"Kok malah ke klinik Kak?" tanya Ira saat mobil Khalil parkir di area Klinik. "Kakak sedang ada pekerjaan?"
Khalil mengangguk, "Bolehkan temenin Kakak sebentar?" ragu, namun anggukan kepalanya membuat lengkungan di bibir laki-laki itu. Ira bingung karena sudah dua kali ia melihat kakak sahabatnya tersenyum dan juga nada lembut yang digunakannya.
Mereka masuk ke dalam lift menuju lantai tiga. Khalil bergerak cepat saat menyadari perubahan pada wanita itu.
Sebagai seorang dokter walaupun bukan bagiannya ia cukup tahu ini ada hubungannya dengan gangguan memori Ira.
Setelah mengirim chatt menjelaskan secara singkat siapa yang akan diajaknya dan keadaan yang menimpa Ira pada sahabatnya yang berprofesi seorang psikolog ia membawa Ira ke kliniknya.
Ira terkejut saat melihat wanita cantik dan anggun membuka pintu ruangan yang di ketuk Khalil.
"Mba Mayang?"
Sahabat Khalil yang merupakan kakak tingkat Ira juga kaget melihat Ira. Mereka tidak bertemu setelah mayang lulus.
"Humaira. Ini kamu?" Mayang memperhatikan Ira dengan takjub. Ira mengangguk.
"Masuk yuk," ajak Mayang pada keduanya. "Kita ngobrol di dalam."
Ira dan Mayang duduk berdampingan, sementara Khalil di sofa single. "Kamu apa kabar Ra, dua tahun nggak ketemu pangling saya sama kamu."
Ira tersenyum malu di puji Mayang, kakak tingkatnya yang juga sahabat pria itu dan menciptakan semu merah di wajahnya.
"Mba berlebihan," ucapnya malu.
Kini Mayang menatap tajam lelaki di hadapannya. "Jadi dia ..." Mayang menggantungkan kalimatnya memperhatikan Khalil dengan seksama. Khalil tidak menjawab, ia malah mengutuk Mayang dalam hatinya. Jelas-jelas tadi sudah dia chatt keadaan dan status Ira, eh malah nyinggung lagi.
"Oke." Mayang membenarkan posisi duduknya. Menyamping penuh, menoleh pada Ira.
"Kamu selesai kuliah, Mba dengar langsung buka praktek?" Mayang mulai membuka sesi pertanyaan umum pada Ira. Ira mengangguk.
"Wah, hebat. Tapi masih di kota ini kan?" lagi Ira mengangguk. "Tapi kok kita nggak pernah ketemu ya?"
Ira tersenyum. "Aku cuma bertahan satu tahun di klinik Mba." Khalil sedikit tegang.
"Satu tahun? kenapa, apa kamu merasa terikat dengan pekerjaan ini?" pancing Mayang, matanya masih menatap lurus wanita di sampingnya.
Ira menggeleng, "Ada tanggung jawab lain yang wajib aku emban, Mba." Khalil menelan salivanya, menduga-duga kalimat selanjutnya.
"Seperti apa kewajiban itu?"
Ira memainkan ujung jilbabnya, air mata menitik di wajah cantiknya. "Aku ngurus Papa, laki-laki pertama yang menjagaku dari kerasnya kehidupan. Beliau juga yang mengizinkanku menginjak tanah ibu kota ini." Ira menghapus air matanya. "Maaf Mba, aku jadi melow gini."
Mayang tersenyum, sesekali ia melirik laki-laki yang berstatus suami Ira. Ada gurat tegang dan sedih di sana.
"Makanya, sekarang terima siapapun lelaki yang mau dekat sama kamu. Asalkan pria itu baik." Khalil mengumpat dalam hati mendengar nasehat Mayang pada istrinya, nasehat macam apa itu.
Pipi Ira merona, ia menunduk. "Nggak ada yang mau Mba, sama Ira."
Mayang tertawa sampai terbahak. Ira tidak aneh dengan pemandangan ini karena ia tahu bagaimana perilaku Mayang di kampus.
"Bram ketua HIMA, Faris dosen cool ganteng lagi. Mau Mba buka kartu yang lain?"
Seketika Ira melihat Khalil, tatapan keduanya bertemu. Gurat kemarahan tersirat di wajah lelaki itu.
"Apa sih Mba." kata Ira sedikit canggung, ia tidak tahu kenapa perasaannya tidak enak melihat raut wajah laki-laki itu.
Mayang tersenyum, "Kamu tidak ada niat nikah, Ra?" ia kembali pada sesi terapinya.
"Ada Mba, kita wanita hanya bisa menunggu."
"Apa kamu menunggu Khalil?" Ira terpaku, sepertinya ia pernah mendengar pertanyaan serupa hanya penggalan kalimatnya berbeda dan masa itu ia berpikir cukup matang. tapi itu sebelum ...
"Kamu ingin cerita Ra?" Mayang melihat Ira sedikit tegang dan bingung.
"Aku tidak ingin terburu-buru memutuskan sesuatu Mba. Aku takut itu awal luka yang aku toreh sendiri." Ira tidak sadar kalimat itu meluncur begitu saja dari mulutnya. Matanya menatap lurus ke sebelah meja pembatas antara dirinya dan Khalil.
"Bukankah setiap luka bisa disembuhkan?"
Ira mengangguk, "Benar Mba, Luka itu bisa disembuhkan. Tapi kalau luka itu terulang di bekas luka yang sama apa masih bisa sembuh? Yang aku takutkan bukan sembuh, tapi ..." bibir Ira bergetar, air matanya mengalir dan luka tersibak di matanya.
Mayang memeluk Ira, menyalurkan ketenangan pada wanita itu. Seketika ia mematung merasakan sesuatu menghalangi pelukannya.
Sesuatu itu masih kecil tapi terasa. Ia menguraikan pelukannya dan menatap intens wajah adik tingkatnya. Air matanya ikut mengalir merasakan luka yang tengah dipendam Ira sehingga mengakibatkan keadaan psikisnya drop seperti ini.
Khalil bingung melihat kedua wanita itu menangis.
"Mba tinggal sebentar Ra." Mayang menoleh pada Khalil, "Ikut aku."
Ira merasa lelah, ia berbaring di sofa ruangan Mayang melepas penat di tubuhnya setelah kedua orang itu pergi.
"Humaira Hamil."
Khalil terpaku dengan tatapan tak percaya pada Mayang, sahabatnya.
"Sadar nggak kamu, memorinya hanya hilang tentang pernikahan dan kehidupan satu tahun belakang ini denganmu." Mayang tersenyum miris.
"Bahkan kamu tidak tau istrimu hamil, aku meragukan perasaanmu pada Humaira," ucap Mayang penuh dengan intimidasi.
Mayang melanjutkan kalimatnya, "Kenapa kamu berani mengajaknya hidup bersamamu saat hatimu tidak menerimanya, padahal di luar sana banyak laki-laki yang memuja istrimu. Dan jabatannya lebih elit dibandingkan denganmu. Jujur sebagai sahabat aku kecewa."
"Apa keadaan psikisnya tidak membahayakan kehamilan?"
"Tergantung, semakin berat skala depresinya maka akan semakin banyak obat yang akan dikonsumsinya." Mayang bersandar dengan bersedekap dada di kursi kebanggaannya.
"Tugasmu sekarang, kenalkan ia pada kehamilannya."
Khalil menyugar rambutnya, "Bagaimana bisa, sedangkan yang ia tahu ia masih gadis."
"Itulah tugasmu. Bikin anak orang depresi sekalian bunting bisa, giliran tanggung jawab aja, mukanya melas."
Laki-laki itu berdecak mendengar kalimat tidak difilter yang keluar dari mulut sahabatnya.
"Humaira mengalami gangguan memori. Biasanya gangguan memori ini hanya terjadi dalam jangka pendek asalkan sering konsultasi dan tentunya menjaga mood dan perasaannya diprioritaskan."
Mayang menatap lurus sahabatnya, "Kamu tidak ingin tahu penyebab gangguan memori pada istrimu?"
Khalil tidak menjawab, alhasil senyum sinis terbit di bibir Mayang. "Konsentrasinya terganggu karena ia fokus pada masalah inti yang mungkin saja datang dari kamu," cibirnya. Gadis itu kembali melanjutkan kalimatnya.
"Ia memendam sendiri, mencari jalan sendiri sehingga saat klimaks ya seperti ini. hanya dia yang tahu rasanya. Karena aku kenal sosok Humaira dengan baik, wajar hal ini terjadi padanya."
Khalil menyimak dengan baik kalimat Mayang tidak memperdulikan cibiranya.
"Tapi aku tidak pernah lihat tanda-tanda stres atau apalah itu, makanya aku tidak kepikiran sampai ke sini."
"Berarti kamu belum mengenal baik sosok istrimu. Sedikit terlambat memang mengingat keadaan Humaira, tapi aku harap kamu tetap optimis." Mayang bangun dari singgasananya.
"Pulanglah, besok kembali lagi. Dia pasti bosan di luar."
Khalil menghela nafas berat, mereka keluar bersamaan dan sedikit terkejut melihat Ira terlelap di sofa dengan posisi miring ke kanan dan kedua tangan bertumpu di pipinya.
Langkah Khalik mendekat, ia berlutut di depan wanita itu dan meraba pelan perut yang mulai membuncit. Bagaimana bisa ia tidak tahu, bahkan hari ini dua kali ia menggauli istrinya.
Mayang terharu dan kecewa melihat pasangan itu. Yang satu cinta mati yang satunya lagi dibutakan cinta masa lalu. Ia menggelengkan kepalanya.
Ira bingung, arah mobil Khalil berlawanan dengan arah rumah tantenya. Apa laki-laki ini akan mengajak bertemu temannya lagi?
"Kita kemana lagi, Kak?"
Khalil tersenyum, "Ke rumah saya sebentar ya. Gerah, saya mau mandi dulu."
"Walaupun Kakak seorang duda, tetap nggak boleh membawa saya ke rumah Kakak. Nanti bisa timbul Fitnah." perkataan Ira membuat jantung pria itu tertusuk tajam.
"Hanya sebentar."
"Hm, Ira tunggu di luar nanti ya?" Khalil tidak menjawab, ia hanya melihat sekilas sebelum matanya kembali fokus ke jalan.
Ira merasa tidak asing dengan rumah ini, mau bertanya takut dibilang cerewet. Akhirnya ia diam dan mengikuti langkah Khalil.
Tanpa dipersilahkan Ira duduk di kursi teras. Ia masih lelah, tidak tahu kenapa padahal tadi ia sempat tidur di klinik Mayang.
"Masuk sebentar yuk," ajak Khalil memegang lengan Ira. Jantung wanita itu berdegup kencang.
"Tidak enak Kak."
Khalil menarik Ira ke dalam, spontan ia memeluk wanita itu tanpa menutup pintu terlebih dahulu.
Ira terpaku, ini kali kedua Khalil memeluknya hari ini. Aliran panas terasa di wajah cantiknya.
"Menikah dengan saya, mau?" Khalik masih memeluk Ira dalam, lupa ada buah cinta mereka diantara keduanya. Karena merasa tidak ada pergerakan ia menguraikan pelukannya dan menangkup wajah istrinya menatap dalam netra jernih itu.
"Mau jadi Ibu anak-anak saya?" dengan tersipu Ira mengangguk dan mulai menunduk. Khalil mengangkat dagu istrinya dan mengecup singkat bibir merah dan masih bengkak itu.
"Terimakasih," ucapnya tulus dan kembali memeluk Ira.
"Kak, aku capek," keluh Ira di sela pelukannya.
"Kita istirahat dulu, yuk?" ajak Khalil merangkul bahu istrinya. Ira mau menepis tangan Khalil tapi ia tidak punya keberanian.
"Kita?" hanya kata itu yang keluar dari mulutnya.
"Maksudnya kamu tidur di kamar, saya di luar."
Ira mengangguk, matanya sudah tidak bisa di ajak bekerja sama lagi. Khalil mengantar Ira ke kamar mereka dan tidak lama Ira terlelap.
Khalil memperhatikan seksama wajah istrinya dengan perasaan teramat bersalah. Wanita itu tidak berdosa tapi harus merasakan ulahnya.
Perlahan, ia tidur di samping istrinya saling berhadapan dan mengusap pelan perut Ira serta mengecupnya dengan lembut menyalurkan kasih pada buah cinta mereka.
"Apa sesakit ini Ra, menyimpan rasa pada seseorang yang bahkan tidak mengingat kenangan manis yang pernah terlewati," gumamnya seraya mendekap tubuh sang istri dengan lembut. Menyesap hangat tubuh wanita yang sudah disakiti berulang kali.
==========
Gemuruh dari langit menutup awan biru bergantikan gelap dan cahaya putih yang menyibak dari pekatnya malam. Dalam diam wanita itu bersimpuh di atas sajadah bermunajat pada sang penguasa malam untuk memberikan jalan terbaik dalam kehidupannya.
Hidup dengan seorang lelaki yang masih menyimpan rasa pada wanita yang sudah tiada bukanlah perkara mudah bagi Humaira. Terlebih sekarang, Humaira tengah mengandung.
Ia yang baru tahu tentang agama. Keyakinannya mengharamkan perbuatan membunuh dan melenyapkan janin serta merta menjadi bahan pertimbangannya. Ia bukanlah sosok wanita muslimah yang bergelar ustadzah dengan iman menggunung, bukan pula seorang pendakwah dengan segudang ilmunya.
Humaira masih Fakir ilmu, hijab yang dikenakannya berawal dari rasa penasaran yang kemudian nyaman. Namun setiap ada pengajian ia rutin mengikutinya agar seimbang antara yang ia kejar dan tuntutannya sebagai seorang muslim.
Memikirkan nasib ke depannya yang dulu sering ia rancangkan dalam diary-nya, kini musnah saat ia tahu yang ia rencanakan tak sepenuhnya terjadi. Walaupun rencana Alloh lebih indah dari mimpinya, tetap. Ia seorang hamba yang masih harus belajar ikhlas tentang ketentuan Alloh bagi makhluknya.
Setelah merapikan mukena, Ira berbaring di ranjang. Jarum jam sudah menunjukkan angka dua belas namun Khalil belum pulang. Tadi Ira sudah menerima pesan dari suaminya kalau malam ini ia akan pulang telat karena rumah sakit masih membutuhkannya.
Dua hari setelah pertemuannya dengan Mayang, kehidupan rumah tangga Ira dan Khalil berjalan baik. Bahkan terlampau baik karena sikap Khalil yang sangat manis pada wanita itu. Ira belum memberitahu tentang keadaan sebenarnya terkait penyakitnya.
"Belum tidur?" tanya Khalil saat melihat wajah istrinya begitu pintu terbuka. Ira menggeleng seraya tersenyum. Seandainya ia memberitahu Khalil kalau sebenarnya ia sudah sembuh apakah Khalil akan memperlakukannya seperti sekarang. Ira mengambil jas kebanggaan suaminya dan masuk bersama.
"Aku panasin makanan dulu, Mas." Khalil mengangguk dengan senyum terpatri di wajah lelahnya sebelum ia masuk ke kamar. Selesai memanaskan makanan, Ira menyusul ke kamar dan mendapatkan lelaki itu sudah berganti pakaian dan wajah yang sudah cerah.
"Makan sekarang?" Ira menatap wajah lelaki di hadapannya. Bukannya menjawab, Khalil memegang lengan Ira dan mendudukkannya di tepi ranjang. Masih saling memandang, mereka tidak sadar saling meremat tangan yang berada dalam satu genggaman.
"Seharian ini ngapain?" tanya Khalil setelah sedikit lama menatap wajah sang istri. "Nggak ngapa-ngapain," sahut Ira tanpa melepaskan pandang matanya.
Khalil mengusap lembut perut istrinya. "Adek nggak rewel kan hari ini?" air mata Ira menitik di pipi saat meresapi sentuhan Khalil di perutnya, perlahan ia menggeleng. Menyadari adanya isakan halus, lelaki itu melihat wajah ibu anak-anaknya dan menarik dalam dekapannya.
Tangan wanita itu terulur membalas pelukan kekasih halalnya yang ia inginkan belasan tahun silam dengan dentum jantung saling bersahutan.
"Asin Ra." Ira terkesiap mendengar komentar Khalil saat laki-laki itu menyicipi sambel kecap ampela. Ira yang memang tidak menyicip saat masak tadi sore ikut mengambil setengah sendok dan ia segera berlari ke wastafel.
"Padahal aku pake kecap manis, kok bisa asin ya?" ia mengambil tisu dan membersihkan mulutnya. Setelah itu Ira mengambil mangkuk isi ampela sambel kecap dan membawanya ke wastafel. Ia membuka kulkas, mengambil dada ayam yang tersisa.
"Mau diapain?" tanya Khalil saat melihat Ira memotong kecil dada ayam. "Sambel, Mas."
Khalil bangun dari bangkunya menghampiri Ira. "Sudah tengah malam." Ira menoleh sebentar sebelum melanjutkan kegiatannya.
"Tidak lama Mas."
"Bukan soal lama tidaknya, ini sudah tengah malam. Lagian aku bisa makan pakai telur dadar." Khalil mengambil potongan yang sudah jadi memasukkan dalam wadah.
"Temani aku makan," titahnya setelah selesai mencuci tangan. Ira mencuci tanganya sebelum ia duduk di samping Khalil.
Selesai makan, keduanya masuk ke kamar. Ira merasa tidak tenang karena Khalil makan sedikit. Pasti laki-laki itu masih lapar, batinnya. Ini kali pertama ia melihat lelaki itu tidak menikmati makannya.
"Sebenarnya aku sudah makan tadi di kantin. Kepala staf mengajak tim, makan malam bersama."
Ira yang tadinya tidur terlentang, kini mengubah posisinya menjadi berhadapan dengan Khalil. Ia terharu karena Khalil menghargai usahanya.
"Maaf," ucap Ira tulus. Khalil tersenyum. Ia merentangkan tangan kanannya, isyarat agar Ira tidur di atas lengan kokohnya. Dengan wajah merona Ira mendekat, Khalil langsung mendekapnya.
"Untuk apa? Untuk makanan asin atau sesuatu yang kamu sembunyikan." Khalil bisa merasakan tubuh Ira menegang dalam pelukannya. Namun ketegangan itu perlahan hilang saat ia mengecup lembut puncak kepala istrinya.
"Terimakasih sudah kembali." butir kristal itu kembali membasahi wajah cantik Humaira ketika ia mendengar ucapan tulus suaminya untuk pertama kali.
Bulan enggan menampakkan diri, masih betah dalam peraduannya memberikan ruang pada guntur dan cahaya putih menghiasi langit malam menemani sepasang anak manusia yang tengah mengecap rindu yang enggan di lafadzkan.
Rani senang melihat Khalil sudah membuka hati pada Ira. Tidak harus materi, ia hanya ingin melihat anak-anaknya bahagia dalam kehidupannya. Beban pikirannya kini tertumpu pada anak bungsunya yang kini masih memegang ego-nya memilih tinggal di Perancis. Ia selalu berdoa Adam dan Caca segera meraih bahagia dalam rumah tangganya.
Setelah mendengar nasehat Rani, Khalil dan Ira pamit karena mereka akan mengunjungi dokter kandungan memeriksa kehamilan Ira. Dan mereka harus kembali dengan tangan kosong karena Rani tidak menyerahkan Fatih dengan alasan kehamilan Ira masih muda dan tidak boleh capek.
"Kamu dengarkan kata dokter, nggak boleh capek. dan mulai sekarang aku akan mencarikan pembantu." Ira tidak menjawab, ia hanya mendengarkan ceramah suaminya yang dimulai dari keluar rumah sakit sampai mereka sedang dalam perjalanan saat ini. Semua isinya sesuai dengan perkataan dokter kandungan yang mereka temui. Seketika bayangan keposesifan Khalil terbayang di matanya saat Almira mengandung Fatih, apakah seperti ini juga?
"Dulu, ketika Almira hamil ..." tidak sadar ucapan Ira menggangtung, Ira berdeham dan mengerjap berkali mengembalikan kesadarannya. Kenapa suara hatinya tidak bisa dikendalikan.
"Aku juga khawatir, cuma kalian berbeda. Almira tetap masa laluku dan tak akan terlupakan". Khalil menepikan mobilnya. Ia menatap wanita di sampingnya yang membeku dengan bibir terkatup rapat dan air di sudut mata indahnya.
"Dan kamu." Khalil menggenggam tangan Ira, "Kamu adalah masa depanku yang harus ku ingat sampai akhir hayatku," lanjutnya. Ia membawa wanita dengan sejuta misteri itu dalam dekapannya. Mulai sekarang ia akan mencari tahu tentang Humaira, istrinya. Banyak hal yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini.
Wanita pecicilan, sama seperti adiknya. Namun sikap Ira lebih dewasa sedikit dibandingkan Caca dan hal itu juga yang membuat hati Khalil mulai tertaut di sana, di hati Humaira.
"Ke rumah Ibu ya Mas, aku kangen Fatih," pinta Ira saat mobil kembali berjalan. Khalil mengangguk.
"Kita nginap di sana saja, mau?"
"Boleh?"
"Kenapa tidak, katanya kangen Fatih." Khalil mengusap sayang kepala istrinya yang tertutup jilbab. Ira menunduk, menyembunyikan rona yang kembali menyapa wajahnya.
Mobil Khalil sudah terparkir di perkarangan Mahesa. Mereka di sambut dengan segudang pertanyaan Rani yang membukakan pintu.
"Dokter bilang apa Ra? Bayinya sehatkan? Kamu nggak kenapa-napa?"
"Ya Alloh Bu, kami bahkan belum masuk." Rani tersenyum sekilas dan menggandeng lengan menantunya masuk mengabaikan protes Khalil.
Ira tertawa pelan, melihat ekspresi suaminya. "Alhamdulillah, baik Bu." Rani mengusap dadanya, seolah ia baru terbebas dari masalah yang besar.
"Kami nginap di sini, Bu." Khalil menyela obrolan ibu dan menantu tersebut. Rani berbinar, senyum bahagia terbit di bibirnya.
"Sampai istrimu lahiran juga boleh," kata Rani masih dengan senyumnya. Bagaimana tidak, dulu ia yang membuat gadis ini menjadi menantunya dan memberi luka pada sahabat putrinya ini dan ia juga yang menjadi saksi anak dan menantunya bahagia saat ini.
Khalil merogoh saku celananya saat dering ponselnya berbunyi. Ia mematung melihat nama yang tertera di layar dan ia melihat istrinya yang juga sedang melihatnya. Seketika pandangan mereka bertemu, menyelam ke dasar pikiran masing-masing.
Hidup dengan seorang lelaki yang masih menyimpan rasa pada wanita yang sudah tiada bukanlah perkara mudah bagi Humaira. Terlebih sekarang, Humaira tengah mengandung.
Ia yang baru tahu tentang agama. Keyakinannya mengharamkan perbuatan membunuh dan melenyapkan janin serta merta menjadi bahan pertimbangannya. Ia bukanlah sosok wanita muslimah yang bergelar ustadzah dengan iman menggunung, bukan pula seorang pendakwah dengan segudang ilmunya.
Humaira masih Fakir ilmu, hijab yang dikenakannya berawal dari rasa penasaran yang kemudian nyaman. Namun setiap ada pengajian ia rutin mengikutinya agar seimbang antara yang ia kejar dan tuntutannya sebagai seorang muslim.
Memikirkan nasib ke depannya yang dulu sering ia rancangkan dalam diary-nya, kini musnah saat ia tahu yang ia rencanakan tak sepenuhnya terjadi. Walaupun rencana Alloh lebih indah dari mimpinya, tetap. Ia seorang hamba yang masih harus belajar ikhlas tentang ketentuan Alloh bagi makhluknya.
Setelah merapikan mukena, Ira berbaring di ranjang. Jarum jam sudah menunjukkan angka dua belas namun Khalil belum pulang. Tadi Ira sudah menerima pesan dari suaminya kalau malam ini ia akan pulang telat karena rumah sakit masih membutuhkannya.
Dua hari setelah pertemuannya dengan Mayang, kehidupan rumah tangga Ira dan Khalil berjalan baik. Bahkan terlampau baik karena sikap Khalil yang sangat manis pada wanita itu. Ira belum memberitahu tentang keadaan sebenarnya terkait penyakitnya.
"Belum tidur?" tanya Khalil saat melihat wajah istrinya begitu pintu terbuka. Ira menggeleng seraya tersenyum. Seandainya ia memberitahu Khalil kalau sebenarnya ia sudah sembuh apakah Khalil akan memperlakukannya seperti sekarang. Ira mengambil jas kebanggaan suaminya dan masuk bersama.
"Aku panasin makanan dulu, Mas." Khalil mengangguk dengan senyum terpatri di wajah lelahnya sebelum ia masuk ke kamar. Selesai memanaskan makanan, Ira menyusul ke kamar dan mendapatkan lelaki itu sudah berganti pakaian dan wajah yang sudah cerah.
"Makan sekarang?" Ira menatap wajah lelaki di hadapannya. Bukannya menjawab, Khalil memegang lengan Ira dan mendudukkannya di tepi ranjang. Masih saling memandang, mereka tidak sadar saling meremat tangan yang berada dalam satu genggaman.
"Seharian ini ngapain?" tanya Khalil setelah sedikit lama menatap wajah sang istri. "Nggak ngapa-ngapain," sahut Ira tanpa melepaskan pandang matanya.
Khalil mengusap lembut perut istrinya. "Adek nggak rewel kan hari ini?" air mata Ira menitik di pipi saat meresapi sentuhan Khalil di perutnya, perlahan ia menggeleng. Menyadari adanya isakan halus, lelaki itu melihat wajah ibu anak-anaknya dan menarik dalam dekapannya.
Tangan wanita itu terulur membalas pelukan kekasih halalnya yang ia inginkan belasan tahun silam dengan dentum jantung saling bersahutan.
"Asin Ra." Ira terkesiap mendengar komentar Khalil saat laki-laki itu menyicipi sambel kecap ampela. Ira yang memang tidak menyicip saat masak tadi sore ikut mengambil setengah sendok dan ia segera berlari ke wastafel.
"Padahal aku pake kecap manis, kok bisa asin ya?" ia mengambil tisu dan membersihkan mulutnya. Setelah itu Ira mengambil mangkuk isi ampela sambel kecap dan membawanya ke wastafel. Ia membuka kulkas, mengambil dada ayam yang tersisa.
"Mau diapain?" tanya Khalil saat melihat Ira memotong kecil dada ayam. "Sambel, Mas."
Khalil bangun dari bangkunya menghampiri Ira. "Sudah tengah malam." Ira menoleh sebentar sebelum melanjutkan kegiatannya.
"Tidak lama Mas."
"Bukan soal lama tidaknya, ini sudah tengah malam. Lagian aku bisa makan pakai telur dadar." Khalil mengambil potongan yang sudah jadi memasukkan dalam wadah.
"Temani aku makan," titahnya setelah selesai mencuci tangan. Ira mencuci tanganya sebelum ia duduk di samping Khalil.
Selesai makan, keduanya masuk ke kamar. Ira merasa tidak tenang karena Khalil makan sedikit. Pasti laki-laki itu masih lapar, batinnya. Ini kali pertama ia melihat lelaki itu tidak menikmati makannya.
"Sebenarnya aku sudah makan tadi di kantin. Kepala staf mengajak tim, makan malam bersama."
Ira yang tadinya tidur terlentang, kini mengubah posisinya menjadi berhadapan dengan Khalil. Ia terharu karena Khalil menghargai usahanya.
"Maaf," ucap Ira tulus. Khalil tersenyum. Ia merentangkan tangan kanannya, isyarat agar Ira tidur di atas lengan kokohnya. Dengan wajah merona Ira mendekat, Khalil langsung mendekapnya.
"Untuk apa? Untuk makanan asin atau sesuatu yang kamu sembunyikan." Khalil bisa merasakan tubuh Ira menegang dalam pelukannya. Namun ketegangan itu perlahan hilang saat ia mengecup lembut puncak kepala istrinya.
"Terimakasih sudah kembali." butir kristal itu kembali membasahi wajah cantik Humaira ketika ia mendengar ucapan tulus suaminya untuk pertama kali.
Bulan enggan menampakkan diri, masih betah dalam peraduannya memberikan ruang pada guntur dan cahaya putih menghiasi langit malam menemani sepasang anak manusia yang tengah mengecap rindu yang enggan di lafadzkan.
Rani senang melihat Khalil sudah membuka hati pada Ira. Tidak harus materi, ia hanya ingin melihat anak-anaknya bahagia dalam kehidupannya. Beban pikirannya kini tertumpu pada anak bungsunya yang kini masih memegang ego-nya memilih tinggal di Perancis. Ia selalu berdoa Adam dan Caca segera meraih bahagia dalam rumah tangganya.
Setelah mendengar nasehat Rani, Khalil dan Ira pamit karena mereka akan mengunjungi dokter kandungan memeriksa kehamilan Ira. Dan mereka harus kembali dengan tangan kosong karena Rani tidak menyerahkan Fatih dengan alasan kehamilan Ira masih muda dan tidak boleh capek.
"Kamu dengarkan kata dokter, nggak boleh capek. dan mulai sekarang aku akan mencarikan pembantu." Ira tidak menjawab, ia hanya mendengarkan ceramah suaminya yang dimulai dari keluar rumah sakit sampai mereka sedang dalam perjalanan saat ini. Semua isinya sesuai dengan perkataan dokter kandungan yang mereka temui. Seketika bayangan keposesifan Khalil terbayang di matanya saat Almira mengandung Fatih, apakah seperti ini juga?
"Dulu, ketika Almira hamil ..." tidak sadar ucapan Ira menggangtung, Ira berdeham dan mengerjap berkali mengembalikan kesadarannya. Kenapa suara hatinya tidak bisa dikendalikan.
"Aku juga khawatir, cuma kalian berbeda. Almira tetap masa laluku dan tak akan terlupakan". Khalil menepikan mobilnya. Ia menatap wanita di sampingnya yang membeku dengan bibir terkatup rapat dan air di sudut mata indahnya.
"Dan kamu." Khalil menggenggam tangan Ira, "Kamu adalah masa depanku yang harus ku ingat sampai akhir hayatku," lanjutnya. Ia membawa wanita dengan sejuta misteri itu dalam dekapannya. Mulai sekarang ia akan mencari tahu tentang Humaira, istrinya. Banyak hal yang mengganggu pikirannya akhir-akhir ini.
Wanita pecicilan, sama seperti adiknya. Namun sikap Ira lebih dewasa sedikit dibandingkan Caca dan hal itu juga yang membuat hati Khalil mulai tertaut di sana, di hati Humaira.
"Ke rumah Ibu ya Mas, aku kangen Fatih," pinta Ira saat mobil kembali berjalan. Khalil mengangguk.
"Kita nginap di sana saja, mau?"
"Boleh?"
"Kenapa tidak, katanya kangen Fatih." Khalil mengusap sayang kepala istrinya yang tertutup jilbab. Ira menunduk, menyembunyikan rona yang kembali menyapa wajahnya.
Mobil Khalil sudah terparkir di perkarangan Mahesa. Mereka di sambut dengan segudang pertanyaan Rani yang membukakan pintu.
"Dokter bilang apa Ra? Bayinya sehatkan? Kamu nggak kenapa-napa?"
"Ya Alloh Bu, kami bahkan belum masuk." Rani tersenyum sekilas dan menggandeng lengan menantunya masuk mengabaikan protes Khalil.
Ira tertawa pelan, melihat ekspresi suaminya. "Alhamdulillah, baik Bu." Rani mengusap dadanya, seolah ia baru terbebas dari masalah yang besar.
"Kami nginap di sini, Bu." Khalil menyela obrolan ibu dan menantu tersebut. Rani berbinar, senyum bahagia terbit di bibirnya.
"Sampai istrimu lahiran juga boleh," kata Rani masih dengan senyumnya. Bagaimana tidak, dulu ia yang membuat gadis ini menjadi menantunya dan memberi luka pada sahabat putrinya ini dan ia juga yang menjadi saksi anak dan menantunya bahagia saat ini.
Khalil merogoh saku celananya saat dering ponselnya berbunyi. Ia mematung melihat nama yang tertera di layar dan ia melihat istrinya yang juga sedang melihatnya. Seketika pandangan mereka bertemu, menyelam ke dasar pikiran masing-masing.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel