Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 21 Februari 2021

Malam Yang Tertunda #10

Cerita Bersambung
(side a)

Aku sempat gelisah karena ponsel berada di tangan Mama. Bagaimana kalau Mas Aksa menelepon, mengirimkan pesan, khawatir, atau lainnya. Ketika bertanya mengapa dan apa rencana Mama yang sebenarnya, Mama hanya tersenyum simpul dan mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.

Raka pulang sekitar jam satu siang. Melepas jaket, dan menaruh tas di kamar. Kemudian turun untuk makan siang bersama. Masih seperti biasa, Raka yang selalu bisa mencairkan suasana dan membuat tertawa. Mama yang mengomel dan menjewer anak bungsunya itu ketika ada saja perkataan yang bisa dibantah.
Satu jam berlalu dan Raka langsung mengajakku keluar rumah. "Kita mau ke mana?" tanyaku setelah mobil mulai melaju di jalan raya dengan kecepatan sedang.

"Ke kampusku," jawab Raka sambil memasang handsfree di telinga. Memberi isyarat padaku untuk diam sebentar, karena ada panggilan.

Aku tidak tahu apa yang dibicarakan Raka ditelepon. Band, musik, acara, kampus, dan jangan terlambat. Entah. Aku hanya diam menunggu Raka selesai dengan teleponnya.

"Kita ke kampus. Ada acara amal buat sekolah anak jalanan. Acara rutin tiap enam bulan sekali. Dan aku ikut tampil sebagai gitaris di grup band milik temenku. Ntar kamu nonton aja." Raka menerangkan setelah selesai menelepon.
Aku mengangguk-angguk. "Pasti seru. Tapi … kenapa aku gak boleh bawa HP sama Mama? Terus, kamu tahu gak rencana Mama itu apa?"
Raka mengedikkan bahu. "Ikut ajalah. Mama tau gimana baiknya."
"Iya sih, tapi kalau Mas Aksa nyariin nanti gimana?"
"Ya ntar Mama yang urus. Udah jangan dipikirin. Santai aja. Sekarang kita happy happy aja dulu."

Aku menghela napas pelan. Menatap lurus ke depan dengan berbagai macam pikiran. Tentang rencana Mama, dan Mas Aksa yang bisa saja mencari atau malah marah karena aku tidak bisa dihubungi.

"Mau makan dulu, gak?" tanya Raka ketika melihatku diam saja.
"Masih kenyang sih tapi …." Aku menggigit bibir, berpikir.
"Paan? Kalau pengen makan sesuatu bilang aja. Ntar kita mampir dulu."
"Kamu gak telat nanti?"
Raka tertawa. "Telat apaan? Nyantai aja. Grupku tampil sekitar akhir acara ntar."
"Oh. Kalau gitu kita makan soto betawi dulu, ya?" Aku mengulum senyum.
"Boleh. Itu di deket kampus malah ada yang jual. Lumayan juga rasanya. Mau?"
Aku mengangguk cepat.
***

Acara amal yang digelar di taman kampus itu cukup meriah, dengan berbagai macam tampilan dari mahasiswa di sana. Ada yang membaca puisi diiringi dengan petikan gitar, menyanyi solo, tarian, dan beberapa band dari anak-anak kampus itu sendiri.

Aku duduk di antara mahasiswi lain di sana. Duduk di kursi depan. Raka yang menyediakan. "Khusus untuk ibu hamil," katanya pada teman-teman lain yang memandang penuh tanya.
Aku ikut tersenyum dan bertepuk tangan ketika Raka tampil. Menyenangkan sekali sebenarnya. Sangat jarang aku menonton acara seperti ini. Namun, tetap ada yang mengganjal di hati, karena pikiranku sejak tadi tertuju pada Mas Aksa. Gelisah. Melirik jam kecil di pergelangan tangan. Mendesah pelan. Kembali menonton. Menoleh ke sana-kemari, entah apa yang kucari.

"Keren gak tadi?" tanya Raka ketika acara selesai dan langsung menghampiriku.
Aku mengacungkan dua jempol dan tersenyum lebar. Raka menepuk dada bangga di depan teman-teman satu band-nya, dan langsung mendapat toyoran di kepala.

"Mau makan gak, Kak? Di belakang ada nasi box kalau laper." Salah satu teman Raka menawarkan dengan sopan yang dibuat-buat. Lucu sekali ekspresinya.
Aku menggeleng. "Gak. Udah mau Maghrib. Pulang aja. Kan harus sholat."
"Nah denger tuh! Sholatlah sebelum disholatkan wahai kawan!" Teman Raka satunya berkata dengan nada seperti para ulama yang sedang ceramah.
"Heh!" Raka menyikut lengan temannya tadi. "Senakal-nakalnya gue nih ya, gue tetep sholat. Soalnya kalau gue gak sholat, gue gak dikasih duit jajan sama Mama."
"Anjir!" Semua tertawa dan Raka mendapat toyoran lagi di kepala.
"Raka, masa sholat karena duit jajan dari Mama sih?" Aku melirik dan berdecak setelah sebelumnya ikut tertawa bersama.
"Ya maklumlah. Namanya juga belum kerja. Masih ngandelin duit dari Mama." Raka membela diri.

Menyenangkan sekali mempunyai teman-teman seperti mereka. Hati pasti akan selalu bahagia. Canda dan tawa selalu menyertai seolah tanpa beban sama sekali. Seandainya, Mas Aksa bisa semenyenangkan Raka dan teman-temannya. Aku mendesah pelan.
***

Raka membawaku keliling mall. Makan di restoran Jepang. Aku berkali-kali bergidik ketika lidah menyentuh makanan khas Jepang tersebut. Raka terbahak melihatnya, dan aku mengerucutkan bibir.
Aku belum ingin makan lagi ketika Raka menawarkan. Kemudian pilihan terakhir adalah menonton film hollywood di bioskop. Aku menurut saja meskipun tidak tahu film apa yang sedang ditonton.
Raka menyodorkan popcorn, aku menggeleng. Melirik jam di pergelangan tangan, mendesah gelisah. Sudah hampir jam sembilan. Pikiranku seutuhnya tertuju pada Mas Aksa. Apakah Mas Aksa bingung mencariku, sudahkah makan, sedang apa sekarang, dan berbagai macam pertanyaan berputar di kepala.

Raka menoleh ketika lengan jaketnya kutarik-tarik. "Kenapa?" tanyanya.
"Pulang."
"Dikit lagi selesai."
"Udah jam sembilan."
"Iya bentar lagi."

Aku mendesah panjang. Mencoba sabar menunggu film selesai. Menyandarkan kepala pada kursi dan memejamkan mata. Lelah, karena sejak siang belum istirahat.
***

"Kita pulang aja ya, Ka." Aku memohon ketika sudah berada di dalam mobil siap meluncur pulang.
"Gak makan dulu? Kamu belum makan lho."
Aku menggeleng. "Nanti beli nasi goreng cumi aja dibungkus. Aku makan di rumah sama Mas Aksa."
Ponsel bergetar. Raka merogohnya di saku celana, dan tersenyum lebar melihat nama pemanggil.
"Siapa?" tanyaku curiga.
"Mas Aksa." Raka memperlihatkan layar ponselnya.
"Sini, aku yang angkat." Aku meminta. Raka menaikkan satu alisnya, seperti berpikir sejenak. "Raka ayo angkat, itu Mas Aksa telepon."

Akhirnya Raka menggeser tombol hijau pada layar dan sambungan telepon terhubung seketika. Dan entah apa yang Mas Aksa katakan, karena Raka tiba-tiba menjauhkan ponsel dari telinganya.

"Santai kenapa sih, Mas. Ya maklumlah sibuk dan gak sempet liat HP."
Raka melirikku. "Ada. Nih di samping. Minta nasi goreng cumi katanya."
Entah apa yang membuat Raka terbahak lalu menyerahkan ponsel padaku.
Aku segera menyambar dan tersenyum lebar. "Mas Aksa."
"Dek, ya Alloh kamu ke mana aja sih? Jam berapa sekarang?"
"Maaf." Aku menggigit bibir mendengar nada suara Mas Aksa yang terdengar marah.
"Minta Raka anterin pulang sekarang, ya. Jangan ke mana-mana lagi."
Aku mengangguk cepat. "Iya ini mau pulang. Tapi nanti mampir beli nasi goreng cumi dulu, ya. Mas Aksa sudah makan belum?"
"Pulang aja dulu. Nanti baru kita cari makan."
"Iya."
***

"Mas Aksa." Aku berseru ketika melihat Mas Aksa sudah ada di depan pagar. Aku berjalan menghampiri membawa dua bungkus nasi goreng cumi dan jajanan lain. Meraih tangan Mas Aksa dan menciumnya.
"Kalau pergi itu pamit, Dek. HP jangan lupa dibawa. Jangan bikin khawatir." Mas Aksa menyentuh kepala dan wajahku dengan tatapan … entah.
"Maaf." Aku menunduk. Merasa bersalah tentunya.
"Jangan dimarahi sih, Mas. Aku yang ngajak dia nonton acara di kampus tadi terus jalan-jalan ke mall, makan, nonton." Raka berjalan mendekat.
Aku menoleh dan Mas Aksa menatap tajam Raka. "Kamu juga lain kali jangan kayak gini kenapa?"
"Oke oke. Sorry. Yang penting udah aku balikin sekarang. Lagian dari sore ngerengek terus minta pulang. Katanya gak bisa tidur kalau gak diketekin dulu sama Mas Aksa."
"Raka!" Aku melotot. Kapan aku berkata seperti itu. Namun, Raka justru tertawa tanpa rasa bersalah.
"Pulang sana." Mas Aksa menyuruh dengan tatapan.
"Yaelah. Diusir. Ya udah deh. Nay, balik dulu. Besok jalan lagi mau gak?"
"Besok aku libur," sahut Mas Aksa cepat.
"Oh." Raka terbahak dan membalikkan badan, berjalan menuju mobil.
***

Aku memandang langit-langit kamar dengan tangan memainkan selimut. Sejak Mas Aksa naik ke ranjang setelah mandi, tatapannya tiada henti tertuju pada wajahku. Tentu saja membuatku salah tingkah dan malu.

"Aku tidur ya, Mas." Aku berkata lalu membalikkan badan tapi dicegah oleh tangan Mas Aksa.
"Madep sini aja tidurnya." Tangan Mas Aksa memeluk perutku. Mengelusnya pelan dan tersenyum. "Udah mulai kelihatan sekarang."

Aku mengangguk. Bingung mau bicara apa. Sekarang yang kurasakan hanya jantung yang berdegup tak keruan. Sejak pulang tadi, Mas Aksa sama sekali tidak marah. Makan bersama dengan tenang, dan justru Mas Aksa yang melayani.

"Kamu gak pernah minta apa-apa sama aku, Dek? Padahal aku pengen banget beliin kamu sesuatu." Mas Aksa berkata pelan. Tangan kiri masih mengelus perut dan tangan kanan mengusap rambutku.
Aku mengerjap pelan. Memandang tak mengerti, lalu berkata, "Aku gak pengen apa-apa kok, Mas."
"Kenapa lebih suka minta sesuatu sama Raka sih? Hm?" Mas Aksa justru mengganti pertanyaan. Membuatku mengernyitkan dahi, bingung.
"Minta apa? Aku gak pernah minta apa-apa sama Raka. Cuma kalau pengen banget makan sesuatu gitu aja."
"Ya itu, Dek." Mas Aksa mendesah berat. "Apa pun. Kalau pengen sesuatu, bilang sama aku dulu. Aku usahain beli buat kamu."

Aku diam dan sedikit mulai paham. Mas Aksa ingin menjadi orang pertama atau satu-satunya yang ada untukku. Menjadi suami siap siaga ketika istri yang sedang hamil menginginkan sesuatu. Sepotong hatiku merasa bahagia, tapi sepotongnya lagi seolah dipatahkan oleh fakta bahwa Mas Aksa melakukan semua itu karena rasa tanggung jawab.

Aku  mendesah kecewa. Mas Aksa beringsut semakin mendekat. Mencium kepalaku. "Jangan terlalu dekat dengan Raka, Dek," ucap Mas Aksa tiba-tiba.
Aku mendongak. "Kenapa?"
"Gak pantes saja dilihatnya. Apalagi kalau dilihat banyak orang."
"Iya sih, tapi Raka gak aneh-aneh kok. Dia baik, lucu, suka bikin ketawa."
"Apa pun itu. Pokoknya jangan terlalu dekat aja. Gak enak dilihatnya. Satu lagi, jangan terlalu nurut sama Mama. Kalau Mama salah, ya jangan diturutin. Sampai pergi gak pamit kayak tadi. Gak kasih kabar sama sekali. Apa kamu pikir aku gak khawatir, Dek? Aku bingung nyariin kamu waktu HP kamu gak aktif. Bahkan aku langsung pulang dari rumah sakit, takut kamu kenapa-napa. Jangan kayak gitu lagi."
Aku mengangguk-angguk dan menunduk. "Maaf."

Mas Aksa berdecak, menghela napas panjang, dan mendekap erat tubuhku. Hening. Entah apa yang dipikirkannya sekarang.

*****
(side b)

Aku melirik beberapa kali Mas Aksa yang sedang mengemudi. Sejak pamit pergi tadi, ia diam dan seolah menyimpan beban pikiran. Perubahan yang begitu tiba-tiba. Membuatku tak enak hati dan takut jika Mas Aksa marah padaku.

"Mas Aksa, kita mau ke mana?" tanyaku. Mencoba mencairkan suasana.
Mas Aksa menoleh. Memandang dengan tatapan entah. "Mas Aksa marah?" tanyaku. Takut sebenarnya.
"Gak. Kita ke ancol, mau?" ucapnya.
"Ancol?" Aku mengernyitkan dahi, berpikir sejenak kemudian mengangguk.
"Tapi makan dulu. Mau makan apa?"
"Hm … apa ya?" Aku mengetuk-ketukkan telunjuk ke bibir. Kebiasaan kalau ia sedang berpikir.
"Gak pengen makan sesuatu?"
Aku menggeleng.
Mas Aksa kembali menatap dengan tatapan yang sulit kuartikan.
"Mau nyoba makanan Korea atau Jepang?" Mas Aksa menawarkan kemudian.
Aku menggeleng cepat. "Gak suka. Kemarin udah nyoba sama Raka. Rasanya aneh. Malah diketawain sama Raka." Aku menutup mulut. Tertawa.

Melihat Mas Aksa terdiam dan terlihat muram, membuatku tak enak hati. Takut jika salah bicara. Kemudian teringat beberapa kali Mas Aksa bertanya dan berharap ia meminta sesuatu padanya.

"Pengen makan … garang asem aja deh, Mas." Aku berkata asal. Bukan karena benar-benar menginginkan garang asem, tapi lebih karena ingin Mas Aksa senang.
Mas Aksa menoleh. Mengernyitkan dahi. "Garang asem?"
Aku mengangguk. "Tapi kalau ngerepotin gak usah aja, Mas."
"Apanya yang merepotkan sih, Dek?" sahut Mas Aksa cepat. "Aku malah seneng kalau kamu minta sesuatu sama aku."
Aku mengulum senyum, senang rasanya mendengar ucapan Mas Aksa. Tangan Mas Aksa terulur menyentuh kepalaku. Tersenyum dan bertanya, "Beneran mau makan garang asem?"
"Iya. Seger kayaknya siang-siang begini."
"Ya udah kita cari."
***

Setelah menempuh hampir satu jam lebih perjalanan ke sana-kemari mencari warung makan yang menjual garang asem dan berbagai masakan khas Jawa Tengah lainya, akhirnya kami sekarang duduk menikmati berbagai menu makanan yang dipesan.

"Pelan-pelan makannya." Mas Aksa mengelap samping bibirku yang ada sebutir nasi. Aku tersenyum. Mengangguk. Hatiku selalu berdebar ketika Mas Aksa menyentuh dengan senyuman tak lepas dari bibir.

"Boleh nyobain sayur asemnya?" Aku meminta makanan yang dipesan Mas Aksa. Sengaja. Apa pun akan kulakukan agar lebih dekat dengan Mas Aksa.
"Boleh dong. Nih." Mas Aksa menyodorkan sendok berisi sayur asem. Aku membuka mulut. Mengangguk dan tersenyum. "Enak," kataku.
"Mau lagi nih sama nasinya." Mas Aksa menggeser piring nasinya.
"Berdua, ya?" Aku berkata. Mengambil sendoknya dan mulai memakan nasi sayur asem dengan lauk perkedel kentang.

Mas Aksa kembali tersenyum. Damai sekali rasanya bisa makan berdua dengan nikmatnya bersama suami seperti ini.
Namun, ketenangan itu harus pupus seketika karena ponsel Aksa yang berbunyi. Setelah melihat, Mas Aksa pamit ke kamar mandi dan beberapa menit kemudian kembali dengan wajah cemas dan gugup.

"Dek, nanti ada Raka yang jemput. Aku ada urusan mendadak yang gak bisa ditinggal. Gak apa-apa, ya?" ucapnya dengan napas tersenggal.
Aku mengangguk cepat. Bingung sebenarnya ada apa, tapi bertanya hanya akan menambah susah Mas Aksa yang memang terlihat sedang ada masalah.

"Maaf, ya." Mas Aksa mengecup kepalaku dan segera melangkah pergi.
***

"Hai," sapa seorang lelaki dengan senyum ramah. Duduk begitu saja di depanku tanpa persetujuan.
Aku tersenyum biasa karena menganggap lelaki itu adalah pembeli yang ingin duduk saja menunggu pesanan.

"Kamu istrinya Aksa Arjuna?" Lelaki itu mencondongkan tubuh. Bertanya masih dengan wajah ramah.
Dahiku mengernyit. "Iya. Kamu siapa?"
Lelaki itu menyeringai tipis. Kemudian memperbaiki posisi duduk dan bersikap lebih serius. "Bisa ikut denganku sekarang? Aku ingin menunjukkan sesuatu padamu."
"Apa?" Aku menatap menyelidik.
"Tentang Aksa."
"Kenapa sama Mas Aksa?" Menelan ludah. Takut. Curiga dengan lelaki yang tiba-tiba datang, ada maksud jahat. Mas Aksa baru saja pergi dan Raka entah jam berapa sampai di sini.
"Kita gak ada waktu. Jadi gue harap lo mau ikut gue sekarang juga." Lelaki itu berkata tidak sabaran.
"Gak!" Aku menggeleng. Tegas berkata meski rasanya semakin takut dan curiga saja.
Lelaki itu berdecak. "Bagaimana kalau aku bilang, suamimu sedang bersama wanita lain sekarang?"

Aku menggeleng kuat. "Gak mungkin! Mas Aksa pergi karena ada urusan penting! Kamu siapa? Jangan fitnah sembarangan!" Bergetar aku berucap. Setengah hati menolak percaya, tapi setengahnya lagi ingin tahu pasti.
Lelaki itu tertawa. Mengejek lebih tepatnya. "Lo boleh potong lidah gue kalau gue sampe bohong. Jadi, mari kita buktikan, siapa yang berbohong. Aku atau suamimu!" Satu alisnya terangkat dengan seringaian di bibir.

Aku termenung. Ucapan lelaki itu begitu meyakinkan. Namun, tidak mungkin jika Mas Aksa sampai berbohong. Lalu, bagaimana jika ternyata lelaki itu benar dan Mas Aksa memang sedang menemui wanita. Tapi siapa?
Aku menggeleng. Bagaimana bisa aku mencurigai suamiku sedemikian rupa. Mana mungkin Mas Aksa tega meninggalkanku demi menemui wanita. Siapa pun wanita itu, aku tidak peduli, karena itu tidak mungkin terjadi. Aku mengambil ponsel hendak menghubungi Mas Aksa tapi dicegah langsung oleh lelaki itu.

"Jangan bilang kalau mau nelpon Aksa?" desisnya.
Aku menarik tangan. Takut-takut. "Ya aku mau tanya langsung."
"Duh gimana sih lo! Ya mana ngaku. Yang ada dia gak jadi nemuin si Ulfa!"
"Ulfa?" tukasku langsung. Lelaki ini kenal dengan Ulfa? Jadi Mas Aksa pergi menemui Ulfa?
***

Setelah menempuh perjalanan dengan hati tak menentu rasanya, akhirnya mobil yang kutumpangi ini sampai pada sebuah hotel. Berkali-kali mencoba mengusir semua pikiran yang bukan-bukan. Namun tetap saja. Rasa penasaran begitu menyiksa.

Di sini, di depan sebuah kamar, lelaki itu memerintahkan agar aku membuka dan melihat langsung. Pintu kubuka ragu. Benar saja, di sana terlihat Mas Aksa tengah berduaan dengan seorang wanita yang tak lain adalah Ulfa.
Aku berdiri kaku melihat pemandangan di hadapan. Mas Aksa berada di kamar hotel dengan Ulfa. Suamiku tega meninggalkanku sendiri dan pergi demi menemui wanita yang dicintai. Tidak ada air mata, sebab tangis itu ada dalam dada. Jauh lebih menyiksa.
Cukup tahu saja, bahwa diriku tidak ada artinya dibanding Ulfa. Mas Aksa tetap memprioritaskan wanita masa lalu daripada istri sendiri. Aku melangkah mundur. Pelan dengan tatapan tak berkedip dari Mas Aksa yang masih berdiri seolah tak sadarkan diri.

Mas Aksa menjatuhkan tas wanita, yang kuyakin tas milik Ulfa. Kemudian berjalan cepat menghampiriku. "Aku bisa jelasin." Tangannya hendak menyentuh bahuku tapi aku mundur.  Tak perlu lagi penjelasan. Semua sudah jelas.
"Ini salah paham, Dek. Aku bisa jelasin." Langkah Mas Aksa maju mengikuti. Aku mundur lagi. Cepat Mas Aksa menangkap tanganku tapi kukibaskan pelan. Disentuh olehnya, adalah sesuatu yang tak kuinginkan saat ini.

"Jangan." Aku menggeleng lemah. Sakit sekali rasanya. Namun air mata tak keluar, mungkin karena luka ini sudah begitu dalam.
"Dek, aku ke sini cuma buat nolongin Ulfa, gak lebih. Percayalah." Mas Aksa menjelaskan. Perasaan takut dan gugup menjadi satu. Mas Aksa kembali meraih tanganku, tapi kutolak.
"Jangan." Aku kembali mundur. Sama sekali tak ingin disentuh sedikit pun.
"Dek!" Mas Aksa menghalangi jalanku ketika aku membalikkan badan hendak melangkah pergi. "Kita pulang. Aku jelasin semuanya di rumah. Ya?"
Aku menggeleng kuat. "Aku bisa pulang sendiri. Mas Aksa sama Ulfa aja." Aku menepiskan tangan Mas Aksa yang menghalangi. Berjalan cepat, setengah berlari meninggalkannya. Tak peduli dengan panggilannya.

Seberapa banyak lagi luka yang harus kuterima, Mas?

Bersambung #11

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER