Cerita Bersambung
(side a)
Hari pertama berada di rumah mertua. Rasanya, masih belum nyaman dan terbiasa. Walaupun Mama begitu baik dan Raka yang terlihat menyenangkan. Tetap saja, butuh waktu untuk bisa adaptasi dengan suasana baru.
Bangun tidur, bingung sendiri harus melakukan apa. Kata Mas Aksa, tak perlu melakukan apa-apa. Sudah ada asisten rumah yang mengerjakan segalanya. Kalau mau, bisa bantu Mama memasak. Tapi Mama memasak hanya sore hari. Pagi, sarapan roti selai atau roti basah dan susu cokelat. Siang, biasanya tidak ada yang di rumah.
Menyenangkan sekali, karena tidak perlu capek memasak, menyapu, mengepel, mencuci baju, dan pekerjaan rumah lainnya.
"Kamu mau mandi dulu atau nanti?" Mas Aksa bertanya. Ah, lagi-lagi perkara mandi. Tidak sadarkah dia bahwa semalam sudah membuatku gemetar hanya dengan ucapannya yang menawari mandi bersama?
Bagaimana bisa mandi bersama? Sedangkan tangan dipegang saja, sudah gemetaran. Kalau kalian bertanya siapa yang akhirnya mandi duluan? Jawabannya adalah aku. Ya, semalam aku langsung mengambil handuk dan buru-buru masuk kamar mandi meninggalkannya yang tertawa pelan. Memangnya ada yang lucu?
"Mas Aksa duluan saja gak apa-apa. Katanya pagi ini sudah kerja?"
"Tapi gak sepagi ini juga, Dek. Kalau kamu mau mandi duluan, mandi saja gak apa-apa."
Aku mengangguk dan segera mengambil handuk.
***
Menyenangkan sekali bisa duduk di ruang makan dengan meja persegi panjang dan kursi-kursi yang pastinya mahal. Bersama keluarga baru yang sama sekali tak pernah membedakan.
Mama yang lebih banyak mengajak bicara. Katanya, nanti akan diajak jalan-jalan ke butik miliknya. Kemudian belanja keperluan dan makan-makan di restoran.
"Sudah lama Mama ingin punya anak perempuan. Pasti menyenangkan bisa diajak ngobrol. Nggak seperti Aksa sama Raka. Mereka para lelaki mana mengerti tentang dunianya perempuan."
Aku tersenyum mendengar pengakuan Mama. Mas Aksa juga hanya tersenyum tipis. Raka yang justru nyeletuk tak terima. "Halah! Apa asyiknya dunia perempuan. Palingan juga ngegosip."
Aku tertawa saat Mama menjewer telinga Raka. Lucu sekali mereka. Seperti bukan anak dan Mama. Apalagi, wajah Mama yang masih terlihat muda dari usianya yang sudah menginjak 53 tahun. Bekas kecantikan waktu muda dulu masih tampak jelas, meski sedikit tertutup dengan guratan keriput.
Setelah sarapan, aku mengikuti Mas Aksa kembali masuk kamar. Melihatnya bersiap-siap untuk berangkat kerja. Hanya berdiri memperhatikan, karena tidak tahu apa yang harus dilakukan.
Mas Aksa masih berdiri di depan lemari. Sepertinya bingung harus mengenakan kemeja warna apa.
Aku memberanikan diri bertanya, "Ada yang bisa kubantu, Mas?"
Mas Aksa menoleh. Tersenyum. "Mau bantu apa? Memakaikan baju untukku?"
Aku menelan ludah susah payah. Memalingkan wajah. Tersenyum canggung. Dan bingung.
Kudengar Mas Aksa tertawa pelan, sebelum kemudian memanggil dan bertanya, "Kemeja ini cocok, nggak?"
Aku mendongak. Mengangguk biasa. Tersenyum masih dalam keadaan canggung. Ingin rasanya menjawab, apa pun yang Mas Aksa kenakan, sepertinya akan cocok dan pas.
***
Ternyata, Mama memiliki butik yang terletak di salah satu mall, Jakarta Selatan. Hampir seharian aku diajak keliling dan belanja banyak barang. Diperkenalkan dengan semua karyawan di butik. Sorenya, sebelum pulang, Mama mengajak makan di restoran milik temannya.
Aku selalu tersipu malu saat Mama dengan bangga memperkenalkan aku sebagai menantu. Apalagi ketika mereka memujiku. "Manis," katanya.
Seperti inikah kehidupan orang kaya? Enak sekali mereka. Jalan-jalan, makan-makan, belanja, dan mengobrol dengan banyak teman. Tidak seperti kehidupan di desa. Harus bekerja keras jika masih ingin hidup esok harinya.
Namun, semua pemikiranku itu seperti ditebas oleh cerita Mama, saat perjalanan pulang. Bahwa semua yang saat ini ia nikmati, bukan didapatkan dengan cara instan.
Ternyata, dulu Mama berjuang mati-matian bersama almarhum Papa. Tinggal di kontrakan dan berdagang pakaian di pasar. Bahkan, Mas Aksa dulunya juga sempat akan putus sekolah karena tidak ada biaya.
Siapa sangka, kerja keras dan ketekunanlah yang bisa membuat mereka sampai pada titik kesuksesan. Mas Aksa yang saat ini berusia 28 tahun, telah menjadi dokter umum di salah satu rumah sakit cukup besar di Jakarta. Raka, juga demikian.
Hebat!
Orangtua sukses, adalah mereka yang mampu membawa anak-anaknya menuju gerbang kesuksesan.
Pantas saja, mereka tak pernah membedakan. Karena tahu dan pernah berada di posisi terendah. Di sini, aku merasa sangat bangga karena telah dipertemukan dan bahkan menjadi bagian dari keluarga hebat seperti mereka.
***
Sekitar jam lima sore, aku membantu Mama memasak. Sepanjang memasak, Mama juga banyak bicara. Bercerita banyak hal. Apa saja bisa jadi bahan pembicaraan. Menyenangkan sekali, karena tak perlu waktu lama untukku merasa nyaman.
"Mas Aksa itu, suka sekali dengan nasi goreng cumi-cumi. Suka juga sama ikan gurame asam manis. Nanti Mama kasih tau resep spesialnya. Supaya nanti setelah tinggal di rumah sendiri, kamu bisa memasak untuknya."
Aku mengangguk, tersipu. Membayangkan sehari-hari menjadi ibu rumah tangga. Tinggal berdua dengan Mas Aksa. Semalam, Mas Aksa cerita, katanya sudah punya rumah minimalis di perumahan daerah yang dekat dengan rumah sakit. Masih mencicil dan bulan depan sudah bisa ditempati.
"Mas Aksa itu mirip sekali sama Papa. Sama-sama irit omong. Tapi, Mas Aksa yang lebih sering menemani Mama makan malam. Kalau Raka, anaknya suka keluyuran. Mama sih maklum, anak muda yang punya pacar."
Pacar? Aku menggigit bibir. Ingin sekali bertanya, apakah Mas Aksa pernah punya pacar sebelumnya? Namun, Mama seperti paham apa yang aku pikirkan. Tanpa bertanya, beliau melanjutkan cerita sambil meracik bumbu untuk ayam rica-rica.
"Kalau Mas Aksa, orangnya lebih tertutup. Jarang bicara perihal wanita. Bahkan, Mama sempat mengira kalau dia sama sekali tidak punya teman wanita yang spesial."
Mama tertawa. Aku mengulum senyum. Dalam hati sangat bersyukur. Jadi, wajar saja kalau sudah sah begini, masih malu-malu.
"Nah, itu suara mobilnya Mas Aksa. Sana bukain pintu." Mama tersenyum. Memberi isyarat dengan mata.
Aku mengangguk dan segera berjalan menuju pintu depan. Seiring langkah, dadaku berdebar. Menggigit bibir agar tidak tersenyum berlebihan, menyambut Mas Aksa pulang.
Pintu kubuka, keluar menyambut Mas Aksa yang baru saja turun dari mobil. Tersenyum saat melihatku. Itu cukup membuatku tersipu.
Mas Aksa mengucap salam saat jarak sudah dekat. Aku menjawab salam, lalu meraih tangannya untuk kucium. Rasanya, masih seperti pagi tadi. Panas dingin tak keruan. Apalagi ketika tangan kiri Mas Aksa menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku.
Sebuah kebiasaan yang menjadi candu untukku. Rasanya, dada ini berdebar-debar terus. Dan aku … mulai menyukai perasaan itu.
***
Makan malam, hanya ada kami bertiga. Aku, Mas Aksa, dan Mama. Raka, entah pergi ke mana. Mama bilang, sudah biasa. Pasti keluar sama pacarnya.
Selama makan, tidak ada obrolan yang terlalu serius. Hanya Mama yang menceritakan kegiatannya seharian ini bersamaku. Mukaku tersipu, saat Mama memberi tahu Mas Aksa bahwa semua teman-temannya memujiku. "Manis," katanya.
Setelah makan hampir selesai, Mama baru bertanya pada Mas Aksa yang membuatku sedikit tercengang, takut, dan perasaan entah lainnya.
"Bagaimana tentang beasiswa S2 kamu ke Belanda? Sudah kamu setujui?"
Mas Aksa menggeleng pelan. Masih melanjutkan makan. Kemudian tatapan Mama tertuju padaku.
"Inaya belum tahu, ya, kalau Mas Aksa itu mendapat tawaran kuliah S2 di Belanda?"
Aku menelan ludah susah payah. Hanya diam dan tidak tahu harus menjawab apa. Pikiran tiba-tiba ke mana-mana. Perasaan rasanya tidak tenang.
"Aku gak akan ambil, Ma. Jadi dokter umum saja sudah cukup."
Aku menoleh, menatap Mas Aksa yang sedang meneguk air putih di gelas.
"Lho, kenapa? Sayang sekali, Nak. Kalau masalah Inaya, pasti setuju kan, ya?"
Aku kembali menatap Mama. Diam. Tapi dalam hati tidak terima. Bagaimana mungkin baru menikah sudah ingin ditinggal beda negara.
"Inaya nanti bisa tinggal di sini sama Mama. Nanti beberapa bulan sekali, bisa terbang ke Belanda menjengukmu."
"Nggak, Ma. Aksa di sini saja, jadi dokter umum. Biar Raka saja nanti yang ambil S2 di luar negeri. Dia kan belum menikah."
Mama mendesah kecewa. Aku menatap Mas Aksa. Tersenyum. Mas Aksa pun membalas tersenyum, walau aku menangkap ada gurat kesedihan di wajahnya.
Apa Mas Aksa sebenarnya ingin sekali mengambil kesempatan ini, tapi kasihan denganku dan tidak rela meninggalkanku?
***
Malam kembali menjelang. Lagi-lagi, di dalam kamar berdua dengan Mas Aksa membuat dadaku berdebar kencang. Jam sembilan malam, Mas Aksa baru keluar dari kamar mandi. Rambutnya basah dikibas-kibaskan begitu saja. Membuatku menelan ludah. Kemudian memalingkan wajah saat ketahuan sedang menatapnya.
Malam ini, sambil duduk berdua bersandar kepala ranjang, Mas Aksa memangku laptop, memperlihatkan foto-foto kecilnya hingga dewasa. Ternyata, sejak kecil saat difoto pun, ekspresi Mas Aksa biasa saja bahkan datar. Beda jauh dengan Raka yang tersenyum lebar. Sungguh kepribadian yang berlawanan.
Sampai tiba foto masa SMA. Wajahnya masih terlihat polos sekali dengan model rambut berponi. Pasti menjadi idola di sekolahnya waktu itu. Ingin bertanya tentang pacar, rasanya malu dan sungkan. Tapi, mana mungkin Mas Aksa sama sekali tidak pernah pacaran.
Foto yang paling aku suka, saat Mas Aksa mengenakan jas putih di rumah sakit. Di foto itu, Mas Aksa terlihat sangat berkharisma dengan kacamata. Sampai sekarang, aku belum pernah melihatnya memakai kacamata. Apa mungkin hanya dipakai saat kerja saja?
Malam semakin larut, dan aku benar-benar sudah mengantuk. Seharian bepergian membuatku kelelahan.
"Ngantuk, ya? Tidur, gih." Mas Aksa menutup laptopnya. Meletakkan di meja samping lemari. Meja yang di atasnya berjejer banyak buku-buku tebal. Entah buku apa saja.
Aku menguap. Menggaruk tengkuk dan mulai merebahkan tubuh. Mas Aksa berjalan mendekat dan naik ke ranjang. Lagi-lagi tersenyum sambil menepuk-nepuk puncak kepalaku. Hatiku berdesir. Nyaman sekali. Merasa dilindungi.
"Gak pengen apa-apa, kan?"
Aku menaikkan satu alis. Bertanya.
Mas Aksa menyeringai tipis. "Gak minta sesuatu dulu sebelum tidur?"
Aku menelan ludah. Mengerti ke arah mana pembicaraan. Sayangnya, reflek gerak tubuhku memberi jawaban dengan menggelengkan kepala. Ragu-ragu sebenarnya.
Mas Aksa tersenyum. Kembali menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku. "Ya sudah. Tidur. Good night." Lalu merebahkan tubuh dan menarik selimut.
Aku menggigit bibir. Menarik selimut menutupi sebagian wajahku. Mengerjap pelan. Bingung.
Mas Aksa kok nggak mau memaksa, ya?
*****
(side b)
Hari demi hari, kulalui seperti pada awalnya. Mas Aksa yang sibuk bekerja. Raka sibuk kuliah dan keluyuran. Hm, mungkin lebih tepatnya pacaran. Aku yang selalu diajak Mama mendatangi butik. Bukan butik di mall, Jakarta Selatan seperti pertama waktu itu, tapi cabang-cabang butik lainnya.
"Kamu harus belajar mengelola butik ini, Inaya. Siapa lagi yang akan meneruskan jika bukan istri anak Mama. Sedangkan anak-anak Mama sudah sibuk dengan pekerjaannya sebagai dokter."
Aku tersenyum saat Mama mengatakan itu. Bukankah sangat menyenangkan, memiliki mertua yang sangat sayang. Jarang-jarang, bukan?
Setiap sore, Mama selalu mengajakku memasak untuk makan malam. Memberikan resep-resep masakan kesukaan Mas Aksa. Membuat kue, makanan ringan, atau masakan khas dari desa.
Perlahan, aku mulai merasa nyaman dengan Mama juga rumah ini. Sayang, tidak lama lagi, Mas Aksa akan membawaku pindah ke rumah baru. Mencoba mengarungi rumah tangga berdua.
Aku pun mulai terbiasa mencium tangan Mas Aksa saat berangkat dan pulang kerja. Terbiasa dengan debar-debar di dada saat Mas Aksa menepuk pelan puncak kepala. Terbiasa duduk berdua di ranjang dan mendengarkan ceritanya.
Bukankah itu definisi dari kata cinta?
Ternyata mudah sekali membuat wanita jatuh cinta. Berikan saja dia ketulusan dan kenyamanan, maka cinta pun akan muncul dengan sendirinya.
Apa itu artinya ... aku sudah siap untuk memulai malam-malam yang sempat tertunda? Entah. Tapi bagaimana cara memulainya. Sedangkan Mas Aka, justru menungguku mengatakan lebih dulu. Apa lelaki yang baru menikah semuanya begitu?
***
Seperti biasa, malam ini saat duduk berdua bersandar kepala ranjang, Mas Aksa akan bercerita. Kali ini, ia memperlihatkan foto almarhum Papa saat menggendongnya yang masih berusia sembilan tahun. Lalu, ada juga yang foto saat kelulusan SMA. Di situ, terlihat jelas bahagia pada raut wajah keduanya. Sama-sama tertawa lepas.
"Papa meninggal saat aku baru kuliah semester dua." Mas Aksa memulai cerita. "Papa meninggal karena penyakit maag kronis. Waktu itu, kami habis-habisan soal uang untuk membayar biaya rumah sakit. Bahkan aku sempat tidak ingin meneruskan kuliah, agar uang bisa dipakai untuk pengobatan Papa."
Mas Aksa menarik napas panjang. Aku diam mendengarkan.
"Tapi Papa menginginkan aku sukses dalam sekolah juga pekerjaan. Aku harus tetap kuliah sampai mendapat gelar sebagai dokter. Itu yang diinginkan Papa. Semenjak itu, aku bersumpah bahwa aku akan terus belajar dan belajar, agar bisa menjadi yang terbaik di universitas tersebut. Namun, sayang … Papa pergi sebelum aku sempat memperlihatkan nilai IPK-ku yang nyaris sempurna. Papa belum sempat melihatku mendapat gelar saat sarjana."
Mas Aksa memejamkan mata. Kembali menarik napas panjang. Aku bisa merasakan betapa sesaknya mengenang kesakitan. Ditinggalkan oleh orang tersayang.
"Satu lagi yang Papa inginkan sebelum kepergiannya. Papa meminta agar aku menikahi anak dari sahabatnya. Sahabat kecil di desanya."
"Aku?" sahutku. Mas Aksa mengangguk lemah. "Kenapa Mas Aksa mau? Padahal, Mas Aksa sama sekali belum pernah bertemu denganku. Sama sekali gak tahu bagaimana rupaku. Sama sekali gak tahu bagaimana baik dan buruknya aku."
Mas Aksa menyeringai tipis. "Bagiku, Papa adalah segalanya. Sosok lelaki yang luar biasa. Berjuang mati-matian menghidupi keluarganya. Rela bekerja seharian sampai larut malam agar anaknya bisa sekolah. Bagaimana mungkin aku tega menolak keinginan terakhirnya? Tak peduli jika anak sahabat Papa itu ternyata tidak cantik, gemuk, pendek, atau hitam dan dekil misal. Tak peduli jika ternyata dia akhlaknya begitu buruk. Aku sudah bersumpah akan menikahinya."
Aku terdiam.
Mas Aksa menatapku dan tersenyum. "Tapi aku yakin, Papa gak akan menyuruhku menikahi gadis sembarangan. Dulu, Papa begitu antusias bercerita saat menemuimu di monas. Katanya, kamu gadis kecil yang manis, juga mempunyai tatapan yang meneduhkan."
Aku tersipu. Teringat saat bertemu dengan Almarhum Papa saat itu. Bagaimana binar matanya memandang dan memujiku.
"Kamu tahu apa yang aku pikirkan waktu itu?" Mas Aksa bertanya.
"Apa?" Aku menatap tak sabar.
"Bagaimana mungkin aku menikahi gadis kecil? Masih SMP. Sedangkan waktu itu, aku sudah kuliah. Aku hanya merasa lucu mendengar keinginan Papa."
Aku mengulum senyum.
"Tapi ternyata, gadis kecil itu kini telah tumbuh menjadi gadis dewasa yang sangat cantik."
Aku memalingkan wajah. Tersipu malu. Tersenyum. Dada berdebar-debar kencang sekali. Oh, ini adalah kali pertama Mas Aksa memujiku. Rasanya jelas berbeda dibanding kebanyakan orang yang memuji.
Mas Aksa tertawa kecil sambil menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku. Sungguh, aku melayang terbang tinggi sekali malam ini.
***
Dua minggu lagi, aku dan Mas Aksa akan pindah. Saat makan malam ini, Mama mempertanyakan tentang resepsi yang akan digelar di Jakarta.
"Bagaimana tentang rencana resepsinya, Nak?" Mama bertanya pada Mas Aksa, di sela-sela makan.
"Nanti dulu, Ma. Belum ada waktu." Mas Aksa menjawab biasa.
"Gak ada waktu kok terus. Memangnya gak bisa mengambil cuti barang sehari saja?"
"Gak bisa, Ma. Nanti saja."
"Nanti nanti nanti. Keburu Inaya hamil nanti bagaimana?"
Aku hampir saja tersedak makanan. Hamil? Bagaimana bisa hamil, kalau sampai dua minggu pernikahan belum pernah melakukan apa-apa? Memangnya bisa hamil, hanya dengan pegangan tangan saja?
"Ya lakukan resepsi setelah lahiran. Atau gak usah saja," jawab Mas Aksa santai.
"Lho, ya gak bisa dong. Teman-teman Mama banyak yang tanya kapan resepsi. Apalagi kamu anak pertama."
"Ma … resepsi itu gak penting. Yang penting ijab qobul, sudah cukup. Mama bilang saja sama temen-temen Mama kalau Aksa sudah melakukan resepsi di desa pengantin wanita."
Mama hanya mendengkus pelan. Bibirnya mengerucut. Lucu sekali melihat Mama merajuk.
Tidak ada pembahasan penting lagi. Kami semua diam menikmati makan malam. Raka, sejak tadi juga sama sekali tidak bicara. Malam ini, dia ikut makan bersama di rumah. Bahkan, belum keluar sama sekali sejak pagi.
"Sudah biasa, palingan juga putus sama pacarnya." Begitu kata Mama saat aku bertanya pagi tadi, ketika melihat Raka hanya mengurung diri di kamar dengan suara petikan gitar yang terdengar sendu.
***
Hari libur. Mas Aksa justru mengajakku ke rumah sakit untuk diperkenalkan dengan teman-temannya di sana. Juga melihat kegiatan atau pekerjaannya yang biasa dilakukan setiap harinya.
Benar saja, banyak yang menyambutku dengan tangan terbuka. Ternyata Mas Aksa cukup dikenal di rumah sakit ini. Ada beberapa pasien yang bahkan sangat akrab sekali. Beberapa dokter dan suster memuji dan menggoda kami.
"Pengantin baru kok gak ambil cuti bulan madu dulu?" Begitulah rata-rata komentar mereka. Aku hanya tersenyum malu.
Ada juga kejadian tidak mengenakkan. Salah satu suster tiba-tiba pergi begitu saja saat kedatangan kami. Suster yang lain cekikikan saling senggol lengan.
"Ada yang panas!" kata mereka lalu tertawa.
"Selamat, ya, Dok. Semoga cepat dapet momongan." Para suster itu menggoda.
Mas Aksa hanya tersenyum simpul menanggapi. Rupanya, Mas Aksa termasuk idola di kalangan para suster ini. Atau justru semua gadis-gadis di rumah sakit ini? Ish! Menyebalkan sekali.
Kemudian, Mas Aksa mengajakku melihat-lihat pasien yang ditanganinya. Mereka semua terlihat senang dengan kedatanganku. Raut-raut wajah yang lelah itu, seketika antusias dan tersenyum lebar saat Mas Aksa memperkenalkanku sebagai istrinya.
"Ini kamar pasien bernama Ulfa. Sakit tipes, sudah hampir lima hari dirawat."
Aku mengangguk. Mas Aksa mengetuk pintu sebelum kemudian membuka perlahan.
"Ulfa! Sedang apa kamu?!" seru Mas Aksa saat melihat seorang wanita dengan pakaian pasien berdiri di kursi depan jendela.
"Turun!" Mas Aksa menarik tangan wanita itu dan hampir saja terjatuh kalau Mas Aksa tidak sigap menangkap.
Aku berdiri bingung. Menutup pintu pelan dan berjalan menghampiri.
"Ngapain sih kamu?!" Mas Aksa menatap tajam pada wanita itu.
"Cuma mau buka jendela aja kok. Susah bukanya. Kayaknya harus diganti jendelanya. Seret."
"Apa gak bisa minta bantuan orang lain? Harus ya naik-naik kursi begitu? Kalau tiba-tiba jendela kebuka lalu kamu jatuh, bagaimana?!"
"Ya matilah."
"Ulfa!" Suara Mas Aksa semakin melengking.
"Ssstt apa sih, Dok? Bukannya gak boleh, ya, teriak-teriak di rumah sakit?"
"Sekarang balik ke ranjang!" Mas Aksa menunjuk ranjang, masih dengan tatapan tajam.
"Ya ya ya, Dokter yang bawel!" Pasien itu menjulurkan lidah lalu menoleh. Langkahnya terhenti saat melihatku.
Aku mengangguk pelan dan tersenyum.
Dia membalas tersenyum. Melangkah pelan. Wajahnya cantik sekali meski pucat pasi. Seperti muka orang timur. Hidungnya mancung. Kulitnya putih bersih.
"Kamu … pasti Inaya, ya?" Dia bertanya, masih dengan senyum dan mata yang mengerjab lemah.
"Iya." Aku mengangguk.
"Ternyata benar kata Dokter Aksa. Cantik." Dia tersenyum lalu memeluk.
Aku sempat bingung tapi membalas pelukannya.
"Dokter Aksa sering sekali membicarakanmu. Katanya, istrinya itu cantik dan anggun," bisiknya.
"Benarkah?" Aku hampir tak percaya.
Dia melepaskan pelukan. Menatapku dan mengangguk, lalu menoleh ke arah Mas Aksa. Aku juga. Tapi Mas Aksa langsung memalingkan wajah. Sepertinya malu.
***
Hari yang menyenangkan itu ... ketika suami mau memperkenalkan istri pada teman-teman kerjanya. Awalnya, aku mengira kalau Mas Aksa tidak berniat melakukan resepsi karena malu mempunyai istri dari desa sepertiku. Namun, ternyata Mas Aksa mempunyai caranya sendiri dan itu manis sekali.
Malam ini, rasanya aku ingin sekali mengakhiri malam-malam yang tertunda. Malam di mana seharusnya suami dan istri memadukan cinta.
Cinta? Ah iya. Sepertinya, aku sudah benar-benar mencintai Mas Aksa. Bagaimana tidak? Jika ditinggal sebentar saja, aku sudah kangen. Seperti sekarang. Selesai makan malam, Mas Aksa pergi ke rumah sakit. Katanya ada kepentingan mendadak.
Sambil menunggu Mas Aksa pulang, lebih baik aku menyiapkan kalimat yang tepat untuk kusampaikan, bahwa aku sudah siap untuk melakukannya.
Duduk bersandar kepala ranjang, aku memejamkan mata. Mencari kata-kata.
Apa langsung saja? "Mas, aku sudah siap."
Tidak tidak! Itu terlalu langsung. Harusnya ada basa-basinya sedikit.
"Mas, tentang malam yang tertunda, bagaimana kalau kita akhiri saja?"
Sebentar! Kalau begitu, rasanya bertele-tele sekali.
Atau …, "Mas, hm nganu, anu … hm itu, anu."
Astaga! Aku mau bicara apa ini?! Yang ada Mas Aksa mengerutkan dahi dan bingung sendiri.
Atau langsung saja? "Mas, ayo kita bikin anak!"
Allohu Akbar! Menyeramkan sekali kalimat itu!
Aarrgghh! Aku mengacak-acak rambutku. Kesal, bingung, dan tidak tahu kalimat apa yang pas dan cocok untuk aku katakan.
Mendesah panjang dan melirik jam di layar ponsel. Ternyata sudah jam sepuluh malam. Mas Aksa kok belum pulang?
Bersambung #4
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel