Cerita Bersambung
(side a)
[Hei, Arjuna! Mana foto calon istrimu?]
[Tidak ada]
[Heh! Kau benar-benar tidak meminta fotonya?]
[Buat apa?]
[Hei! Menyebalkan sekali kamu ini. Calon suami macam apa coba? Untung bukan aku yang jadi calon istrimu. Hahaha]
Aku memejamkan mata, menahan nyeri di dada. Aku ingat, tanggal pesan ini adalah ketika Mas Aksa pertama kali datang ke rumah untuk melamarku.
[Selamat menempuh hidup baru, Arjunaku. Semoga selalu diberi keberkahan dan kebahagiaan dalam rumah tanggamu. Kau tetap Arjunaku, bukan? Tapi sekarang, kau boleh membuat istana baru bersama istrimu. Doaku selalu menyertaimu. Bahagialah selalu. Karena bahagiamu, bahagiaku juga.]
Air mata berjatuhan membaca pesan ini yang ditambahi emoticon tersenyum dan pelukan. Pesan dengan tanggal tepat saat pernikahanku waktu itu. Meski tanpa balasan apa pun dari Mas Aksa, rasanya tetap menyesakkan.
[Arjuna! Kau sudah kembali ke Jakarta? Jadi, kapan rencana resepsi di sini?]
[Tidak ada resepsi]
[Kenapa?]
[Tidak ada]
[Kau sama sekali tidak berniat mengadakan resepsi di sini?]
[Tidak]
[Mana boleh begitu? Apa kamu tidak tahu jika aku menunggu acara itu. Aku ingin sekali melihatmu duduk di kursi pelaminan secara langsung. Dan aku, akan datang sebagai tamu spesial. Aku pasti akan menangis haru, ketika melihatmu bak Arjuna. Hahaha]
Aku menarik napas panjang memberi sedikit ruang di dada yang sesaknya semakin menyeruak. Inikah alasan Mas Aksa tidak ingin mengadakan resepsi? Hanya untuk menjaga perasaan wanita itu?
[Jam berapa sekarang? Kenapa masih online?]
[Aku tidak bisa tidur.]
[Kamu sedang sakit. Tidak bisakah menjaga diri sendiri dengan baik?!]
[Bisa.]
[Sekarang matikan HP dan tidur!]
[Tidak mau!]
[Ulfa! Apa kamu suka berlama-lama tidur di rumah sakit?]
[Hahaha ya ya ya, Dokterku yang galak. Aku akan jadi gadis penurut jika keinginanku juga dituruti.]
[Apa?]
[Aku ingin bertemu dengan istrimu.]
[Jangan bercanda!]
[Aku sedang tidak melawak. Aku serius. Apa kamu mau membuatku mati penasaran? Lagian besok kan kamu libur. Coba bawa istrimu ke rumah sakit dan kamu bisa kenalkan dengan teman-temanmu di sini, sebagai alasan.]
[Tidak!]
[Kumohon. Aku hanya ingin melihat seperti apa wanita yang akan menemani dan menjagamu seumur hidup. Aku hanya ingin memastikan, bahwa dia adalah wanita baik dan bisa dipercaya. Itu saja.]
Tidak ada balasan. Dan sekarang, aku menangis sejadi-jadinya dengan tangan memegang dada. Sakit! Teramat dalam malah. Ketika satu persatu fakta telah terbuka. Lalu menggoreskan luka, semakin dalam dan dalam.
Fakta yang paling menyakitkan adalah suamiku sama sekali tidak mencintaiku. Dia bahkan tidak menginginkanku. Tidak ada sedikit pun aku di hatinya. Tidak ada!
Pantas saja, dia tahan untuk tidak menyentuhku sampai tiga minggu lebih. Andai aku tidak meminta, mungkin sampai sekarang aku juga masih gadis. Dan tidak akan ada janin di rahim ini.
Ya Alloh! Kenapa fakta ini begitu menyakitkan. Kupikir aku adalah wanita paling beruntung karena dinikahi oleh lelaki tampan, mapan, dan berakhlak baik. Sikap dan sifatnya bahkan sangat lembut. Nyatanya, di balik semua perhatiannya, ia menyembunyikan sebuah fakta besar!
Fakta yang seolah-olah aku merebut dia dari kekasihnya!
Suara mobil terdengar parkir di halaman. Aku bagai patung di sini. Hanya duduk dengan derai air mata membasahi pipi. Tak sanggup lagi membaca pesan-pesan mereka. Terlalu menyakitkan.
Langkah kaki terdengar menaiki tangga. Aku bahkan sama sekali tidak peduli lagi jika ketahuan membaca semua pesan dan melihat album fotonya. Biarlah. Jika dia marah, itu sudah cukup membuatku sadar diri untuk mundur.
"Dek!" seru Mas Aksa dengan nada suara tinggi. Lalu langkahnya cepat menghampiri. Aku masih diam dengan tatapan kosong.
"Kamu ngapain buka-buka bukuku?" Suara Mas Aksa tercekat. Mungkin karena terkejut. Kemudian meraih ponselnya yang tergeletak di meja.
"Jangan bilang kalau kamu juga buka-buka HP aku?!" Suara Mas Aksa kembali meninggi. Kemudian terdengar helaan napas berat dan decakan berkali-kali.
Aku hanya mendengkus pelan. Menyeringai tipis. Mendongak menatap wajahnya yang berubah pias seketika, dengan tangan mengusap kasar rambut.
"Pulangkan saja aku, Mas."
Kedua alis tebal Mas Aksa bertautan. Berdiri bertumpu lutut di hadapanku. "Apa maksudmu, Dek? Aku bisa jelaskan semuanya." Suaranya bergetar dengan tatapan yang sulit kuartikan.
"Semuanya sudah jelas, Mas. Aku hanya ingin pulang sekarang." Aku menunduk. Terpejam diikuti linangan air mata.
"Pulang? Maksudnya bagaimana?"
"Ya aku mau pulang, Mas!" Suaraku tercekat tapi Mata menatap tajam. "Buat apa aku di sini kalau suami sendiri bahkan sama sekali tidak menginginkan!"
"Maksudmu apa sih, Dek?" tanyanya penuh penekanan.
"Apa kurang jelas sih, Mas? Aku mau pulang! Aku gak mau tinggal di sini! Aku gak mau tinggal bersama lelaki yang masih terikat dengan cinta masa lalu!"
Mas Aksa terdiam. Matanya masih menatapku, tapi tangan yang tadi menggenggam kedua tanganku erat, mulai terlepas.
"Gak semudah itu menghilangkan cinta yang telah lama bersemayam. Tidak gampang!" ucapnya dengan suara rendah walau ada penekanan di setiap kata.
"Bagaimana bisa hilang, kalau foto-fotonya masih disimpan! Bahkan sandi HP aja pakai nama dia!" Emosiku mulai naik. Meski suaraku bergetar, tapi aku bisa mengucapkannya secara jelas dan lantang.
Mas Aksa bergeming dan memejamkan mata.
"Kenapa Mas Aksa menikahiku jika yang dicintai adalah wanita itu? Kenapa?" Setetes air kembali meluncur menemani pertanyaanku.
"Sudah kukatakan sebelumnya. Bahwa kamu adalah amanah Papa," lirih Mas Aksa mengatakan.
"Hanya karena amanah?" Aku menggigit bibir. Miris! "Kenapa Mas Aksa tidak menolak saja? Kenapa tidak terus terang saja pada Papa bahwa ada gadis lain yang Mas Aksa cintai?!"
"Kamu sudah pernah kuberitahu sebelumnya. Bahwa Papa atau Mama adalah dua orang yang tidak bisa aku bantah keinginannya. Kamu sudah pernah aku ceritakan bagaimana kehidupanku masa kecil," jelas Mas Aksa dengan suara datar.
"Lalu apa gunanya pernikahan ini jika Mas Aksa saja sedikit pun tidak menaruh hati padaku? Apa?"
"Aku sedang berusaha. Tapi itu butuh waktu lama. Bersabarlah." Suara Mas Aksa semakin lirih terdengar.
"Sabar?" Aku menggeleng kuat. "Aku tidak bisa, Mas. Aku gak bisa kalau harus nunggu cinta dari Mas Aksa. Sedangkan aku tahu, cinta Mas Aksa sangat besar pada wanita itu? Sekarang lebih baik ceraikan saja aku, lalu menikahlah dengan wanita itu!"
"Inaya!" bentak Mas Aksa untuk pertama kalinya. Membuatku terpekik dan memejamkan mata seketika.
Mas Aksa berdiri lalu mundur selangkah. "Gampang banget kamu minta cerai? Apa kamu lupa kalau sedang hamil? Apa kamu tidak memikirkan bagaimana nasib anak kita nanti?"
Aku hanya diam. Sesenggukan.
"Aku sedang berusaha melupakan masa lalu! Aku juga sedang berusaha membuka hati untukmu! Apa kamu tidak bisa sedikit saja menghargai itu?!"
Aku masih diam dengan air mata yang semakin deras berjatuhan. Sedangkan Mas Aksa, terus saja melanjutkan.
"Kamu pernah bilang kalau cinta sama aku, kan? Sekarang coba tanyakan lagi hati kamu! Benarkah mencintaiku, jika baru dua bulan saja sudah minta pisah?!"
Aku menggeleng lemah. Tidak! Itu karena hatiku sudah terlalu sakit menerima kenyatan.
"Kamu tahu dia?" Mas Aksa melakukan penekanan pada kata 'dia'. "Dia bahkan sudah lebih dari sepuluh tahun mengenal dan menemaniku! Tapi dia yang justru mendukungku untuk tetap menikahi wanita amanah Papa! Dia bahkan sama sekali tidak meninggalkanku sendiri saat aku benar-benar terpuruk karena pilihan tersulit dalam hidupku!"
Cukup! Batinku menjerit. Semua penjelasan ini, bagai tamparan keras hingga membekas.
"Dia! Wanita yang lebih dari sepuluh tahun bersamaku, bahkan merelakan aku menikahi wanita lain dan menyuruhku melupakannya! Apa kamu sanggup melakukan itu, Inaya?!"
Aku menggigit bibir yang bergetar karena isakan.
"Kamu tahu apa kata dia setelah melihatmu? Dia terus-terusan memujimu. Katanya, aku beruntung memiliki istri sepertimu. Katanya, kamu adalah wanita yang jauh lebih baik darinya. Jauh lebih layak untuk menemaniku seumur hidup! Dan kamu tahu? Dia juga menyuruhku untuk berusaha lebih keras untuk mencintaimu. Apa kamu sanggup melakukan itu jika jadi dia? Sedangkan kamu baru dua bulan saja sudah minta cerai?!"
Aku memberanikan diri menatap Mas Aksa. Kedua mata itu berembun. Memerah seiring amarah yang keluar.
"Coba buka mata hati kamu dan lihatlah! Di sini, bukan cuma kamu yang terluka!"
Mas Aksa meraih ponsel dan album foto dari meja lalu melangkah lebar keluar kamar. Aku hanya bisa sesenggukan di sini. Menangisi nasib diri. Lalu terbesit tanya ….
Manakah yang jauh lebih sakit? Bisa memiliki raganya tapi tidak dengan hatinya, atau bisa memiliki hatinya tapi tidak dengan raganya?
*****
(side b)
Ketika panggilan 'Dek' berubah nama dengan bentakan saja sudah sangat sakit. Apalagi dibanding-bandingkan dengan wanita masa lalunya. Jangan tanya bagaimana rasanya.
Mati!
Hatiku bagai mati saat ini. Semua rasa itu terbunuh oleh kata-katanya. Dia menancapkan pisau belati di hati. Kemudian menyayatnya hingga goresan itu semakin dalam. Perih!
Semua ucapannya seperti tamparan keras. Seolah aku hanya wanita yang tak ada apa-apanya dibandingkan dengan wanita yang ada di hatinya. Seakan aku adalah wanita paling egois karena memikirkan perasaan sendiri.
Ini ujian ataukah hinaan?
Andai belum ada janin di rahimku, mungkin semua akan jauh lebih mudah untuk mengambil keputusan. Tapi tetap saja, ada orangtua yang akan ikut terluka dengan kegagalan rumah tangga anaknya.
Siapa yang harus disalahkan sekarang? Takdir? Entahlah. Toh aku sendiri yang memutuskan menerima pinangan Mas Aksa.
Jadi ini semua salahku. Dan sekarang adalah resiko yang harus kuambil.
Bertahan pada kesakitan demi janinku dan orangtua. Agar mereka tak merasakan luka seperti yang kurasakan.
Suara bel rumah berbunyi. Itu pasti Mama. Tapi aku sama sekali tak berniat menemuinya. Apa yang harus kujelaskan jika tahu sembab di mata ini. Yang paling berhak menjelaskan adalah Mas Aksa. Tapi dia pergi entah ke mana.
Ponsel di samping bantal berdering. Aku hanya melirik sekilas melihat nama pemanggil. Mama. Aku menggeleng dan tak berniat mengangkatnya. Aku hanya ingin sendiri saat ini.
***
Air dari langit mulai berjatuhan. Rintik yang awalnya pelan, mulai semakin deras. Bibir menyeringai tipis. Seolah hujan yang turun, sedang menemani tangisku.
"Aku suka hujan!" seruku di bawah guyuran hujan yang sangat deras di belakang rumah. Saat itu usiaku sekitar lima tahun.
Masih kuingat jelas, Ibu yang marah-marah karena aku bermain hujan. Lalu Ayah datang membela. Ikut hujan-hujanan bersamaku.
Ayah! Adalah satu-satunya lelaki yang tidak pernah rela anak perempuannya dimarahi oleh siapa pun. Lalu, bagaimana jika sekarang Ayah tahu, kalau anak perempuannya dibentak-bentak oleh lelaki yang berjanji menjaga.
Sepertinya hanya Ayah, satu-satunya lelaki yang mencintaiku sepenuh hati. Yang rela melakukan apa pun demi kebahagiaanku. Yang tak rela melihat air mataku terjatuh. Hanya Ayah.
Dan teringat, saat hari-hari sebelum acara pernikahan. Hati yang dirundung gelisah dan keraguan. Benarkah keputusan yang telah kuambil? Lalu Ibu membelai rambutku lembut dan memberi banyak nasihat, menguatkan.
"Bu, apa keputusan yang aku ambil sudah tepat? Aku takut jika suatu saat nanti gagal mempertahankan pernikahan. Karena aku dan Mas Aksa baru saja mengenal."
"Memangnya ada jaminan, jika bertahun-tahun mengenal, pernikahan akan langgeng? Tidak, Nay. Tidak ada jaminan sama sekali dalam sebuah pernikahan. Mau baru mengenal atau sudah puluhan tahun sekali pun. Sama saja. Tergantung bagaimana kehidupan rumah tangga nanti."
Aku yang tiduran di pangkuan Ibu, mendongak menatap wajah teduh itu dengan tatapan meminta penjelasan lebih.
"Kamu tahu, Nay? Kita itu, menikah dengan orang yang tidak ada hubungan darah sama sekali. Itu sebabnya, dia akan tetap menjadi orang lain sepanjang apa pun usia pernikahan. Tak heran, jika banyak yang memutuskan berpisah dan bahkan bermusuhan. Padahal, usia pernikahan sudah puluhan tahun."
"Lalu, bagaimana caranya supaya pernikahan itu tetap langgeng sampai maut yang memisahkan, Buk?"
"Tidak ada jaminan, Nay. Yang perlu kamu lakukan hanyalah menjalani rumah tangga dengan ikhlas. Lakukan tugas seorang istri tanpa menuntut hak atau balasan. Karena saat ikrar ijab qabul terucap, maka surgamu sudah berpindah pada suamimu, bukan lagi pada Ayah. Itu sebabnya, lakukan tugasmu dengan ikhlas sebagai seorang istri. Urusan tugas suami atau kewajibannya, itu urusan dia kepada Alloh."
"Tapi, bagaimana jika suami ternyata bukan orang baik? Apakah aku harus tetap bertahan?"
"Asal suami tidak sering berkata kasar, atau memukul, maka bertahanlah apa pun masalahnya. Tidak ada rumah tangga yang berjalan lurus tanpa hambatan atau ujian. Ingat, Nay, perceraian adalah sesuatu yang dibenci oleh Alloh. Jika pernikahan itu masih bisa dipertahankan, maka pertahankanlah. Jangan mudah menyerah."
Aku menghela napas panjang. Memejamkan mata saat mengingat semua nasihat Ibu. Mungkinkah aku mampu bertahan, Bu? Sedangkan sakitnya luar biasa ketika tahu suami masih menyimpan cinta pada wanita masa lalunya. Sedangkan suami sama sekali tidak mencintaiku.
Ibu, pinjamkan hatimu sebentar saja agar aku bisa sekuat dirimu yang bisa mempertahankan pernikahan hingga puluhan tahun.
Kukira, pernikahan itu menyenangkan. Nyatanya, sangat menyakitkan. Kupikir, rumah tangga itu kebahagiaan. Nyatanya, penuh lika-liku dan rintangan.
Mampukah aku ikhlas menerima ujian pernikahan?
***
Menatap kaca jendela yang berembun. Hujan sudah reda, hanya menyisakan basah di mana-mana. Aku menatap datar dari kamar. Duduk termenung bersandar kepala ranjang. Tidak ada air mata lagi. Hanya saja, hatiku masih terasa nyeri.
Bukankah jauh lebih menyakitkan, tangisan dalam diam?
Sekarang sudah hampir senja. Sayangnya, matahari seharian ini sama sekali tidak menampakkan diri. Tertutup oleh gumpalan awan hitam. Seperti mendung di wajah ini. Bahkan tidak berselera turun dari ranjang, walau untuk sekadar menyalakan lampu.
Suara mobil Mas Aksa terdengar parkir di halaman. Namun, tatapanku masih tertuju pada jendela tanpa berniat turun untuk menyambutnya pulang. Pikiran justru melayang dengan berbagai kemungkinan. Bagaimana jika Mas Aksa akhirnya memutuskan untuk menceraikanku.
"Dek!"
Pintu kamar terbuka. Aku menoleh, dan menatap datar. Mas Aksa membawa bingkisan dan melangkah lebar menghampiri setelah menyalakan lampu.
"Kenapa Mama gak dibukakan pintu tadi pagi?" Mas Aksa meletakkan bingkisan di meja samping ranjang. Kemudian duduk di hadapanku.
"Jangan bilang kalau kamu juga belum makan!"
Perhatian ini seharusnya membahagiakan. Tapi mengapa justru menyakitkan. Setetes air mata kembali terjatuh tanpa mampu kutahan.
Mas Aksa merengkuh tubuhku erat. Sangat erat malah. Kemudian berbisik lirih, "Maaf! Maaf! Maaf!"
Tangisku kembali pecah. Tak perlu kuuraikan bagaimana perasaanku. Semua rasa melebur menjadi satu.
Mas Aksa merenggangkan pelukan. Mengusap kedua pipi dan mataku. "Jangan nangis lagi. Maaf, ya soal tadi pagi. Maaf."
"Aku yang seharusnya minta maaf. Karena telah lancang membuka privasi Mas Aksa. Maaf," lirih dan bergetar suaraku tapi masih mampu terdengar olehnya.
Mas Aksa menghela napas panjang. Tersenyum tanggung. Menggeleng. "Jangan bahas itu lagi. Lupakan. Aku yang salah. Sekarang kamu harus makan. Inget, kamu lagi hamil. Mana boleh gak makan seharian begini. Hm?"
Jemari Mas Aksa kembali mengusap mataku yang kembali berair. "Aku beli nasi ayam crispy. Makan, ya? Aku cuci tangan dulu."
Tanpa menunggu jawaban, Mas Aksa pergi ke kamar mandi. Kembali dan langsung membuka bingkisan dengan sampel nama restoran cepat saji. Mengeluarkan satu kotak, dan membuka. Duduk di hadapanku. Tersenyum saat menyodorkan tangan yang sudah ada nasi dan secuil ayam.
"Ayo makan. Aku akan marah lagi kalau kamu gak mau makan. Hm?"
Aku membuka mulut menerima suapan darinya. Lihatlah, bukankah Mas Aksa adalah lelaki baik. Seorang suami yang berusaha melakukan kewajibannya dan sangat bertanggung jawab.
Masalahnya, aku yang tidak terima jika di hatinya masih ada wanita lain. Aku yang tidak rela, jika hanya aku yang mencintainya. Aku yang ingin memiliki sepenuhnya. Raga dan hatinya.
Ini hanya perkara cinta. Namun jadi sangat menyakitkan karena hati yang tidak terima.
"Kalau makan, jangan sambil nangis. Nanti air matanya ikut kemakan." Mas Aksa kembali mengusap mataku yang lagi lagi basah.
Baru dua suapan, rasanya sudah sangat mual hingga tak tahan ingin memuntahkan. Aku menutup mulut dan berlari ke kamar mandi. Menutup dan bahkan mengunci. Tak mempedulikan teriakan Mas Aksa.
"Dek, buka pintunya! Kenapa dikunci! Dek!"
Aku menghela napas panjang dan mencuci mulut. Membuka pintu dan langsung disambut dengan usapan tangan Mas Aksa di keningku yang berkeringat.
"Kenapa dikunci pintunya?"
"Nanti Mas Aksa ikut mual kalau liat muntahanku."
"Ck, kamu ini ada-ada aja."
Aku berjalan gontai menuju ranjang. Mas Aksa merangkul bahuku dan menyelipkan anak rambut ke telinga.
"Makan lagi, ya?" Mas Aksa kembali menyodorkan nasi setelah duduk ke tempat semula.
Aku menggeleng lemah. "Mual."
"Ya memang begitu. Tapi tetap harus makan. Kasihan perutnya. Hm?"
Aku kembali membuka mulut. Menyandarkan kepala dan mengunyah pelan. Melirik kotak nasi yang masih ada di meja.
"Mas Aksa pasti juga belum makan, kan?" Aku bertanya.
"Belum. Nanti aja kalau kamu sudah selesai makan."
"Mana boleh begitu. Dokter gak boleh sakit."
Mas Aksa terkekeh pelan. Aku menarik tubuh sedikit mendekat. "Aku suapin Mas Aksa, ya?" Mengambil nasi dan secuil ayam lalu menyodorkan ke mulut Mas Aksa.
Mas Aksa tersenyum membuka mulut. Tangannya terulur menyentuh samping bibirku, mengambil sebutir nasi. Kami tertawa bersama. Tawa yang canggung sebenarnya.
"Dek …."
"Hm?"
"Aku bener-bener minta maaf soal tadi pagi. Aku gak maksud buat marah apalagi bentak-bentak kamu. Aku hanya kebawa emosi. Maaf, ya?"
Aku menggigit bibir. Menghela napas panjang sebelum berujar, "Aku maafin. Tapi Mas Aksa janji."
"Apa?"
"Jangan bentak-bentak aku lagi, ya? Jangan …." Aku menggantungkan ucapan. Ah, sesak itu kembali menjalar di dada.
"Apa?"
"Jangan bandingkan aku dengan dia." Aku menggigit bibir. Tak sanggup melanjutkan. Hanya tetesan air mata yang mewakilkan.
"Maaf." Mas Aksa mengusap mataku. "Aku janji. Tapi kamu juga harus janji."
"Apa?"
"Jangan minta cerai lagi. Ya?"
Aku mengangguk cepat. "Boleh meluk sebentar?"
"Kenapa harus minta izin?" Mas Aksa merentangkan kedua tangan. Aku menghambur dalam pelukannya. Menangis sejadi-jadinya.
Dalam lubuk hati yang paling dalam, aku meminta maaf padamu, Mas. Maaf bila aku tak sebaik wanitamu dulu. Dan cintaku, tak sesempurna cinta wanitamu dulu. Bahkan mungkin, aku tidak akan sanggup menjadi seperti wanitamu dulu.
Namun ….
Bisakah kau percayakan hatimu padaku? Akan kubangun sebuah istana cinta yang jauh lebih megah dan jauh lebih indah.
Karena aku hanya ingin mencintaimu dengan caraku.
Bersambung #8
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel