Cerita Bersambung
(side a)
"Mas, jika aku dan dia terpeleset ke dalam jurang, siapa yang akan Mas Aksa tolong duluan?"
Sebuah pertanyaan meluncur begitu saja tanpa pikir panjang. Entahlah. Aku hanya penasaran dengan siapa yang akan ditolong lebih dulu jika aku dan mantan kekasihnya sama-sama dalam bahaya.
Namun, pertanyaanku itu hanya menggantung tanpa jawaban. Mas Aksa bergeming menatapku dengan tatapan yang tak kumengerti. Cukup! Ini sudah menjadi jawaban pasti untukku, bahwa aku memang tak ada artinya sama sekali.
"Lupakan." Aku tersenyum getir. "Mas Aksa istirahat, ya. Cepet sembuh." Aku beranjak dari ranjang dan keluar kamar membawa mangkuk yang masih ada bubur setengahnya, sisa sarapan Mas Aksa.
Di dapur, aku menangis sejadi-jadinya. Sakit sekali rasanya. Entah sampai kapan semua ini akan berakhir. Butuh waktu berapa lama untuk Mas Aksa bisa membuka hatinya untukku?
Suara mobil Raka terdengar parkir di depan. Buru-buru aku mengusap wajah dan mata. Mencoba menghilangkan jejak air mata agar tidak menjadi pertanyaan Mama atau Raka.
Langkah kaki segera menuju pintu. Membukanya, dan tersenyum menyambut kedatangan Mama bersama Raka.
"Kamu kenapa, Inaya?" Mama menyentuh daguku dan menatap dalam mata dan wajahku.
"Gak apa-apa kok, Ma." Aku mencoba tersenyum lebar.
Mama menghela napas pelan, seolah tak percaya dengan yang kukatakan. Kemudian bertanya, "Di mana Mas Aksa? Masih demam?"
Aku mengangguk. "Baru selesai sarapan bubur dan minum obat."
Aku mempersilakan Mama dan Raka masuk. Entah apa yang sebenarnya terjadi, Mama mengajakku duduk di sofa untuk berbicara. Raka berdiri di samping Mama dengan tangan dilipat di dada.
"Nak, Mama mau tanya serius sama kamu." Mama memulai pembicaraan. Nada suaranya terdengar begitu serius.
"Apa, Ma?"
"Apa kamu benar sudah tau tentang wanita masa lalu Mas Aksa?" tanya Mama pelan sekali tapi mampu membuatku tercengang.
"Jawablah yang jujur." Mama kembali berucap.
Bibirku kelu seketika, mendongak menatap Raka bertanya dengan tatapan ada apa sebenarnya, bagaimana Mama bisa tahu semuanya? Namun, Raka hanya mengangguk samar seolah meyakinkan bahwa aku harus jujur saja.
"Mama sudah tahu semuanya. Sekarang Mama cuma ingin kepastian darimu. Apa kamu juga sudah tau tentang wanita masa lalu Mas Aksa?"
Aku menunduk ketika mata mengeluarkan airnya. Mengangguk sebagai jawaban. Dan Mama langsung meraih tubuhku. Memeluk erat memberi ketenangan.
"Kenapa gak pernah cerita sama Mama?" Mama mengelus punggungku yang bergetar karena isakan.
Mama merenggangkan pelukannya. Mengusap wajahku yang basah lalu bertanya, "Apa kamu mencintai Mas Aksa?"
Aku menggigit bibir yang bergetar. Mengangguk seiring air mata yang terus berjatuhan. Ya, Ma, aku sangat mencintai Mas Aksa. Walau cinta ini terasa sangat menyakitkan. Karena hanya aku yang merasakan.
"Masih mau bertahan sama Mas Aksa, kan?" Mama bertanya lagi.
Aku kembali mengangguk. Mama kembali memeluk dan berucap lirih, "Bertahanlah, Nak. Setidaknya demi janin yang kamu kandung. Anggap saja, ini adalah ujian rumah tangga kalian."
Mama merenggangkan pelukan, mengusap wajahku dan menatap dalam. "Mama sangat mengenal Mas Aksa. Kamu tau, hatinya itu sangat lembut. Sedikit saja kamu bisa mengambil hatinya, maka sudah dipastikan apa pun akan dia lakukan untukmu. Untuk kebahagiaanmu. Percayalah sama Mama."
Aku tersenyum getir dan mengangguk.
"Mama punya rencana," bisik Mama kemudian. Aku mengernyitkan dahi, bertanya. "Nanti saja kalau Mas Aksa sudah sembuh." Mama mencolek hidungku. "Udah, jangan nangis lagi. Ibu hamil, gak boleh sedih apalagi nangis."
Aku mengangguk-angguk sambil mengusap mata secara kasar.
***
Mama dan Raka pulang setelah makan siang bersama, dan tentunya Mama yang memasak, aku hanya membantu sebisanya. Mas Aksa terpaksa ikut turun dan makan walau tak seberapa. Yang membuatku heran itu ketika Mama dan Raka sama-sama tidak membicarakan masalah tadi.
"Mas Aksa masih demam?" tanyaku sambil menyentuh keningnya. Sudah tidak panas tapi wajah masih pucat sekali.
Mas Aksa menggeleng lemah. Duduk bersandar di kepala ranjang. Aku menggeser duduk. Menatapnya dalam dan memeluk tubuhnya. Sungguh, aku rindu kehangatan yang dulu pernah tercipta. Mas Aksa membalas walau terasa kaku.
"Dek, maaf, ya." Mas Aksa mengecup pelan puncak kepalaku.
Aku mendongak. "Maaf untuk apa?"
"Karena tanpa sengaja sering menyakitimu," lirihnya. Pasti Mas Aksa kepikiran tentang kejadian subuh tadi, saat aku menangis dan Mas Aksa bertanya. Lalu aku justru menanyakan hal-hal yang membuatnya tak paham, hingga aku tak tahan dan akhirnya memberitahu bahwa dalam mimpi pun, nama Ulfa yang disebut.
Aku menarik tubuh. Kemudian meraih tangan kanan Mas Aksa dan meletakkannya di puncak kepalaku. "Aku istrimu, Mas. Surgaku ada padamu. Aku ikhlaskan bakti dan abdiku padamu. Aku yakin, Mas Aksa adalah lelaki yang baik. Suami yang bertanggung jawab. Maka tak ada lagi hal yang seharusnya aku keluhkan. Maaf, jika aku belum bisa menjadi istri yang baik untukmu, Mas."
Air mataku terjatuh. Namun, ada kelegaan di hati ketika bisa mengatakan itu semua. Tersenyum ketika Mas Aksa menurunkan tangannya dan mengusap pipiku yang basah. Tatapannya, aku tidak bisa mengartikan. Mungkin tertegun atau bahkan bingung.
***
Mas Aksa kembali berangkat kerja walau belum sembuh total. Sebelum pergi, ia berpesan, "Jika ada apa-apa telpon aja. Dan kalau pengen sesuatu, bilang, ya?" Lalu mengecup keningku.
Di rumah Mama, kegiatan yang aku suka adalah ketika membantu Mama membuat kue-kue kering. Maka sepanjang siang, tangan belepotan tepung dan berperang dengan alat-alat dapur.
Sekitar jam tiga siang, Raka pulang dari kampus membawa es pisang ijo pesananku. Aku tersenyum menyambut. Kemudian kami makan bersama sambil nonton film seperti biasa. Sedangkan Mama pergi ke butik.
"Raka, aku abisin semua gak apa-apa?" tanyaku ketika aku ingin mengambil jatah pisang ijonya yang dari tadi tidak dimakan. Kenyang katanya.
"Abisin aja. Ntar kalau kurang, aku beliin lagi."
Aku mengulum senyum. Lalu kembali makan dengan lahapnya.
"Aku tuh seneng kalau ada cewek yang gak jaim soal makan. Apalagi kalau lagi hamil, emang harus banyak makan sih." Raka tertawa.
"Makanku sebenernya gak seberapa kalau dibanding adik-adikku." Aku membela diri.
"Eh iya, adek kamu siapa namanya?"
"Yang mana?"
"Ada dua kan, ya?"
Aku mengangguk. "Nirma dan Aini."
"Hm. Umur berapa mereka?"
"Nirma 17 tahun kalau Aini baru 13 tahun."
"Wah, Nirma bakal lulus sekolah bentar lagi dong?"
"Iya."
"Mau kuliah di mana? Suruh ke sini aja." Raka menaik-turunkan alisnya. Tersenyum lebar. Aku tahu maksudnya.
"Jangan godain adekku. Awas aja kamu." Aku menahan tawa.
"Yaelah, siapa yang mau godain. Maksudnya kan kalau mau kuliah di kampusku, aku bisa jagain gitu."
Tawaku menyembur juga akhirnya. "Modus," ujarku di sela tawa.
"Apaan? Tenang aja, aku juga gak bakal berani ngapa-ngapain adek kamu. Adekmu adekku juga. Eaakk!" Raka terbahak. Aku juga.
"Eh tapi, dia udah punya pacar belum?"
Tawaku terhenti. "Ck, nah kan?" Kedua mataku menyipit.
"Apaan sih? Serius nih, dia udah punya pacar belum?"
"Adek-adekku gak ada yang pacaran."
"Serius?"
Aku mengangguk. "Insya Alloh gak ada."
"Kenapa?"
"Entah. Tapi kalau aku pribadi emang gak suka sama yang namanya pacaran. Karena selain buang-buang waktu, juga agar aku bisa menjaga hati. Lagian, apa jaminannya kalau pacar bisa jadi jodoh? Gak ada, kan? Hanya akan melukai diri sendiri jika akhirnya hanya jagain jodoh orang."
Raka menjentikkan jarinya. "Bener juga sih. Itu artinya, kamu juga gak pernah pacaran?"
Aku menggeleng.
Raka berdecak dan tersenyum lebar. Kemudian berkata keras sekali. "Beruntungnya Mas Aksa punya istri yang belum pernah pacaran. Belum pernah diapa-apain sama cowok lain. Hatinya pun masih utuh tak tersentuh oleh cinta dari sembarang pria. Ah, andai aku punya istri kayak gini, gak bakal aku sia-siain. Limited edition!"
"Raka apaan sih?" Aku melotot dan Raka justru terbahak.
"Nih tisu." Raka menyodorkan selembar tisu. "Belepotan tuh mulut."
Aku mengambil dan mengusap mulut.
"Assalamualaikum."
"Waalaikumussalam." Aku dan Raka menjawab salam dan menoleh.
Mas Aksa berjalan mendekat. Aku berdiri dan meraih tangannya untuk kucium. "Kok gak kedengeran suara mobilnya?"
Mas Aksa menyeringai tipis. "Kamu sama Raka lagi asyik ngobrol kayaknya, jadi gak denger."
"Eh, bini kamu tuh, Mas, makan es pisang ijo habis dua porsi. Jatahku diabisin juga sama dia." Raka melapor dengan seringaian di bibir.
"Kan tadi kamu bilang gak mau?" Aku mengerucutkan bibir. Malu rasanya.
Raka hanya tertawa dan berdiri. "Aku tinggal, ya?"
"Mau ke mana?" tanyaku.
"Main basket di belakang."
"Pengen liat," ujarku dan mendapat lambaian tangan dari Raka sambil berjalan menjauh.
"Dek," panggil Mas Aksa. Aku menoleh dan menatapnya.
"Pulang sekarang, yuk?"
"Pulang?" Kedua alisku terangkat. "Gak nunggu Mama dulu?"
"Ngapain?"
"Makan malam."
"Kita makan di luar aja, yuk. Kamu mau makan apa?"
Aku menggeleng. "Kalau sekarang udah kenyang. Tadi makan banyak. Raka beli serabi sama es pisang ijo. Semuanya aku yang makan." Aku menutup mulut. Tersenyum malu.
"Kenapa gak bilang kalau pengen serabi sama pisang ijo?"
"Hm?" Kedua mataku mengerjap pelan. Tak mengerti maksud Mas Aksa.
"Kan aku udah bilang, kalau mau apa-apa telepon. Nanti aku usahain beliin," jelas Mas Aksa.
"Kan Mas Aksa kerja. Takut ganggu kalau aku telepon. Lagian, tadi minta sama Raka karena serabi sama es pisang ijo kan deket sama kampusnya. Jadi sekalian."
"Lain kali jangan ngerepotin Raka lagi, ya?"
"Tapi Raka gak ngerasa direpotin kok. Malah katanya seneng kalau liat aku makan banyak." Aku tersenyum lebar.
Mas Aksa menghela napas pelan. "Jalan-jalan, yuk?"
"Ke mana?"
"Maunya ke mana? Atau, nonton aja?"
Aku menggeleng. Rasanya sakit kalau ingat janji menonton yang selalu batal tanpa penjelasan.
"Ya udah pulang aja," ucap Mas Aksa akhirnya dengan helaan napas berat dan sorot mata kecewa.
*****
(side b)
"Ya udah pulang aja," ucap Mas Aksa akhirnya dengan helaan napas berat dan sorot mata kecewa. Kemudian menarik tanganku.
"Pulang beneran? Tapi aku pengen liat Raka main basket."
"Nanti kita main basket sendiri di kamar."
Aku menutup mulut. Mengerjabkan mata tak mengerti. Menurut saja ketika diajak pulang, dan sepanjang perjalanan aku memilih diam melihat luar dari balik kaca jendela mobil.
Sesekali melirik Mas Aksa yang diam dan fokus mengemudi. Menghela napas pelan. Kenapa Mas Aksa tidak bisa seceria Raka? Andai saja ....
Ketika melewati jejeran restoran, tiba-tiba Mas Aksa memanggil membuyarkan lamunanku.
"Dek."
"Hm?" Aku menoleh.
"Beneran gak mau makan?"
Aku menggeleng. "Masih kenyang."
"Nanti malam mau makan apa?"
"Di rumah masih ada sayuran kok. Nanti masak seadanya saja. Mas Aksa sudah lapar, ya?"
"Belum. Ya udah nanti masak aja."
Aku mengangguk-angguk. Mobil pun kembali meluncur pelan dan Mas Aksa menatap lurus ke depan lagi. Tanpa kata hingga sampai di rumah.
***
Sekitar jam setengah lima, kami sudah sampai di rumah setelah sebelumnya mampir di masjid untuk sholat Ashar. Aku langsung menuju kamar, berganti pakaian biasa.
Aku melirik dari balik kaca, Mas Aksa yang baru saja keluar dari kamar mandi sudah berganti pakaian santai. Kaus merah lengan pendek dan celana kain selutut. Berjalan mendekatiku yang berada di depan meja rias sedang menyisir rambut.
Aku berdiri setelah menjepit asal rambut. "Aku masak sekarang ya, Mas?"
Mas Aksa diam dan terus berjalan mendekat hingga tanpa jarak. Aku menatap tak mengerti apalagi ketika Mas Aksa melepas jepit rambutku.
"Lho kok malah dilepas?"
"Kamu gak kangen sama aku apa, Dek?" Tak menghiraukan pertanyaanku, tangan Mas Aksa justru mengurai rambut panjangku. Membuang jepit rambut ke meja rias.
"Kangen? Mas Aksa kok lucu? Tiap hari kan ketemu, masa kangen." Aku menutup mulut. Terkekeh pelan.
"Kalau ketawa jangan ditutup." Mas Aksa mengambil tanganku dan menciumnya. "Aku suka lihat kamu ketawa."
Aku terdiam. Tertegun lebih tepatnya. Dada kembali berdesir dengan perasaan yang telah lama hilang. Rasa debar-debar yang dulu begitu aku suka.
"Beritahu aku caranya membuatmu bahagia, Dek." Mas Aksa menatap sangat lekat. Tangan kanan menyentuh daguku lalu mendekatkan wajah. Membungkam bibirku yang hendak berkata.
***
Ada yang aneh dengan Mas Aksa. Dari tatapan dan sentuhan, terasa berbeda dari sebelumnya. Seolah menyalurkan segala kerinduan yang begitu mendalam. Apalagi, ketika dia berbisik, "Kenapa sekarang gak pernah minta?"
Apa yang harus aku jawab? Kalau bisa, aku ingin setiap hari meminta. Bukankah pahala, jika istri meminta lebih dulu? Namun, hati yang terlanjur kecewa dan terluka, membuatku berpikir bahwa Mas Aksa sama sekali tidak menginginkan.
"Aku cuma takut, Mas Aksa melakukannya karena terpaksa atas dasar kewajiban saja," jawabku akhirnya setelah Mas Aksa berkali-kali bertanya.
"Aku gak pernah terpaksa, Dek. Sama sekali gak pernah." Sorot mata Mas Aksa menatap dalam dengan helaan napas berat.
Kedua mataku mengerjap pelan, lalu bibir tersungging tipis. Ada sedikit rasa bahagia yang menyelinap di antara kecewa. Karena sisi hatiku berkata lain. Jika bukan karena terpaksa, berarti karena kasihan. Sebab di hati Mas Aksa tidak ada cinta sedikit pun untukku.
"Lalu … kenapa Mas Aksa tahan untuk tidak menyentuhku?" Pertanyaan itu meluncur begitu saja. Aku tak berani menatap manik hitam milik Mas Aksa. Tatapanku tertuju pada dada bidang polos, dan tangan berjalan di sana. Dada yang membuatku selalu ingin menyandarkan kepala.
Mas Aksa seperti tertegun dengan pertanyaanku. Beberapa detik tak ada jawaban, aku mendongak memberanikan diri menatapnya. Tanganku berpindah ke pipi Mas Aksa. Tersenyum meskipun hati lagi lagi terasa nyeri. Kemudian menenggelamkan kepala pada dada Mas Aksa, ketika embun di mata terasa ingin tumpah.
"Terima kasih telah melakukan kewajiban dengan baik, Mas. Aku sungguh beruntung memiliki suami sepertimu. Aku hanya ingin selalu bersyukur karena memilikimu. Karena di luar sana, banyak istri yang kurang beruntung dibanding aku."
Mas Aksa memeluk dan menumpukan dagu pada kepalaku. Dan kami tenggelam oleh perasaan masing-masing. Aku dengan perasaan cinta yang tidak mendapat balasan, dan Mas Aksa dengan perasaan bebannya. Entah.
***
Makan malam, akhirnya aku dan Mas Aksa yang memasak ala kadarnya. Saling pandang ketika mencicipi dan rasanya tak keruan. Kemudian tertawa bersama. Ya, ketika kami sudah berdamai dengan perasaan tak keruan yang entah berantah.
"Jadwal periksa kandungan jangan lupa, ya. Nanti ingatkan aku jauh-jauh hari biar bisa ambil libur." Mas Aksa berkata di sela makan. Nasi goreng campur ditambah telur mata sapi setengah matang.
Aku mengangguk-angguk. "Tapi Mama bilang, kalau pas jadwalnya dan Mas Aksa sibuk, nanti Mama yang anter atau Raka."
Maa Aksa berhenti mengunyah seketika. Menatapku dalam diam.
"Mas Aksa kenapa? Nasi gorengnya asin, ya?"
Mas Aksa menggeleng. "Abisin makannya. Sekarang masih mual-mual, gak?"
"Udah gak terlalu. Cuma kalau pagi aja abis naik mobil. Di rumah Mama pasti langsung lemes."
"Kok gak pernah cerita?"
"Hm …." Aku menggigit bibir, bingung mau menjawab apa. Entah mengapa, ketika tahu bahwa semua yang Mas Aksa lakukan atas dasar kewajiban dan amanah, aku merasa tidak nyaman jika harus mengeluh banyak hal pada Mas Aksa.
"Dek …." Mas Aksa menyentuh tanganku. "Tolong kasih tahu aku apa pun itu. Kalau ada apa-apa bilang."
"Aku cuma gak mau jadi beban Mas Aksa."
"Beban apa?" sahut Mas Aksa langsung. Seolah tak terima. "Kamu gak pernah jadi beban buatku."
"Ya, aku tahu kalau aku adalah amanah yang harus Mas Aksa jaga. Dan aku hanya merasa tidak nyaman karena itu." Aku menunduk. Merutuki diri sendiri mengapa berani sekali berkata sejujur itu.
Mas Aksa bungkam seketika.
***
Keesokan harinya. Kegiatan di rumah Mama masih seperti biasa. Hanya saja, jadi berbeda ketika Mas Aksa sering mengirimkan pesan dan bahkan menelepon beberapa kali. Hanya sekadar menanyakan sedang apa atau apakah aku menginginkan sesuatu.
"Tumben Mas Aksa telepon," ujar Mama ketika aku baru saja mengangkat telepon dari Mas Aksa.
Aku tersenyum. Mengedikkan bahu lalu menghela napas pelan.
Mama yang sedang mengiris buah mangga di meja makan, menghentikan aktivitasnya dan menatap lekat wajahku.
"Ada apa? Mas Aksa nyakitin kamu lagi?"
Aku buru-buru menggeleng. "Enggak, Ma. Mas Aksa baik kok."
Mama menyeringai dan menggeleng pelan. "Yang bilang Mas Aksa jahat itu siapa?" Beliau meletakkan pisau dan fokus padaku. "Jujur saja, Inaya. Apa Mas Aksa membuatmu menangis lagi?"
Aku tertunduk. "Mas Aksa itu suami yang sangat baik, Ma. Bertanggung jawab sekali. Hanya saja, Mas Aksa gak bisa cinta sama Inaya."
"Bukan gak bisa, Inaya, tapi belum bisa," sahut Mama membenarkan. "Percayalah. Cepat atau lambat, dia akan mencintaimu. Ingat pepatah Jawa? Witing tresno jalaran soko kulino."
Aku tersenyum samar. Mengingat bahwa pepatah itu benar adanya. Bukan untuk Mas Aksa, tapi untuk diriku. Terbiasa dengan kehadiran Mas Aksa hingga menumbuhkan benih cinta. Namun sayangnya, aku harus jatuh cinta sendirian tanpa balasan.
"Kemarin Mama sibuk. Jadi belum bisa kasih tahu rencana Mama. Sekarang, kamu mau ikut rencana Mama?"
Aku mengernyitkan dahi. "Rencana apa?"
Mama tersenyum. "Mana HP kamu." Aku memberikan dengan tatapan bertanya. "Mama simpan dulu, ya."
"Kenapa?"
"Tenang. Mama cuma simpan. Nanti kalau Raka pulang, Mama akan suruh dia ajak kamu pergi."
"Pergi? Ke mana?"
"Jalan-jalan."
"Sama Mas Aksa?"
Mama tertawa dan menggeleng. "Kamu ikut saja ke mana Raka pergi nanti. Biar Mas Aksa, Mama yang urus. Percayalah sama Mama."
Aku masih tak paham dengan apa yang direncanakan Mama. Namun ingin bertanya lebih lanjut pun percuma. Jadi terpaksa menurut saja.
Bersambung #10
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel