Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 13 Februari 2021

Malam Yang Tertunda #2

Cerita Bersambung
(side-a)

Hari pertama setelah acara pernikahan.
Rumah masih sangat ramai, banyak saudara atau kerabat jauh yang menginap, rencana sih sore nanti baru akan pulang. Banyak tetangga sebelah datang membantu membereskan rumah yang masih berantakan.

Keluarga dan saudara Mas Aksa, sudah pulang setelah makan siang. Tinggal Mas Aksa yang masih di sini, entah sampai kapan. Sekarang, dia duduk di teras depan bersama Ayah dan para tamu yang masih banyak berdatangan. Mbah Kakung, justru setelah acara selesai, langsung pulang. Sepertinya masih sedikit kecewa dengan pernikahanku.

Aku sendiri, sibuk membereskan kamar. Membuka satu persatu kado yang bertumpukan. Rasanya, menyenangkan sekali. Sangat jarang aku menerima hadiah atau kado. Bahkan, saat ulang tahun pun hampir tidak pernah mendapatkan.

Ya, karena aku hanyalah gadis desa biasa. Ayah dan Ibu hanya seorang petani. Rumah pun sangat sederhana. Aku sendiri, hanya bekerja di minimarket dekat pasar. Dan, rasanya masih sulit dipercaya kalau ternyata jodohku adalah lelaki kaya dari kota.

Dari awal, aku tidak terlalu suka dengan anak orang kaya. Bukan karena tidak percaya diri bersanding dengan mereka, tapi lebih karena takut jika dibedakan oleh keluarga atau saudaranya.
Karena pada kenyataannya, perbedaan kasta selalu menjadi salah satu permasalahan dalam rumah tangga.
Semoga saja kali ini berbeda. Toh, Ayah sudah sangat mengenal almarhum papanya Mas Aksa. Mama dan keluarga Mas Aksa juga sangat baik, sama sekali tidak risih memasuki rumah ini. Aku rasa, mereka adalah orang-orang yang luar biasa.

Mataku membelalak ketika membuka kado dari sahabatku. Lingerie merah terang, kulebarkan di hadapan. Sungguh di luar dugaan, kalau sahabat yang selalu menasihati tentang kebaikan, memberikan kado pakaian menerawang.
"Cantik."
Aku terlonjak kaget dan reflek menyembunyikan lingerie di balik kado lainnya.
"Mas Aksa! Kok gak ketuk pintu dulu?" sungutku, meski tampak sekali wajahku berubah gugup. Aih, bagaimana tidak malu, saat ketahuan sedang melihat lingerie?
Mas Aksa terkekeh sambil menutup pintu. "Maaf. Kebiasaan di rumah. Jadi, mengira kamar sendiri."
Aku menunduk saat Mas Aksa berjalan mendekat. Duh, ngomong apa enaknya, ya? Jadi bingung begini.
"Aku kira kamu tidur."

Ah, akhirnya Mas Aksa memulai pembicaraan lagi. Aku mendongak, dan Mas Aksa berjongkok di dekatku. Tangannya melihat-lihat bungkusan kado.
"Nggak, Mas. Penasaran sama semua isi kado ini. Mas Aksa sendiri, mau ngapain?" Aku menggigit bibir, urung melanjutkan ucapan. Pantaskah bertanya, mau apa dia masuk ke kamar? Toh, kamar ini, sekarang miliknya juga.
"Tamunya sudah pada pulang. Ayah juga menyuruhku istirahat di kamar."

Aku hanya mengangguk-angguk. Tidak tahu harus berkata apa. Hanya bisa merasakan debaran yang semakin kencang saja. Mencium aroma parfum di tubuh Mas Aksa saja sudah membuat dadaku berdebar.

Aku … sama sekali belum pernah pacaran. Ah, itu bukan karena aku sangat paham agama. Bukan. Aku hanya gadis biasa yang sedang mencoba memperbaiki diri. Keimananku pun hanya seujung kuku. Sangat tak seberapa.
Aku hanya ingin menjaga kehormatanku sebagai seorang wanita. Agar semua bisa kupersembahkan untuk pertama kalinya pada lelaki yang memang seharusnya mendapatkannya. Lelaki yang telah berani mengucap ijab qobul di hadapan orangtua dan berjanji pada Alloh untuk bertanggung jawab atas diriku.
"Aku ngantuk banget, Dek. Aku tidur dulu, ya?" Mas Aksa tersenyum simpul. Berdiri dan melangkah setelah sebelumnya menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku.
Aku mematung seketika. Hanya ditepuk-tepuk sekilas saja, rasanya seperti … kesetrum.

Ini juga yang menjadi alasanku, untuk tidak memberikan ruang lebih pada lelaki sebelumnya. Agar semua terasa berbeda. Bukankah lebih indah rasanya pacaran setelah menikah? Dan hari-hari pertama, dilalui dengan dada yang terus berdebar seperti masa-masa pendekatan.

Tapi … hei! Kemarin, Mas Aksa belum menyentuh ubun-ubunku dan berdoa untukku. Doa suami untuk istri setelah akad nikah. Apa Mas Aksa lupa? Atau tidak hafal bacaannya? Tapi, mana mungkin? Ah, mungkin saja Mas Aksa masih sama malunya sepertiku. Apa tadi saat menepuk pelan kepalaku, di dalam hatinya mengucapkan doa? Entahlah.

Kapan-kapan aku bisa tanyakan setelah rasa nyaman itu ada di antara kami berdua.
***

Malam ini, Ayah dan Ibu pergi menghadiri acara entah apa di desa sebelah. Sedangkan kedua adik perempuanku yang masih duduk di bangku SMA dan SMP, sudah berada di kamar sejak sore. Saat ditanya kenapa tidak makan, mereka kompak menjawab sudah kenyang. Ah, sepertinya mereka sengaja ingin memberi ruang untukku berduaan dengan Mas Aksa.

Menyebalkan! Memangnya mudah, harus adaptasi dalam waktu sehari? Bagiku, Mas Aksa masihlah orang asing yang tiba-tiba mempunyai hak lebih atas diriku.
Di ruang makan yang seadanya, aku dan Mas Aksa duduk berdua. Menikmati hidangan makanan yang dimasak sore tadi bersama Ibu. Rasanya masih belum siap jika harus memberikan hasil masakanku sepenuhnya. Takut jika keasinan, kemanisan, hambar, atau malah gosong.

Selama makan, hanya suara sendok yang beradu dengan piring. Selebihnya, hening. Aku dan Mas Aksa sama-sama diam. Menikmati debar-debar di dada yang semakin mengencang. Eh!
"Aku bantu, Dek." Mas Aksa berdiri membantu membawakan piring bekas makanan ke dapur.
"Gak usah, Mas. Biar aku saja." Aku mengambil alih piring di tangannya. Saat tanpa sengaja tangan kami bersentuhan, aku segera menjauhkan. Rasanya masih sama. Seperti kesetrum.
"Ayah sama Ibu pulang jam berapa?" Mas Aksa bertanya, dan mengikuti dari belakang.
"Gak tau, Mas. Biasanya kalau sudah kumpul-kumpul begitu, suka lupa waktu."
"Hm."

Hening kembali menyelimuti. Hanya suara keran yang mengeluarkan air saat aku mencuci piring. Ketika aku sedikit menoleh, ternyata Mas Aksa sedang memerhatikanku.
Aku segera memalingkan wajah. Malu sekali rasanya diperhatikan sedemikian. "Mas Aksa ngapain di sini?" tanyaku kemudian.
"Nungguin kamu," jawabnya santai sekali.
"Mas Aksa masuk aja dulu di kamar. Eh, atau mau nonton TV?"
"Gak enak kalau sendirian."

Aku menelan ludah susah payah. Duh, kenapa susah sekali menghilangkan debar-debar di dada. Kalau seperti ini terus, bisa-bisa meledak nantinya.
"Mas Aksa gak mandi?" tanyaku kemudian setelah selesai mencuci piring.
"Ah iya. Udah jam delapan, ya? Aku mandi dulu kalau gitu."

Mas Aksa melempar senyuman saat aku menatapnya sekilas. Sebelum kemudian berlalu menuju kamar. Kebiasaan aneh. Mas Aksa lebih suka mandi jika sudah tidak lagi melakukan aktivitas. Katanya, biar tidurnya nyenyak kalau badan dalam keadaan segar.
***

Di dalam kamar, aku bingung sendiri harus melakukan apa. Mas Aksa masih mandi dan sebentar lagi pasti masuk kamar. Pikiranku sudah tidak keruan. Membaca buku sama sekali tidak masuk dalam pikiran. Hanya duduk bersandar kepala ranjang sambil membolak-balikkan buku novel.

Jantung bagai lompat diiringi suara derit pintu yang terbuka. Mas Aksa tersenyum sambil menggosok rambutnya yang basah dengan handuk. Kaus merah ditambah celana pendek selutut, penampilan sederhana, tapi mengapa jadi sempurna saat semua pakaian itu menempel di tubuh Mas Aksa?
"Belum tidur, Dek?" tanyanya sambil menggantung handuk di dinding. Mengibaskan rambut yang masih setengah basah dengan tangan. Dan mataku, tak bisa berhenti menatap gerakannya.

Aku segera memalingkan wajah pada buku saat ketahuan sedang memerhatikannya. Sepertinya, Mas Aksa tertawa kecil. Kini, malah kudengar suara langkah kakinya mulai mendekat disertai aroma sabun dan sampo yang menyegarkan.
Deg.
Lagi-lagi, aku tak bisa menahan degup jantungku yang mengencang. Sepertinya, aku harus segera periksa ke dokter kalau tidak mau mati karena serangan jantung dadakan.
"Baca apa, sih?" Mas Aksa bertanya setelah duduk di pinggir ranjang. Di depanku.
"Novel," jawabku singkat.
"Suka baca novel ternyata."
Aku sedikit tersenyum dan mengangguk.
"Nanti kalau di Jakarta, kamu bisa puas ke toko buku. Rumahku dekat dengan mall soalnya."
Aku langsung menatapnya. Tinggal di kota? Di rumahnya? Tinggal bersama orang-orang asing? Apa aku siap?

Seperti melihat keraguan di wajahku, Mas Aksa tersenyum. Dan hal yang tak terduga selanjutnya adalah saat dia menyentuh tanganku.
Jangan tanya bagaimana rasanya. Sekarang, aku bagai kesetrum dengan tegangan super tinggi. Sekujur tubuh kaku seketika. Aku hanya bisa menunduk, menatap tangannya yang semakin erat menggenggam jemariku.
"Lusa, kita pulang ke Jakarta, ya?"
Aku kembali mendongak.
"Soalnya, aku cuti cuma lima hari."
Aku hanya mengangguk ragu.
"Jangan takut."
Aku mulai tersenyum perlahan. Sedikit lebih tenang, meski tidak bisa melawan debar-debar akibat pegangan tangan yang tak kunjung dilepaskan.
"Hm … aku jadi bingung mau tidur di mana?" Kulihat Mas Aksa mengulum senyum, membuatku malu seketika karena teringat ceritanya pagi tadi.
"Hm, maaf, Mas. Aku usahain, malam ini gak gerak sama sekali." Aku menunduk malu.

Mas Aksa justru tertawa. Pegangan tangannya dilepas. Kok aku jadi tidak rela. Mas Aksa merangkak naik ke ranjang. Duduk bersandar di sebelahku.
"Kamu lucu ternyata," ucapnya dengan senyuman yang masih menghiasi bibir tipisnya.
Sebuah senyum yang entah mengapa menjadi … candu. Manis sekali.
"Mas Aksa … tidur di sini, kan?" Aku bertanya pelan setelah tersenyum malu.
"Hm?" Dia menaikkan satu alisnya. Bertanya.
"Jangan tidur di bawah lagi." Kali ini, justru suaraku hampir tak terdengar.
Mas Aksa terkekeh pelan. Dan kemudian, kami tenggelam dalam obrolan yang sedikit mencairkan ketegangan. Tapi kok Mas Aksa tidak mau pegang-pegang lagi? Eh!

Definisi jatuh cinta itu apa? Aku sungguh tidak tahu. Apa kalau orang itu berdebar berada di dekatnya? Atau, merasa nyaman terus berada di sampingnya? Atau apa?
Soal kenyamanan, aku belum sepenuhnya merasakan. Hanya saja, aku tak bisa menahan getaran di dada yang debarnya semakin nyata saja setiap detiknya.

"Sudah jam sebelas. Tidur gih. Gak baik begadang."
Ah, iya. Tanpa terasa waktu begitu cepat berlalu saat aku baru saja merasakan sedikit kenyamanan.

Aku mengangguk. Menaruh novel yang sudah tak berbentuk karena sedari tadi kuremas tanpa sadar. Menata bantal dan menarik selimut setelah membaginya dengan Mas Aksa.
"Dek …."
Aku menatapnya saat baru saja ingin merebahkan tubuh.
"Ya, Mas?"
Mas Aksa malah menggeser duduknya. Rapat sekali tanpa jarak. Duh. Mau apa? Jangan bikin aku jantungan malam ini.
"Kalau udah siap, bilang, ya." Mas Aksa berbisik tepat di telingaku. Membuatku terpaku. Merinding seluruh tubuh.
Aku memberanikan diri menatapnya dalam jarak dekat. Kedua alisku bertautan. Bertanya tanpa kata.
"Aku gak akan maksa kok." Mas Aksa tersenyum. Menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku.
Lho? Ini bagaimana ceritanya, sih?

*****
(side-b)

Pagi ini, aku tengah bersiap-siap membereskan pakaian dan barang yang sekiranya diperlukan. Nanti sore, aku sudah akan dibawa Mas Aksa ke Jakarta.

Rasanya, masih belum percaya. Bahwa aku sudah menyandang status sebagai seorang istri. Kemudian pergi meninggalkan rumah ini. Rumah yang selama 23 tahun, menjadi tempat ternyaman. Sekarang, aku harus rela pergi demi mengikuti suami.

Mungkin, seperti inilah yang dinamakan fase kehidupan. Mulai dari kita dilahirkan, bayi, balita, anak kecil, remaja, lalu dewasa dan akhirnya menjemput kehidupan baru. Bersama orang baru. Lalu melahirkan generasi baru. Seterusnya begitu.

Masalahnya, ada yang memang sudah siap, tapi ada juga yang dipaksa siap. Kalau aku, alhamdulillah pilihan tetap orangtua serahkan sepenuhnya padaku. Tidak ada perjodohan apalagi paksaan. Orangtua hanya memberi nasihat. Melihat lelaki baik atau tidaknya yang datang melamar dan meminta anak gadisnya.

Namun, ada juga orangtua yang memaksakan kehendak. Sama sekali tidak melihat bagaimana perasaan sang anak. Baginya jika lelaki itu cocok dan baik, maka mau tidak mau si anak harus menerima. Tanpa sadar, sebuah beban telah mereka tumpahkan. Hingga tak sedikit pula yang akhirnya rumah tangga hancur berantakan.

Sejak awal, saat aku menerima lamaran Mas Aksa, Ayah dan Ibu tiada hentinya memberi wejangan. Tentang rumah tangga, pernikahan, dan bagaimana menyikapi masalah yang benar.

"Ingat, Nay. Selalu utamakan suami daripada diri sendiri. Layani dia sepenuh hati. Siapkan apa pun yang dia butuhkan. Pelan-pelan belajar dan pahami bagaimana sifat dan karakternya. Jangan pernah sekali pun membantah atau bahkan menyela saat suami berkata. Jika dia marah, diamlah. Nanti saat keadaan sudah sedikit tenang, pelan-pelan dekati. Insya Alloh, masalah tidak akan berlarut jika salah satunya mau mengalah."

Begitulah Ibu menasihati. Aku hanya diam mendengarkan semua perkataannya. Ya, Ibu adalah sosok sempurna sebagai seorang istri. Panutan utama bagiku untuk menjadi istri yang baik nanti. Darinya, aku belajar banyak hal tentang bagaimana melayani suami dengan baik tanpa rasa pamrih.

"Lelaki itu memang kuat fisik dibanding perempuan. Tapi masalah hati dan ketegaran, perempuanlah yang jauh lebih kuat. Lelaki juga jarang berbicara banyak hal, tapi yakinlah jika di hatinya punya banyak cinta."

Aku tersenyum. Benarkah? Tapi, apa mungkin Mas Aksa mencintaiku? Ah, rasanya belum. Mana bisa secepat itu jatuh cinta pada wanita yang baru dikenalnya. Meskipun aku sudah sah menjadi istrinya.
Mas Aksa sendiri, sejak kemarin selalu diberi wejangan oleh Ayah. Duduk berdua di teras depan, entah membicarakan apa saja. Namun, melihat bagaimana akrabnya Ayah dengan Mas Aksa, rasanya damai sekali. Rasa syukur tiada henti, karena sekarang aku memiliki dua lelaki yang paling aku muliakan di dunia ini.

Saat memasak bersama pun, Ibu tiada henti memberiku nasihat tentang bagaimana seharusnya seorang istri memasak untuk suami. Kalau ini, aku malu sendiri. Apalagi ketika kedua adikku meledek dengan berbagai godaan.

"Inget, Mbak. Mas Aksa jangan dikasih masakan gosong. Kasihan kulitnya yang putih." Nirma, adikku yang berusia 17 tahun, terkekeh.
Aku melotot tak terima.
"Iya. Apalagi kalau keasinan. Nanti disangka Mbak Nay mau nikah lagi." Aini, adikku yang berusia 13 tahun menyahut dengan tawa menggelegar.

Aku menimpuknya dengan bawang merah. Dan mereka masih saja tiada henti menggodaku. Sampai Ibu kembali berkata dengan nada serius, dan kami semua terdiam mendengarkan.

"Satu hal lagi, Nay. Kalau nanti kamu merasa pusing atau mual, jangan buru-buru minum obat sembarangan. Ingat, kamu bukan lagi gadis. Jadi, harus hati-hati."

Kata-kata Ibu kali ini, sukses membuatku tersipu malu. Ah, lagian sampai saat ini, Inaya masih gadis kok, Buk. Belum diapa-apain. Cuma dipegang tangannya doang. Oops!
"Kalau sakit, kan ada Mas Aksa. Dia kan dokter. Jadi, gak perlu minum obat. Minta saja, Mas Aksa yang memeriksa," sahut Aini santai.
"Ya beda. Mas Aksa kan dokter umum. Bukan dokter kandungan."

Aku kembali tersipu mendengar ucapan Ibu. Kandungan? Maksudnya hamil? Ah, membayangkan itu … rasanya deg-degan. Perutku akan membesar, dan nanti akan melahirkan. Wah, sepertinya seru. Apalagi kalau membayangkan Mas Aksa mengelus perut buncitku lalu menciumnya. Aih terasa terbang melayang.

"Semoga saja, nanti anaknya Mbak Nay mirip Ayahnya. Kasihan kalau mirip Mbak Nay."
Lamunanku buyar mendengar celetukan Aini.
Nurma tertawa dan menyahut, "Iya benar. Semoga mirip Mas Aksa saja. Kulitnya putih, hidungnya mancung, bibirnya tipis. Duh pasti ganteng dan cantik sekali nanti dedeknya."

Aku melotot dan melempar batang kangkung pada kedua adikku yang terbahak. Menyebalkan sekali mereka ini. Ah, tapi … sebentar lagi aku pasti akan merindukan kejahilan mereka. Merindukan suasana bertengkar dan saling rebutan barang. Hal sederhana yang mungkin tidak akan pernah aku rasakan lagi setelah ini.

Inilah fase kehidupan. Di mana kita harus merelakan kenyamanan demi menyambut masa depan. Lalu menciptakan kenyamanan baru.
***

Oh, Ibu. Kini gadis kecilmu yang dulu suka merengek minta ini itu, selalu minta didongengkan sebelum tidur, selalu minta ditemani saat demam, kini sudah dewasa. Bahkan, sudah menyandang status istri dari seorang lelaki. Doakan, semoga aku bisa menjadi sosok wanita sepertimu. Selalu kuat menghadapi cobaan. Bagai karang di tengah lautan yang tak sedikit pun goyah diterpa ombak besar.

Ayah … ah, gadis kecilmu yang dulu selalu naik di pundak kokohmu, selalu merajuk saat tak dituruti keingannya, selalu manja meski tetap takut saat Ayah mulai bicara dengan nada tegas, kini sudah dewasa. Usai sudah tanggung jawabmu padaku. Saat kau telah mempercayakan seorang lelaki mengambil alih tugasmu. Menjaga dan bertanggung jawab sepenuhnya atas diriku.

Ah, rasanya baru saja kemarin sore kita lalui semua bersama dalam kesederhanaan. Semua telah berubah, ketika aku harus pergi meninggalkan rumah. Tempat pertama yang mengajarkanku banyak hal sampai pada titik saat ini.
Air mata tak dapat kutahan, saat Ibu merangkulku begitu erat. Masih dengan kata-kata nasihatnya. Tatapan mata tuanya, seolah belum rela melepas anak perempuannya.

"Tolong titip Inaya." Ah, mengapa ucapan yang keluar dari bibir Ayah untuk Mas Aksa, terasa begitu menggetarkan jiwa. Di sini, aku melihat seorang Ayah yang dengan berat hati melepaskan anak gadisnya dibawa pergi.

Mas Aksa menggenggam jemariku. Lembut. Seolah berkata dalam diamnya, bahwa semua akan baik-baik saja. Tentu saja. Aku pergi untuk menjemput kehidupan baru. Kehidupan yang aku sendiri belum tahu bagaimana kedepannya.
***

Butuh waktu sekitar 2-3 jam untuk sampai ke bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Kemudian, ada Mama dan Raka, adik Mas Aksa yang masih kuliah semester tiga, datang menjemput.
Mama memelukku erat, layaknya anaknya sendiri. Kemudian menggandeng tanganku sambil bertanya ini itu. Mas Aksa dan Raka, berjalan di belakang membawa koper dan barang bawaan.

Jakarta, aku masih ingat saat pertama kali menapakan kaki di sini. Dulu sekali waktu kelas dua SMP acara study tour. Keliling monas, kota tua, bundaran HI, dufan, lalu menginap di hotel sederhana. Rasanya menyenangkan jalan-jalan bersama banyak teman.

Aku juga masih ingat, saat pertama kali bertemu dengan almarhum papanya Mas Aksa waktu itu. Beliau menyempatkan diri menemuiku di monas. Memberiku uang untuk jajan, katanya. Lalu, menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku dan berkata, "Nanti kalau sudah besar, sama Mas Aksa, ya? Jadi anaknya Om."

Aku hanya mengangguk-angguk dan tersenyum waktu itu. Karena mengira, kalau beliau ingin mengangkatku menjadi anak dan menjadi saudaranya Mas Aksa. Sekarang, aku paham apa maksud dari ucapannya.

Sesampainya di rumah, Mama menyuruh Mas Aksa membawaku ke kamar, untuk mandi dan istirahat lebih dulu. Jangan tanya seperti apa rumah Mama. Kalau dibandingkan dengan rumah Ayah, mungkin hanya setengah dari halaman depan saja.
Di sini, terkadang aku merasa minder, tapi juga merasa beruntung. Bagaimana mungkin keluarga kaya seperti mereka mau bersanding dengan keluargaku yang di bawah rata-rata?

"Eh, Nay. Ini tas lo ketinggalan," panggil Raka saat aku mengikuti Mas Aksa menaiki tangga.
Langkahku terhenti. Menoleh dan melihat Mama yang mencubit lengan Raka.
"Yang sopan! Inaya itu kakak ipar kamu."
"Iya, Ma, iya. Maksudnya kan biar lebih akrab aja. Biar gak kaku." Raka mengelak. Melangkah menyerahkan tas ransel kecil yang tadi kuletakkan di sofa ruang tamu.
"Makasih." Aku tersenyum dan kembali melangkah menaiki tangga, mengikuti Mas Aksa.

Langkah kembali terhenti dan menoleh saat mendengar Raka berteriak, "Sebentar aja, Ma!"
"Udah biarin aja, Dek. Jangan kaget. Raka memang begitu orangnya."

Aku menatap Mas Aksa yang berdiri dua tangga di atasku. Tersenyum dan mengangguk. Ternyata, Mas Aksa dan Raka, karakternya berlawanan sekali. Kakaknya, jarang bicara, dan adiknya justru terlihat sangat ceria.

Mas Aksa membuka pintu lebar. Tersenyum mempersilakanku masuk. Langkahku ragu, karena untuk pertama kalinya memasuki kamar lelaki. Namun, mata langsung dikejutkan dengan pemandangan di hadapan. Kamar yang begitu tertata rapi. Sangat berbeda jauh dibanding kamarku yang selalu berantakan.
"Taruh aja kopernya di depan lemari. Nanti saja beresinnya. Sekarang, kalau mau mandi, itu kamar mandinya." Mas Aksa menunjuk sebuah lemari warna hitam.

Dahiku mengernyit tak paham. Mas Aksa tersenyum, melangkah menuju lemari hitam tersebut. Tanpa kuduga, ia menggeser lemari kayu itu dan langsung tampak kamar mandi dengan dinding putih bersih. Luar biasa sekali.

"Mandi dulu, gih. Nanti gantian aku."
"Hm, Mas Aksa dulu gak apa-apa. Aku belakangan saja."
"Kamu aja dulu. Kamu pasti capek."
"Gak juga. Mas Aksa duluan aja."
"Ya udah mandi bareng aja, gimana?"
"Hah?"

Bersambung #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER