Cerita Bersambung
(side a)
Awalnya, kupikir, cinta itu saat merasakan debar di dada ketika bersamanya. Merasakan kerinduan yang mendalam walau hanya sehari saja tak jumpa. Merasa tak rela saat dia bercanda dengan wanita di luar sana. Atau hal-hal sederhana lainnya yang membuat hati berbunga.
Nyatanya, perasaan itu bisa dirasakan siapa saja. Bisa dibilang, hanya kekaguman semata.
Berbeda dengan cinta.
Cinta yang sesungguhnya itu ketika kita kecewa dan terluka karenanya, tapi sama sekali tak mampu membencinya.
Ya, aku mencintainya. Teramat dalam malah. Tak peduli, jika cintaku tak terbalaskan. Tak peduli, jika di hatinya hanya ada wanita lain.
Aku mencintainya. Tak peduli, meski dia menerimaku karena keterpaksaan atau bahkan karena kasihan.
Aku mencintainya. Maka kubiarkan dia tetap dengan hatinya yang mencintai wanita lain. Dan aku tetap dengan hatiku yang mencintainya.
Sakit? Ya, tentu saja. Tapi jika memaksa hatinya untuk mencintaiku, kurasa itu justru akan jauh lebih menyakitkan. Karena semua itu, hanya akan berakhir sia-sia. Persoalan hati, bukankah tidak bisa dipaksakan?
Aku mencintainya. Itu cukup. Dengan atau tanpa balasan. Biarlah semua mengalir apa adanya. Karena bagiku, cinta itu bukan memikirkan kebahagiaan hati sendiri, tapi lebih memikirkan kebahagiaan hati orang yang dicintai.
Air mataku berderai menatap wajah yang terlelap di sampingku. Wajah yang selama bertahun-tahun kubayangkan dalam penantian. Seperti apa, rupa lelaki yang akan menemani tidurku, menghiasi hari-hariku.
Ketika sekarang Alloh telah mempertemukan dan memperlihatkan, haruskah aku mengeluh dan marah karena tak sesuai yang kuinginkan?
Lelaki yang Alloh takdirkan untukku ini adalah lelaki yang terbaik, aku yakin itu. Bukankah dia yang sejak kemarin menemaniku periksa ke dokter kandungan. Membuatkanku makanan sehat atau membelikan sesuatu yang kuinginkan. Menyuapi dan merayu agar aku mau makan walau beberapa suap saja. Mengelus punggung dan memeluk ketika aku lemas karena memuntahkan semua makanan.
Dia lelaki baik. Sangat baik malah. Lelaki bertanggung jawab. Lalu apa yang kurang? Apa yang aku tangisi sekarang?
Hanya persoalan hati dan cinta. Aku tersenyum miris.
Sekarang, kuikhlaskan baktiku padanya. Tetap melakukan tugas dan kewajiban seorang istri pada semestinya. Urusan cinta, kuserahkan semua pada Sang Pemilik Hati. Yang Maha membolak-balikkan hati manusia.
Kepalaku terangkat lalu mendekat ke wajah Mas Aksa. Mengecup pelan pipinya lalu berbisik lirih, "Aku mencintamu, Mas."
***
Aroma roti selai strawberry, pisang, susu cokelat, menguar saat kupanggang. Sambil menunggu, aku menyiapkan segelas susu cokelat untuk Mas Aksa. Aku sendiri, memilih membuat teh hangat saja.
"Sarapan sudah siap!" seruku pada Mas Aksa yang baru saja pulang dari sholat Subuh seperti biasa di mushola terdekat.
"Lho, kan aku udah bilang, Dek. Nanti biar aku aja yang bikin." Mas Aksa melangkah mendekat ke meja makan.
"Cuma bikin sarapan roti aja. Bukan ngangkat galon kok."
Mas Aksa tertawa. Mengusap rambutku lalu duduk di kursi meja makan. "Tadi aku ada tanya-tanya sama warga di mushola."
"Apa?" Dahiku mengernyit.
"Orang yang bisa bantu-bantu bersih-bersih rumah."
"Hm? Buat apa?"
"Ya buat bantu bersih-bersih rumah, Dek. Memangnya aku tega liat kamu yang lagi hamil kerja beresin rumah sendiri?"
Aku tersenyum. "Gak masalah sih sebenernya, Mas. Lagian gak berat juga. Toh rumah kita juga gak besar."
"Jangan bandel." Mas Aksa mencolek hidungku. "Udah dapet tadi. Paling besok bisa mulai kerja. Aku suruh pagi aja datengnya."
"Berarti cuma beresin rumah terus pulang?"
"Iya. Paling cuma tiga jam juga udah beres."
Aku mengangguk-angguk. Mulai menyuapkan roti panggang ke mulut. Begitu juga Mas Aksa.
Namun, baru beberapa suap, lagi-lagi aku harus lari ke kamar mandi, memuntahkan semuanya.
"Jangan lari. Nanti kalau kepleset gimana?" Mas Aksa memijat pelan leherku. Mengusap punggung lalu menyeka wajahku dengan tisu setelah aku mencuci mulut dan muka.
Perlakuan lembut ini, justru membuatku sakit. Karena hatiku yang akan semakin cinta. Sakit, karena harus jatuh cinta sendirian tanpa balasan.
"Dicoba lagi." Mas Aksa menyuapiku dengan roti panggang, setelah kami kembali duduk di ruang makan.
Aku menggeleng.
"Kasihan perutnya kosong, Dek. Tadi kan keluar semua isinya. Ayo."
Pelan aku membuka mulut dan menerima suapan dari Mas Aksa.
"Pelan-pelan." Mas Aksa mengusap ujung bibirku dengan jarinya.
"Nanti aku antar ke rumah Mama, ya."
Aku mengangguk.
"Kalau ada apa-apa kabarin. Dan kalau pengen sesuatu bilang."
Aku tersenyum.
***
Mama menyambut kedatanganku dengan senang hati. Bertanya ini itu tentang kehamilanku yang baru berusia lima minggu ini. Bertanya hasil pemeriksaan ke dokter kandungan kemarin. Bertanya banyak hal yang membuatku tersenyum bahagia menjawabnya.
Dari jam sepuluh sampai terdengar adzan Dzuhur, aku membantu Mama membuat kue-kue kering. Menyenangkan sekali. Setidaknya beban di hati sedikit berkurang dengan kegiatan ini.
Siang ini, kami makan dengan menu sop udang, ayam dan tahu goreng, ikan yang dibumbu asam manis. Raka yang baru pulang dari kuliah, ikut duduk bersama.
"Harus makan yang banyak, ya." Mama menyendokkan nasi untukku.
"Cukup, Ma." Aku mencegah ketika Mama hendak menyendok nasi lagi. "Nanti bisa nambah kalau kurang."
"Kalau begitu, sayurnya yang banyakan. Biar sehat kandungannya." Mama menyendokkan sop udang ke mangkuk kecil untukku.
"Ma …." Raka menyodorkan piring.
"Sebentar," jawab Mama. Lalu kembali fokus padaku. "Mau tahu atau ayam?"
"Tahu aja." Aku menjawab.
"Sama ayamnya, ya? Atau ikan?"
Aku menggeleng.
"Ma …." Raka mengetuk piring dengan sendok. Aku meliriknya dan menahan tawa.
"Kamu ini apa sih. Sebentar." Mama menyendokkan nasi untuk Raka. Kemudian fokus lagi padaku. "Mama lupa kalau punya kerupuk udang? Di dapur ada banyak. Kemarin Mama baru goreng. Mau?"
Aku menggeleng. "Ini aja, Ma."
"Ini ayamnya harus dimakan." Mama mengambil potongan ayam tepung untukku.
"Ma!" Raka kembali protes.
"Apa sih kamu. Sebentar."
"Raka juga laper, Ma."
"Laper ambil sendiri kan bisa."
"Ck, gini nih. Kalau gak makan di rumah, rusuh banget telepon bolak-balik suruh pulang. Giliran makan di rumah, malah gak diladenin."
Aku tersenyum melihat ekspresi Raka. Mama mendesah panjang lalu berdiri dan mengambilkan sop udang untuk Raka.
"Kamu kan liat, ada Inaya yang lagi hamil. Ya jelas dong kalau Mama utamakan dia daripada kamu."
"Apa Raka harus hamil dulu?"
"Kamu ini!" Mama mencubit lengan Raka.
"Nah kan. Kalau di rumah dianiaya mulu sih."
Aku tertawa pelan melihat tingkah Raka yang jahil menggoda Mama. Hal-hal seperti ini, membuatku rindu dengan suasana rumah.
"Nanti Mama ada acara di luar. Kamu di rumah aja temenin Inaya. Jangan keluyuran," ucap Mama pada Raka di sela makan.
Aku mengunyah pelan memperhatikan.
"Anak suruh di rumah, mamanya malah keluyuran," jawab Raka yang langsung mendapat cubitan lagi di lengan.
***
Setelah Mama pergi, dan aku juga tidak ada kegiatan, Raka mengajak duduk di ruang tengah, menonton film drama Thailand romance.
"Kisah cinta sempurna itu hanya ada di drama," celetukku tiba-tiba. Merasa tidak terima karena adegan per adegan dalam film terlihat sangat romantis.
Raka terkekeh. "Bener juga. Rata-rata kisah cinta di dunia nyata itu bulshiit!"
Aku menoleh. "Kamu patah hati lagi, ya?"
"Siapa? Aku?" Raka tertawa. "Gak juga. Cuma sekarang males pacaran jadinya. Semua cewek yang aku pacarin rata-rata sama."
"Kenapa?" Aku mulai tertarik dan ingin mendengar cerita Raka selanjutnya. "Pacar kamu banyak pasti," pancingku.
"Enak aja. Gini-gini aku tuh tipe cowok setia. Sampai sekarang baru pacaran tiga kali. Dan rata-rata hitungan tahun."
"Oh ya?" Aku memfokuskan diri menatap Raka. Menunggunya bercerita.
"Nih ya. Yang pertama, saat aku kelas dua SMP"
"SMP udah pacaran?" sahutku.
"Ya elah, SMP udah gede kali, bukan bocah ingusan lagi. Dan itu bertahan dua tahun sampai lulus. Putus karena dia ngelanjutin SMA di luar kota."
"Yang kedua?"
"Pas aku kelas satu SMA akhir. Ini juga hampir dua tahun. Putus pas kelas tiga. Dia ketahuan selingkuh sama adek kelas."
"Selingkuh sama adek kelas?" Aku tertawa.
"Rese gak tuh! Dia lebih suka brondong. Sialan emang."
"Terus yang ketiga?"
"Nah, ini awalnya aku cuma iseng karena pengen manas-manasin mantan. Tapi akhirnya lanjut sampai bulan kemarin itu. Ya hampir tiga tahunan lah. Putus karena ternyata dia suka sama duitku doang. Abis-abisan aku pacaran sama dia. Dia minta apa aja aku kasih. Rugi bandar ceritanya."
"Cowok rugi bandar, kalau cewek rugi apa?"
"Ya elah, aku pacaran gak aneh-aneh. Malah dia yang agresif banget. Ya kalau cuma cium sih biasalah. Namanya juga pacaran."
Aku terdiam. Entah. Tiba-tiba saja, pikiran membayangkan Mas Aksa yang pacaran lama dengan Ulfa. Apa selama ini, mereka juga melakukan hal yang sama. Walau hanya sekadar ciuman, tapi rasanya aku tetap tidak rela.
"Heh!" Raka menjawil lenganku. "Napa malah bengong sih?"
Aku menggeleng cepat. Mencoba mengusir bayangan yang bukan-bukan. "Terus, yang waktu itu?" Aku bertanya lagi.
"Yang mana?"
"Yang kamu bawa ke butik."
"Oh, Lisa?"
Aku mengangguk.
"Dia cuma temen biasa. Baru kenal juga. Sekarang juga udah gak pernah kabar-kabar."
"Lho, kenapa? Padahal, cantik lho."
"Halah! Cantik fisik doang sih buat apa?"
"Dia jahat?"
Raka menatapku dan terbahak.
Aku mengernyitkan dahi. "Kenapa?"
"Lucu banget sih kamu. Polos," jawabnya di sela tawa.
"Apa sih!" Aku mengerucutkan bibir. "Tapi, aku juga gak suka sama dia."
"Kenapa?"
"Awal ketemu, dia sinis banget sama aku. Bahkan gak mau balas jabat tanganku."
"Kapan? Bukannya waktu aku kenalin dia mau salaman?"
Aku menggeleng. "Waktu gak sengaja ketemu di swalayan pas bareng Mas Aksa. Gak tau kenapa, dia juga kayaknya gak suka banget sama Mas Aksa. Tatapannya kayak dendam gitu."
Raka mendengkus pelan. "Ya udahlah lupain. Moga gak ketemu lagi sama dia. Aku juga males."
Ya, untuk apa memikirkan orang yang membenci. Hanya akan menyakiti diri sendiri. Beberapa menit dalam keheningan dan kami kembali fokus menonton, Raka kembali bicara.
"Siang-siang gini, enak keknya minum es buah."
"Iya," sahutku.
"Mau?"
Aku menoleh dan mengangguk.
"Di daerah dekat kampus ada sih warung khusus jualan bermacam es buah, es dawet, es pisang ijo, banyak. Mau?"
"Mau!" jawabku antusias.
Raka menjentikkan jari dan berdiri. "Ya udah ayo! Aku traktir sepuasnya. Aku ambil jaket dulu di kamar sama kunci mobil."
***
Mobil telah terparkir di parkiran kampus. Raka bilang, tidak ada tempat parkir di depan warung es buah.
"Gak apa-apa, kan kalau jalan. Gak jauh kok." Raka berkata.
"Gak apa-apa," jawabku.
"Ya udah yok turun." Raka melepas sabuk pengaman dan membuka pintu mobil. Begitu juga denganku.
Tatapanku bertemu dengan wanita dengan rambut dikuncir kuda, kaus hitam, dan celana jeans panjang. Meski terkesan agak tomboi, tapi wajahnya cantik sekali dengan make up tipis.
Dia berjalan mendekat dengan senyum lebar. "Halo, Inaya. Lama ya kita gak ketemu," sapanya yang sepertinya dibuat seramah mungkin.
"Mau apa lo?" sahut Raka ketus saat berjalan mendekatiku.
"Oh ke sini bareng Raka. Mau ngapain?" tanyanya.
"Bukan urusan lo!" Raka meraih tanganku dan menarik untuk pergi.
"Eh tunggu!"
Langkah kami terhenti.
"Oh, ya. Minggu depan, kakak gue nikah. Gue sih berharap banget lo mau dateng ngajak suami lo. Serius deh, pasti suami lo seneng banget."
"Mau lo apa sih, Lis!" Raka melotot.
"Apa sih, Raka. Gue kan cuma ngundang Inaya. Sayangnya, gue gak bawa undangan. Kalau tau bakal ketemu, pasti gue bawa tiga. Buat lo juga."
"Gak penting banget!" sahut Raka masih dengan nada ketus. Lalu kembali menarik tanganku untuk pergi.
*****
(side b)
Suasana warung es buah di sini cukup ramai, dan kebanyakan pembeli adalah para mahasiswa. Beberapa kali Raka disapa oleh mereka yang mengenal lalu sempat mengira aku adalah pacar baru Raka.
"Kakak ipar gue ini. Dia lagi ngidam es buah makanya gue ajak ke sini," jawab Raka dan membuatku malu seketika.
"Apa sih, Raka!" Aku menarik tangannya yang terbungkus jaket hitam.
Raka menyeringai lalu mengajakku duduk di salah satu kursi kosong. Di meja, sudah ada selembar kertas daftar menu berbagai macam es buah. Raka menyuruhku memilih apa saja yang aku mau. Dan akhirnya, kami sama-sama memesan es pisang ijo.
"Raka, kamu kenapa kelihatan benci banget sih sama Lisa?" tanyaku sambil menunggu pesanan.
Raka mengedikkan bahu. "Ya seperti yang kamu bilang. Jahat!" Ia terkekeh.
"Jahat kenapa?"
"Ya ada pokoknya. Gak perlu tau juga."
Dahiku mengernyit penasaran. "Terus, kenapa dia ngundang aku ke acara nikahan kakaknya? Padahal aku kan gak kenal sama kakaknya."
"Ya kan udah gue bilang, dia itu bukan cewek baik. Jadi mending jauh-jauh dan gak usah dipikirin. Bikin sakit hati doang."
"Tapi, aku beneran penasaran. Dia kelihatan gak suka banget sama aku. Apalagi tadi dia nyuruh aku dateng ajak Mas Aksa. Yang aku tahu, Mas Aksa kenal dekat dengannya."
Raka berdecak. Mencondongkan tubuh dan bertumpu tangan di meja. Kedua bola mata yang sama persis dengan Mas Aksa itu menatapku dalam. Sebelum kemudian berujar, "Dengerin aku. Kalau kita sakit hati, yang perlu disalahkan pertama kali itu adalah diri sendiri. Karena orang lain gak akan bisa menyakiti, kalau kita gak ngizinin. Paham maksudku?"
Mataku mengerjap pelan. Mencerna kata-kata dari Raka. Masih penasaran dengan Lisa itu siapa sebenarnya. Kenapa semua seolah disembunyikan.
"Woi!" Raka menjentikkan jari di depan wajahku. "Dibilang jangan dipikirin malah ngelamun."
***
Ingin rasanya bertanya pada Mas Aksa tentang Lisa dan undangannya. Namun, takut jika wanita itu adalah salah satu masa lalu Mas Aksa. Dan akhirnya, aku sendiri yang akan terluka. Ah, aku mengerti sekarang maksud dari ucapan Raka. Intinya, jangan membiarkan orang lain menyakiti hati kita. Abaikan semua hal yang menyakitkan!
Sebelum pulang, aku dan Mas Aksa makan malam di rumah Mama. Sore tadi, Mama belanja banyak kebutuhan dapur. Aku senang saat membantu memasak dan sekalian belajar resep-resep masakan kesukaan Mas Aksa.
Tidak ada obrolan penting selama makan. Hanya Raka dan Mama yang biasa membuka suara. Sekarang, aku tahu jika sifat Raka menurun dari Mama. Dan mungkin, sifat Mas Aksa menurun dari almarhum Papa.
Selama perjalanan pulang, aku menceritakan kegiatan di rumah. Raka yang mengajak nonton film Thailand, lalu jajan es buah di dekat kampus, dan sorenya memasak bareng Mama. Mas Aksa tersenyum dan sesekali menanggapi.
Kami sampai di rumah sekitar jam sembilan malam. Aku langsung ganti baju dengan piyama panjang, dan Mas Aksa masih seperti biasa. Mandi sebelum tidur.
Meskipun hati masih terasa sakit, ketika mengingat Mas Aksa sama sekali tidak pernah mau memulai duluan. Namun, sebagai istri yang sedang mencoba terus memperbaiki diri dan berharap suatu saat Mas Aksa bisa mencintai, tak apa jika aku yang terus meminta lebih dulu atau menawarkan.
Mas Aksa keluar dari kamar mandi. Mengibaskan rambut basahnya setelah mengacak-acak menggunakan handuk. Aku diam menatap dari ranjang dengan tangan memegang novel.
"Kok gak tidur?" tanya Mas Aksa ketika menghampiri ke ranjang.
"Belum bisa tidur, Mas." Aku menunduk. Masih saja bingung bagaimana caranya memulai.
"Tidur, gih. Gak baik sering tidur kemalaman." Mas Aksa mengusap puncak kepalaku, lalu kembali berdiri melangkah ke meja kerja mengambil laptop dan membawanya ke ranjang.
"Mas Aksa mau ngapain?" tanyaku ketika Mas Aksa sudah kembali duduk bersandar kepala ranjang.
"Gak ada. Cuma pengen baca-baca tentang sekolah spesialis bedah. Kamu tidur aja." Mas Aksa mulai membuka laptopnya.
Aku mendesah kecewa. Padahal hati sangat berharap Mas Aksa memperlihatkan sesuatu padaku dan menceritakan seperti dulu.
"Mas Aksa masih berharap kuliah di luar negeri, ya?" tanyaku hati-hati. Menggigit bibir karena tiba-tiba saja merasa bodoh karena bertanya hal yang sensitif, dan bisa jadi jawabannya membuatku sakit hati lagi.
Mas Aksa menoleh. "Udah gak pengen. Makanya sekarang lagi lihat-lihat universitas terdekat yang bisa ambil spesialis bedah."
Aku terdiam. Bingung mau bicara apa lagi. Apa harus aku yang selalu memulai? Entah itu percakapan atau saat ingin berhubungan?
Pada akhirnya, aku merebahkan tubuh dengan perasaan kecewa, karena Mas Aksa terus menyuruhku tidur dan dia sibuk dengan laptopnya.
Sama sekali tidak ada kehangatan layaknya suami istri pada umumnya.
***
Dua hari setelahnya, aku dan Mama masih duduk di ruang tengah menonton televisi sambil menunggu Mas Aksa pulang. Mama resah, menelepon nomor Mas Aksa berkali-kali, tapi tetap tidak diangkat. Aku pun mulai lelah karena sama saja, bahkan pesan whatsapp-ku sama sekali tidak dibuka.
Sudah jam delapan malam, dan akhirnya Mama mengajakku makan lebih dulu. Raka tidak di rumah dengan alasan nongkrong sambil mengerjakan tugas bareng teman-temannya di luar. Jadi, hanya ada aku dan Mama di meja makan.
"Ke mana sebenarnya Mas Aksa. Kenapa belum pulang juga?" gerutu Mama setelah selesai makan dan Mas Aksa belum juga datang.
Mama menelepon Raka, dan menanyakan keberadaan Aksa. Percuma saja, karena Raka pun tidak tahu di mana. Akhirnya, Mama menyuruhku tidur terlebih dahulu di kamar Mas Aksa, karena sekarang sudah jam sembilan malam.
Aku membuka jendela kamar. Menatap langit yang hitam pekat terbungkus awan mendung. Mata terpejam menghirup aroma angin, seakan membawa kabar tentang hujan yang sebentar lagi akan turun.
Hal ini terjadi lagi. Mas Aksa pulang larut malam seperti dulu. Ke mana? Hati berkecamuk liar membayangkan Mas Aksa menemui mantan kekasihnya.
Setetes air meluncur dari sudut mata. Selalu saja perih ketika bayangan-bayangan tentang foto dan chat mereka, bahkan sandi ponsel itu. Lalu ada rasa bahwa aku sama sekali tak berarti walau status sebagai istri.
Sampai jam sebelas malam, Mas Aksa baru datang. Terdengar omelan Mama yang beruntun. Aku segera turun setelah memastikan tidak ada jejak air mata.
Mataku melebar ketika melihat rambut dan baju Mas Aksa basah. Di luar memang sedang hujan. Hanya gerimis biasa. Namun, semua ini membuatku bertanya mengapa Mas Aksa sampai hujan-hujanan?
"Kita pulang sekarang, Dek." Mas Aksa menggandeng tanganku setelah berpamitan pada Mama. Setelah sebelumnya, aku dan Mama menyuruh Mas Aksa berganti pakaian terlebih dahulu, tapi tidak mau.
Sepanjang perjalanan pulang, tatapan Mas Aksa lurus ke depan. Wajah lesu, tatapan meredup, hal yang sama seperti semula. Ada apa sebenarnya?
Di rumah, walau sudah jam dua belas malam, aku masih duduk bersandar kepala ranjang menunggu Mas Aksa mandi. Menawarkan minuman hangat ketika keluar dari kamar mandi.
Mas Aksa menggeleng sebagai jawaban. "Kamu tidur aja, Dek. Jangan begadang," jawabnya tanpa menatapku dan sibuk mengusap rambut basahnya.
Mas Aksa melangkah duduk di tepi ranjang membelakangiku, setelah terdengar helaan napas beratnya berkali-kali. Aku yang memang sudah merebahkan tubuh, bangun lalu merangkak mendekatinya.
"Mas Aksa kenapa?" tanyaku sambil memeluknya dari belakang. Menumpukan dagu di bahunya.
"Gak apa-apa. Tidur, gih. Jaga kesehatan." Mas Aksa menepuk pelan tanganku.
Tak ada balasan pelukan, tak ada jawaban memuaskan. Aku semakin yakin, bahwa memang ada sesuatu yang disembunyikan. Aku kembali merebahkan tubuh dengan rasa kecewa. Tangan mengusap sudut mata.
***
Suara alarm di ponsel yang sengaja kusetel jam tiga dini hari, membangunkanku dari alam mimpi. Walau mata masih terasa berat karena kantuk, tapi kupaksakan untuk tetap bangun.
Menoleh menatap wajah yang terlelap di sampingku. Dahiku mengernyit melihat keringat di wajah Mas Aksa. Tangan terulur menyentuh dahi dan pipi. Panas sekali.
Buru-buru aku turun dari ranjang, dan keluar kamar mencari baskom kecil. Kusempatkan diri untuk mengompres dahi Mas Aksa lebih dahulu sebelum ke kamar mandi mengambil wudhu.
Hal serupa terjadi lagi. Setelah pulang larut malam dengan wajah dan tatapan penuh beban, kini panas tubuh menghampiri. Seolah sakit di hati membuat tubuhnya ikut sakit.
Ketika kaki hendak turun dari ranjang, terdengar suara lirih Mas Aksa menyebutkan nama. Sangat lirih tapi masih mampu tertangkap jelas di telingaku.
"Ulfa."
Dada kembang kempis menahan sesak. Mata perih seiring hati yang memanas. Hati bagai teriris perih. Menoleh dan kembali mendekat. Air mata terjatuh ketika melihat wajah yang seolah menahan sakit teramat dalam.
Sebegitu terlukanya kamu dengan pernikahan ini, Mas. Andai aku tahu, jika ada wanita lain yang kamu cintai sebesar itu, tidak akan pernah aku masuk di kehidupanmu.
Sungguh, hatiku jauh lebih sakit, ketika melihatmu yang begitu terluka karena kandasnya cinta.
Tak bisakah aku menjadi obat luka di hatimu, Mas?
Air mataku tumpah. Kugenggam erat tangan Mas Aksa dan menciumnya takzim. Apa yang harus kulakukan untuk menyembuhkan lukamu, Mas? Jika satu-satunya cara adalah dengan melepasmu, maka aku ikhlas. Asal kamu bisa bahagia bersama wanita yang kamu cintai itu.
Mengapa mencintaimu harus sesakit ini.
Bersambung #9
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel