Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 22 Februari 2021

Malam Yang Tertunda #11

Cerita Bersambung
(side a)

Mas Aksa tidak ada mengejar lagi, itu cukup memberi bukti bahwa diriku sama sekali tidak berarti. Naik taksi dan pulang ke rumah Mama. Tidak ada air mata yang terjatuh. Yang ada hanya sakit yang begitu mendalam, membuat hati semakin rapuh. Apa pun alasannya, faktanya Mas Aksa telah pergi meninggalkanku demi menemui Ulfa.

Ponsel sedari tadi bergetar, tapi sama sekali tidak kuhiraukan. Pikiranku kacau, hatiku jauh lebih kacau. Mau sampai kapan seperti ini. Tak apa jika Mas Aksa tidak cinta, asalkan hargai sedikit saja apa yang tengah kupertahankan dan perjuangkan.

Setelah menempuh perjalanan hampir satu jam, akhirnya taksi sampai di depan rumah Mama. Baru saja turun, ada mobil parkir di depanku. Seorang lelaki muncul dan berkata, "Aksa berkelahi dan luka parah!

Aku terkesiap. Tidak sempat berpikir, aku masuk begitu saja ke dalam mobil. Bertanya khawatir bagaimana keadaan Mas Aksa dan di mana dia sekarang. Hanya dijawab bahwa aku harus melihatnya secara langsung.

Sepanjang perjalanan, perasaan kecewa dan sakit hati digantikan langsung dengan rasa khawatir. Takut jika terjadi sesuatu pada Mas Aksa.
***
Inaya mengernyit bingung ketika mobil memasuki pekarangan rumah cukup mewah. Semua pertanyaannya menggantung begitu saja tanpa jawaban. Turun dan segera dibawa ke dalam rumah.

"Di mana Mas Aksa?" tanyanya bingung. Matanya menyapu seluruh ruangan. Tidak ada siapa-siapa. Sepi. Rumah sebesar ini bahkan tidak ada suara sama sekali.
"Duduk aja dulu. Bentar lagi juga dateng." Lelaki itu menjawab santai. Duduk di sofa dan menyulut rokok.
"Kamu siapa? Di mana Mas Aksa!" Inaya bertanya lagi. Sekarang, ketakutan menyergap dan curiga bahwa ia sedang dijebak.
"Bawel banget sih! Tunggu aja napa!"
"Aku mau pulang!" Inaya melangkah pergi tapi langsung ditarik oleh lelaki itu.
"Minta dikasarin ternyata!" Rokok ditaruh di mulut, dan tangannya menarik tubuh Inaya. Tak peduli dengan jeritan dan pemberontakan, ia mengikat Inaya di kursi.
***

Menerima kabar tentang Inaya, Aksa semakin geram dan kemarahan benar-benar memuncak. Ketakutannya dua kali lipat sekarang. Takut jika terjadi sesuatu pada Inaya.

Mobil melaju dengan kecepatan kencang. Menyalip dan gesit mengemudi. Menekan klakson tidak sabaran. Semua jadi kacau hanya karena ia terjebak oleh tipuan Daniel. Seharusnya ia bersikap tak acuh pada apa pun keadaan Ulfa. Seharusnya ia menelpon polisi saja. Seharusnya ia tidak meninggalkan Inaya. Dan berbagai macam kata seandainya berkeliaran penuh penyesalan.

Mobil sampai pada alamat yang dikirimkan oleh Daniel. Memarkir asal, dan segera turun. Melangkah lebar, masuk ke rumah mewah entah milik siapa. Berteriak memanggil Daniel. Sepi. Tidak ada sahutan. Rumah ini seperti tidak berpenghuni.

"Lo nyari siapa?" Seseorang muncul dari pintu belakang. Berjalan santai dengan kedua tangan dilipat di dada.
"Mana Inaya?!" Aksa menatap tajam.
"Ada tuh di belakang. Baru gue ajak seneng-seneng tadi."
"Brengsek!" Aksa kembali kalap. Mencengkram kaus lelaki itu dan mendaratkan pukulan.
"Bagus!" Daniel muncul dari belakang membawa Inaya dalam cengkraman.
"Inaya," lirihnya. Tubuhnya lemas seketika, melihat Inaya yang berderai air mata dengan wajah ketakutan.
"Apa yang lo mau!" Aksa menatap nanar Daniel. Mendekat tapi langkah terhenti ketika Daniel mengeluarkan pisau.
"Berani mendekat, jangan salahin gue kalau sampai nekat!" Daniel mengancam dan berhasil membuat Aksa mundur.
"Tolong jangan libatkan Inaya." Aksa memohon.
"Gue bisa lepasin istri lo, tapi tentu saja lo harus rela mantan terindah lo jadi milik gue!" Daniel memberi isyarat pada temannya. Beberapa detik kemudian, lelaki bertubuh kekar membawa Ulfa dari lantai atas.

Aksa memejamkan mata. Mendesah lemah. Tidak menyangka semua akan menjadi kacau sekarang.
"Gimana, Aksa?" Daniel menyeringai puas melihat kebingungan di wajah Aksa.
"Apa sebenarnya yang lo mau dari gue?"
"Gue cuma mau lo ngerasain apa yang udah lo lakuin tadi!" Daniel mendesis benci.
"Lakukan apa aja yang lo mau ke gue. Lepasin mereka." Lemah Aksa berkata. Tidak ada pilihan. Ia sama sekali tidak ingin terjadi sesuatu pada Inaya ataupun Ulfa.
"Good!" Daniel Memberikan isyarat pada temannya dengan mata. Hanya satu kali aba-aba, teman Daniel itu menghajar habis-habisan Aksa. Satu pukulan, dua, tiga, lalu tubuh Aksa ditarik dan dilempar menghantam kursi kayu. Aksa mengaduh. Memekik kesakitan. Ingin melawan tapi keselamatan Inaya dan Ulfa terancam.

"Jangan!" Inaya menggeleng. Air mata tumpah. Melihat lelaki yang dicintai dihajar sedemikian rupa, membuatnya tak kuasa melihatnya.

Semakin brutal! Lelaki itu kembali menarik tubuh Aksa lalu mendorong hingga menghantam rak kaca. Terjerembab. Rak itu terjatuh. Semua koleksi piring dan gelas di dalamnya pecah. Aksa meringis ketika tangannya terkena serpihan beling. Berdarah. Wajahnya lebam tak keruan. Tak ada yang bisa dilakukan selain diam.

"Lawan, Bodoh! Jangan diam aja!" teriak Ulfa tak terima. Memberontak tapi kalah tenaga dengan lelaki yang mencengkram kedua tangannya.

Daniel memerintahkan untuk mengambil alih Inaya. Kemudian dirinya mendekati Aksa. Menjambak rambut dan menyeringai puas.

"Apa sih hebatnya dia, sampai kalian berdua memperebutkannya!" Daniel menatap satu-satu Inaya dan Ulfa. "Cuma cowok lemah kayak gini aja ditangisi!"
"Cuma cowok banci yang beraninya nahan cewek buat ngehajar lawan!"
Daniel menoleh. Membelalakkam mata melihat seseorang berjalan dari arah pintu depan.
"Raka." Inaya dan Ulfa menyebut lirih. Berharap kedatangan Raka bisa membantu banyak.
***

"Kenapa? Kaget gue bisa ada di sini?" Raka mendengkus kasar. Untung saja ia mengikuti mobil yang membawa Inaya tadi. Saat pulang dari rumah makan untuk menjemput Inaya tapi berakhir percuma, Raka memutuskan pulang karena memang sedang tidak ada kegiatan di luar.  Merasa curiga ketika ada lelaki yang membawa Inaya pergi.

"Tenang aja, gue gak bawa polisi. Gue dateng sendiri sebagai lelaki! Bukan banci kayak lo!" Raka menunjuk muka Daniel dengan tatapan tajam. Jelas saja ia tidak terima melihat kakaknya dihajar sedemikian rupa tanpa bisa melawan.

"Ini gak ada urusannya sama lo, ya! Jadi mending lo pergi dari sini atau bakal pulang dengan tulang patah!" Daniel mengancam. Berjalan mendekati.
"Buktiin omongan lo!" Raka mendesis tajam. Tangannya mengepal sudah ingin menghajar muka Daniel. Darah harus dibalas darah! Maka tanpa aba-aba atau kata lagi, tangan yang mengepal sejak tadi melayang langsung mengenai wajah Daniel.
Daniel tersungkur. Wajah yang lebam bekas pukulan Aksa tadi masih membiru, ditambah pukulan Raka, jelas saja darah langsung mengucur dari hidungnya.
Inaya memejamkan mata. Gemetar ketakutan. Hal yang paling dibenci adalah perkelahian. Pernah ia pingsan saat melihat kakak kelasnya SMA dulu berkelahi di depan mata. Berdarah-darah, mengerikan. Membuatnya jatuh pingsan saat itu.
Sedangkan Ulfa justru menyeringai senang. Pembalasan yang setimpal atas apa yang diperbuat Daniel.

"Cuma banci yang baru dipukul sekali udah kesakitan!" Raka mencengkram kerah baju Daniel yang hendak bangun dari jatuhnya. Kepalan tangannya terangkat siap meninju sisi wajah lain Daniel. Tak peduli dengan wajah yang sudah penuh dengan luka lebam atau darah yang mengalir dari hidung itu.
Dua lelaki yang menahan Inaya dan Ulfa, tak terima jika temannya dihajar habis-habisan. Maka mereka melepas tahanan, dan menghampiri Raka. Salah satunya membawa pisau, hendak menikam punggung Raka, tapi Raka jauh lebih gesit dibanding mereka.

"Awas!" jerit Inaya. Jatuh dengan tubuh gemetar.
"Dek!" Aksa memaksa berdiri. Tapi kembali jatuh ketika tubuhnya seperti ditimpa puluhan ton batu. Meringis kesakitan.

Ulfa yang melihat itu, seketika berlari mendekati. "Kamu gak apa-apa?" Pertanyaan bodoh. Bagaimana bisa baik-baik saja dengan wajah merah-merah dan darah di lengan dan beberapa bagian. Air mata terjatuh. Tak tega melihat lelaki yang begitu dicintai terluka parah seperti ini.
"Jangan sentuh aku." Aksa menepiskan tangan Ulfa. Berusaha berdiri untuk mendekati Inaya.

Raka menarik tangan yang memegang pisau itu dan memelintir. Mendorongnya hingga menghantam guci di pinggir ruangan. Pecah. Lelaki satunya menarik kursi kayu, memukul punggung Raka. Kena! Raka mendesis kesakitan. Hanya beberapa detik, karena setelah itu Raka justru semakin kalap. Mendekat dengan sorot mata mematikan.

"Brengsek!" Satu tendangan mampu membuat lelaki itu terjerembab ke lantai. Mencengkram kaus dan menghajar habis-habisan tanpa memberikan kesempatan lelaki itu untuk melawan. Tidak hanya sampai di situ, Raka menarik paksa tubuh lelaki itu lalu menghantamnya ke tembok. Lelaki itu jatuh terkulai.

Daniel mencicit. Panik seketika. Terkesiap ketika tatapan nyalang itu terarah padanya. Raka tidak peduli. Satu yang harus diterima oleh Daniel. Luka dibalas luka. Darah dibalas darah. Pisau yang tergeletak di lantai tadi, diambil dan berjalan mendekati Daniel.

"Seumur-umur, gue belum pernah bunuh orang. Tapi seru juga kayaknya kalau gue coba!" Raka menyeringai. Memainkan pisau di tangan. Tentu saja itu hanya ancaman. Hanya menakuti Daniel yang wajahnya sudah pucat pasi.
Aksa memaksa diri untuk berjalan. Menggigit bibir ketika nyeri menyerang di sekujur tubuh. Menjatuhkan diri di depan Inaya yang sudah berurai air mata.

"Kamu gak apa-apa kan, Dek?" Tangan Aksa menyentuh bahu Inaya. Meneliti jika saja ada luka. "Ada yang sakit gak?"
Inaya semakin tergugu. Perasaan campur aduk telah mengungkungnya. Takut, khawatir, sakit hati, entah rasa apa lagi sekarang yang mampu menjelaskan.
Aksa memaksa menarik tubuh Inaya dalam dekapan. Sangat erat. Ketakutan akan kehilangan yang sejak tadi menyiksa, seolah ingin ia balaskan melalui pelukan. Meyakinkan bahwa semua yang dilihat Inaya tadi tidak seperti kenyataannya.

Ulfa bergeming di tempat dengan derai air mata. Cukup jelas semua sekarang. Tidak seharusnya ia mengharapkan Aksa lagi. Seharusnya sekarang ia ikut senang karena Arjunanya telah menemukan cinta sejatinya. Bukan malah terluka.

"Lo milih mati, atau tua di penjara?" Raka berbisik di telinga Daniel.
"Gak! Kita bisa damai. Please!" Daniel memohon. Semakin ciut nyalinya.
"Damai? Setelah lo hampir bikin rumah tangga kakak gue berantakan dan lo minta damai?" Raka mendesis marah. Pisau ditodong di depan wajah Daniel.
"Gue minta maaf. Gue janji gak akan ganggu kalian lagi. Oke?" Daniel mengangkat kedua tangan. Meminta perdamaian.
"Jaminannya apa lo gak akan berbuat banci kayak gini lagi?!"
"Lo boleh bunuh gue kalau gue sampe ganggu kalian lagi. Oke?"
"Gue pegang omongan lo!"

*****
(side b)

Inaya tercengang ketika memasuki kamar. Matanya membulat sempurna dengan mulut sedikit terbuka. Mengerjap pelan dan menutup mulut dengan tangan.

"Gimana? Suka?" Aksa yang baru saja meletakkan barang bawaan, bertanya dan mendekat. Melingkarkan tangan ke tubuh Inaya dari belakang.
Inaya bergidik geli menerima sentuhan tiba-tiba itu. Aksa justru merapatkan pelukan, menumpukan dagu pada bahu Inaya.
"Mas Aksa yang siapin ini semua?" tanya Inaya setengah tak percaya. Masalahnya, dua hari ia dan Aksa berada di rumah sakit dan baru saja pulang.
"Iya. Raka yang bantu."

Inaya tersenyum memandangi foto pernikahannya dalam bingkai yang terukir indah, ukuran besar terletak di dinding atas ranjang.

"Suka?" tanya Aksa lagi.
"Suka," jawab Inaya dan kemudian tatapannya tertuju pada bunga mawar merah dibentuk hati di atas ranjang. Beberapa sisi tersebar bunga melati yang mengeluarkan wangi yang semerbak. "Tapi, itu ngapain ada bunga mawar sama melati di ranjang?"
"Untuk menggantikan malam yang tertunda," bisik Aksa. Tersenyum dan merasakan nyaman sekali setelah kejadian dua hari lalu yang membuatnya takut kehilangan Inaya.
"Malam yang tertunda?" Inaya mengernyitkan dahi. Sedikit menoleh.
"Iya. Malam di mana seharusnya kita saling memadukan cinta. Malam di mana kita seharusnya saling merasa nyaman. Malam yang seharusnya menjadikan kita sebagai pasutri yang paling bahagia." Aksa memejamkan mata. Merasakan nyeri di hati karena penyesalan yang mendalam.

Inaya bergeming. Tersadar bahwa selama ini tidak pernah merasakan malam yang begitu sempurna karena cinta satu sama lain. Hanya cinta sendiri tanpa balasan pasti.

"Dek," lirih Aksa memanggil.
"Hm?" sahut Inaya mulai merasakan debar di dada.
"Bisakah kita mulai semua dari malam ini?"

Inaya merenggangkan tangan Aksa yang memeluk. Membalikkan badan dan menatap Aksa. Mencari cinta dari sorot mata seperti yang Ulfa katakan. Benarkah Aksa sudah memiliki cinta untuknya?

"Aku minta maaf. Untuk kesekian kalinya aku minta maaf, Dek. Mungkin setiap hari aku akan mengatakannya, walaupun gak akan bisa menyembuhkan luka di hatimu. Tapi dari lubuk hatiku yang paling dalam, aku benar-benar minta maaf."
Inaya tersenyum perlahan. Kedua tangan terangkat menyentuh wajah Aksa. Ya, ia bisa merasakan tulusnya kata maaf dan juga menemukan penyesalan dari sorot mata Aksa.

"Aku tahu kemarin hanya salah paham. Sungguh berdosa jika aku memendam dendam dan kebencian padamu, Mas. Mas Aksa adalah lelaki yang baik. Suami yang bertanggung jawab." Tangan Inaya turun menyentuh dada Aksa. "Hanya persoalan hati. Sepenuhnya adalah hak Mas Aksa. Aku gak punya hak, memaksa Mas Aksa untuk mencintaiku."
Aksa terkesiap. Tidak terima karena masih dianggap tidak mencintai Inaya. Tidak bisakah Inaya melihat dari sorot matanya?

"Tolong artikan tentang perasaanku, Dek." Tegas dan lugas Aksa berkata dengan tatapan tajam. "Aku tidak suka melihatmu lebih nyaman dengan lelaki lain walaupun dengan adik kandungku sendiri. Aku tidak rela melihat air matamu terjatuh walaupun aku sendiri yang sering membuatmu menangis. Aku selalu takut kamu akhirnya tidak kuat hidup bersamaku dan memilih menyerah. Aku selalu ingin membuatmu bahagia, kemarin, sekarang, bahkan selamanya."

Inaya menatap tanpa kedip. Dadanya berdetak semakin kencang. Semua kata-kata Aksa benar-benar membuat perasaannya melambung. Hilang semua rasa sakit yang kemarin.

"Dengarkan aku, Dek." Aksa kembali berkata.
"Aku … Aksa Arjuna mencintai Inaya Larasati. Bukan hanya sebagai istri atau Ibu dari anakku nanti. Tapi aku mencintaimu sebagai seorang wanita terpenting sekarang. Jangan tanya kapan perasaan ini ada. Aku tidak tahu. Karena kamu sendiri lah penyebabnya."

Inaya menggigit bibir yang bergetar. Setetes air meluncur disusul tetesan lain yang semakin deras mengalir. Tanpa sepatah kata, Inaya mengecup bibir Aksa. Ah, lelaki ini terlalu banyak bicara. Bukankah satu-satunya cara agar diam adalah dengan membungkamnya?

Aksa sedikit terkejut dengan tingkah Inaya yang tiba-tiba itu. Tapi ia tak mau kehilangan kesempatan. Didekapnya Inaya erat-erat dan membalas ciumannya dengan penuh kelembutan. Aksa melanjutkan ciumannya menuju ke leher Inaya.. lalu satu persatu dilepaskan kain yang melekat ditubuhnya.

Inaya merasa malu dan memerah mukanya. Aksa menggendong tubuh yang sudah tak memakai apapun itu dan merebahkannya ke ranjang. selanjutnya..

"Aa...aduuh..." Inaya merasakan sesuatu yang menusuk tubuhnya. sakit tentu saja. tangannya mencengkeram apa saja yang ada diatas ranjang. Tapi ia tak mampu menghentikan Aksa. Namun beberapa menit kemudian ia merasakan sesuatu yang lain merasuk ke dalam jiwanya. Rasa yang tak dapat digambarkan dengan kata-kata. Rasa itu...

"Auwh... oohh..." Inaya serasa melayang diatas awan. Belum pernah ia merasakan keadaan yang seperti itu. Mendengar desahan Inaya, Aksa semakin mendapat semangat. Akhirnya dengan satu hentakan Aksa menyelesaikan semuanya. "Aaghkh..."

*** END ***


===================
Dari Penulis :
Tersedia "Malam Yang Tertunda" dalam bentuk novel.

DAFTAR ISI :

1.Malam Pertama
2.Peringatan dari Mbah Kakung
3.Malam Kedua
4.Nasihat Bapak dan Ibu
5.Malam Kesekian
6.Kejadian di Rumah Sakit
7.Pindah Rumah
8.Malam yang Sempurna
9.Ingkar Janji Kesekian
10.Ketakutan Inaya
11.Kehamilan Inaya
12.Fakta Masa Lalu Aksa
13.Marahnya Aksa
14.Ulfa Benazir
15.Kabar dari Ulfa
16.Perkelahian
17.Fakta dari Lisa
18.Permintaan Maaf
19.Cinta dan Luka
20.Luka yang Sama
21.Pertengkaran Aksa dan Ulfa
22.Penolakan Inaya
23.Rasa yang Berbeda
24.Campur Tangan Mama
25.Kegelisahan Aksa
26.Cinta dan Cemburu
27.Inaya atau Ulfa
28.Masuk jebakan
29.Murkanya Aksa
30.Pembalasan Raka
Epilog. (Ending)

Nama tokoh utama :
1.Inaya Larasati
2.Aksa Arjuna
3.Raka Dewantara
4.Ulfa Benazir
5.Lisa Chakira
6.Daniel Anggara
***

Salam Penulis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER