(Cerita sebelumnya : Dio mendengar pembicaraan Mami dengan Hanggara).
“Tunggu saja sampai aku memberitahu Laksmi soal romonya yang ternyata bandar narkoba itu!” lanjut Dio.
Mami menelan ludahnya. Bagaimana bisa dia seceroboh itu? Empat hari sebelum Dio pulang dari rumah sakit, Hanggara datang menjenguk. Mereka memang sedikit berbincang mengenai bisnis tersebut karena Mami menyangka saat itu Dio sedang tertidur pulas.
“Tidak, Dio! Itu tidak akan terjadi!” sergah Mami.
“Kenapa tidak, Mi? Laksmi akan jadi istriku, kan? Cepat lambat aku akan memberitahu dia, bahwa pernikahan ini berlangsung demi kerjasama haram kalian!”
Dio menyambar jaket dan kunci mobilnya, lalu pergi meninggalkan rumah. Dia sudah tidak sabar lagi menemui Marini dan bayinya, di tempat yang tidak lazim bagi seorang kekasih untuk melepas rindu, pemakaman.
***
Dan itulah yang setiap minggu dia lakukan. Mengunjungi makam Marini, menaburinya dengan bunga-bungaan yang harum, dan tak lupa mendoakannya. Meskipun setiap bepergian dia harus ditemani dua orang body guard yang diperintahkan Mami, Dio tak peduli.
Mami takut anaknya itu akan melarikan diri sehingga ke mana-mana harus diikuti. Namun, Dio sama sekali tidak berniat untuk kabur, dia sudah lelah dengan semuanya. Dio memilih pasrah, bukan karena dia memiliki harapan baru dengan Laksmi, tapi karena dia sudah kehilangan harapan hidupnya sama sekali.
Ketika waktunya sudah tepat, dia akan memberitahu Laksmi tentang bisnis kedua orangtua mereka, lalu terserah Laksmi mau bagaimana.
Sore tadi, sehari sebelum pernikahannya dilangsungkan, Dio kembali mendatangi tempat di mana kekasih hatinya terbaring. Dia menghabiskan waktunya di sana, sesekali terlihat sedang berbincang dengan batu nisan dan meneteskan air mata. Dio meminta maaf karena besok akan menikah dengan gadis lain. Miris sekali jika menyaksikan pemandangan itu.
Dua orang yang saling mencintai dipaksa terpisah karena takdir yang tidak memihak mereka. Sudah pasti tinggal kesakitanlah yang tersisa, dan rindu adalah salah satunya. Sialnya, rindu itu selalu curang, dia terus bertambah tanpa tahu bagaimana caranya agar berkurang.
Itulah yang setiap detik dirasakan Dio. Jika memungkinkan, dia ingin menetap saja di pemakaman supaya bisa selalu berdampingan dengan Marini. Sikapnya yang demikian mencerminkan ketulusan hatinya mencintai gadis lugu itu.
Sepulang dari pemakaman, dia memutuskan untuk mampir sebentar ke rumah Marzukoh. Setelah kejadian itu, Dio sama sekali belum menemuinya. Setidaknya, Dio ingin menanyakan kabar, berbela sungkawa, dan meminta maaf.
Rumah sederhana itu terbuka lebar. Tanpa ragu Dio menguluk salam yang segera disambut oleh Paklek.
“Nak Dio, alhamdulillah ya Allah, Nak Dio sudah sehat.” Paklek tergopoh-gopoh mempersilakan Dio masuk.
“Di mana Ibu, Paklek?” Dio tercekat karena rumah itu begitu sepi menyayat.
Suasana kesedihan masih menggantung di langit-langitnya bahkan setelah tiga bulan berlalu.
Paklek mengantar Dio ke sebuah kamar, di sanalah Marzukoh tergolek lamah.
“Aku ndak sanggup mengingat Marini, Nak. Malang sekali nasib gadis itu, nasib kalian.” Tiba-tiba Marzukoh bersuara bahkan sebelum Dio mendekat.
“Aku minta maaf, Nak. Gara-gara kekolotanku, nasib kalian jadi begini. Marini ... Marini, di-dia-“
Terisak. Tidak ada lagi kata-kata yang sanggup diucapkan Marzukoh. Jika ditanya siapakah yang paling terluka dan berduka, maka dialah orangnya. Penyesalan seorang ibu hingga tubuh ringkih itu sakit-sakitan karena tak mampu menahan beban batin dan pikir.
“Sudah, Bu.” Dio mendongak, menahan air mata. “Ini sudah kehendak Tuhan, bukan salah siapa-siapa. Mari kita sama-sama mengikhlaskan Marini, agar dia tenang,” ujarnya kemudian.
Ah, bicara memang mudah, batin Dio. Soal ikhlas itu, dirinya sama sekali belum bisa.
Marzukoh terdiam sekian lamanya, hingga azan maghrib terdengar. Dio pun akhirnya pamit pulang, dan berjanji akan sering-sering menjenguk Marzukoh. Paklek mengantarnya sampai teras depan.
“Terima kasih, Nak Dio. Nak Dio yang sabar, ya? Turuti apa kata maminya, jangan ngelawan lagi,” nasihat Paklek setelah Dio memberitahu bahwa besok dia akan menikah. Dio menghela napas, berat sekali rasanya.
“Eh, apa Nak Dio selalu bareng orang-orang itu kalau pergi-pergi?” tanya Paklek setengah sungkan, sambil menunjuk body guard yang stand by di dalam mobil.
Dio menggeleng, tertawa kecil. Memang hal ini kelihatan bodoh, berlebihan, dan memalukan baginya. Seperti dia anak TK yang harus dikawal ke mana-mana.
“Soalnya, pas malam Nak Dio ke sini nyelamatin Marini, saya lihat orang-orang itu juga naik mobil di belakang mobil Nak Dio.”
Ucapan Paklek seketika menghentikan tawa kecil Dio.
==========
Gegaraning wong akrami
Dudu bandha, dudu rupa
Amung ati tetaline
Langgam jawa itu dinyanyikan merdu oleh pranoto coro saat iring-iringan keluarga besar Sasmito Hadiningrat memasuki kediaman Hanggara. Pagi begitu cerah, seakan turut bersuka atas persatuan kedua keluarga ningrat yang akan segera berlangsung ini.
Di barisan depan, Dio yang mengenakan beskap lengkap dengan blangkonnya digandeng oleh Mami dan Pakdhe. Dia benar-benar seperti Arjuna dengan pakaian adat begitu. Di gazebo halaman yang sudah disulap menjadi tempat akad yang begitu elegan, telah menanti sang pengantin putri.
Dengan kebaya putih, kain jarik, dan sanggul berhias mawar merah, Laksmi tampak sangat memesona. Kecantikannya menjadi pusat seluruh perhatian, seolah mampu menyihir siapa saja yang hadir di sana. Lihatlah, mereka berdua pasangan yang serasi sekali bagi mereka yang tak tahu cerita ini.
Dio duduk perlahan di samping Laksmi. Kain selendang pengantin dipasangkan di atas kepala mereka berdua. Akad siap dilangsungkan.
***
Kembali ke tiga bulan yang lalu, saat peristiwa kebakaran itu terjadi. Mayat Marini dan pasien satunya telah dibawa pulang oleh keluarga masing-masing, menyisakan keheningan di tempat kejadian.
“Siapa dokter yang bertugas di UGD hari ini?” Tiba-tiba salah seorang petugas Puskesmas membuka suara.
“Hari ini jadwal Dokter Cindy, Pak,” sahut petugas lainnya.
“Lalu, di mana dia sekarang?”
Semua tertegun, saling berpandangan. Sebuah kesadaran seperti dilesatkan dari langit pada mereka. Dokter muda itu tidak pernah datang terlambat, pasti saat kebakaran terjadi dia sudah berada di sana. Teringat pada salah satu korban dengan rambut panjangnya yang masih tersisa, bukankah Dokter Cindy juga berambut panjang dan tidak berhijab?
***
Penghulu sudah bersiap menunaikan tugasnya. Semua yang hadir turut berdebar-debar. Wajah Laksmi yang ayu kian merona. Sesekali dia melirik Dio yang duduk di sampingnya, tidak percaya bahwa sebentar lagi sosok yang disayanginya sedari kecil itu akan menjadi suaminya. Rasa bahagia, haru, dan debar tak menentu berpadu satu dalam hati gadis ini.
Hadirin sudah duduk di tempat masing-masing, takzim menyimak.
“Jabat tangan saya, Raden Dio.” Pak Penghulu mengulurkan tangannya. Dio tak bergerak.
“Sebentar, Pak.” Dia berkata tenang, “Sebelum akad dimulai, bolehkah saya menyampaikan sepatah dua patah kata untuk calon istri dan ibu saya?”
Semua yang hadir tertegun. Mami mulai gelisah, sama halnya dengan Hanggara.
“Bagaimana kalau nanti setelah ijab saja, Raden Dio. Waktu sepenuhnya milik Anda,” jawab penghulu.
“Saya mohon, Pak. Ini penting,” sahut Dio tegas.
Karena tak ada pilihan lain, penghulu akhirnya memberi kesempatan pada Dio. Dio mengangguk sebagai tanda terima kasih.
“Pertama, aku akan menyampaikan ini padamu, Roro Laksmi Hanggara Diningrat.”
Demi mendengar itu, Laksmi terlihat bingung. Apa sebenarnya yang direncanakan Dio? Memberi kejutan manis untuknya?
“Aku yakin di dunia ini tidak ada seorang pun gadis yang ingin dinikahi pria yang tidak mencintainya. Sayangnya, ini akan terjadi padamu bila pernikahan kita terus dilangsungkan, Roro.”
Laksmi seperti tersambar petir di siang bolong. Mami terperangah tak percaya, Hanggara sudah bangkit dari duduknya. Semua yang hadir terpana sembari menahan detak jantung mereka yang kian cepat menyaksikan momen yang tidak biasa ini.
“Jangan harap kamu bisa menerima tatapan cinta dari suamimu, karena aku tidak menaruh hati padamu sama sekali, Roro. Aku sudah punya kekasih yang bahkan sedang mengandung bayiku. Sayangnya, dia harus mati karena dibunuh calon ibu mertuamu itu!”
Plak! Tamparan keras mendarat di pipi Dio. Hanggara sudah tak bisa menahan emosi melihat putri semata wayangnya kini meneteskan air mata. Mami terperanjat bagai disengat aliran listrik seribu watt.
***
Kemarin petang, Dio sengaja mengarahkan mobilnya ke sebuah gedung kosong yang sepi. Tentu saja kedua body guard itu terus mengikuti. Sesampainya di sana, Dio turun dari mobil dan masuk ke dalam mobil mereka, membuat mereka kaget sekaligus bertanya-tanya.
“Jawab dengan jujur!” Dio mendengus marah. “Apa yang kalian lakukan malam itu? Kenapa kalian mengikutiku?” Kini Dio meraung. Berbagai spekulasi bermunculan di kepalanya, membuat emosinya tak terkontrol.
“Maaf, apa yang Raden bicarakan?” jawab salah seorang dari mereka.
“Tidak usah pura-pura kalian!” Dio menggebrak kaca jendela dengan amarah yang membuncah. Bersamaan dengan itu, dia mengeluarkan sesuatu yang disembunyikan di dalam jaketnya. Sebuah pistol colt.
“Jawab atau kalian akan ditemukan di dalam gedung itu setelah jadi mayat!” ancam Dio sembari menodongkan pistol itu tepat di kepala salah satu dari mereka.
Tidak ada seorang pun yang tahu bahwa Dio selalu membawa senjata api ke mana-mana. Brankas kecil di mobilnya ternyata menyimpan sebuah senjata mematikan.
Pistol colt itu hadiah ulang tahun dari Papi, tepat saat umurnya menginjak sebelas. Papi bilang untuk jaga diri karena menjadi anak seorang ningrat saja sudah merupakan resiko besar.
Tak menyangka dengan apa yang terjadi, diliputi rasa takut pada senjata api yang siap mengambil nyawa mereka, akhirnya kebusukan Mami terbongkar sudah.
***
Semua yang hadir berteriak tertahan. Mami sudah berada di samping Dio sekarang, mencoba membungkam mulut putranya itu. Tapi tidak, melihat Laksmi menangis, Dio justeru semakin lantang berkata.
“Kedua, perlu kamu tahu, Roro. Tujuan kedua orangtua ini menjodohkan kita adalah untuk meneruskan kerjasama mereka. Bisnis ilegal narkoba itu, apa Roro sudah tahu? Romomu ini bandarnya. Bahkan menurut isu yang beredar di dunia hitam, Om Hanggara ini bandar sekaligus penadah terbesar di Asia. Benar begitu, Om?” Dio melirik Hanggara yang kini meringis sambil memegangi dada sebelah kirinya. Jantung itu mendadak terasa sakit.
“Romo!” Laksmi berteriak seiring ambruknya tubuh sang romo di atas karpet merah yang bertabur melati.
“Jahat kamu, Dio!” Laksmi meraung dengan air mata berleleran, melunturkan riasan make-up jawanya.
Semua hadirin bangkit melihat kejadian itu, sigap menolong Hanggara sementara keluarga yang lain memanggil ambulance.
“Aku memberitahukan sebuah kebenaran yang memang berupa kejahatan, Roro. Jadi siapa yang jahat sebenarnya?” Dio menjawab datar.
Plak! Satu tamparan lagi mendarat di pipi Dio, kali ini Mami yang melakukannya.
“Bunuh saja Dio, Mi!” Dio mendelik, wajahnya memerah menahan seluruh amarah. Acara khidmat itu seratus persen menjadi rusuh dalam beberapa menit.
“Dio tidak menyangka Mami begitu busuk! Apa yang Mami lakukan itu kriminal, Mi!”
Entah dari mana datangnya, tapi airmata itu menggenang di kelopak mata Dio. Rasa marah, kecewa, semuanya ingin dia luapkan. Mami tidak bisa berkata apa-apa, dia masih terkejut sekali dengan kelakuan anaknya ini.
“Tapi tenang, Mi. Semua orang bisa berubah,” lanjut Dio, “dan Dio harap di balik sel nanti Mami bisa belajar, lalu berubah menjadi manusia baik seperti yang selalu Mami ajarkan pada Dio.” Mami tercekat.
“A-apa maksudmu, Dio?”
Bertepatan dengan menggantungnya pertanyaan itu, sirine mobil polisi terdengar semakin dekat. Dio tersenyum.
“Ya, mereka akan segera menangkap Mami dan Om Hanggara. Dio sudah melaporkan rencana pembunuhan itu, dan bisnis ilegal kalian.” Mimik muka Mami seketika berubah, tak percaya pada apa yang baru saja diucapkan anaknya.
“Dan, perlu Mami tahu. Tidak ada satu pun yang bisa memisahkan Dio dari Marini, tidak weton itu juga Mami. Jika kami tidak bisa bersatu di dunia ini, maka kami akan bersatu di dunia yang lain.”
Dio mengambil sesuatu dari balik beskapnya, benda yang membuat semua yang ada di sana memekik jerih.
“Selamat tinggal, Mi.”
JDOR!
Dalam satu kedipan mata, sebuah timah panas dari pistol colt kesayangannya telah menembus tempurung kepala Dio.
***
Waktu yang sama di sebuah Rumah Sakit Jiwa, tepatnya di kamar nomor 24 yang menyerupai sel. Pasien itu mendadak membuka matanya lebar-lebar, lalu berteriak-teriak kalap.
Juru rawat segera berhamburan menghampirinya, dua orang menahan tubuh si pasien kuat-kuat, satu lainnya menyuntikkan obat penenang.
Pasien itu ditemukan tergeletak di pinggir jalan dengan luka bakar yang cukup serius, dua setengah bulan lalu. Wajahnya yang ayu mengelupas sebagian, dirinya sudah hampir sekarat.
Meski kondisinya begitu mengenaskan, tapi tidak dengan apa yang meringkuk di dalam rahimnya. Janin itu baik-baik saja, seolah siap lahir ke dunia dan menjadi sang pewaris keluarga Sasmito Hadiningrat.
***END***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel