Oleh : Popy Novita
(side-a)
Nyatanya, pernikahanku tetap berjalan meski tak ada rasa cinta sedikit pun di hati. Dia lelaki baik akhlak juga agama, kata orangtuaku. Aku pun melihatnya demikian. Tapi untuk menumbuhkan rasa cinta, itu butuh waktu, bukan?
Setelah membersihkan wajah dari make up, ingin rasanya aku segera membaringkan tubuh di ranjang. Namun, melihat ranjang merah bertabur bunga mawar dan melati itu … aku membayangkan sesuatu.
Semoga saja, Mas Aksa tidak akan memaksaku untuk melakukan hubungan yang belum ingin kulakukan. Jelas aku tidak bisa, karena di hati belum ada cinta.
Mungkin saja lelaki bisa melakukan tanpa rasa cinta. Tapi wanita, berbeda. Cinta dan kenyamanan adalah yang utama.
Di luar sudah sepi. Sepertinya banyak tamu yang sudah pulang dan saudara yang menginap masuk ke kamar. Tinggal menunggu Mas Aksa yang akan memasuki kamarku ini.
Benar saja, baru ingin merebahkan tubuh di ranjang, suara derit pintu terbuka. Terlihat senyuman canggung lelakiku itu. Setelah menutup pintu dan mengunci, ia melangkah perlahan mendekatiku.
Jantungku berdegup sangat kencang. Mungkin wajahku sudah berubah pias sekali. Semoga saja Mas Aksa tidak memintanya malam ini. Sungguh, aku belum siap.
"Kok belum tidur, Dek?" tanyanya dengan suara rendah. Sepertinya, dia juga sama gugupnya denganku.
"Belum ngantuk." Aku menjawab singkat. Tangan sibuk memilin ujung piyama. Tidak tahu harus berkata apa.
"Hm, aku ganti baju dulu." Mas Aksa berjalan ke arah lemari. Ya, lemari baru yang ia belikan saat lamaran. Pakaiannya ada beberapa yang sudah ditata rapi di sana.
Aku memalingkan wajah saat Mas Aksa membuka kemeja putihnya. Ya, Tuhan … badannya putih sekali. Punggungnya lebar, membuatku ingin segera bersandar. Eh!
"Ayo, Dek."
Aku mendongak. Debar di dada semakin kencang saja rasanya. Mas Aksa mendekat. Memamerkan giginya yang putih berbaris rapi. Aku terpekik saat tangannya ingin menjangkau rambutku.
"Mas Aksa mau ngapain?" Aku menjauhkan kepala dan bergeser satu langkah.
Dia justru terkekeh. "Ada melati di rambutmu."
Aku segera mengibaskan tangan di rambut yang ditunjuk oleh Mas Aksa. Kembali memalingkan wajah, karena malu.
Duh, mikir apa aku tadi?
"Tidur, yuk. Udah tengah malam."
"Eh?" Aku kembali mendongak. Ingin bertanya lebih lanjut tapi bibir kelu seketika.
Mas Aksa masih saja tersenyum. Melangkah melewatiku dan naik ke ranjang. Aku menatapnya yang telentang dengan kaus putih tipis menerawang.
Seksi. Eh?!
"Kok bengong di situ? Sini." Mas Aksa menepuk-nepuk sisi ranjang.
Aku justru semakin kebingungan. Bagaimana kalau nanti Mas Aksa minta yang aneh-aneh? Atau ….
"Dek?"
"Eh?" Aku terlonjak kaget. "Ya, Mas?"
"Sini tidur." Mas Aksa duduk dan kembali menepuk sisi ranjang.
"Aku …." Aduh, kenapa jadi canggung dan bingung begini?
"Apa minta digendong?"
"Nggak!" jawabku langsung. Dan sukses membuatnya terkekeh. Ah, malunya aku.
"Ya sini. Tenang. Aku gak akan gigit kok. Sini."
Dengan menahan napas, aku mulai berjalan pelan menaiki ranjang. Duduk sedikit menjaga jarak. Aku melirik Mas Aksa sekilas. Ada senyuman yang masih ia tampilkan.
"Mas Aksa kenapa gak tidur? Katanya mau tidur?" Aku memberanikan diri bertanya.
"Boleh minta …."
"Jangan!" Aku kembali menyambar.
"Kenapa?"
"Aku … belum siap." Aku menunduk malu.
"Belum siap apa?"
"Ya itu."
"Lho, aku cuma mau minta bagi selimutnya. Dingin."
Duh! Kok selimut?
Aku menahan tawa. Menyerahkan selimut padanya.
"Makasih." Mas Aksa merapikan selimut agar menutupi seluruh tubuhnya. Kemudian menoleh padaku dan aku segera memalingkan wajah.
"Ayo tidur. Sudah malam."
Aku menoleh. Mas Aksa masih tersenyum sebelum kemudian membaringkan tubuhnya.
Lho kok nggak minta …?
Aku menggigit bibir dan mulai merebahkan tubuh membelakanginya.
Dasar lelaki tidak peka!
==========
(side-b)
Sudah seperti ada alarm di otak, ketika waktu Subuh tiba, aku akan bangun dengan sendirinya. Apalagi malam ini aku tidak terlalu bisa tidur. Memikirkan banyak hal tentang bagaimana kelanjutan kisah malam yang tertunda.
Aku mengusap wajah dan menguap. Menghela napas sejenak kemudian bangun. Mataku melebar seketika saat melihat Mas Aksa yang meringkuk di atas tikar tipis di lantai.
Apa Mas Aksa risih tidur seranjang denganku?
Tanpa sadar aku memerhatikan penampilan juga bau badan. Rasanya masih normal. Lalu kenapa Mas Aksa memilih tidur di lantai daripada di ranjang denganku?
Aku menggeleng demi membuang pikiran yang bukan-bukan. Kemudian turun dan mendekati Mas Aksa. Rasa ingin membangunkan tiba-tiba kuurungkan ketika melihat wajah teduh yang terlelap. Tanpa sadar aku mengulum senyum. Tampan sekali suamiku. Eh!
"Mas!" Panggilku dengan tangan mulai menyentuh bahunya. Hm, bukan tangan, tapi telunjuk.
"Mas, bangun!" Aku kembali memanggil saat Mas Aksa tak bergerak sama sekali. Telunjuk masih menoel-noel bahunya.
"Mas!"
"Hm?"
Aku mundur selangkah masih berdiri bertumpu lutut, saat Mas Aksa bergumam dan langsung bangun saat tahu aku ada di sampingnya membangunkan.
"Jam berapa sekarang?" Mas Aksa mengusap wajah serta rambut tebalnya ke belakang.
Duh, melihatnya baru bangun tidur masih dengan wajah mengantuk, rasanya ingin menepuk-nepuk supaya tidur lagi. Eh! Mikir apa aku ini.
"Jam empat, Mas. Mau sholat Subuh di masjid bareng Ayah?"
"Boleh." Mas Aksa menyingkap sarung yang menyelimuti tubuhnya.
"Mas."
"Hm?" Mas Aksa menoleh.
"Hm … kenapa, tidur di bawah?"
Aku menunduk. Malu sekali rasanya bertanya seperti itu. Apalagi jika mendengar jawabannya nanti. Semoga hatiku kuat menerima.
Mas Aksa malah terkekeh. Aku mendongak kembali dan mengernyit menatapnya. Maksudnya apa?
"Kamu beneran gak sadar semalam?"
"Hah?"
Duh, jangan-jangan …?
Mas Aksa menaikkan satu alisnya. Bertanya.
"Memangnya, semalam kenapa?"
Mas Aksa masih terkekeh. "Masa sih, gak kerasa sama sekali?"
Aduh! Apa maksudnya? Rasa apa? Oke fikz, pasti Mas Aksa sudah grepe-grepe waktu aku terlelap. Jahat sekali!
"Mas Aksa ngapain semalam?!" Aku mengerucutkan bibir. Sebal rasanya. Kenapa main belakang? Kenapa tidak minta saja. Kan aku jadi tidak tahu bagaimana rasanya.
"Mas!" sungutku. Tak sabar mendengar jawaban.
"Kamu itu … ternyata kalau tidur gak bisa anteng, ya?" Mas Aksa tertawa lagi.
Hah?
"Semalam entah berapa kali kamu nendang aku, bahkan sampai tersungkur." Mas Aksa melanjutkan di sela tawanya.
Aduh!
Aku menutup mulut dengan kedua tangan. Apa yang aku takutkan selama ini terjadi juga. Masalahnya, dari kecil tidurku memang seperti gangsing. Muter dan keliling.
"Makanya, aku gelar tiker dan tidur di bawah saja daripada bangun badanku remuk semua?"
Duh! Tenggorokanku tiba-tiba terasa kering bagai di gurun pasir.
"Mas, aku … ke kamar mandi dulu, ya." Aku berdiri dan segera keluar dari kamar.
Hilang sudah mukaku.
***
Hari pertama menyandang status istri dari Aksa Arjuna, dokter muda di kota. Semua terasa berbeda, ketika banyak warga desa yang menyanjung dan memuji suamiku.
"Suamimu kayak artis Korea, ya?"
"Beruntungnya kamu, bisa punya suami dokter."
"Bagi tips dong, gimana caranya bisa menggaet cowok tampan dan tajir."
Dan … berbagai kalimat lainnya mereka lontarkan. Andai saja mereka tahu, jika pernikahan ini terjadi karena lamaran dadakan. Kata Ayah, almarhum temannya yang tak lain papanya Mas Aksa, menginginkan anaknya menikahiku.
Entahlah. Aku sendiri bingung dengan semua yang terjadi. Bagiku, jodoh itu unik. Padahal, banyak yang datang melamarku, tapi aku selalu menolak dengan alasan belum siap. Usiaku saat ini baru menginjak 23 tahun.
Namun, saat Ayah bilang bahwa Aksa adalah lelaki baik akhlak dan agama. Selain itu, dia juga tampan dan mapan. Paket komplit. Lalu, apa lagi yang membuatku ragu?
Awalnya, sedikit ragu. Masa iya, ada lelaki sesempurna itu? Namun, saat melihat wajah Mas Aksa … aku seperti dibius hingga tak sadar langsung menerima.
Kalau teringat saat Mas Aksa datang untuk pertama kali, rasanya malu sendiri. Aku yang waktu itu disuruh Ibu membawakan nampan berisi empat gelas teh hangat, langsung gemetar ketika berhadapan dan tanpa sengaja bertemu tatap dengan kedua netra hitam pekat milik Mas Aksa.
"Bagaimana, Nay?" Ayah bertanya setelah aku ikut duduk bersama mereka.
"Terserah Ayah," jawabku pelan sekali dan hampir tak terdengar. Ingin rasanya kulirik reaksi Mas Aksa, tapi sama sekali tidak berani mengangkat wajah.
Sepertinya Ayah adalah satu-satunya lelaki yang peka terhadap sifat dan kemauan anaknya. Karena tanpa bertanya lebih, Ayah menjawab, "Lamaran diterima."
Aku memejamkan mata dan mengulum bibir. Duh, rasanya seluruh tubuh jadi gemetaran begini, ya? Jantung seperti mau lompat dari tempat.
"Dek Inaya, mau mahar apa?" Akhirnya, kudengar juga suara Mas Aksa.
Aku sedikit mendongak. Menatapnya sekilas. Tersenyum tipis dan menjawab, "Semampunya Mas Aksa saja."
"Alhamdulillah."
Maka, saat itu juga, langsung ditentukan tanggal pernikahan. Di sini, yang paling berwenang menentukan adalah Mbah Kakung. Usianya sudah menginjak 75 tahun, tapi daya ingat juga kepintarannya tidak diragukan.
Seperti halnya keturunan Jawa, kami masih memakai perhitungan primbon. Dan tanggal yang bagus menurut Mbah Kakung adalah sekitar delapan bulan lagi.
Tanpa kuduga, Mas Aksa memaksa untuk diajukan saja pernikahannya. Tidak perlu menggunakan perhitungan primbon Jawa. Karena menurutnya, semua tanggal adalah baik. Dan yang paling baik adalah mempercepat pernikahan agar tidak ada godaan.
"Terserah! Kalau kalian memaksa menikah secepatnya, ya lakukan saja. Tapi, rumah tangga kalian nanti akan menerima badai besar. Bisa jadi, berujung perpisahan."
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel