi?
"Kita kemana lagi, Kak?"
Khalil tersenyum, "Ke rumah saya sebentar ya. Gerah, saya mau mandi dulu."
"Walaupun Kakak seorang duda, tetap nggak boleh membawa saya ke rumah Kakak. Nanti bisa timbul Fitnah." perkataan Ira membuat jantung pria itu tertusuk tajam.
"Hanya sebentar."
"Hm, Ira tunggu di luar nanti ya?" Khalil tidak menjawab, ia hanya melihat sekilas sebelum matanya kembali fokus ke jalan.
Ira merasa tidak asing dengan rumah ini, mau bertanya takut dibilang cerewet. Akhirnya ia diam dan mengikuti langkah Khalil.
Tanpa dipersilahkan Ira duduk di kursi teras. Ia masih lelah, tidak tahu kenapa padahal tadi ia sempat tidur di klinik Mayang.
"Masuk sebentar yuk," ajak Khalil memegang lengan Ira. Jantung wanita itu berdegup kencang.
"Tidak enak Kak."
Khalil menarik Ira ke dalam, spontan ia memeluk wanita itu tanpa menutup pintu terlebih dahulu.
Ira terpaku, ini kali kedua Khalil memeluknya hari ini. Aliran panas terasa di wajah cantiknya.
"Menikah dengan saya, mau?" Khalik masih memeluk Ira dalam, lupa ada buah cinta mereka diantara keduanya. Karena merasa tidak ada pergerakan ia menguraikan pelukannya dan menangkup wajah istrinya menatap dalam netra jernih itu.
"Mau jadi Ibu anak-anak saya?" dengan tersipu Ira mengangguk dan mulai menunduk. Khalil mengangkat dagu istrinya dan mengecup singkat bibir merah dan masih bengkak itu.
"Terimakasih," ucapnya tulus dan kembali memeluk Ira.
"Kak, aku capek," keluh Ira di sela pelukannya.
"Kita istirahat dulu, yuk?" ajak Khalil merangkul bahu istrinya. Ira mau menepis tangan Khalil tapi ia tidak punya keberanian.
"Kita?" hanya kata itu yang keluar dari mulutnya.
"Maksudnya kamu tidur di kamar, saya di luar."
Ira mengangguk, matanya sudah tidak bisa di ajak bekerja sama lagi. Khalil mengantar Ira ke kamar mereka dan tidak lama Ira terlelap.
Khalil memperhatikan seksama wajah istrinya dengan perasaan teramat bersalah. Wanita itu tidak berdosa tapi harus merasakan ulahnya.
Perlahan, ia tidur di samping istrinya saling berhadapan dan mengusap pelan perut Ira serta mengecupnya dengan lembut menyalurkan kasih pada buah cinta mereka.
"Apa sesakit ini Ra, menyimpan rasa pada seseorang yang bahkan tidak mengingat kenangan manis yang pernah terlewati," gumamnya seraya mendekap tubuh sang istri dengan lembut. Menyesap hangat tubuh wanita yang sudah disakiti berulang kali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel