Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 14 Juni 2020

Lafadz Merindu #11

Cerita bersambung

Ami menepuk bahu Khalil saat ia melihat suami keponakannya itu tidak merespon panggilannya. Khalil mengerjap dengan mata memerah.
"Kamu tidak mau lihat istrimu?" tanya Ami, karena dari tadi ia melihat Khalil melamun. Lelaki itu menggeleng. Ia meraup wajahnya.
"Aku minta maaf, tante," "ucap Khalil dengan suara serak. "Aku tidak bisa menjaga Ira." kini air matanya menyeruak keluar.
Ia mengusap hidungnya yang sudah merah. "Aku juga tidak sanggup melihat jenazahnya, maaf aku tidak sanggup," lanjutnya.
Ami melongo, apa yang baru saja dikatakan lelaki itu, Jenazah? Memangnya siapa yang meninggal?

"Ira sudah siuman," kata Raja yang sudah berada di hadapan mereka. Ami langsung meninggalkan dua pria itu dan melenggang masuk ke ruangan Ira. Sedangkan Khalil terhenyak.

Ira siuman? Jadi untuk apa dokter Puspa minta maaf? Namun pertanyaan itu menggantung di kerongkongannya karena Ami sudah menarik lengannya. Khalil mengikuti langkah wanita yang merupakan tante istrinya itu.
Matanya menatap wajah yang terbaring lemah di sana. Wajah istrinya masih terlihat pucat, tapi matanya terbuka. Ia mendekat, matanya tidak melepaskan tatapannya. menyentuh wajah yang sempat tidak akan dilihatnya lagi, air matanya menetes. Ia mencium kening istrinya. Menyalurkan permintaan maaf dan cintanya.

Jantung Ira berdegup kencang, kala hembusan nafas suaminya terasa hangat di permukaan wajahnya. Lama mereka dalam posisi seperti itu, sampai suara deheman seseorang membuat Khalil menjaukan wajahnya dari sang istri. Namun tidak dengan genggaman tangannya.

"Jadi." Ami menuntut penjelasan dari Khalil tentang perkataan lelaki tersebut saat berada di luar tadi.
Khalil meringis, ia bukan mendoakan yang buruk. Tapi bukankah setiap permintaan maaf seorang dokter ada hubungan dengan pasien yang ditanganinya.

"Aku salah mengartikan permintaan maaf dokter Puspa," kata Khalil mengawali penjelasannya.
Ami tersenyum, "Bukannya salah, tapi kamu tidak mendengarkan ucapan beliau," sanggah Ami.
Khalil mengerutkan keningnya, dia dengar perkataan dokter Puspa.
"Dokter Puspa minta maaf karena dokter spesialis kandungan akan datang nanti siang, karena sedang ada musibah." Khalil melongo mendengar penjelasan Ami, ia malu setengah mati pada tante istrinya itu.

Ira berdeham, dari tadi ia hanya mendengar dua orang itu berbincang. Ia juga bingung dengan keadaannya. Setahunya tadi, ia sudah sampai di rumah Ami diantar oleh Raja.
"Tante ngomong apa?" tanya Ira memperhatikan tantenya, tanpa menatap Khalil.
Ami menoleh, ia mengusap sayang kepala keponakannya yang tertutup dengan hijab. "Suamimu tuh, mikir yang enggak-enggak."
Ira mendongak sekilas ke arah lelaki di sampingnya, tangannya masih berada dalam genggaman Khalil. Khalil mencoba tersenyum, namun melihat wajah datar istri ya, bibirnya kembali mengatup.
"Untuk sementara, Ira tinggal di rumah tante ya," pinta Ira pada Ami. Kening Ami mengernyit. Ia tidak mengerti dengan permintaan Ira.

Tubuh Khalil menegang, rematan genggamannya mengerat kala ucapan itu terlontar dari mulut istrinya. Ia menatap Ami.
"Tan, boleh tinggalkan kami sebentar?" ragu, tapi Ami mengangguk. Ia bingung ada apa dengan pasangan itu, selama ini ia tidak pernah mendengar gonjang-ganjing rumah tangga mereka.

Setelah pintu ruangan tertutup, Khalik duduk di bangku samping Ira. Ia menatap lekat manik jernih wanita di depannya. Tatapan mereka beradu.
"Ada yang ingin Mas sampaikan?" tanya Ira dengan nada datar, tidak ada kelembutan atau emosi tersirat. Khalil mencium tangan wanita dalam genggamannya.

Ira bisa merasakan dinginnya tangan Khalil, lelaki itu sedang mempersiapkan penjelasan untuk istrinya.
"Sebelumnya, aku minta maaf sudah membuatmu seperti ini," ucap Khalil tulus. Pandangan mereka masih beradu. Ia tahu Ira menunggu kelanjutan kalimatnya.
"Melihat kondisimu seperti ini, aku tidak sanggup." Khalil mengerjap pelan, "Aku tidak akan menikahi Geby," lanjutnya.
"Jangan mengasihani aku, Mas," sela Ira. Ia tidak lemah, setidaknya saat ini. Kedepannya, ia akan mempersiapkan diri lebih baik.
Khalil menggeleng, ia sama sekali tidak mengasihani wanita tersebut. Tapi hatinya ikut sakit melihat tubuh yang tengah mengandung anaknya itu terbaring lemah. Ibu anaknya sakit, ia juga  sakit. Dadanya remuk.
"Bagaimana bisa Mas mengambil keputusan bahkan ini belum satu hari aku mendengarkan pernyataan Mas." Khalil tidak terkejut dengan ucapan istrinya, ia tahu karena Ira adalah sosok yang lebih mementingkan perasaan orang lain.
"Saat mendapat kabar dari Geby, aku kalut. Jujur, aku tidak bisa membiarkan ia melewati semuanya sendiri. Tapi di titik lain aku tidak bisa melepaskanmu." Khalil menghela nafasnya, sebelum melanjutkan kalimatnya, "Geby hamil."
Ira terkejut, sebagai wanita ia merasa sakit. Tapi yang lebih sakit, membayangkan sosok ayah dari janin yabg dikandung Geby.
"Apa," Khalil menggeleng sehingga kalimat istrinya terhenti, ia tahu apa yang ada dalam benak istrinya.
"Saat mengunjungi pesta pernikahan sahabatnya, lelaki yang diam-diam menyukai Geby mencampur obat perangsang dalam minumannya."

Ira tidak melihat kebohongan di mata suaminya, tapi ada luka yang tersimpan apik di sana. Ia yakin, suaminya masih ada rasa ada Geby sehingga ia berani menawarkan diri untuk menikahi wanita itu.
Bagaimanapun alurnya, ia tetap tersisih. Seolah perasaannya itu sebuah cadangan. Harga dirinya tidak perlu ditanyakan lagi, ia tidak lebih seperti pengemis.

"Apa Mas sudah mengatakan pada Geby, untuk menikahinya?" tanya Ira membuang pandangannya. Perlahan ia melepaskan tangannya dalam genggaman pria itu.
Khalil menggeleng, ia melepaskan tautan tangan mereka dan mengusap perut rata istrinya.
"Aku harus memberitahu ibu anakku dulu, karena aku mencintainya." darah Ira berdesir mendengar pengakuan ayah anaknya. Khalil merasakan perut Ira sedikit bergerak, ia menatap wajah istrinya. Ira salah tingkah, jujur ia merasa geli dengan usapan itu.

Melihat istrinya tidak nyaman, Khalil menghentikan usapannya. Kini tangannya beralih pada kepala wanita itu. Ia memandang wajah cantik dan sedikit pucat itu, ada rasa cemburu menyelinap ke dalam hatinya. Kala tubuh sang istri berada dalam dekapan Raja.

Khalil membuang pandangannya, emosinya kentara sekali terlihat di wajahnya.
"Kenapa ada Mas Raja di rumah tante Ami?" tanya Khalil tanpa menatap Ira. Ira tampak berpikir, iya. Saat menunggu taksi tadi malam, ia tertidur di pertokoan. Sampai pemilik toko itu membangunkannya karena sudah hampir subuh. Di situlah ia teringat Raja dan menghubungi lelaki tersebut.

Ia hanya ingat sampai ia masuk ke rumah tantenya, setelah itu ia lupa. Khalil berdeham, melihat Ira tidak kunjung menjawab.
Perhatian Ira yang semula menatap dinding kamar teralihkan pada lelaki di sampingnya.
"Aku tidak tahu," sahut Ira tenang. Biarlah kali ini ia berbohong. Bukan itu permasalahannya sekarang.
"Bagaimana Geby sekarang?" tanya Ira pada topik utama. Khalil mendengus, "Jangan mengalihkan pembicaraan," sela Khalil, ia berdiri membelakangi Ira. Berusaha menyembunyikan raut wajahnya.

Ira berusaha duduk dengan susah payah, dan tidak menjatuhkan botol air mineral yang ada di atas lemari kecil dekat brankar-nya dan membuat Khalil terkejut.
Ia mengetatkan rahangnya, apa susahnya wanita itu minta tolong. Ia melihat darah yang masuk ke selang infus istrinya. Tanpa bicara lelaki tersebut membenarkan letak selang infus dan menekan selang tersebut agar aliran darah itu kembali turun.

Setelah itu ia menatap tajam wajah istrinya. "Aku sudah bilang, aku tidak akan menikahinya!" tegas Khalil.
Ira menarik selimut sampai ke perutnya. Tampa memperdulikan tatapan lelaki tersebut.
"Aku tanya keadaannya, bukan jadi atau tidak Mas menikahinya." Ira memperjelas kalimatnya.
Khalil tidak ingin menjawab, memikirkan. wanita itu saja membuat hatinya sakit. Bagaimana bisa Geby begitu ceroboh, bukankah selama ini ia sudah lama tinggal di luar negeri. Pasti dia sudah paham kelakuan lelaki. Khalil mendesah dalam hati.
"Apa dia di rumah sakit ini juga?" tanya Ira memastikan. Khalil menggeleng, dan membuat wajah cantik itu tersenyum.
"Jangan pikirkan orang lain, kamu sendiri juga sedang sakit." Khalil berkata tegas, ia tidak ingin terjadi apa-apa pada Ira dan juga calon anaknya.

Ketukan pintu mengalihkan perhatian keduanya. Ami masuk bersamaan dengan Raja. Khalil melihat Raja tersenyum ke arah istrinya. Rahangnya mengatup rapat.
"Sudah mendingan?" tanya Raja dengan suara lembut. Ira mengangguk, ada seulas senyum di bibirnya yang tidak dilihat Khalil semenjak ia masuk ke dalam ruangan ini.
"Makasih Kak," ucap Ira tulus, masih dengan senyum di bibirnya. Khalil berdeham, ia duduk di bangku samping Ira. Posisinya bersisian dengan Raja yabg berdiri.
Khalil menarik tangan Ira membawa dalam genggamannya. Ira merasa tidak enak, karena Raja memperhatikan tingkah suaminya.
"Ra, Tante mau pulang sebentar. Mau ambil pakaianmu." Ami berpamitan, membuat suasana canggung itu mencair. Raja yang juga mau pulang, berpamitan pada wanita itu. Laki-laki itu tahu diri, ia akan berbicara empat mata dengan Khalil saat ada waktu yang tepat.

Selepas kepergian Ami dan Raja, Ira menarik tangannya dari genggaman Khalil. "Kak Raja tidak cemburu. Walaupun kalian seumuran sikapnya lebih dewasa," ucap Ira dengan nada datar.
Khalil tidak melepaskan tautan tersebut, ia malah membawa tangan wanita itu ke bibirnya. Ia mengecup tangan istrinya. Ia tidak terpengaruh dengan perkataan Ira. Ia bukan ingin membuat Raja cemburu, ia hanya ingin memperjelas, wanita itu adalah miliknya.

"Aku sudah baikan sekarang, Mas tidak mau lihat keadaan Ge..." suara Ira hilang bersamaan dengan kecupan singkat di sudut bibirnya. Jantungnya selalu menggila ketika bersentuhan dengan lelaki tersebut.
"Istrihatlah, aku beli sarapan dulu." Khalil keluar dari ruangan rawat Ira. Perutnya lapar karena belum terisi apapun dari tadi pagi.

==========

Seperti biasa dipagi hari Ira di sibukkan dengan kegiatannya di dapur menyiapkan sarapan untuk Khalil. Sejak kepulangannya dari rumah sakit satu minggu yang lalu ia kembali beraktivitas seperti biasa, ia juga sudah meminta Rani untuk membawa pulang Fatih.

Kehamilan tidak membuat Ira menjadi manja. Justru kehamilan pertama ini membuatnya bersemangat dalam segala hal.
"Sarapan dulu, Mas." Ira menyapa Fatih yang baru turun sekalian menyuruhnya sarapan.
"Fatih belum bangun?" tanya Khalil menarik satu bangku yang ingin didudukinya.
Ira menggeleng, "Nanti Kak Raja mau ke sini, sudah lama nggak ketemu Fatih," kata Ira setelah meletakkan gelas berisi green tea di hadapan lelaki tersebut.

Sendok di tangan lelaki tersebut diletakkan begitu saja di piring nasi goreng yang disiapkan Ira, ia menatap wanita di sampingnya dengan tajam. Cukup satu minggu ini Ira menggencarkan perang dingin.
Bukannya tidak tahu kalau Khalil menatapnya, ia tidak menghiraukan.
Marah? Untuk apa, toh Khalil lebih mementingkan keadaan orang lain ketimbang istrinya. Tidak apa tidak menganggapnya sebagai seorang istri, setidaknya pikirkan bayi yang dikandungnya.
Bodoh? Ini tentang perasaannya. Bukan sebuah lelucon yang bisa dihentikan kapan saja. Satu minggu ini ia bicara seperlunya dengan Khalil, sebatas menyuruhnya makan dan sepintas tentang putranya Fatih.

"Tunggu aku pulang," ucap Khalil. Ia tidak bodoh mengartikan sikap Raja selama ini. Apalagi setelah kejadian Ira masuk rumah sakit.
"Mas bukan orang kantor, jadwal pulangnya tidak pasti," kata Ira melihat lurus ke depan, tangannya tertaut di bawah meja.
"Apa kamu ingin balas dendam dengan cara ini?" Khalil menyelidik wajah di sampingnya yang berselang satu bangku.
Ira membalas tatapan suaminya, "Aku bukan ABG, Kalau mau bukan dengan cara ini." santai tapi ucapan wanita itu tegas.

Khalil mengatupkan rahangnya, gemuruh di dadanya mewakili kilatan amarah di mata lelaki itu. "Jadi, kamu sudah punya ancang-ancang?" tanyanya menghunus manik jernih wanita itu. Ira membuang mukanya sebelum bangun, ia tidak ingin adu argumen di pagi buta seperti ini.

"Begini caramu melayani suami, bahkan aku belum memasukkan apapun ke dalam rongga perutku!!" bentak Khalil melihat wanita itu sudah berdiri.
Terkejut, tentu saja. Tapi ia menahan egonya untuk tidak kembali duduk. Ia melihat wajah suaminya merah menahan marah. Urat di wajahnya menonjol menandakan betapa murkanya lelaki itu.
Dengan sekali hentakan, Khalil bangun dari bangkunya menoleh sekilas ke arah wanita itu.

"Mulai besok tidak usah siapkan sarapan atau makanan apapun untukku." Khalil berlalu, ia bahkan melewatkan ritual mencium pipi putranya sebelum berangkat.
Hati Ira tertusuk dengan sikap lelaki tersebut, cairan bening mulai membasahi pipinya. Siapa di sini yang berhak marah, aku apa dia? Batinnya.
Matanya menatap miris pada nasi goreng dan segelas Green tea yang belum tersentuh.
Mood lelaki ber-jas putih itu hari ini sangat tidak baik. Selesai menginspeksi beberapa pasien dan menyelesaikan laporannya ia bergegas meninggalkan rumah sakit.

Sepi. Itu hal pertama yang di rasakan Khalil saat pertama ia menginjakkan kaki di rumahnya. Masuk ke kamarnya ia juga tidak menemukan Ira, ia melangkahkan kakinya ke kamar tamu namun yang ia cari juga tak ditemukan.
Rahangnya mengeras saat panggilannya tersambung dan tidak diangkat oleh Ira. Khalil menghempaskan tubuhnya ke ranjang, tidak diperdulikan perutnya yang sedari pagi belum terisi sampai sudah siang saat ini. Entah karena lelah atau apa, lelaki tersebut tertidur tidak lama setelah ia mengecek ponselnya untuk melihat kemungkinan ada pesan yang masuk.

Ira terkejut saat pulang, ia menemukan Khalil tidur di kamar. Sejak kapan lelaki itu pulang, pikirnya. Namun ia segera berlalu karena harus menyiapkan makan siang. Ira tahu lelaki itu tidak pernah makan di luar kalau pulang waktu siang.

"Dari mana?"
 Ira terjengkit ketika mendengar suara di belakangnya. Ia melihat Khalil masih mengenakan pakaian tadi. Berarti ia baru saja bangun, batin Ira. Ia meletakkan mangkuk yang sudah di isi dengan lauk yang baru saja dimasak.

"Em-"
"Keluar tidak lagi berpamitan?" tanya Khalil memotong kalimat yang akan dilontar Ira. Tatapannya mengkilat, membayangkan betapa bahagianya wanita itu tadi bersama Raja.
"Maaf-"
Khalil tersenyum sinis, "Ke mana? Jalan-jalan? Atau nostalgia?" sela Khalil sekali lagi tanpa mengetahui bagaimana wanita itu menahan perih di hatinya.
Mata Ira sudah memerah, menahan agar tidak mengerjap kalau tidak mau cairan itu lolos. "Aku lelah!" Ira berusaha mengucapkannya dengan tegas. Ia ingin terlihat tegar mulai menyembunyikan kerapuhannya.
Alis lelaki itu terangkat, "Baru pulang dengan lelaki lain, kamu bilang capek?" desisnya.
Ira menahan rasa sakit di dadanya, tuduhan lelaki itu  sama sekali tidak berbukti. Tangannya mengepal di sisi tubuhnya.

Dengan tubuh bergetar, wanita itu meninggalkan Khalil.
"Aku belum selesai bicara!"
"Aku rasa pembicaraan Mas tidak mengarah," ucap Ira yang sama sekali tidak menoleh ke arah Khalil.
"Tidak mengarah? Apa aku harus cari bukti dulu?" sinis Khalil.

Ira bergeming dan tetap melanjutkan langkahnya ke kamar. Mengingat pernyataan Khalil saat ingin menikahi Geby membuat kepercayaannya runtuh, terlepas lelaki itu membatalkan niatnya menolong sahabat mantan istrinya itu yang juga gebetannya masa kuliah dulu.
Sekarang ia hanya memikirkan Fatih, Putra suaminya dengan mendiang Almira. Ia sudah menganggap Fatih seperti anaknya sendiri. Sekiranya Ira bukan wanita berpendidikan dan juga bukan wanita yang mempunyai sesikit ilmu agama, mungkin ...

"Mana anakku? Apa kau mempunyai izin untuk menitipkan Fatih pada orang lain!" Ira kaget saat mendengar bantingan pintu tertutup bersamaan dengan suara Khalil yang membentaknya.

Posisinya yang semula duduk, kini berdiri berhadapan dengan Khalil yang baru saja masuk.
"Dia bukan orang lain, Maaf aku tidak sempat minta izin. Tapi Ib-"
"Iya, aku tahu dia pamannya. Tapi apa aku mengizinkannya?" suara Khalil menggelegar, membuat wanita di depannya terpaku.
Ira bertahan agar tidak menangis di depan Khalil, sungguh ia tidak ingin Khalil memandangnya rapuh. Setidaknya, kali ini saja.
"Apa Mas berpikir, aku jalan sama Kak Raja?" tanya Ira dengan segenap perasaan emosi yang sangat baik ia simpan.
Khalil tertawa sinis, "Memangnya ada berapa pria lagi yang mengejarmu? Oh, aku tahu. Bukankah dosen dan juga seniormu itu menyukaimu?" tuding Khalil tidak tanggung-tanggung.
"Kalau seburuk itu aku di mata Mas, kenapa dulu Mas mau menjadikan aku Ibu sambung Fatih?" tanya Ira dengan hati yang luka.
"Malah sekarang, ada benih Mas yang tumbuh di sini. Apa aku tidak pantas menjadi Ibu dari anak-anakmu?" tanya Ira lagi saat melihat suaminya diam entah untuk apa, mungkin sedang menyiapkan balasan ucapannya.
"Kalau memang benar." Ira menarik nafas dalam, titik bening yang sedari tadi ditahannya jatuh mengalir di wajah cantiknya, "Aku rela dia tidak berada di sini. Ayo, selagi dia masih kecil," lanjutnya menarik tangan Khalil, sementara satu tangannya lagi meremas kuat perutnya.

Merasakan tangannya dihempas, Ira yang sudah melangkah ke pintu menoleh.
"Kenapa?" tanya Ira ketika tangannya terhempas.
Tatapan tajam Khalil menghunus netranya.
"Apa aku harus melakukannya di sini?" Ira menatap wajah suaminya yang mengeras. Wajah Khalil merah, gurat kemarahan itu jelas terlihat di rahang pria itu.

Ira melangkah ke kamar mandi, ia mengabaikan panggilan suaminya. Saat kakinya menyentuh dinginnya lantai kamar mandi, tubuhnya di tarik ke belakang sehingga posisinya sekarang berada dalam dekapan Khalil.
Mendorong dada pria itu agar melepaskan pelukannya walau terasa sia-sia karena tenaga lelaki itu lebih kuat darinya.
Khalil mematung, bukan karena kemeja putihnya basah. Bukan juga karena tangan Ira yang tidak membalas pelukannya, tapi karena ...
"Sekali ini saja, mari kita lakukan apa yang sangat dibenci Alloh dan Rasul-nya."
Ucapan sekaligus permintaan Ira terdengar seperti vonis kematian bagi Khalil. Ia seperti mendengar wanita itu menyuruh untuk membunuhnya saja.

Terpaku.
Saat tidak ada lagi pergerakan dalam pelukannya, perlahan ia melihat wajah istrinya.
Jantungnya seketika berhenti, nafasnya memburu saat oksigen berlomba-lomba memasuki ruang otaknya menyeimbangkan dengan aliran darah yang terasa berdesir dalam tubuhnya.

Humaira ...

Bersambung #12

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER