Ira tidak sanggup membalas tatapan menusuk suaminya dan memilih membuang pandangan ke arah lain. Khalil mengarah ponsel ke telinga mulai mendengar kalimat dari seberang, tidak sampai lima menit panggilan terputus setelah ucapan terakhir pria itu pada penelepon.
"Sekarang dia sudah menjadi tanggung jawabku, Mas tidak perlu khawatir."
Ira mengerjap pelan, menerka siapa yang sudah menelepon Khalil sehingga lelaki itu sangat marah. Ketika Khalil meninggalkan dua wanita tersebut dan naik ke kamar Ira menyusul di belakang. Meninggalkan Rani dengan ekspresi bingung.
Melihat Khalil duduk di balkon kamar, dengan sebatang rokok di apit kedua jemarinya menghembuskan asap sehingga terbentuk kepulan putih membuatnya kaget. Ia tidak tahu lelaki ini seorang perokok.
"Sejak kapan Mas merokok?" Ira berdiri di pintu kaca penghubung melihat dengan seksama betapa mahirnya seorang Khalil membuat kepulan asap itu membulat. "Masuk!" bukannya menjawab, lelaki itu malah menyuruhnya masuk.
Ira bergeming, masih di posisi semula. Tidak ingin beranjak sedikitpun dari sana. Rasa penasarannya yang melambung tadi seketika lenyap setelah melihat suaminya menghisap racun yang akan menghancurkannya perlahan. Melihat tidak ada pergerakan dari Ira, Khalil memilih menuntaskan kegiatannya dan masuk ke kamar mandi.
Cukup lama Ira menunggu lelaki itu keluar dari sana sampai akhirnya ia berbaring karena merasa sangat lelah. Mungkin karena baru trimester pertama, mungkin juga bawaan malasnya akhir-akhir ini.
Khalil mendapati Ira sudah tertidur, wanita itu bahkan tidak melepaskan hijabnya. Ia duduk di samping Ira memandang wajah istrinya cukup lama sebelum kepalanya merunduk mencium kening sang istri.
Hangat menjalar di wajah Ira kala merasakan benda lunak itu menempel lama di keningnya dan deru nafas yang tidak karuan. Detak jantungnya bertalu-talu di dalam sana.
"Masih banyakkah lelaki di luar sana yang memujamu? Boleh aku egois kali ini, setelah apa yang aku lakukan. Aku ingin memilikimu selamanya," gumam Khalil yang sangat jelas terdengar di telinga istrinya. Khalik duduk memunggungi istrinya yang masih tidur, memikirkan mantan kakak ipar juga laki-laki yang dibicarakan Mayang yang menaruh hati pada Ira. Amarahnya kembali tersulut, namun saat ia merasakan ada tangan yang melingkar di perut dan kepala bersandar di punggungnya amarah itu tergantikan dengan rasa yang sulit ia jabarkan.
"Mas tau Dilan?" suara Ira terdengar merdu di indera pendengarannya. "Dilan itu menanggung rindu yang tidak ingin dibebankannya pada Milea," sambung Ira masih dengan posisi memeluk suaminya dari belakang.
"Dan, aku ingin Mas menjagaku, karena aku amanah terindah yang dititipkan Tuhan."
Khalil berbalik, matanya memindai wajah sang istri yang sangat manis karena rona merah muda. Ia mengangguk, perasaannya membuncah ketika ia mengingat bagaimana ia memperlakukan Ira, namun hati wanita itu tetap setia mengagungkan cinta kepadanya.
"Tunggu aku. Aku pastikan cintaku lebih besar padamu dan tidak akan kubiarkan lelaki lain memilikimu." Ira tersenyum, luka yang di torehkan lelaki itu sedikit demi sedikit mulai terpoles dengan kebaikan dan ketulusannya.
"Jadi yang telepon tadi," Khalil menarik Ira dalam pelukannya, tidak ingin wanita itu menerka penelepon yang membuatnya marah pada Ira.
"Kak Raja, ada pria lain?" tanya Khalil setelah cukup lama mereka berada dalam posisi itu hingga akhirnya menguraikan pelukan itu.
"Banyak sih, kalau Mas mau kenalan besok," Ira tidak bisa menyelesaikan jawaban karena kecupan mendadak dari suaminya. Pipinya kembali merona.
"Bagaimana bisa seorang wanita punya banyak cowok?"
Ira tau itu bukan pertanyaan biasa. Lama bersahabat dengan Caca adik suaminya, dan juga wara-wiri belasan tahun ini di sekitar Khalil ia jadi tahu sikap pria tersebut.
"Aku sih nggak menganggap mereka cowok aku. Mereka aja yang memvonisku gebetannya." Ira membuka jilbabnya karena ia tahu betul bagaimana hancurnya letak kain panjang itu sekarang di kepalanya. "Kalau Mas mau tahu, kepoin lewat Mba Mayang. Yakin deh jawabannya akurat," goda Ira dengan mimik serius.
Wajah Khalil merah menahan marah, ia buta selama ini. Wanita yang sudah menjadi istrinya kini rupanya seorang yang di kagumi banyak lelaki di luar sana. Keegoisannya untuk memiliki hak paten terhadap Ira tidak bisa diganggu gugat lagi.
"Tapi ..." Ira menggantungkan kalimatnya, menelisik wajah Khalil yang sangat serius. Dan... ekspresi lelaki itu sangat menghanyutkan. Tapi Ira sedang ingin menggoda suaminya, nanti saja pesona Khalil ia nikmati. Setengah mati Khalil penasaran dengan kelanjutan ucapan istrinya, tapi egonya melarang ia bersuara.
Ira tertawa pelan, walupun lelaki itu sudah menaruh rasa padanya tetap saja ego yang lebih diutamakan Khalil. Bukankah lelaki itu sudah mengatakan isi hatinya tadi. Khalil kesal, bukannya melanjutkan kalimatnya, wanita itu malah tertawa.
"Walaupun banyak lelaki di luar sana yang menginginkanku. Tidak cukupkah yang Mas lihat, kalau hatiku tidak sedikitpun berpaling?"
Khalil percaya dengan kesetiaan Ira, namun ia tidak bisa percaya pada mantan kakak iparnya. Nada bicara Raja saat di telepon tadi sudah membuktikan kalau Raja sangat mengkhawatirkan Ira. Posisi mereka kini berhadapan, dengan tangan masih saling menggenggam.
"Kalau Kak Raja tetap ngejar kamu, apa nanti kamu juga akan luluh?" senyum wanita itu kembali terbit saat pertanyaan itu keluar dari mulut suaminya. Sepertinya tidak cukup ucapan tadi, batin Ira.
"Tergantung," jawabnya mencoba menarik tangan dalam genggaman Khalil tapi tidak bisa karena rematan itu sangat kuat. Wajah Khalil semakin merah menahan marah.
"Apa maksudmu?"
Ira menggigit bibir bawahnya saat merasakan kakinya kram karena kelamaan duduk bersila. "Kalau Mas baik, mau menerimaku dan juga tidak emosian terus. Aku bisa pertimbangkan." sebenarnya itu hanya jawaban asal Ira. Dari pada diam dan takut semakin membuat lelaki itu berang.
"Aku tidak akan begini kalau saja tidak ada yang mengganggu istriku," desisnya, dan mengundang tawa Ira yang aneh. Ira tertawa seperti menahan sesuatu. Khalil menangkup wajah istrinya.
"Ada yang sakit?"
"Kakiku, Mas." air mata Ira menitik di wajah cantiknya. Khalil memegang kaki istrinya berniat mengusap tapi teriakan Ira menyurutkan niatnya. Ia kelimpungan melihat gadis itu menangis tidak mengeluarkan suara hanya isakan dan menggigit bibir bawahnya menahan sakit. Hatinya terasa ngilu melihat Ira kesakitan. Ia meninggalkan wanita itu dan memanggil ibunya.
"Sakit Ra?" tanya Rani ketika sudah berada di kamar, Ira mengangguk. Rani menarik pelan sebelah kaki Ira yang bersila dan teriakan itu membuat air mata lelaki tegap itu keluar dengan sendirinya.
"Sudah mending?" tanya Rani saat melihat Ira menurunkan kakinya satu lagi. Isakannya masih terdengar samar. Ia melihat suaminya berdiri agak jauh darinya dengan mata memerah. Ia tersenyum saat tahu Khalil mengkhawatirkan keadaannya.
Rani tertawa pelan melihat reaksi pasangan tersebut. Yang tadi sakit dan terisak kini malah tersenyum melihat suami yang baru saja menangisi keadaan istrinya. Ia meninggalkan keduanya sebelum mengomeli Khalil.
"Sudah sembuh?" Khalil mendekat mengusap jejak air mata istrinya dan mengecup lembut pipinya. Ira mengangguk, matanya tidak lepas dari wajah ayah anaknya.
"Kram saja begini, kalau lahiran nanti gimana?" Khalil terkejut dengan pelukan Ira, namun ia membalas pelukan istrinya.
"Kan ada Mas di sana." Khalil mengusap surai hitam istrinya. "Iya, tapi aku tidak sanggup melihatmu kesakitan," balas Khalil.
Ira bersandar di dada Khalil, menghirup dalam wangi suaminya. "Sakit itu lumrah Mas. Pahala syahid wanita melahirkan itu sama seperti orang yang gugur di jalan Alloh."
Khalil menegang, mendengar perkataan istrinya. "Aku tidak suka kamu ngomong seperti itu," tukasnya seraya berdiri dan melepaskan pelukannya. Ia tidak bisa membayangkan hidup tanpa Ira, ia tidak sanggup. Lebih baik ia saja yang mati.
Ira menunduk, ia juga tidak tahu. Tadinya ingin menjelaskan tentang rasa sakit tapi yang keluar dari mulutnya justru kata-kata tersebut. Pikirannya berkecamuk saat melihat Khalil keluar dan membanting pintu kamar. Mengambil jilbab ia turun menyusul suaminya dan betapa kagetnya wanita itu saat mendapati suaminya sedang menghajar suami sahabatnya habis-habisan. Adam tidak melawan, sudut bibirnya mengeluarkan darah setengah membungkuk Adam memegang kusen pintu sebagai pertahanan agar tubuhnya tidak ambruk.
Mata Ira menatap nyalang wanita berjilbab lebar yang berdiri di belakang Adam. Ia tahu siapa wanita itu. Hatinya terusik kala melihat wanita itu menangis dalam diam.
==========
Sudah dua jam lebih Khalil dan Ira tidak bertutur sapa, hanya detak jarum jam dinding yang menemani keheningan kamar Khalil. Ira tidak berani bertanya pada Khalil mengenai kedatangan Adam dan mantan tunangannya. Mungkin Adam akan mati di tangan Khalil kalau Mahesa tidak datang.
Khalil masih setia dengan diamnya saat Ira duduk di sampingnya. Menoleh pun tidak sekedar mengetahui pergerakan istrinya. Ira berdeham mencoba mencairkan suasana.
"Fatih malam ini tidur di kamar kita kan, Mas?" Ira menatap tampang datar suaminya. Ia sabar menunggu lelaki itu menjawab. Walaupun sedikit kemungkinannya. Hanya Fatih yang bisa menjadi topik aman sekarang. Khalil bergeming, ia tahu Ira sedang mengajaknya bicara, tapi ia sedang marah.
Ira memperhatikan otot jari suaminya yang dibalut asal dengan kasa. Lelaki itu bahkan tidak membiarkan Ira mengobati lukanya. Ira memberanikan diri meraih tangan yang di balut kasa. Saat diketahuinya tidak ada penolakan dari Khalil ia mencium tangan lelaki tersebut.
"Sakit?" tanyanya masih memperhatikan balutan luka itu. Khalil menggeleng, ia tahu Ira menangis. Suara serak wanita itu membuat sudut hatinya nyeri. Ira menyeka air matanya sebelum menatap wajah suaminya.
"Maafkan aku, Mas." Khalil tidak sanggup lagi, ia membalas rematan tangan istrinya mengabaikan rasa sakit di jemarinya. Tangan kanannya mengelus wajah Ira dan mengusap dengan ibu jari.
"Jangan bicara seperti itu lagi, aku tidak sanggup," desisnya menatap lekat manik indah di depannya. Benar, ia tidak sanggup mendengar apa lagi saat membuka mata, tidak ada sosok wanita ini di depannya. Hatinya sudah di curi Ira, wanita yang sudah disia-siakannya selama ini.
Air mata Ira menguar, kala netranya menyelami manik hitam suaminya. Lelaki itu sudah membuka pintu hatinya dan sudah menerima kehadirannya.
Waktu sudah menjawab semuanya. Tuhan juga sudah menarik garis estafet di kehidupannya. Bersama pria ini, ia akan hidup. Menjalani kisah kasih yang terbentang di depan mata.
Inginnya hanya satu. Ia hidup dengan Khalil, melahirkan dan membesarkan anak-anak mereka hingga menua bersama. Biarkan maut yang memisahkan mereka.
"Fatih biar sama Ibu, kamu fokus sama kehamilanmu." Ira mengangguk, kepalanya menunduk tatkala lelaki itu mendekatkan wajahnya. Telunjuk Khalil terarah mengangkat wajah istrinya. Keningnya mengkerut saat melihat Ira seperti menahan tawa.
"Kenapa, ada yang lucu?" tanya Khalil, Ira menggeleng tapi Ia mulai terbahak tangannya menepis lembut jemari lelaki tersebut yang masih bertahan di dagunya.
Melihat istrinya tertawa sampai kencang, Khalil pun ikut tertawa walau pelan. Ira semakin terbahak melihat suaminya tertawa.
Aneh, batin Khalil. Apa istrinya kumat?
"Mas jangan ketawa." Ira tidak bisa menyelesaikan kalimatnya karena tawanya kembali pecah. "Ada kulit cabe di gigi Mas."
Khalil melongo mendengar ucapan istrinya. Ia bangun dan menuju ke meja rias. Membuka mulut dan menemukan kulit bahan dasar sambal di sela giginya. Wajahnya merah menahan malu. Ia masuk ke kamar mandi untuk membersihkan benda sialan itu. Mengutuk kebiasaan buruknya yang asal comot makanan. Ia ingat mengambil keripik singkong balado di meja makan sebelum membuka pintu saat Adam datang.
Khalil keluar dari kamar mandi, ia melihat Ira yang sudah tertidur. Perasaan ia tidak lama di kamar mandi, tapi melihat istrinya terlelap ia bingung sendiri. Apa bawaan bayi, batinnya. Khalil memindahkan Ira ke ranjang supaya istrinya bisa tidur nyenyak.
Pintu kamarnya di ketuk saat ia tengah memandangi wajah damai ibu anak-anaknya.
"Turun, Ayah mau bicara sama kamu," kata Rani begitu pintu terbuka. Khalil mengikuti langkah ibunya. Ia melihat Ayahnya duduk dengan wajah merah. Sifat asli dari seorang Mahesa saat anak-anaknya melakukan kesalahan. Tidak ada perbandingan, apa itu Khalil ataupun Caca.
Khalil duduk di sofa panjang, ia membalas tatapan murka Mahesa dengan wajah datarnya.
"Apa begitu seorang dokter menyambut tamu?" Mahesa tidak pernah basa-basi. Ia langsung keintinya.
Khalil tidak suka ayahnya mengintimidasi nya. Apalagi ini perkara Adam yang berani membawa wanita yang menjadi penyebab adiknya pergi ke Perancis.
"Apa Ayah lupa, apa sudah dilakukan wanita itu?"
Mahesa tidak percaya dengan pertanyaan putranya. Bagaimana bisa ia menyimpulkan sepihak. Wanita itu bahkan tidak menjalin hubungan apapun dengan Adam di belakang Caca.
"Kamu dan adikmu sama saja, sama-sama bodoh!" nada bicara Mahesa mulai meninggi, raut wajahnyapun semakin mengeras
"Iya. Karena kebodohannya, Ayah juga tidak pernah lagi melihat Caca."
"Khalil!" bentak Mahesa. Arah bicara Khalil membuat emosinya semakin mengobar. Rani yang melihat ketegangan dua lelaki tersebut memilih diam, dia sendiri takut bersuara.
Mahesa bangun, ia menepuk bajunya yang tampak kusut. "Sudahlah, percuma Ayah bicara sama kamu," katanya, kemudian ia berlalu meninggalkan ibu dan anak di ruang tamu.
Khalil tidak habis pikir saat ayahnya membela lelaki itu yang jelas-jelas sudah membawa wanita jalang itu ke rumah. Pasti mereka ingin meminta restu, batinnya.
"Temui Adam, minta maaf sama dia. Bagaimanapun ia iparmu dan juga ayah keponakanmu." Rani ikut bersuara setelah memastikan suaminya masuk ke kamar. Khalil menatap tak percaya ke arah ibunya.
"Ada apa dengan Ayah dan Ibu?" frustasi, Khalil mengacak rambutnya. Rani tidak bisa bercerita. Lebih baik mereka bertemu langsung dan membicarakan prihal ini. Ia meninggalkan Khalil, menyusul suaminya ke kamar.
Khalil naik ke kamarnya, ia butuh istirahat. Melihat Ira masih tidur ia ikut berbaring di samping istrinya. Matanya tidak terpejam, karena ia memang tidak pernah tidur saat sore seperti ini. Khalil mengambil ponsel yang terletak di atas nakas. Matanya terpaku pada satu chat yang memintanya ke rumah sakit. Jantungnya berdegup kencang saat memikirkan kemungkinan yang terjadi pada seseorang.
Dengan perasaan tak menentu, ia berangkat ke rumah sakit sesuai alamat yang di kirim. Ia tidak tahu ada seseorang yang mengeluarkan air mata setelah sempat tersenyum. Wanita itu tidak lain adalah Humaira.
Memilih diam saat notice chat tersebut ia baca. Tidak menyangka begitu peduli suaminya pada wanita itu. Perasaannya terkalahkan lagi?
Lantas, apa yang ia tunggu? Tidak cukupkah selama ini ia berjuang.
Apa cukup sampai di sini ia bertahan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel