Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 24 Februari 2021

Pengakuan Sumiati #2

Cerita bersambung

"Kang aku mau diajak mas Dipo nonton pelem lho.", tukas Sumi bangga ke Sarmo.
"Pelem opo Sum? Apa di lapangan Karanglo?"
"Walah ya bukan to kang. Di gedung bioskop. Di Delanggu.Kalau di lapangan kan sudah biasa."
"Lho mas Dipo kan kuliah di Jogja?"
"Iya lagi liburan. Katanya kampusnya diduduki tentara. Gara2 Mahasiswa nolak Pak Harto jadi presiden lagi."
"wow...gitu ya. Lha kamu mau nggak?"
"Aku takut. Tapi aku pingin tahu juga nonton pelem di gedung kang."

"Yo wis mau saja. Daripada ndoromu marah. Tapi hati2 ya Sum" , pesan Sarmo khawatir.
"hati-hati piye?"
"Ya jangan mau kalau diuyel-uyel"
"Kok diuyel-uyel?"
"Wee...dikasih tahu kok. Di gedung itu gelap nanti pas pelemnya diputer:."
"Kang Sarmo pernah nonton to?"
"Aku cuma diceritai orang..."
Sumi bingung menuruti ajakan Dipo anak Pak Jarwo.
Dia cuma pelayan toko, Dipo mahasiswa Gajah Mada. Dia malu kalau diajak ngobrol nggak nyambung.
Tapi dia takut nolak juga.

Tibalah malam itu, selepas maghrib Sumi dibonceng motor menuju ke Delanggu. Naik RX King merah. Beberapa menit sampai di Delanggu.
Dia pakai baju terbagus yang dia punya.

"Gimana Sum siap nonton ya?"
"Iya mas..."_ jawab Sumi singkat.
"Kita makan dulu ya.."
"Makan apa mas?"
"Soto aja biar cepat."
Sumi nurut saja.
Sempat makan Soto Pak Bagong sebelah barat lampu merah perempatan pasar.
Meskipun enak tapi Sumi malu untuk nambah. Dia serba salah.
Sumi merasa kikuk pergi dengan anak juragan.
Selesai makan, mereka menyeberang jalan menuju ke Gedung Bioskop satu-satunya di Delanggu.

Setelah beli karcis mereka masuk gedung.
Sumi kaget. Gedungnya besar, lampu remang dan lantainya menurun semakin mendekati layar. Beda dengan gambar sorot di lapangan Karanglo.
Film yang ditonton Binalnya Anak Muda. Beberapa lagu diputar menunggu jam tayang. Lalu disusul iklan. Sumi takjub karena pertama kalinya nonton di gedung. Film mulai diputar.
Sum merasa risih nonton film itu.

"Gimana Sum bagus?" tanya Dipo.
"mmm...bagus Mas..." jawabnya asal.
Tangan Dipo memegang tangan Sumi. Sumi deg2an,  ingin dia lepaskan tapi nggak berani.
Malah Dipo berusaha merangkul. Tapi dengan halus menepis tangan Dipo.
Dia ingat Sarmo, anak tukang soto. Meski hanya lulusan SMP, Sarmo lebih tahu sopan santun, lebih melindungi.
Sumi jadi tidak bisa menikmati film yang ditontonnya. Dia paham yang dibilang Sarmo dengan hati-hati.
Hingga film selesai Sumi justru keluar keringat dingin.
Dia rasanya lebih suka nonton misbar di lapangan sambil duduk di tikar.

Sejak kejadian itu, Sumi merasa tidak nyaman kerja di tempat Pak Jarwo jika ada Dipo di rumah.Dia tidak lagi bersikap manis ke Mas Dipo.
***

"Gimana Sum tadi malam?"
"Ah nggak enak kang. Enak nonton bioskop di lapangan. Di gedung nggak bisa teriak2 sambil tepuk tangan."
"Lho pelemnya tembak2an?"
"Film cinta2an saru kang.."
"Tapi kamu nggak diapa-apakan to?"
"Nggak..nganu...kang..nganu.."
"Nganu apa to?"
"Tanganku cuma dipegang2.."
"Ha..jadi..?"
"Ya gitu aja kang... Aku risih."
" Lain kali jangan maulah."
"Iya kang.."
***

Hari ini pasaran Pon, ramai pengunjung pasar. Dari daerah timur hingga ke Ngaran banyak orang datang ke pasar untuk jualan maupun untuk kulakan.
Dari daerah barat hingga Tulung banyak orang membawa hasil bumi untuk dijual. Pasar penuh orang. Begitu juga toko-toko sekitar pasar juga laris.
Sumi sibuk melayani para pembeli di Toko Ijo.

"Mbak namanya siapa?"
"Aku Sumi mas.."

Begitu tanya seorang pembeli yang mungkin menikmati ayunya Sumi. Hingga pembeli itu memberanikan diri bertanya.

"Mbak anaknya berapa?"
"lho aku masih gadis mas.." jawab Sumi polos disela-sela melayani pembeli.
"Oh saya kira sudah punya suami." pembeli itu ingin berkenalan tapi ragu.
"He...Sum!..kerja sing apik...Jangan disambi ngobrol", bu Jarwo menegur Sumi.
Padahal dia sendiri sebenarnya juga sungkan menjawab pertanyaan pembeli tadi.

Tiap akhir pekan, Sabtu tepatnya si pembeli itu rajin datang ke toko Ijo.
"Mbak ingat aku nggak?"
"Siapa to mas?"
"Yang datang minggu lalu. "
"Ah lupa, kan tiap hari yang belanja banyak."

Sindhu si pemuda itu mencari akal gimana menyampaikan rasa tertariknya.
Dia bawakan saputangan yang disemprot parfum wangi.
Dibawanya pada kunjungan berikutnya.

"Sum ini tak kasih sapu tangan."
"Buat apa mas?"
"Aduh Sum ya buat disimpan atau ngelap keringat di hidungmu itu."
"ya mas maturnuwun."
Sindhu pun pulang. Dia akan datang lagi minggu depan.

"Sum, siapa itu anak yang sering-sering datang ke sini? " tanya bu Jarwo.
"Nggai sering kok bu. Cuma seminggu sekali."
"Siapa dia?"
"Anu bu..Sindhu namanya"
"Sekolah dimana?"
"Katanya SMA di Klaten".
"Wah hati-hati kamu".
"Nggih bu.."

Sumi bingung. Ada Sarmo, ada ndoro Dipo dan Sindhu.
Dia seneng ngobrol dengan kang Sarmo,yang memang teman main sejak kecil. Juga obrolannya nyambung.
Pada mas Dipo dia justru takut. Ia mau diajak nonton karena anaknya juragan.

Kepada Sindhu diam-diam Sumi mulai tersanjung karena merasa diperhatikan dan nampaknya Sindhu anak pinter.

==========

"Nduk jadi gimana kamu apa sudah mau nikah?" tanya Kartiyem ke anak wedoknya.

Mereka tiduran di amben di rumahnya. Di bawah sorot lampu teplok dari minyak mereka ngobrol.
Terdengar suara debur air dari sungai besar yang mengalir di belakang rumahnya. Itulah sumber penghidupan mereka.

"Ah simbok , belum. Aku kan belum 20 tahun."
"Mau nunggu apalagi? Sudah waktunya bagi perempuan desa seperti kamu."
"Belum ada yang ngelamar mbok.."
"Katamu ada mas Sindhu, ada Mas Dipo, ada Sarmo.."
"Kang Sarmo kan teman main mbok. Mas Dipo itu anak juragan, anaknya ndoro Jarwo. Takut aku mbok."
"Kamu harus milih suami yang bener. Yang bisa ngangkat derajatmu."
"Maksud simbok?"
"Ya kita sudah lama miskin. Jangan nyari suami yang miskin. Cari yang bisa membantu kita mengangkat hidup kita nduk."

Kartiyem ingat lagi ketika kerja di Sanghai, dia berharap bisa jadi istri keduanya Tuan Sanghai. Ternyata cuma disangoni untuk melahirkan. Dia takut sama ndoronya.
Padahal sudah ada Sumiati kecil di perutnya saat itu. Dia nggak mau anaknya tetap miskin seperti dirinya.

"Kamu punya paras yang cantik. Kulitmu putih. Badanmu juga bagus. Itu kelebihan nduk. Kamu juga pandai meskipun sekolahmu hanya sampai SMP. Simbok yakin kamu kalau sekolah, kamu juga bisa jadi sarjana. Kamu kurang beruntung saja, punya orang tua pencari pasir."
"Ah simbok memuji anaknya sendiri."
"Lho kan kecantikan itu modal perempuan nduk. Itu anugerah yang Maha Kuasa.Harus dimanfaatkan. Jangan salah jalan. Harus bisa jaga diri. Jangan mudah kena bujuk rayu."

Kartiyem memberi bekal penting untuk anaknya sembari mengihgat nasibnya sendiri yang dulu begitu yakin akan dinikahi tuan Sabghai.

"Katanya ada juga mas Sindhu yang katamu anaknya pinter juga mau kuliah ke Bandung?"
"Iya mbok tapi kan mas Sindhu belum ngomong apa-apa. Dia memang pinter. katanya dia diterima sekolah di Itebe mbok. Mbuh aku juga nggak tahu itu sekolah apa."
"Lah itu kan sekolahnya Bung Karno Presiden pertama kita nduk."
"Iya Mas Sindhu juga cerita begitu. Tapi aku cuma lulusan SMP mbok. Mana bisa mengimbangi mas Sindhu."
"Ee..tak kandani..kecerdasan itu nggak tergantung sekolah. Kalau dasarmu cerdas, kamu bisa baca-baca buku atau koran, nonton tivi atau dengar radio untuk nambah wawasanmu.Kamu bisa pinter."
"Wah simbok kok koyo wong cerdas ya?"
"Simbokmu ki pinter cuma lebih tidak beruntung lagi. Kalau simbok anak orang kaya, bisa saja jadi sarjana nduk. Kalau kamu kawin sama Sarmo ya nasibmu nggak berubah banyak nduk."
"Lho simbok nggak boleh gitu. Kang Sarmo orangnya baik. Meskipun dia orang desa dan cuma anak bakul soto tapi dia orang yang rajin mbok."
"Oo kamu itu dikasih tahu kok ngeyel. Cari suami yang kaya nduk..syukur-syukur baik hati."

Sumiati bingung mencerna kata-kata Kartiyem mboknya. Dia masih belum pingin kawin. Dia mau mengumpulkan modal dulu dari kerja sebagai penjaga toko Pak Jarwo.
Kata-kata mboknya ada benarnya.

Bapaknya Sumi, Sugiyono hanya bapak tiri, tidak banyak mencampuri urusan asmara anaknya. Dia cuma tahu nyari uang dengan mencari pasir di sungai belakang rumahnya. Karena dia sadar Sumi itu bukan darah dagingnya. Sugiyono pria baik yang bertanggungjawab pada keluarga. Tidak banyak bicara, mengalah sama istri. Beruntung dia punya istri Kartiyem yang cantik meski tidak perawan lagi ketika dinikahinya. Tapi kecantikan Kartiyem terkalahkan oleh guratan kesusahan hidup yang harus dijalani.
***

Sabtu ini apes buat Sindhu. Dia ke toko Ijo tapi Sumi tidak di sana. Dia tidak tahu rumah Sumi. mau bertanya ke Bu Jarwo atau Pak Jarwo tidak berani. Dia bolak -balik lewat depan toko tidak dilihat gadis ayu pujaannya itu. Dia membeli kaos dari Toko Viva di Klaten untuk Sumi serta menulis surat cinta. Minggu depan dia harus berangkat ke Bandung untuk melanjutkan kuliahnya . Dia tidak ingin Sumi lepas. Tapi dia juga nggak yakin orang tuanya mengijinkan dia nanti kawin sama anak tukang pencari pasir dan Sindhu itu juga nggak tahu bahwa Sumi adalah hasil hubungan gelap mboknya dengan juragannya dulu.

Bersambung #3

1 komentar:

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER