(side a)
Kedatangan tamu tak diundang secara tiba-tiba itu, rasanya menyebalkan. Bukan tiba-tiba sih, memang sudah tanggalnya. Hanya saja, membuat malam-malam tertunda lagi sampai enam hari kedepan.
Seminggu kemudian, Mas Aksa mengajak pindah lebih awal. Maka hari ini, benar-benar disibukkan dengan membawa semua barang-barang yang diperlukan. Sisanya, bisa kapan-kapan.
"Kamu beresin saja pakaian. Buku-buku ini, biar aku sendiri yang beresin," kata Mas Aksa saat aku bingung ingin membantu membereskan barang apa saja.
Pakaian Mas Aksa, tidak dibawa semua. Hanya satu koper besar. Satu kardus buku dan peralatan kerja Mas Aksa yang biasa tertata rapi di meja.
Mama dan Raka ikut membantu. Hari ini juga, rumah diadakan syukuran kecil-kecilan yang mengundang beberapa tetangga di sebelah rumah baru Mas Aksa. Memberikan bingkisan kepada para satpam yang menjaga gerbang perumahan.
Rumah ini sangat sederhana jika dibanding rumah Mama. Keseluruhan dicat putih bersih. Halaman depan, ada taman kecil yang belum ditanami bunga, sampingnya tempat parkir satu mobil. Di dalam, ada ruang tamu, satu kamar mandi, dapur, dan belakang untuk menjemur pakaian. Lantai atas, ada dua kamar ukuran sedang dengan kamar mandi dalam, lalu ada ruang yang diisi televisi dengan sofa kecil di depannya.
Sorenya, Mama dan Raka masih membantu bersih-bersih dan mengatur barang-barang yang memang sengaja dibeli Mama untuk hiasan rumah. Aku dan Mas Aksa, membereskan kamar, juga menata pakaian.
Sebelum Mama pulang, beliau sempat memberikan dua bungkus akar ginseng untukku.
"Ini Mama sengaja pesan dari teman yang berlibur ke Korea. Kamu bisa seduh dengan air panas, lalu rutin diminum pas masa subur," kata Mama.
"Buat apa, Ma?" Aku bertanya bingung.
"Biar cepat hamil."
Aku terbatuk seketika.
***
Malamnya, Mas Aksa mengajakku makan di luar. Ini yang sebenarnya kurang aku suka. Naik mobil, padahal jarak tujuan sangat dekat. Andai punya motor, kan lebih enak. Bisa meluk dari belakang.
Mas Aksa mengajakku makan di warung lesehan saja setelah sebelumnya bertanya, "Kamu gak apa-apa kan, Dek, kalau aku ajak makan di warung lesehan?"
"Aku malah lebih suka makan di warung lesehan, Mas, daripada restoran." Aku menjawab dengan senyum lebar. Bagaimana mungkin aku bisa tidak suka, sedangkan aku berasal dari desa.
Kami duduk berdua dan memesan nasi, bebek penyet, lele penyet, dan dua gelas teh hangat. Mas Aksa makan dengan lahapnya. Tak kusangka, meski sekarang sudah jadi orang kaya, tapi masih tetap suka dengan makanan khas Indonesia.
"Mas Aksa mau coba lelenya?" Aku menyodorkan secuil lele di depan mulut Mas Aksa. Entah. Tapi, reflek begitu saja. Mungkin terbiasa di rumah, saat makanan berbeda, maka akan saling tukar bahkan menyuapi.
Melihat Mas Aksa yang terdiam dengan tatapan yang tak kumengerti, aku segera menarik tangan. "Maaf, Mas. Kebiasaan di rumah."
"Kenapa ditarik lagi?"
"Hm?" Aku mendongak. Menatap tak paham. Mas Aksa, memberi isyarat dengan tatapan pada tanganku. Aku tersenyum lalu kembali mencuil lele dan menambahkan sedikit nasi, kemudian menyuapkan pada Mas Aksa.
Mas Aksa membuka mulut dengan menatapku. Aku rasa, mukaku sudah memerah sekarang. Mas Aksa mengunyah sambil tersenyum. Itu cukup membuatku tersipu malu.
"Mau nyobain bebeknya?" Mas Aksa menawarkan. Aku mengangguk samar. "Ambil gih." Senyumku langsung memudar, dan Mas Aksa terkekeh pelan. Kemudian menyuapkan nasi dan bebek penyet ke mulutku.
Boleh kan, kalau hatiku saat ini berbunga-bunga? Ini adalah pertama kalinya aku suap-suapan dengan seorang lelaki. Jika ini yang disebut pacaran oleh anak zaman sekarang, maka menyenangkan sekali pacaran dengan suami sendiri.
***
Hari berlanjut seperti biasanya. Mas Aksa sibuk kerja, dan aku sebelum berangkat ke butik, akan membereskan rumah terlebih dahulu. Mas Aksa menawarkan untuk mencari asisten rumah, tapi aku menjawab tidak perlu. Aku masih sanggup mengerjakan semuanya sendiri.
Sorenya, pulang dari butik, aku mengatur taman depan yang belum jadi. Tadi, sengaja mampir ke toko tanaman bunga. Membeli tanaman hias juga beberapa jenis bunga.
Mas Aksa pulang. Aku melirik jam mungil di pergelangan tangan. Ah, ternyata sudah hampir jam enam. Aku berdiri dan segera menghampiri.
Mas Aksa turun dari mobil. Memberi salam dan mengernyitkan dahi saat melihatku. Aku tersenyum, saat mengulurkan tangan, baru sadar kalau tanganku belepotan tanah. Mas Aksa terkekeh, menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku.
"Belum masak, kan?" Mas Aksa bertanya.
Aku nyengir. "Maaf, Mas. Sibuk ngurus taman, jadi lupa waktu."
"Gak apa-apa. Kita makan di luar saja sambil belanja keperluan dapur."
Aku mengangguk antusias.
"Cuci tangan gih, kita berangkat sekarang."
"Gak mandi dulu?"
"Nanti saja."
"Tapi aku bau." Aku mengedikkan bahu. "Aku ganti baju dulu deh. Sebentar." Dan aku segera berlari masuk rumah.
***
Malam ini, Mas Aksa mengajak makan di restoran seafood. Memesan, nasi, cumi bakar madu, gurame saus tiram, dan dua gelas es lemon tea.
"Mas Aksa suka cumi, ya?" Aku bertanya.
"Lumayan."
"Mama ngasih resep masakan kesukaan Mas Aksa. Nanti, aku belajar masak. Tapi gak tau bakalan enak apa enggak."
Mas Aksa tersenyum. "Yang penting mau belajar."
Aku mengangguk pelan. Mengulum senyum.
Setelah makan, kemudian lanjut belanja di swalayan. Banyak yang dibeli. Mulai dari bahan makanan untuk persediaan selama beberapa hari ke depan. Peralatan mandi, mencuci, dan banyak lagi lainnya.
Mas Aksa juga terlihat antusias melihat-lihat barang yang sekiranya diperlukan. Mendorong troli mengikutiku, memilih barang.
"Dek Lisa?"
Aku menoleh mendengar suara Mas Aksa memanggil seseorang. Seorang wanita berdiri membawa troli juga, di belakang Mas Aksa.
Aku mendekat saat keduanya terdiam. "Siapa, Mas?" Aku berdiri di samping Mas Aksa, menatap wanita yang diam dengan tatapan datar.
"Temen," jawab Mas Aksa. Kemudian memperkenalkanku pada wanita itu.
Aku tersenyum, mengulurkan tangan. Wanita itu hanya diam dengan tatapan sinis sekali. Terlihat jelas bahwa dia tidak menyukai. Aku menarik tanganku perlahan. Tidak enak sendiri.
"Tega kamu, Mas!" desis wanita itu dengan menatap tajam Mas Aksa. Setelah melempar tatapan permusuhan padaku, wanita itu berlalu.
Aku semakin yakin jika wanita itu bukan sekadar teman biasa. Bagaimana mungkin seorang teman, bisa begitu tidak suka dan bersikap dingin sekali pada istri Mas Aksa.
"Gak usah dipikirkan. Dia memang begitu orangnya," kata Mas Aksa kemudian. Aku hanya mengangguk samar.
***
Wanita itu, benar-benar membuatku kepikiran. Wanita cantik dengan tampilan sederhana. Kaus lengan pendek dan celana jeans panjang. Rambutnya tebal dikuncir kuda. Namun, tatapannya jelas menyiratkan dendam pada Mas Aksa. Terlebih padaku.
Entahlah. Aku hanya tidak suka dengan wanita itu. Siapa dia? Berani bersikap seperti itu. Entah benar teman atau mantan. Yang pasti, kehadirannya walau hanya sekilas, membuat hatiku panas.
Hari ini, selesai sudah tamu undanganku. Tiba-tiba, teringat dengan akar ginseng pemberian Mama. Apa salahnya jika aku coba meminumnya.
"Itu apa, Dek?" Mas Aksa bertanya ketika aku sedang menyeduh akar ginseng tersebut.
"Akar ginseng, Mas. Mama yang kasih."
"Akar ginseng?" Satu alis Mas Aksa terangkat. Bertanya.
"Iya. Buat penyubur rahim." Aku tertunduk. Malu sebenarnya. "Mas Aksa mau?" Aku melirik sekilas.
"Kamu aja yang minum." Mas Aksa menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku. "Aku berangkat kerja dulu, ya."
Aku mengangguk. Mencium tangan Mas Aksa dan mengantarnya ke depan.
"Nanti malam aku pulang agak malam. Kalau ngantuk tidur aja dulu, gak usah nunggu," kata Mas Aksa sebelum masuk ke mobil.
Aku tersenyum dan mengangguk.
***
Aku mondar-mandir di depan cermin lemari. Mencoba berpakaian sedikit terbuka, dengan rambut panjang tergerai. Siapa tahu saja, Mas Aksa paham dengan kode yang kuberikan.
Sayangnya, rasa tidak percaya diri itu muncul saat mendengar suara mobil Mas Aksa parkir di halaman. Buru-buru berganti pakaian dengan piyama panjang yang biasa kukenakan. Melempar asal lingeri tadi ke kolong ranjang. Kemudian turun untuk menyambut Mas Aksa pulang.
Wajah Mas Aksa terlihat lelah. Aku menawarinya makan, tapi sudah kenyang. Kemudian, aku buatkan saja jahe susu hangat saja.
"Kamu kok belum tidur, Dek? Udah jam sebelas lebih lho." Mas Aksa keluar kamar mandi. Seperti biasa, rambutnya basah dan dikibas-kibas begitu saja.
"Belum bisa tidur, Mas." Aku menjawab. Menutup buku bacaan dan meletakkan di samping bantal.
Mas Aksa tersenyum. Berjalan mendekat tapi langkahnya terhenti saat ponselnya yang terletak di meja kerja, bergetar menandakan ada pesan. Mas Aksa membuka dan terlihat serius sekali wajahnya saat membalas pesan.
Entah. Hatiku tiba-tiba panas. Pikiran jadi ke mana-mana. Curiga jika yang mengirimi pesan adalah wanita menyebalkan kemarin itu.
"Nungguin apa kok gak tidur?" tanya Mas Aksa saat merangkak naik ke ranjang.
Aku menggeleng lemah. Masih berkutat dengan berbagai dugaan dan pikiran yang bukan-bukan.
"Kenapa?" Mas Aksa bertanya lagi, setelah duduk di sampingku.
"Aku …." Aku menggeleng. Bingung mau melanjutkan.
"Kenapa? Bilang aja."
"Janji Mas Aksa gak akan marah?" Aku menatapnya. Menggigit bibir.
Mas Aksa justru menyeringai tipis. Mungkin merasa lucu dengan tingkahku.
"Iya. Bilang ada apa?"
"Aku … kepikiran sama … cewek itu." Aku kembali tertunduk.
"Cewek yang mana?"
"Yang di swalayan kemarin itu."
"Lisa?"
Aku mengangguk.
"Kenapa dipikirin?"
"Ya … gak tau. Cuma, dia kelihatan gak suka sekali denganku."
Hening tiba-tiba. Aku memberanikan diri menatap Mas Aksa.
"Dek … jangan suka memikirkan orang yang membenci kita. Yang ada kita akan capek sendiri, dan buang-buang waktu percuma."
"Tapi …." Aku menggigit bibir.
"Gak perlu dipikirin. Biarkan saja. Yang penting gak ngerugiin kamu. Iya, kan?"
Mas Aksa kenapa tidak paham, sih?
Aku hanya mendesah pelan. Ya sudahlah. Memang benar kata Mas Aksa. Untuk apa aku memikirkan wanita itu? Toh Mas Aksa sudah jadi suamiku. Siapa pun dia, apa pedulinya?
"Besok aku pulang cepet. Mau nonton?"
Aku kembali menatap Mas Aksa. "Nonton apa?"
"Ya terserah kamu mau nonton film apa."
"Di bioskop?"
"Iya. Mau?"
Aku mengangguk antusias. Mas Aksa menepuk pelan puncak kepalaku dan tersenyum. "Tidur, gih. Udah malem."
Apa sekarang waktunya ….
Aku menelan ludah. Menggigit bibir. Tidak tahu bagaimana cara mengatakannya. Saat Mas Aksa menata selimut, dan ingin merebahkan tubuh, ia menoleh dan mengernyitkan dahi.
"Kenapa senyam-senyum begitu?"
Aku tidak menjawab. Namun … mengecup cepat pipi Mas Aksa.
Duh! Apa yang aku lakukan ini salah, ya? Mas Aksa justru terbengong, dan tidak bereaksi apa-apa. Aku menunduk malu. Bagaimana ini?
Sedetik, dua detik, tiga detik, dan … tangan Mas Aksa meraih daguku hingga aku menoleh dan menatapnya. Satu alisnya terangkat, seolah bertanya, 'Apa aku sudah siap?'
Sepertinya, jantungku berhenti berdetak ketika Mas Aksa mendaratkan bibirnya pada keningku, hidung, kedua pipi, lalu … bibir.
*****
(side b)
Pernah merasa bagai di awan? Terbang dengan hati penuh kebahagiaan? Hingga lupa kesusahan apa saja yang dulu pernah dirasakan. Karena saat ini, hati melambung tinggi karena seseorang.
Mas Aksa Arjuna.
Sempurna sudah diriku menjadi seorang istri. Malam yang sampai kapan pun tidak akan pernah kulupakan. Bagaimana saat Mas Aksa memulai. Deru napasnya yang menyapu telinga, tatapannya, bibir yang tersungging tipis, dan tangannya yang mengurai lembut rambut panjangku lalu menari-nari di raga ini.
"Kamu beneran siap?" bisik Mas Aksa tepat di telinga setelah menarik wajahnya dari bibirku. Aku mengangguk penuh keyakinan.
Mas Aksa menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Mengangkat satu alisnya dan bertanya sekali lagi, "Beneran sudah siap?"
Rasanya, tak tahan ditatap begitu lama dengan jarak dekat. Aku merangkulkan tangan di lehernya. Berbisik, "Lakukanlah, Mas. Bukankah ini juga termasuk ibadah?"
Ah, entahlah. Aku bisa mendapat keberanian dari mana bicara seperti itu. Hanya saja, sudah kepalang tanggung. Untuk apa malu.
Rintik hujan di luar menjadi saksi malam panjangku. Malam di mana aku menyerahkan seluruh raga ini menjadi milik Mas Aksa, suamiku. Tak ada kata yang bisa menjabarkan bagaimana rasa hatiku. Tak ada pena yang sanggup melukiskan bagaimana indahnya malamku.
Saat Mas Aksa berkata lembut di telingaku "Dek... aku mencintaimu.."
Dan disaat bersamaan bibirnya mencium keningku.. lalu pipi.. bibir, yang kusambut dengan tautan lembut.. leher kupun tak luput dari usapan bibirnya.
Sambil tangannya melepaskan gaun yang kukenakan, satu persatu hingga tak tersisa. Lalu direbahkan tubuhku di kasur empuk yang tertata rapi. Kemudian..
"Aaa..aauw.. ooww.." betapa perihnya ketika Mas Aksa memaksa menekan miliknya kedalam milikku.
Tidak pernah kusangka sakit ini. Namun tak kuasa aku menolaknya. Memang sudah kodrat wanita untuk pertama kali harus mau merasakan sakit itu. Tanganku meraih guling yang ada didekatku dan menjadi sasaran cengkeramanku.
Mas Aksa masih bergerak perlahan karena tahu aku kesakitan. Tapi tidak lama kemudian ada rasa yang aneh mengaliri sekujur tubuhku. "Oohh... ooww... " jiwaku melayang ke angkasa sampai tak kuasa aku menjerit lirih karena bahagia "Aaa...."
Mas Aksa semakin giat dalam gerakannya dan tak lama kemudian dia merasakan juga hal yang sama "Aagghh.." berakhirlah dengan kebahagiaan berdua.
Semuanya berlalu begitu … sempurna.
***
Jam bundar di dinding berdetak lambat ditingkahi gemericik air hujan yang semakin deras. Menemani aktivitas kami memadukan cinta bersama.
Waktu menunjukkan jam 12 tepat. Mas Aksa tidur tertelungkup di sampingku. Perlahan, kakiku mulai turun setelah memakai kembali piyama.
"Mau ke mana?" Mas Aksa bertanya.
"Mandi, Mas." Aku menjawab lirih. Ingin berdiri, kaki rasanya berat sekali.
"Kuat jalan?"
"Eh?" Aku menggigit bibir. "Kuatlah." Aku mulai berdiri dan berjalan pelan meski sedikit sempoyongan.
Langkah Mas Aksa mendekat. Aku mengernyitkan dahi. Tanpa kata apa pun, Mas Aksa menggendongku dengan sekali angkat.
"Lho, Mas! Ini ngapain?" Tanganku merangkul lehernya. Menatap bingung.
"Katanya mau mandi." Mas Aksa menjawab enteng sekali. Berjalan menuju kamar mandi.
"Iya, tapi aku duluan nanti baru Mas Aksa. Turunin, Mas."
"Nanggung."
"Hah?"
***
Aku menutup wajah dengan kedua tangan. Antara sadar dan seperti masih melayang. Bibir, tak henti-hentinya menyunggingkan senyuman. Dada berdebar kian mengencang saat mengingat kejadian semalam.
Setelah melipat mukena dan meletakkan di lemari, aku menjepit rambut dan turun ke lantai satu menuju dapur. Menyiapkan sarapan, mengangkat jemuran, dan membereskan seluruh ruangan.
Mas Aksa, sholat Subuh di mushola kompleks perumahan yang jaraknya tidak terlalu jauh dan bisa ditempuh dengan jalan kaki. Sudah hampir jam setengah enam tapi belum juga pulang. Mungkin, jalan-jalan sambil ngobrol dengan orang kompleks lain.
Pagi ini, aku menyiapkan sarapan roti tawar dengan selai nanas dan kacang kesukaan Mas Aksa. Dipanggang sebentar, sambil menyiapkan minuman. Susu cokelat menjadi minuman wajib di pagi hari.
Pikiran tak henti-hentinya memikirkan kejadian semalam. Membuat rotiku hangus terpanggang karena aku sibuk dengan lamunan. Tertawa sendiri menyadari kecerobohanku. Mengulang lagi dan kali ini fokus pada apa yang sedang kukerjakan. Membuang pikiran yang bukan-bukan.
Semuanya sudah siap di meja makan saat Mas Aksa pulang. Melihat tubuh yang dibalut kaus putih dan sarung kotak cokelat tua, membuat wajah lelakiku teduh sekali. Apalagi ditambah sedikit tarikan di bibir tipisnya. Manis.
Aku merasa bagai hidup di alam dongeng dengan kisah seorang Cinderella. Gadis biasa yang dipersunting lelaki kaya, tampan, baik, dan bijaksana. Bahkan, seringkali aku merasa masih dalam dunia impian. Seperti bukan kenyataan.
"Mas Aksa mau sarapan sekarang?" Aku bertanya saat Mas Aksa mendekat ke meja makan.
"Boleh."
Aku mengangguk-angguk. Duduk dan mulai sarapan bersama. Entahlah, kenapa rasanya justru semakin canggung begini? Malu sekali walau hanya menatap sekilas wajah Mas Aksa yang sedang makan.
Aku tersentak saat tiba-tiba tangan Mas Aksa menyentuh daguku. Membuatku menatapnya dengan lipatan di dahi.
"Kenapa nunduk terus?"
"Ehm … enggak." Aku menjawab cepat. Mas Aksa terkekeh pelan. Memangnya ada yang lucu?
"Malu, ya?"
"Eh?" Aku menggeleng. Melempar pandangan ke sembarang arah. Sudah tahu malu, kenapa malah menggoda?
"Hari ini ke butik, gak?"
"Iya."
"Nanti berangkat bareng aja."
"Kan beda arah?"
"Gak masalah."
Aku mengulum senyum dan mengangguk.
"Nanti malam, baru kita nonton." Mas Aksa kembali berkata.
"Di bioskop?"
"Iya."
"Sekalian makan di luar. Tunggu aja di butik, nanti sore aku jemput."
Aku tersenyum lebar. Mengangguk antusias. Tak sabar untuk kencan nanti malam.
Kencan?
Ah, itu kan istilah anak muda sekarang yang pacaran. Mereka mana tahu rasanya kencan dan pacaran dengan suami sendiri. Bahagia dan berpahala.
***
Seperti biasa, Mama selalu menyambutku dengan wajah semringah dan senyum merekah. Memeluk dan mencium pipi kiri dan kanan. Bertanya banyak hal.
"Bagaimana jamu akar ginsengnya, bereaksi gak?"
Aku berusaha keras menahan tawa.
"Gak lupa diminum, kan?"
"Gak, Ma. Diminum kok."
"Semoga cepat bereaksi. Mama udah gak sabar nimang cucu. Rumah itu sepi kalau gak ada anak kecil."
"Aamiin," ucapku dengan mengulum senyum.
Siangnya, Mama pulang lebih awal dari butik yang terletak di mall, Jakarta Selatan. Katanya, ada acara arisan bersama teman-temannya. Sebenarnya aku diajak untuk diperkenalkan dengan mereka, tapi aku memilih untuk menjaga butik yang kebetulan dua karyawan di sini, sedang cuti mudik.
Butik Mama yang diberi nama SaKa Collection yang diambil dari nama Aksa dan Raka. Menjual berbagai jenis pakaian kebaya modern yang bisa dipadu dengan hijab masa kini. Cantik dan warna-warni. Pembelinya pun tiap hari lumayan banyak dari berbagai kalangan karena harga yang masih bisa dijangkau untuk kalangan menengah ke bawah.
Setelah sholat Dzuhur dan menunggu makan siang yang dibeli oleh salah satu karyawan, aku mengirimi Mas Aksa pesan.
[Mas Aksa sedang apa? Sudah sholat?]
Beberapa menit kemudian, pesan terbalas.
[Sudah.]
Aku memanyunkan bibir membaca balasannya. Kemudian mengetik pesan lagi.
[Sudah makan?]
[Belum.]
Ish! Apa tidak bisa panjang sedikit balasnya?
[Jangan lupa makan, Mas. Aku juga lagi nunggu si Narti beli makan di warung padang.]
Pesan kukirim dengan tambahan tiga emoticon tersenyum.
[Hu'um.]
Allohu Akbar! Aku menghela napas panjang. Singkat, padat, dan jelas. Mungkin begitu kebanyakan lelaki. Menyebalkan!
***
Banyaknya pembeli membuatku lupa waktu. Tanpa sadar, sekarang sudah hampir Maghrib. Tapi Mas Aksa belum ada kasih kabar apalagi datang.
"Nar, nanti kalau Mas Aksa datang, bilang aku lagi sholat, ya," kataku memberi pesan pada Narti. Gadis yang baru lulus SMA itu, mengangguk dan tersenyum.
Selesai sholat, aku langsung ke depan dan bertanya, "Mas Aksa belum dateng ya, Nar?"
"Belum, Mbak."
"Hm, kamu sholat dulu, gih. Abis ini tutup aja tokonya."
"Baik, Mbak."
Masih ada pembeli sekitar satu dan dua orang. Aku melayani sambil melihat arah depan, berharap Mas Aksa datang. Sejak sore tadi, ponselnya tidak bisa dihubungi sama sekali. Membuatku khawatir terjadi sesuatu padanya.
Butik sudah kututup saat ini, dan Narti juga sudah pulang. Aku berdiri sendiri dengan ponsel di tangan. Pandangan mengitari sekitar dengan perasaan cemas dan penuh kekhawatiran.
Aku segera membuka layar ponsel saat bergetar menandakan ada pesan.
[Dek, maaf, ya. Aku gak bisa jemput. Acara malam ini tunda dulu, ya. Besok saja. Kamu bisa pulang sendiri, kan?]
Aku menghela napas lega. Meski sedikit kecewa. Tak apa. Asal Mas Aksa baik-baik saja.
[Iya, Mas. Gak apa-apa. Aku kira kenapa-napa tadi, soalnya gak bisa dihubungi. Aku bisa pulang sendiri kok. Mas Aksa sudah makan? Atau mau makan di rumah? Nanti aku masak.]
[Kamu beli makan aja di luar. Tidur aja duluan. Gak usah nungguin.]
[Pulang jam berapa?]
Pesanku belum dibaca olehnya. Menunggu beberapa menit, tapi tidak juga dibaca apalagi dibalas. Aku menghela napas panjang, memasukkan ponsel di tas selempang, lalu berjalan untuk pulang.
***
Setidaknya, pendingin ruangan di kamar mampu memberiku napas lebih lega saat lelah perjalanan pulang naik taksi dan terkena macet panjang. Beberapa menit merebahkan tubuh di ranjang, bangun dan segera ke kamar mandi setelah mengambil handuk dan pakaian ganti di lemari.
Sepertinya, badai asmara benar-benar telah melanda hatiku. Saat makan nasi goreng yang kubeli di warung pinggir jalan tadi, rasanya sangat tidak berselera. Bukan karena masakannya yang tidak enak, tapi makan sendirian yang menjadikan rasa itu berbeda.
Mas Aksa di mana sekarang? Kenapa belum juga pulang? Aku mendesah panjang dan mengecek ponsel berkali-kali. Mas Aksa kembali tidak bisa dihubungi. Ada apa sebenarnya?
Waktu terus berjalan, dan sekarang sudah hampir jam sebelas malam. Mas Aksa belum juga pulang. Novel yang kubaca sejak tadi, sambil tiduran di sofa, sama sekali tidak mengurangi pikiran yang terus tertuju pada Mas Aksa.
Perlahan, mataku mulai terpejam karena tak kuat lagi menahan kantuk. Saat alam mimpi mulai menyambut, kurasakan sentuhan lembut di pipi dan rambut. Mataku mengerjap pelan.
"Mas Aksa," ucapku saat mata sudah terbuka. Mas Aksa yang berjongkok di depanku, tersenyum tapi wajahnya terlihat begitu lelah.
"Nungguin, ya? Maaf."
Aku segera bangun dan senyuman termanis kuberikan. Bukankah menyambut suami pulang dengan senyuman, maka lelahnya akan berkurang?
"Tidur di atas, yuk. Udah makan?" tanya Mas Aksa dengan tangan menyelipkan rambut yang menutupi pipiku ke belakang telinga.
"Udah. Mas Aksa sudah makan?"
"Udah."
"Mau aku bikinin minum?"
"Gak usah. Tidur aja. Kamu kelihatan ngantuk begini."
Aku mengusap wajah secara kasar. "Enggak kok."
Mas Aksa tersenyum tipis. "Mau gendong depan atau belakang?"
"Hm?" Mataku membulat. Mengerjap bingung.
"Belakang aja deh, ya. Sini." Mas Aksa membalikkan badan dan memunggungiku.
"Gak usah, Mas. Berat. Mas Aksa capek nanti."
"Beratnya seberapa sampai aku gak kuat?" Mas Aksa menoleh. Mengangkat kedua alisnya. Menyeringai tipis.
"Hm, gak usah, Mas. Aku jalan aja. Ngapain digendong segala?"
"Ya aku pengen gendong kamu. Boleh, kan?"
Aku menahan senyum. Kupastikan, meronalah kedua pipiku diikuti degup jantung tak beraturan.
"Ayo."
Aku mengangguk samar. Perlahan, naik ke punggung lebar dan merangkul bahunya. Tersenyum lebar saat pipiku menempel pada pipi Mas Aksa. Mulai merasakan sensasi yang berbeda saat Mas Aksa mulai berjalan seolah tanpa beban.
"Mas Aksa …." Aku memanggilnya lembut di telinganya.
"Hm?"
"Bisa bahasa Jawa?"
"Gak terlalu paham. Kenapa?"
"Aku mau ngomong pakai bahasa Jawa boleh?"
Mas Aksa terkekeh pelan. "Mau ngomong apa?"
"Janji jangan ketawa?"
"Oke."
"Mas Aksa … kulo tresno kaleh sampean," bisikku lembut dan hampir tak terdengar, tapi mampu membuat Mas Aksa membeku kemudian.
Bersambung #5
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel