Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 17 Februari 2021

Malam Yang Tertunda #6

Cerita Bersambung
(side a)

Malam yang biasanya kutunggu, berubah menjadi waktu yang begitu membelenggu. Waktu di mana aku duduk berdua bersandar kepala ranjang. Mendengarnya bercerita banyak hal. Senyumnya yang mampu membuat jantungku berdegup kencang.
Aku … rindu malam-malam itu.

Malam ini terasa begitu mengerikan. Aku yang sibuk dengan pikiran dan hati berkecamuk liar. Mas Aksa sibuk dengan laptop dan buku-buku tebalnya di tangan.

Ada yang salah. Perubahan yang begitu tak kumengerti. Bertanya ada apa? Selalu dijawab tidak ada apa-apa dan baik-baik saja.

Bagaimana bisa dia bilang baik-baik saja, sedangkan tatapannya jelas menyiratkan perbedaan. Aku melihat bayangan lain di sana.

Terpejam tapi tangan berkali-kali menyeka sudut mata yang menumpahkan airnya. Sakit tapi tidak tahu cara menyampaikannya. Tidak bisakah ia melihat dari sorot mataku yang menyiratkan ketidakrelaan dan bertanya banyak hal?

Malam pun berlalu dan pagi menyambut, berharap ada secercah harapan yang bisa membuat wajah menyunggingkan senyuman. Nyatanya, semua masih sama saja.

Pagi-pagi sekali, Mas Aksa sudah rapi, bersiap pergi mengurus semua keperluan untuk persiapan keberangkatan ke Belanda. (Hanya) dua atau tiga tahun (saja) katanya. Aku tertawa miris mendengar kata 'Hanya dan Saja'.

Baginya, itu adalah waktu yang singkat. Tak berarti apa-apa. Bukankah sudah sangat jelas, bahwa aku sama sekali tak berarti apa-apa baginya? Ketika anggukan samar kuberikan, ia tersenyum semringah mengucapkan terima kasih berkali-kali. Lagi lagi, aku tertawa miris.

"Kamu sakit apa, Dek?" Mas Aksa menyentuh dahiku saat di meja makan waktu sarapan.
Aku menggeleng lemah. Bukan fisikku yang sakit, tapi hati. Tak bisakah ia mengerti?
"Wajah kamu pucat." Mas Aksa menyentuh pipi kemudian mengangkat daguku agar menatapnya.
"Aku gak apa-apa, Mas. Cuma sedikit sakit kepala."
"Cepetan makannya, nanti aku kasih obat."
Aku kembali menggeleng. Sama sekali tidak berselera makan.

Mas Aksa menggenggam jemariku. Menatapku dalam-dalam. "Apa kamu gak ikhlas aku pergi ke Belanda?"
Aku menggigit bibir. Menunduk. Menggeleng. Tak tahu harus berkata apa.
"Nanti aku usahakan lulus secepatnya. Dua tahun. Aku janji." Mas Aksa kembali mengangkat daguku.
"Tidak bisakah aku ikut denganmu, Mas?" Bergetar suaraku mengatakan itu. Setetes air meluncur juga dari mataku. Sesak tak dapat kutahan.

Mas Aksa bergeming. Jemarinya menyeka pipiku yang basah. Lalu meraihku dan mendekap erat. Aku terisak.
"Aku gak mau jauh dari kamu, Mas. Kita baru dua bulan menikah." Suaraku parau di sela isak tangis.

Mas Aksa hanya mendekapku semakin erat. Tanpa jawaban. Tanpa suara. Membuatku semakin sesak. Sendirian.
***

Mataku mengerjap pelan. Kepala jauh lebih ringan daripada beberapa jam yang lalu. Posisiku sekarang ada di ranjang. Tidur sejak pagi tadi karena tak kuat menahan denyut di kepala.

Menyibakkan selimut dan turun dari ranjang. Melirik jam bundar yang tergantung di dinding kamar. Pukul 10.30. Itu artinya aku tertidur hampir tiga jam lebih. Melangkah keluar kamar saat mendengar suara orang sedang bicara di lantai bawah.

"Kalau Inaya keberatan, lebih baik batalkan." Suara Mama terdengar samar-samar. Langkahku pelan sambil memasang telinga lebar-lebar.
"Mana bisa aku batalkan begitu saja, Ma. Aku sudah terlanjur menyetujuinya. Seniorku yang menginginkan aku menempuh pendidikan lebih di luar negeri. Dia juga yang mengusahakan beasiswa itu. Kalau aku batalkan begitu saja, yang ada aku akan dicap sebagai orang yang tidak bertanggung jawab dengan omongan sendiri." Suara Mas Aksa meski pelan dan penuh penekanan, masih bisa kudengar jelas seiring langkah yang menuruni tangga.
"Kalau begitu, ajak saja Inaya. Kalau uang dari beasiswa kurang, Mama yang akan membiayai."
"Bukan masalah biaya, Ma. Tapi …."
Mas Aksa menggantungkan kalimatnya. Mendesah berat dan berdecak.
"Pikirkan sekali lagi, Nak. Kamu sekarang sudah punya istri. Jangan sampai, karena istrimu yang tidak rela melepas kepergianmu, rumah tangga kalian jadi renggang. Pilihanmu sekarang hanya dua. Batalkan, atau ajak Inaya."

Hening. Tak ada jawaban dari Mas Aksa. Aku terduduk di lantai dengan tangan memegangi kepala yang kembali berdenyut sakit.
Seberat itukah mengajakku tinggal bersamanya?
"Inaya?!" seru Mama tapi aku tidak mengangkat wajah. Kepalaku terlalu sakit saat ini.

Suara langkah mereka terdengar mendekat. Mama bertanya banyak hal dengan nada khawatir, tapi sama sekali tidak kujawab.
"Dek …." Mas Aksa menyentuh bahuku. Tanpa berkata lagi, ia mengangkatku dan membawa ke kamar.
"Mama bikinin teh, ya?" Mama berucap setelah aku dibaringkan ke ranjang. Aku masih memejamkan mata. Rasanya nyeri dari ujung kepala sampai kaki.
"Kamu belum makan dari pagi. Gak mau minum obat. Gimana gak tambah sakit." Mas Aksa memijat bahuku. "Makan, ya? Biar Mama masakin. Atau mau aku beliin makanan di luar?"
Aku menggeleng lemah.

Terdengar helaan nafas beratnya sebelum berujar, "Gimana aku bisa ajak kamu ke luar negeri kalau kamu sakit begini?"
Mataku terbuka. Menatapnya dengan kaca-kaca yang hampir menutupi penglihatan. Bertanya tanpa kata.
"Aku akan ajak kamu ke Belanda."
Dahiku mengernyit. Air mata kembali meleleh. "Mas Aksa terpaksa ngajak aku? Gak ikhlas, kan?"
"Ikhlas, Dek." Mas Aksa menyeka lembut kedua pipiku. "Jangan mikir yang aneh-aneh. Udah ah jangan nangis. Gak enak diliat Mama. Hm?"
Aku menggigit bibir yang bergetar. Menghambur dalam pelukannya. "Mas Aksa jangan pernah tinggalin aku," lirihku bersama sesak yang menyeruak di dada.
"Gak akan. Kamu adalah amanah. Mana mungkin aku ninggalin kamu, Dek."
***

Mama sudah pulang dijemput Raka. Aku merasa ada yang ganjil antara Raka dan Mas Aksa. Mereka bahkan tidak bertegur sapa. Raka juga memilih banyak diam dan hanya berpamitan denganku saat pulang.

Mama memasak untukku dan Mas Aksa. Aku merasa tidak enak, karena telah merepotkan orang. Tapi mau bagaimana lagi, kepalaku terasa masih sangat berat, tubuh lemas sekali, dan sama sekali tidak nafsu makan. Mungkin karena banyak pikiran dan menangis dari kemarin sore.

"Ayo makan, Dek. Gimana mau sembuh kalau kamu gak mau makan?" Mas Aksa kembali membujuk saat baru tiga suap aku sudah tidak mau membuka mulut lagi.
"Eneg, Mas." Aku menggeleng.
"Mama yang masak lho. Sengaja masak sayur bayam dan goreng ayam khusus buat kamu. Ayo, abisin setengahnya aja."

Aku menghela napas lalu membuka mulut menerima suapan dari Mas Aksa. Mengunyah pelan dan saat ingin menelan, rasanya sangat berat. Bahkan ingin mengeluarkan kembali. Buru-buru aku mengambil minum di meja samping ranjang. Meneguknya agar apa yang kumakan tidak jadi keluar.

"Pelan-pelan, Dek." Mas Aksa mengelap bibirku dengan tisu. Napasku tersenggal-senggal selepas minum.
"Udah, Mas. Aku gak mau makan lagi. Eneg banget rasanya." Aku mengeluh. Menyandarkan kepala pada ranjang.
"Dek …."
"Hm?"
"Kamu … udah datang bulan semenjak terakhir melakukan hubungan?"
Dahiku mengernyit. Menelan ludah. Menggeleng lemah. Benar. Aku lupa kalau belum datang bulan sama sekali bulan ini.

Mas Aksa menatapku lamat-lamat. Entah apa yang dipikirkannya. Apa … mengira saat ini aku sedang hamil? Benarkah?
"Aku ke apotik dulu." Mas Aksa berdiri dan meletakkan piring di meja.
"Ngapain, Mas?" Aku menatap bingung.
"Beli testpack. Buat mastiin."

Mataku membulat. Mas Aksa mengusap rambutku dan mengecup pelan keningku kemudian berlalu.
Aku … hamil?

*****
(side b)

Pintu kamar mandi digedor berulang, aku menjawab serak untuk menunggu dengan sabar. Setelah beberapa menit tercenung menatap test pack di tangan, dengan langkah gontai aku membuka pintu.

"Bagaimana?" Mas Aksa bertanya tidak sabaran. Menatap wajahku lalu test pack di tanganku. Mengambil dan melihat. Seketika saja, matanya membulat sempurna.
Aku menggigit bibir, menelan ludah, dan menatap was-was. Ada banyak kemungkinan yang kupikirkan.

"Positif!" serunya. Bibirnya terkembang pelan. Menatapku lalu memeluk erat. "Positif, Dek! Kamu hamil. Mama pasti seneng dengernya."
Mama?

Mas Aksa melepas pelukan, masih dengan napas tak beraturan karena saking senangnya, ia berujar, "Aku hubungi Mama dulu." Berlalu ke meja di samping ranjang, mengambil ponsel.
Aku mematung di sini. Haruskah aku bahagia dengan semua ini? Aku hamil, dan Mas Aksa menyambutnya dengan gembira. Tapi bukan dirinya, melainkan Mama yang pertama dipikirkannya.
Lihatlah, Mas Aksa bahkan tersenyum lebar dan sangat antusias memberitahu Mama. Haruskah aku bahagia mendengarnya? Tapi mengapa hatiku justru terluka. Ada yang salah tentunya.

"Bagaimana dengan rencana ke Belanda, Mas?" Aku bertanya pelan saat sudah duduk berdua di ranjang.
Mas Aksa mendesah berat. Meraup wajah secara kasar. Menggeleng lemah. "Entah. Aku bingung, Dek. Aku gak mungkin bawa kamu saat hamil muda. Takut kalau kamu kenapa-napa nanti. Hamil muda masih sangat rentan. Apalagi di sana, tidak ada siapa-siapa yang bisa bantu dan menemani."
Aku menatap datar. "Apa … Mas Aksa akan tetap pergi?"

Mas Aksa memejamkan mata. Kembali mendesah berat. Seolah semua adalah keputusan yang sulit sekali. Tidakkah aku jauh lebih berarti?
***

Hati sedikit merasakan kelegaan ketika menelepon Bapak dan Ibu. Kemudian kedua adikku jahil bersahutan menggoda. Ibu yang dengan tutur kelembutannya memberi nasihat banyak tentang kehamilan. Aku tersenyum mendengarkan.

"Kamu baik-baik saja kan, Nay?" Bapak bertanya. Seolah tahu jika hati anaknya tengah terluka. Mungkin, ia adalah satu-satunya lelaki yang tidak akan rela melihat air mataku terjatuh. Satu-satunya lelaki yang mencintaiku dan rela mengorbankan apa pun demi diriku.
"Aku baik-baik saja, Pak." Tersenyum meski Bapak tak melihat. Mereka tak perlu tahu apa yang aku rasakan. Ah, mungkin karena hatiku terlalu sensitif karena kehamilan. Toh Mas Aksa masih melakukan kewajibannya sebagai suami. Apa sebenarnya yang aku tangisi?

Mama hari ini datang membawa banyak buah-buahan. Melayaniku dengan ketulusan. Sama halnya dengan Ibu, Mama juga memberikan banyak nasihat tentang kehamilan. Menenangkan sekali mendengarnya.
Sampai tiba pada obrolan tentang kuliah Mas Aksa ke luar negeri. Jika dulu Mama terlihat menginginkan sekali anaknya bisa mengambil pendidikan lebih tinggi, kini justru Mama yang melarangnya.
"Mama minta batalkan saja rencana kamu ke luar negeri, Nak. Istrimu sedang hamil. Jangan buat dia banyak pikiran apalagi sampai ditinggal."

Mas Aksa menunduk lesu. Lagi lagi, hatiku rasanya seperti teriris melihat ekspresinya. Seakan kehamilanku justru menjadi beban penghalang.

"Kalau Inaya diajak tinggal di sana, Mama tidak setuju. Di sana gak ada keluarga. Kalau kamu sedang sibuk di luar, terus terjadi sesuatu dengan Inaya bagaimana?" Mama kembali menegaskan.
Hanya anggukan lemah yang Mas Aksa berikan sebagai jawaban. Sebegitu pentingkah urusan ke luar negeri?
"Inaya juga gak usah ke butik. Kalau Mas Aksa kerja, kamu biar diantar ke rumah Mama saja. Mama bisa jagain kamu." Mama menyentuh tanganku. Menatap lembut.
Aku tersenyum. "Aku gak apa-apa kok, Ma. InsyaAlloh bisa jaga diri."
"Eh, tidak boleh menolak. Sekarang bukan jaga diri sendiri lagi, tapi ada janin di perutmu yang juga harus dijaga. Kalau kamu di rumah Mama, ada yang bisa dimintain tolong. Iya, kan?"

Aku mengangguk-angguk.
***

Pagi ini mendung menggelayut. Aku paling suka membuka tirai dan melihat embun menetes dari luar. Sedikit membuka jendela lalu menghirup udara segar. Berharap semua kesedihan yang masih menggantung, hilang ditelan cerahnya hari.

Aku tidak boleh sedih! Aku harus bahagia! Semua demi … ah, senyumku mengembang saat tangan menyentuh perutku yang masih rata. Ya, semua demi janin di dalam rahimku ini. Aku tidak boleh memikirkan banyak hal yang membuat beban.

Apalagi, Mas Aksa sudah rela membatalkan kuliahnya di luar negeri. "Aku bisa ambil pendidikan spesialis di sini kok, Dek. Gak apa-apa. Jangan dipikirkan," katanya semalam saat aku bertanya kepastian. Meminta maaf karena menjadi beban pikirannya.

Aroma roti panggang tercium menggiurkan. Pagi ini, Mas Aksa yang mengambil alih semuanya. Membuatku seperti seorang ratu. Hatiku sedikit menghangat karenanya.
Roti selai strawberry dan segelas susu cokelat sudah tersedia di meja makan. Aku pun telah duduk manis menunggu Mas Aksa mencuci tangan di dapur.

"Harus dihabiskan, ya." Mas Aksa mengecup puncak kepalaku saat kembali, lalu menarik kursi di sebelahku dan duduk.
"Terima kasih, Mas." Bibirku tak henti menyunggingkan senyuman.
"Sama-sama. Ayo dimakan."
Aku mengangguk dan mulai meminum susu cokelat lalu lanjut memakan roti selai strawberry panggang. Meski sedikit mual, kupaksakan untuk menghabiskan. Demi menghargai pekerjaan suami yang rela melayani.

"Nanti aku antar ke rumah Mama, ya?" ucap Mas Aksa setelah selesai menghabiskan satu roti.
Aku menggeleng. "Mual naik mobil."
Mas Aksa menyeringai tipis. "Biar nanti Mama yang datang ke sini."
"Eh, gak enak jadinya. Ngrepotin Mama terus."
"Gak apa-apa. Nanti aku telepon Mama biar ke sini."

Aku tersenyum. Mengangguk. Mencair sudah semua kebekuan beberapa hari ini. Kesedihan yang masih menggantung, terbang begitu saja. Hangat kembali menjalar di hati.
Terlebih, saat Mas Aksa menyentuh perutku dan berbisik, "Jaga diri baik-baik. Jangan banyak pikiran." Kemudian mencium keningku lama. Memudarkan seluruh rasa curiga.

Mas Aksa berangkat kerja, dan aku masih di rumah menunggu kedatangan Mama. Saat matahari tak muncul seperti ini, rasa malas menggelayuti badan. Membuatku ingin tiduran saja di kamar.
Alisku terangkat satu ketika melihat ponsel Mas Aksa tergeletak di meja kerjanya. Aku berdecak dan menggumam, "Bisa-bisanya lupa bawa HP. Terus aku hubunginya gimana nanti?"

Duduk di kursi kerja Mas Aksa dengan ponsel di tangan. Menggigit bibir menahan keingintahuan isi ponsel Mas Aksa. Sopan tidak, jika aku membuka tanpa seizinnya?
Rasa keingintahuanku sepertinya jauh lebih besar hingga memberanikan diri menekan tombol dan layar menampilkan kotak untuk memasukkan kata sandi.
Aku berdecak. Kenapa pula harus dikunci. Mencoba memasukkan nama Aksa Arjuna sebagai sandi, tapi tidak bisa. Tanggal lahirnya, juga tidak bisa. Lalu namaku, tetap tidak terbuka.

"Ish!" Aku mendesis kesal. Pandangan menyapu seluruh buku-buku yang berjejer rapi di meja. Penasaran, aku mengambil satu yang paling tebal. Ternyata buku tentang ilmu kedokteran. Mengembalikan ke tempat semula.

Mendesah panjang. Ponsel yang tertinggal ini, sama sekali tidak berguna. Padahal hati begitu penasaran. Siapa tahu, aku bisa menemukan potongan teka-teki tentang Mas Aksa yang sempat aneh beberapa hari kemarin.

Saat hendak berdiri, tatapanku menangkap ada pembatas buku warna merah muda sedikit terlihat dari jepitan banyak buku. Tangan terulur mencoba mengambilnya tanpa membuat berantakan buku lainnya.
Sebuah buku dengan sampul putih dan pembatas merah jambu. Cantik. Aku membuka, dan terkejut seketika.
Ada nama Aksa Arjuna yang terukir indah dan dibawahnya nama yang membuatku mengerngitkan dahi.
Ulfa Benazir.
Dua nama yang diukir indah dengan bingkai gambar hati dan bunga. Aku menelan ludah. Tak sabar membuka lembar berikutnya.
Ternyata sebuah foto. Ya, ini adalah buku yang diubah menjadi album foto. Dengan nama yang dilukis cantik bersama tanggal, bulan, dan tahun lengkap di bawahnya. Mungkin tanggal spesial. Dan ini, sekitar sepuluh tahun yang lalu. Sudah sangat lama.
Ada foto Mas Aksa dengan seorang wanita tersenyum lebar. Sama-sama memakai seragam putih abu-abu. Dahiku terlipat semakin dalam dengan tatapan fokus mencoba mengingat wajah wanita ini. Sepertinya aku pernah melihatnya.

Tak sabar, kubuka lembar berikutnya dan seterusnya. Semua foto-foto mereka berdua dengan bermacam pose dan di beberapa tempat. Sekolah, lapangan, kantin, toko buku, taman, tempat makan, dan lainnya.
Foto-foto pada lembar akhir, memperjelas wajah wanita ini. Kurasa foto masa kuliah, karena ada background sebuah universitas.

Wanita ini ….
"Kamu ... pasti Inaya, ya? Ternyata benar kata Dokter Aksa. Cantik. Dokter Aksa sering sekali membicarakanmu."
Ulfa?
Aku terperanjat dengan ingatanku sendiri tentang pasien di rumah sakit waktu itu. Benarkah dia? Teringat bagaimana Mas Aksa memarahi wanita itu, bukan seperti biasa dokter memarahi pasien, tapi cara marahnya Mas Aksa jelas berbeda.

Dadaku naik turun menahan sesak. Lembar berikutnya kubuka hingga tiba pada lembar terakhir. Mataku semakin terbelalak lalu meredup seiring detak jantung yang seolah menyakitkan.
Meski raga ini akhirnya dimiliki wanita lain, percayalah hanya kau pemilik hati dan cinta ini. (Aksa Arjuna)

Seketika hatiku bagai jatuh tersungkur ke dalam jurang paling dalam. Dilempar, diinjak, dan hancur berantakan. Dadaku kembang kempis menahan gemuruh yang menyesakkan. Air mata terjatuh.
Seperti sebuah potongan teka-teki yang semakin nyata terlihat, otakku seolah mampu merangkainya sekarang. Kugapai ponsel Mas Aksa di meja dengan tangan gemetar, membuka layar dan memasukkan nama Ulfa Benazir sebagai kata sandi.

Aku tersenyum getir saat ponsel itu terbuka. Air mata semakin deras mengalir. Sekarang, mampukah aku menerima fakta lain?
Mana yang lebih sakit, diselingkuhi secara hati atau fisik?

Bersambung #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER