Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 15 Juni 2020

Lafadz Merindu #12

Cerita bersambung

Khalil menatap wajah damai Ira. Senyumnya terbit kala mengetahui wanita itu tertidur dalam dekapannya.
Emosi yang tadinya menguasai berganti dengan kecemasan. Namun saat di sadarinya wanita itu tertidur kecemasan itu berubah menjadi kelegaan.

Setelah menyelimuti istrinya, Khalil mengecek pesan yang masuk ke ponselnya. Ia melihat nama ibunya yang tertera di sana.
'Tidak usah jemput, Fatih tidur di sini. Kasihan Ira, pasti capek momong sendiri.'

Khalil menelan ludahnya, matanya teralihkan pada sosok Ira yang terlelap di ranjang. Perlahan ia mendekat, memperhatikan dengan lekat wanita yang tengah mengandung buah hatinya.

Sahabat sang adik yang kini sudah menjadi istrinya memberi warna dalam hidupnya. Saat bersama Almira ia tidak pernah merasakan gejolak seperti ini. Almira yang juga seorang dokter sering berkecimpung dalam kegiatan dunia kedokteran yang di sana banyak pria tapi tidak pernah ia cemburu.
Bersama Humaira rasa yang sering mengusik ego itu seolah berlomba dengan detak jantungnya saat nama pria lain atau mencium sesuatu tentang lelaki lain yang berkaitan dengan Ira.
Menyesal membuat wanita ini menangis, tombak panas itu kembali menghantam sudut hatinya kala mengingat semua perlakuannya pada Humaira.
Khalil berjanji, ini yang terakhir kalinya membuat wanita itu menangis. Ia akan membahagiakan Humaira, karena sejatinya cinta adalah saling menjaga perasaan dan menghargai dia yang dicintai.

Ira bangun saat merasa tidurnya sudah cukup. Masuk ke kamar mandi ia mengambil wudhu dan melaksanakan kewajibannya.

Saat salam terakhir, ia mendengar denting bel. Sholawat sejenak sebelum wanita itu bangun dari duduk simpuhnya membuka pintu. Ia heran saat tidak menemukan Khalil di kamar dan juga ruang tamu.
Senyumnya terbit kala melihat mantan mertua suaminya, Mala dan Raja yang berkunjung ke rumahnya.

"Duduk dulu Bu, saya tinggal sebentar," ucap Ira setelah mempersilahkan mereka masuk.

Ira terkejut melihat Khalil keluar dari kamar mandi tang berada di dapur, lelaki itu terlihat sudah segar.
Tapi kemana dia, saat ia bangun tidur tadi? Batin Ira.
Mengabaikan rasa ingin tahunya, ia mengambil panci dan mengisinya dengan air sebelum di masak.

"Ada tamu?" tanya Khalil ketika melihat wanita itu tidak berniat menyapanya.
"Mertua Mas," jawab Ira tanpa menoleh pada Khalil yang berdiri di belakangnya. Khalil berdeham dan meninggalkan wanita tersebut.

Ira menghela nafasnya, mengingat sikap Khalil yang biasa saja. Padahal mereka baru saja bersitegang.

Kali ini ia tidak bisa menebak pikiran lelaki itu. Selesai mengisi gelas kosong dengan teh buatannya, ia membawa nampan yang sudah terisi empat cangkir teh tersebut ke ruang tamu.
Ia bisa melihat gurat tegang pada wajah suaminya kala bersitatap dengan Raja. Khawatir, tentu saja. Mengingat sikap Khalil yang mudah sekali terpancing emosi.

"Ibu mau ketemu Fatih, kirain ada di sini," kata Mala. Ia menyeruput minuman yang dihidangkan Ira.

Ira tersenyum, "Tadi pagi ibu Mas Khalil ke sini ngajak Ira ke rumah karena Ayah baru saja pulang dari Kalimantan," ucap wanita itu seraya terkekeh, "Mungkin kangen sama Fatih," sambungnya.
Mala mengangguk, "Padahal Nenek yang di sini juga kangen," canda Mala, sesekali melirik mantan menantunya, semenjak putrinya, Almira meninggal tidak pernah sekalipun Khalil mengajak Fatih menginap di rumahnya.

"Maaf Bu," ucap Khalil. Ira menoleh ke samping, di mana suaminya duduk dan juga sedang menatapnya.

Sepersekian detik tatapan keduanya terkunci sampai akhirnya, Ira yang memutuskan tatapan tersebut.

"Kamu sehat Ra?"
Ira tersenyum mendengar pertanyaan Raja, berbeda dengan Khalil. wajah lelaki itu sudah merah dan gurat kemarahan sudah tersirat di sana.

"Alhamdulillah Kak, seperti yang Kakak lihat. Aku baik-baik saja."

Mala sudah mendengar dari Raja tentang wanita di depannya yang kini sudah menjadi istri mantan menantunya. Wanita ini juga yang sudah membuat anaknya jatuh cinta sampai tidak mau dijodohkan dengan wanita lain.

Melihat keadaan yang tidak menyenangkan lagi, Mala berpamitan. Ira mengantar mereka sampai ke depan karena Khalil harus menerima telepon.
Ia mematung, saat Raja mengusap puncak kepalanya yang tertutup jilbab dan berbisik, " Lepaskan dia Ra, Kakak selalu ada di sisimu."

Setelah mengatakan itu, Raja berlalu menyusul ibunya yang sudah masuk ke mobil.
Suara tepuk tangan dari arah belakangnya mengejutkan wanita tersebut sampai engsel lehernya seolah patah karena gerakan tiba-tiba.

"Romantis sekali," ucap Khalil di sela tepukannya. Dadanya teriris melihat perlakuan Raja pada Ira.

Harga dirinya sebagai suami terluka, walaupun itu bukan keinginan istrinya, ia tetap marah karena Ira tidak menolak tindakan Raja.
Panas dengan rasa yang bergejolak dalam diri wanita tersebut melihat senyum getir terbit di bibir Khalil.

"Begitu sikap gentle seorang lelaki? Jelas-jelas dia tahu kalau wanita yang dipujanya itu sudah berstatus istri orang." Khalil tertawa miris sebelum melanjutkan kalimatnya, "Barusan bilang apa dia? I love you, atau menikahlah denganku?"

Tertohok, jelas. Sekalipun perkataan Khalil tidak sama dengan kalimat yang dikatakan Raja tapi maknanya sama.

"Jadi, benar?" mata Khalil mengunci netra jernih wanita di depannya. Menyelam menghapus keraguan dalam asa wanita itu.
"Tetap tinggal, itu permintaanku sebagai suami."

Ira mematung untuk kesekian kalinya pada hari yang sama. Ucapan Khalil terdengar seperti permohonan.
Dan, ini kali pertama lelaki itu berbicara dengan nada lembut seperti ini.
Melangkah mendekat, ia ikut menyelam dalam gelapnya hujaman netra suaminya. Senyum di bibirnya terukir, kala melihat ketakutan dan harapan di manik lelaki tersebut.

Tangannya terulur menggapai wajah suaminya. "Apa aku bisa percaya?" tanya Wanita itu masih menatap lekat mata suaminya.
Khalil mengangguk, "Bidadariku akan tetap tinggal, aku percaya itu," ucapnya, Lelaki itu memegang tangan mungil Ira yang berada di wajahnya.

"Ini rasa pertama kalinya. Sudah lama, namun baru kali ini aku katakan." Khalil mengusap punggung tangan Ira dengan lembut.

Mata mereka beradu sepersekian menit, mengaduk rasa. Mencari secercah harapan untuk kebaikan hubungan ini.

"Humaira, Maaf. Aku telah jatuh cinta padamu."
Cairan bening yang sedari tadi mengapung, kini mengalir di wajah cantiknya.
Perasaannya terharu. Kalimat ini yang ingin ia dengarkan sejak belasan tahun yang lalu.

Sejak, adik lelaki yang dicintainya ini membawanya ke rumah. Lelaki yang saat itu baru saja masuk Fakultas kedokteran.

Cinta pertamanya.
Rasa pertamanya.

Kini sudah menjadi tempat ia berbakti, mencari ridho Alloh dan bersama melangkah membina bahtera yang dijanjikan Jannah oleh sang yang memiliki cinta.

*** END ***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER