Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 16 Februari 2021

Malam Yang Tertunda #5

Cerita Bersambung
(side a)


Gerimis mulai turun malam ini. Setengah jam kemudian, rintiknya semakin deras. Pendingin ruangan kubiarkan menyala meskipun dingin menyergap. Sedingin hati ini yang tak tahu apa sebabnya.
Resah, gelisah, curiga, atau … cemburu? Entah. Yang pasti, rasanya benar-benar tidak tenang.

Mas Aksa, tiga kali mengingkari janji. Janji mengajak nonton di bioskop dan makan malam di luar. Sibuk dan ada urusan penting di rumah sakit, begitu alasannya. Bahkan selalu pulang larut malam.

Aku berjalan menuju jendela kamar. Membuka tirai biru muda motif bunga. Menatap air hujan di luar dengan tatapan menerawang. Tangan menyentuh kaca jendela.
Menciptakan bekas tangan karena kaca yang berembun. Dingin. Tersenyum teramat tipis, lalu menulis nama Aksa Arjuna dengan telunjuk.

Sekarang, sudah hampir jam 12 malam. Mas Aksa belum juga pulang. Ponsel sering sekali tidak aktif. Bolehkah jika hati ini mulai curiga?
'Tega kamu, Mas!'

Kalimat yang diucapkan wanita di swalayan waktu itu, selalu saja membuat pikiranku tak tenang. Kalimat bernada kebencian. Tatapan yang menyiratkan dendam. Jelas, bukan? Pasti ada sesuatu yang disembunyikan oleh Mas Aksa.
Tentang cinta, aku bahkan sudah berani mengatakannya. Meski sedikit gugup dan bahkan suara hampir tak terdengar. Berharap mendapat balasan, nyatanya hanya senyuman yang sulit diartikan.

Entahlah. Apa Mas Aksa belum mencintaiku? Aku tidak tahu pasti. Yang pasti, dia adalah suami yang sangat bertanggung jawab selama sebulan lebih ini. Tidak ada yang aneh. Bahkan, sikap dan perlakuannya begitu lembut padaku. Selalu memenuhi kewajiban sebagai seorang suami pada istri. Memberi nafkah lahir dan batin.
Lalu, sekarang apa sebenarnya yang aku gelisahkan?
Aku mendesah panjang.

Suara mobil Mas Aksa terdengar parkir di halaman. Ingin rasanya segera tidur dan mengabaikannya. Tapi hati tak sanggup tentunya. Seharian tak melihat wajahnya, membuatku ingin segera menghampiri dan memeluknya.

Aku berlari kecil keluar kamar dan menuruni tangga. Memberikan senyuman menyambut kedatangan Mas Aksa. Wajahnya, sama seperti malam-malam sebelumnya. Terlihat lelah dengan tatapan yang … entah.
"Kenapa belum tidur?" Mas Aksa bertanya saat aku mencium tangannya.
"Bagaimana aku bisa tidur, kalau Mas Aksa belum pulang dan gak ada kabar." Aku menatapnya sedikit kecewa.
"Maaf," bisiknya setelah merengkuh tubuhku dan mendekap begitu erat. "Aku lelah, Dek. Sungguh."

Luruh sudah rasa kecewaku. Berganti dengan perasaan tak tega. Apa pun itu, dia tetap suamiku. Tak semestinya aku bisa punya pikiran yang bukan-bukan? Bisa saja, dia memang sedang sibuk dengan pekerjaannya.

"Mas Aksa aku buatkan wedang jahe, mau?" Aku menawarkan.
"Aku tidak butuh apa-apa saat ini. Aku hanya lelah."
Aku menghela napas. Mengurai pelukannya. Tersenyum menatap wajah yang memang menampakkan kesakitan. Bukan fisik, tapi hatinya. Aku bisa melihat dari sorot matanya. Tanpa harus bertanya.

Ternyata, jauh lebih sakit saat melihat orang yang dicintai sedang terluka hati. Apa pun sebabnya, aku tak rela melihat Mas Aksa seolah begitu menderita.
Ada yang bilang, jika seorang lelaki telah menunjukkan sisi lemahnya pada wanita, maka percayalah, wanita itu spesial baginya.

Aku tersenyum. Mengusap lembut wajah Mas Aksa, lalu mengajaknya naik ke atas untuk istirahat.
Tak perlu banyak bertanya, tentang masalah apa yang menjadi beban pikirannya. Biarkan saja ia menumpahkan dengan sendirinya jika sudah waktunya.
***

Mas Aksa demam paginya. Tubuhnya sedikit menggigil, padahal semalam pendingin ruangan kumatikan. Sepertinya, beban pikirannya benar-benar membuat fisiknya melemah.
Aku memberi kabar pada Mama bahwa hari ini tidak ke butik, karena Mas Aksa sakit. Mama sempat khawatir juga dan akan menyempatkan mampir nanti.

Pagi ini, aku sibuk membuat bubur dan memaksa Mas Aksa makan walau beberapa sendok saja. Sedikit memohon malah, karena Mas Aksa yang terus-terusan menolak.
"Aku cuma demam biasa kok, Dek. Gak usah khawatir," kata Mas Aksa.

Aku menghambur memeluk, badannya masih panas. Mataku berembun. Tak kuasa melihat suami sakit begini. "Mas Aksa kenapa sebenarnya? Punya masalah apa, sampai sakit begini? Jangan disimpan sendiri. Aku bisa kok jadi pendengar yang baik."

Mas Aksa membalas pelukanku. Erat seperti sebelumnya. Seolah sedang berbagi beban lewat sentuhan, bukan pembicaraan. Namun kemudian, ia berucap lirih, "Kalau aku berbuat salah, apa kamu mau memaafkanku, Dek?"
Aku bergeming sesaat. Menyerap maksud dari ucapan Mas Aksa. Tapi benar-benar tak mengerti apa maksudnya. Aku merenggangkan pelukan. Menatapnya dalam.
"Mas Aksa kenapa?"
Mas Aksa menggeleng lemah. "Gak ada. Aku hanya bertanya. Apa jika aku melakukan kesalahan, kamu mau memaafkan?"
"Tentu. Setiap orang pasti pernah dan akan melakukan kesalahan."

Mas Aksa tersenyum tipis. Senyum yang entah bagaimana aku mengartikannya. Sulit dan penuh dengan teka-teki.
***

Mas Aksa sudah kembali sehat setelah seharian kemarin hanya terbaring di ranjang kamar. Sorenya, Mama datang membawa jamu tradisional untuk menurunkan demam. Kata Mama, Mas Aksa sejak kecil lebih cocok minum ramuan tradisional dibanding obat dari dokter.

Senang rasanya, melihat Mas Aksa kembali segar dengan senyum menghiasi wajah teduhnya. Aku mencium tangan Mas Aksa ketika hendak berangkat kerja. Masih seperti biasa, ia menepuk-nepuk pelan puncak kepala. Tapi kali ini, ada yang beda. Mas Aksa, mencium keningku lama. Teramat lama malah. Membuatku tercengang dan tak bisa berkata-kata.

Semua rasa entah berantah selama beberapa hari ini, hilang seketika. Digantikan dengan perasaan yang membuncah begitu bahagianya. Ah, sederhana sekali membuat wanita berubah dalam seketika.
"Nanti sore aku jemput," katanya.
Aku mengangguk. Sebenarnya, sudah tidak terlalu berharap akan pergi nonton di bioskop lagi. Mungkin, hati ini tidak siap jika harus kecewa untuk kesekian kali.

Hari ini, aku sengaja berangkat ke butik agak siang. Membereskan rumah yang kemarin sama sekali tak sempat tersentuh karena aku memilih menunggu dan merawat Mas Aksa.

Sekitar jam sepuluh, aku baru berangkat naik angkutan umum. Mama sempat menawarkan ingin menjemput, tapi aku menolak. Kasihan jika harus bolak-balik karena beda arah.
Aku masih menjaga butik yang berada di mall, Jakarta Selatan. Dua karyawan baru mulai masuk esok hari. Masih ada Narti yang menemani.

"Halo, Kakak Ipar!"
Aku menoleh saat sebuah suara yang sudah familiar terdengar.
"Raka?" Aku tersenyum, tapi senyumku memudar seketika saat melihat seorang wanita di samping Raka.
Langkah mereka mendekatiku yang berada di meja kasir.
"Mama lagi gak di sini, ya?" tanya Raka.
"Enggak. Lagi ada acara di rumah teman katanya." Aku menjawab dan masih dengan memperhatikan wanita itu.
Raka seperti tersadar dengan apa yang kuperhatikan, ia tersenyum lalu memperkenalkan.
"Oh, ya kenalin ini temenku. Lisa. Dan Lis, ini istri kakakku. Inaya namanya."

Wanita yang sama saat kutemui di swalayan waktu itu bersama Mas Aksa, mengulurkan tangan dengan seringaian tipis dan tatapan yang bisa kuartikan sebuah kemenangan atau awal peperangan.

Entah. Hanya saja, keyakinanku semakin kuat saat jabat tangannya begitu erat.

*****
(side b)

Gaun putih terurai panjang menjuntai dengan pernak-pernik di sisi bagian dada dan pinggang. Jilbab lebar membingkai wajah ditambah manik seperti sang putri di atasnya. Aku memutar tubuh dengan senyum mengembang. Cantik sekali aku malam ini.

Segera mungkin keluar kamar dan menuruni tangga dengan langkah ceria. Senyum memudar seiring langkah yang memelan. Bibir bergetar serta mata yang menatap tak percaya.

"Mas Aksa …." Aku mendesis berulang. Dada berdebar begitu kencang. Bukan debar bahagia, tapi debar menyesakkan.

Semakin sesak dan sangat menyakitkan ketika jelas di bawah sana, Mas Aksa yang memakai kemeja putih itu sedang berdansa dengan seorang wanita dengan gaun sama persis denganku. Bedanya hanya pada jilbab. Wanita itu mengurai rambut panjangnya yang bergelombang.
Aku menggigit bibir menahan nyeri ketika Mas Aksa menerima pelukan wanita itu. Bahkan senyumnya terkembang dengan wajah terlihat begitu bahagia.
Siapa wanita itu?

Langkahku perlahan menuruni tangga dengan mata tak henti menatap Mas Aksa. Sayangnya, kakiku terjerembab oleh gaun yang panjang. Jatuh tersungkur.

Aku mendesis sakit. Dada naik turun bersama detak jantung tak beraturan. Kedua tangan mencengkeram sprei. Perlahan, mata terbuka. Napas tersenggal seiring bibir berucap lirih istighfar.

Siapa wanita itu?
Pertanyaan yang sama dengan mimpi barusan. Belum sempat aku melihat wajahnya. Kenapa malah terbangun?!

Bangun dan menarik napas panjang. Berulang-ulang dengan tangan menekan dada. Hanya mimpi, tapi kenapa sakitnya terasa nyata? Mimpi yang mungkin hadir karena sejak matahari hendak tenggelam, aku memikirkan satu hal.
Tentang wanita bernama Lisa.

Tangan meraba samping bantal mencari ponsel. Membuka layar dan mengernyitkan dahi karena sekarang hampir jam satu malam. Mas Aksa, lagi-lagi belum pulang.

Acara menonton di bioskop kembali gagal karena sore tadi, aku memberitahu bahwa Raka datang bersama Lisa ke butik. Terlihat jelas raut wajah yang menegang karena terkejut. Kemudian tanpa pikir panjang, Mas Aksa pamit pergi setelah membatalkan acara begitu saja.

"Aku tidak apa-apa dan tidak akan terjadi apa-apa," katanya menjawab sorot mataku yang penuh tanya dan kekhawatiran.

Pesan whatsapp yang kukirim beruntun tak jua mendapat balasan. Ah, jangankan membalas, dibaca saja tidak. Aku tidak tahu apa yang sedang terjadi dengan Mas Aksa. Sungguh, hati perih membayangkan mimpi tadi akan menjadi nyata.

Kaki kutekuk lalu tangan memeluk. Meringkuk sesak. Bibir bergetar seiring air mata yang mulai berjatuhan. Ada banyak pertanyaan di kepala. Ada banyak kemungkinan yang terpikirkan. Ada banyak ketakutan yang mendera.

Kaca jendela yang kubiarkan tirainya terbuka, memperlihatkan air embun yang menetes dari luar. Hujan sudah reda ketika sejak sore membungkus kota. Aku di sini, menggigil dingin dengan hati yang teremas perih. Sendirian hampir tiap malam.

Suara deru mobil terdengar parkir di halaman. Mas Aksa pulang. Tapi kaki berat melangkah turun. Bahkan hati sudah kebas dengan kekecewaan. Ingkar janji kesekian. Ditambah selalu pulang larut malam.

Adakah yang disembunyikan di luar sana?

Kuseka mata dan wajah yang basah. Kembali meringkuk berselimut memeluk guling. Memejamkan mata dan tak lagi berselera menyambut pulangnya suami.

Pintu terbuka. Langkah kaki terdengar mendekat. Duduk di tepi ranjang. Hening. Beberapa saat kemudian, kurasakan sentuhan di kepala. Mas Aksa mengusap lembut rambutku lalu mencium keningku. Lama.

Di sini, aku tak kuasa menahan sesak. Takut jika tiba-tiba air mata keluar dan Mas Aksa melihat. Bersyukur, karena saat air mata benar-benar terjatuh, Mas Aksa sudah beranjak pergi masuk ke kamar mandi.
***

"Mas Aksa kenapa?" Aku mengernyitkan dahi dengan tangan terulur menyentuh ujung bibir Mas Aksa yang membiru. Pagi di meja makan saat Mas Aksa turun sudah rapi dengan kemeja biru muda, warna kesukaannya. Sejak bangun tidur, aku memang sedikit menghindar. Sibuk mengerjakan pekerjaan rumah.

"Gak apa-apa," jawabnya sambil mengambil tanganku. Menggenggam dengan wajah yang tersenyum dipaksakan.

Raut wajah yang kembali seperti sebelumnya. Beban berat seolah tengah melanda. Tidakkah ia ingin berbagi cerita sedikit saja?
"Mas Aksa kenapa? Ada apa sebenarnya?" Aku kembali bertanya. Bahkan dengan wajah sedikit memohon agar ia memberi penjelasan.
"Gak apa-apa." Mas Aksa menggeleng, tersenyum tanggung, lalu menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku. "Ayo sarapan." Menarik kursi dan duduk. Membiarkan pertanyaanku menggantung untuk kesekian kalinya.

Sepanjang sarapan, tak banyak percakapan. Bahkan aku memasang wajah kesal. Mas Aksa bertanya tentang butik, Mama, uang belanja, dan semalam pulang jam berapa. Aku hanya menjawab singkat dan tidak balik bertanya.

Wajar bukan, ketika marah dan merasa curiga? Saat semua terlihat semakin ganjil. Tak wajar. Siapa tahu, Mas Aksa sedikit sadar jika aku memilih tak banyak bicara sepertinya.

Nyatanya, apa yang aku bayangkan, tak sesuai dengan apa yang terjadi setelahnya. Berharap Mas Aksa akan tahu marahnya aku, tapi justru semakin diam dan jauh dari jangkauan. Hari demi hari berlalu semakin dingin. Senyumnya tanggung. Sorot matanya memudar.

Apakah pekerjaan dokter sama seperti pekerja kantoran? Berangkat pagi, pulang malam, setiap hari? Apa sesibuk itu sampai membalas pesanku saja menunggu berjam-jam tanpa bisa dibaca terlebih dulu?
Marah? Iya.
Kecewa? Iya.
Sakit hati? Iya.
Tapi jika sampai berhari-hari semakin jauh, meskipun masih bisa bertatap muka tiap pagi dan malam hari, masih mendengar suaranya walau tak seberapa, masih melihat senyumnya walau terlihat dipaksakan, rasanya … tetap berbeda.

Ada kerinduan yang semakin menyiksa. Tak tahan rasanya jika terus seperti ini. Aku diam, Mas Aksa justru menjauh selangkah. Semakin diam, maka Mas Aksa akan menjauh beberapa langkah. Sampai tersadar bahwa Mas Aksa semakin jauh dari jangkauan. Begitu yang kutangkap akhir-akhir ini.

Aku sendiri bingung. Perasaan entah barantah selalu mengungkung. Mas Aksa masih melakukan kewajibannya sebagai seorang suami. Lalu apa yang sebenarnya aku khawatirkan? Semacam sedang bersaing dengan sebuah bayangan untuk mendapatkan perhatian dan kehangatan dari Mas Aksa. Karena aku tidak tahu, ada apa dan mengapa dengan sikap dingin Mas Aksa.

Ketika perasaan sedang berperang melawan ego. Mati-matian mencoba untuk sedikit menekan dan mengalah. Walau semua terasa janggal. Tidak masuk akal. Terserah. Aku hanya lelah.

Maka malam ini, aku akan mencoba mengakhiri semua. Kembali menciptakan kehangatan seperti semula. Siapa pun dan apa pun yang ada di pikiran Mas Aksa, dia tetaplah suamiku. Milikku.

Sekitar jam lima sore, aku sudah selesai mandi dan memakai sedikit parfum. Hari ini memang sengaja pulang lebih awal agar bisa memasak makanan kesukaan Mas Aksa.

Oh, ya, dua hari ini aku pulang diantar oleh Raka. Sudah tiga hari dia sering berkunjung ke butik. Bahkan, terkadang membantu pekerjaanku di sana. Membuatku sedikit terhibur karena celetukannya yang humoris. Sepertinya, dia juga tertarik untuk mengembangkan bisnis Mama. Raka datang sendirian, lalu pulang menawarkan tumpangan.

"Kamu kok sendiri terus? Temanmu itu ke mana?" Aku mencoba bertanya, karena memang sangat penasaran.
"Siapa? Lisa?"
Aku mengangguk.
"Sibuk dia. Lagi ngejar skripsi."

Jadi, Lisa sudah hampir wisuda? Itu artinya, dia seumuranku? Lebih tua dibanding Raka. Setahuku, usia Raka baru menginjak 20 tahun. Hanya saja, perawakannya memang tinggi dan besar. Rajin olahraga bela diri katanya.

Suara mobil terdengar parkir di halaman. Mas Aksa sudah pulang. Akhir-akhir ini, Mas Aksa memang sudah tidak lagi pulang larut malam. Hanya saja, di rumah, ia lebih memilih sibuk dengan laptop dan buku-buku tebalnya. Jarang sekali mengeluarkan suara.

Aku berlari kecil dari dapur, membuka pintu. Tersenyum semanis mungkin menyambut kedatangan Mas Aksa. Mencium tangannya seperti biasa.
"Kok tumben sudah wangi, Dek?"
"Iya, Mas. Pulang langsung mandi tadi."
"Memangnya sudah masak?"
"Baru mau mulai masak. Aku mau nyoba masak nasi goreng cumi. Tapi kalau gak enak atau kurang cocok, jangan marah, ya?"
Mas Aksa menyeringai. Menepuk-nepuk pelan puncak kepalaku. Hangat kembali menjalar di dada, setelah lima hari beku oleh dingin sikapnya.
***

"Bagaimana?" tanyaku harap-harap cemas ketika Mas Aksa menyuapkan nasi goreng cumi ke mulutnya.
Mengunyah pelan lalu menjawab, "Lumayan."

Aku menghela napas lega. Tersenyum. Walaupun belum dikatakan seenak masakan Mama, tapi setidaknya cukup bisa dimakan dengan rasa yang lumayan.
"Mas, tadi Ibu telepon." Aku memulai pembicaraan sambil makan.
"Terus?"
"Hm … uangku, boleh gak, kalau aku transfer buat biaya sekolah Nirma dan Aini?" Aku bertanya ragu. Menggigit bibir menunggu jawaban.
Mas Aksa tersenyum. "Kenapa gak boleh? Kan uang kamu sendiri. Kalau kurang, nanti aku tambahin."
"Cukup kok," sahutku cepat. "Mama selalu kasih lebih malah. Apalagi kalau butik lagi ramai."
Mas Aksa mengangguk-angguk. "Pakai aja uang kamu buat apa saja. Aku gak akan ngelarang kok."
Aku tersenyum. "Terima kasih."

Hening sesaat. Hanya sendok yang beradu dengan piring menandakan aktivitas makan masih berjalan. Sebelum kemudian, Mas Aksa memulai pembicaraan lagi. Kali ini, sangat serius.

"Dek …."
"Hm?"
"Aku …."
"Ya?" Aku mengernyitkan dahi. Menatap menyelidik karena Mas Aksa menggantungkan ucapannya.
"Aku mau menerima tawaran beasiswa melanjutkan S2 di luar negeri," ucapnya cepat tanpa jeda.

Seketika saja, tubuhku seperti membeku. Kepala berdenyut sakit, mata berkunang-kunang, dan dada kembali sesak.
"Bagaimana, Dek? Aku butuh izin darimu."
Izin? Masihkah butuh izin dariku saat ia sudah memutuskan?
Mas Aksa menggenggam jemariku. "Nanti kamu tinggal di rumah Mama saja."
Lebih baik aku tinggal di desa saja bersama keluarga kandung.
"Aku janji akan sering menghubungimu nanti."
Benarkah? Saat jarak dekat saja, sering mengabaikan pesan dariku, apalagi nanti saat berbeda negara?
"Hanya sekitar dua sampai empat tahun. Setahun sekali, aku usahakan cuti."

Setahun sekali selama dua sampai empat tahun? Itu bukan waktu sebentar. Sedangkan sekarang masih satu atap, tapi beberapa hari seakan menjauh, hati sudah begitu sesak. Bagaimana aku bisa bertahan selama bertahun-tahun menjalin hubungan jarak jauh?

"Dek …." Mas Aksa menggenggam erat jemariku. "Kumohon."
Apa yang harus kulakukan sekarang?

Bersambung #6

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER