Cerita bersambung
Di perjalanan pulang dari café Love dalam mobil Seno, Nisa kembali larut dengan novelnya. Seno sudah beberapa kali berdeham untuk memulai obrolan, tapi Nisa tetap khusyuk dengan novelnya. Mulai jengah dengan situasi, akhirnya Seno angkat bicara.
"Rasanya gue mulai cemburu sama novel itu. Lo udah berapa kali nyuekin gue gara-gara novel itu," kata Seno sebal.
"Berisik lo! Ini novel bagus tauk! Lo mau baca juga?"
"Enggak deh, makasih." Seno makin sebal.
Tidak tahu kenapa rasanya Seno tidak suka Nisa membaca novel itu. Ini semacam feeling, firasat, atau apalah Seno tidak mengerti, novel itu seperti akan membawa Nisa jauh darinya.
"Karya siapa emang novelnya?" tanya Seno.
Nisa melihat sampul novel. "Karya Vee Alledro. Kayaknya dia novelis baru."
"Gue gak suka baca novel. Mending maen game, deh."
"Itu elu, gue enggak."
"Gue gak nyangka lo mau naik motor sama Yuda ke café Love. Seorang Nisa mau naik motor sama bocah ingusan? Wow, itu benar-benar sesuatu," tutur Seno mengalihkan pembicaraan. Terlihat bibir Nisa sedikit tertarik ke atas lalu ia mulai menutup novelnya.
Seno senang Nisa menutup novel itu.
"Gue juga gak tahu, gue kayak kehipnotis sama dia."
"Bukan kehipnotis tapi lo emang terpikat sama bocah itu, makanya lo mau."
"Hehehe lo bener, Sen."
"Eh Nis, lo dapet WA dari Lala, gak?"
"WA apaan?"
"Dia ngundang kita untuk syukuran rumah barunya. Masa gak ada sih? Gak mungkin."
"Bentar-bentar gue cek hape gue dulu," kata Nisa sambil mengobrak-abrik tasnya mengambil hape.
"Bener nih, ada. 'Danisa sayang, nanti hari minggu datang ke syukuran rumah baru gue ya, nih alamatnya : The Garden Village, jalan merpati no 20. Pokoknya gue harus liat lo ada di sana jam lima sore gak boleh enggak TITIK.' Sen, titik nya pake huruf capital semua. Bales gak nih?"
"Bales aja. Gue mau dateng," ujar Seno.
"Oke deh."
***
Sudah tiga hari sejak kejadian di café Love, Yuda mulai bersikap biasa lagi pada Nisa, ia juga mulai menemani Nisa kerja luar lagi, tapi ketika hubungan mereka kembali membaik tiba-tiba ada keputusan dari perusahaan yang mengharuskan Yuda pindah bertugas ke luar kota.
Nisa memandangi sebuah amplop putih berisi SK pegawai Yuda, sebulan lebih ini Nisa senang sudah mengenal Yuda, seorang pria muda tampan dan seorang pekerja keras. Siapa pun pasangannya nanti, Nisa yakin dia adalah wanita paling beruntung di dunia.
Karena Nisa tahu Yuda adalah orang yang bisa melakukan apapun untuk wanita yang ia cintai.
Nisa memanggil Yuda ke ruangannya, ia mengetuk pintu ruangan Nisa, dan Nisa mempersilahkannya duduk.
"Ada apa, Bos?" tanya Yuda. Nisa berdeham sambil membolak-balik amplop putih panjang di tangannya.
"Yuda, kamu masih ingat sama ucapanku waktu kita makan setelah kerja luar?"
Yuda mengerutkan keningnya nampak mengingat-ingat.
"Aku tidak ingat, Bos," katanya. Nisa tersenyum.
"Aku bilang kinerjamu bagus, kalau kinerja kamu tetap dipertahankan seperti ini sampai masa percobaan mu selesai, perusahaan tidak akan mempertimbangkan lagi mengangkatmu sebagai karyawan tetap. Dan hari ini, di saat masa percobaanmu belum selesai, perusahaan sudah mengangkatmu sebagai karyawan tetap. Selamat ya ...," tutur Nisa. Wajah Yuda langsung semringah senang.
"Serius, Bos?"
"Iya serius," kata Nisa sambil tersenyum lebar.
"Ini SK-mu." Nisa menyodorkan amplop itu pada Yuda. Dengan semangat Yuda membuka amplop itu lalu membacanya, saat membaca SK, tiba-tiba raut muka Yuda berubah sedih.
"Aku ditempatkan di Bandung bos?" Yuda memastikan lagi. Dengan berat Nisa mengangguk. Yuda menunduk lalu berkata
"Tapi aku ingin di sini bos, bekerja denganmu membuatku nyaman. M_ maksudku, aku tidak mau jauh dari ...."
"Hm_ Yuda." potong Nisa. Nisa tahu betul apa yang akan dikatakan pria itu.
"Kamu tahukan ini kesempatan bagus buat kamu? Kamu diangkat ketika masa percobaanmu belum selesai, dan ini sangat langka, selama aku bekerja di sini kejadian seperti ini baru pertama kali terjadi. Kamu tahu perusahaan sangat menghargaimu, dan aku yakin karirmu kedepan akan lebih baik dariku," tutur Nisa, tapi nampaknya Yuda masih belum terhibur.
"Yuda, dengarkan aku! Kalau kamu berat ke Bandung hanya karena aku, baiklah, aku akan bersikap buruk padamu seperti kemarin. Kamu mau?" Yuda menggeleng.
"Makanya ... kamu masih muda, kamu pintar, dan kamu pekerja keras. Jangan sia-siakan semua modal itu hanya karena wanita tua sepertiku. Aku sudah tua, kamu tahu, kan?"
Nisa mendekatkan wajahnya pada Yuda lalu berkata lagi, "Hei, di Bandung ceweknya cantik-cantik loh, serius aku tidak bohong! Dengan modal wajah tampanmu pasti kamu akan mudah mendapatkan wanita mana pun yang kamu mau. Hm_tapi kalau kamu kangen padaku, nanti kalau proyek MRT atau kereta cepat selesai, perjalanan dari Bandung ke Jakarta akan ditempuh dengan waktu cukup tiga puluh menit saja. Cepet bukan?" Perlahan Yuda mulai menyunggingkan senyumnya.
Astaga Nisa seperti sedang menyenangkan seorang anak SD saja.
"Oke deh, aku mau ke Bandung. Kebetulan di Bandung aku punya teman lama, jadi sepertinya aku tidak akan terlalu kesepian di sana."
Nisa menghela napas lega sambil menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi.
"Baiklah, aku ke mejaku dulu, Bos. Terima kasih." Yuda bangkit berdiri, diikuti Nisa sambil mengulurkan tangan. Yuda menjabat tangan Nisa.
"Semoga sukses di tempat baru kamu, Yud," kata Nisa. Yuda tidak langsung melepaskan tangan Nisa, ia malah menatap Nisa dengan dalam lalu berkata "Walaupun kemarin kamu menolakku, tapi kamu tetap ada di hati aku. Kamu harus ingat itu." Nisa tersentak dan mendadak hatinya mendung lagi. 'Oh my little boy ....'
Nisa cuma bisa mengangguk sambil menahan air matanya agar tidak sampai keluar.
***
Nisa mengambil ponselnya yang berdering di atas meja rias. Ia melihat siapa yang menelefon. Seno. Tapi Nisa tidak mengangkatnya, ia tahu Seno menelepon untuk memberi tahu bahwa ia sudah menunggu di depan.
Nisa masih sibuk berdandan. Hari ini rencananya mereka akan menghadiri syukuran rumah barunya Lala.
"Sabar dikit dong, Ndut, bentar lagi, nih." Celoteh Nisa sendirian sambil sibuk membubuhkan maskara ke bulu matanya. Selang sepuluh menit Nisa selesai berdandan.
Karena ini adalah acara syukuran, Nisa memakai baju yang tertutup dengan memakai baju lengan panjang dipadu celana kulot, serta tidak ketinggalan handbag kesayangannya bermerk Louis Vuitton.
Nisa tidak berbeda dengan wanita-wanita lain yang menyukai barang-barang mewah, tidak sedikit juga koleksi tas bermerk yang ia miliki, di kamarnya ada sebuah lemari khusus untuk menyimpan koleksi tasnya, Nisa punya tas merk Gucci, Prada, Armani, DKNY, bahkan Hermes yang harganya selangit itu.
Karena kata orang, status sosial seorang perempuan dilihat dari tas apa yang mereka gunakan.
Gaya busana gadis itu pun tergolong selalu stylish, bukan apa-apa, karena secara tidak langsung Nisa selalu ingin menunjukan pada Nadya bahwa ia lebih unggul darinya.
Nisa menyemprotkan minyak wangi pada bajunya sebelum berangkat. Saat ia membuka pintu, benar saja, Seno sudah menunggunya dengan muka kesal.
"Lama banget sih, lo!" Nisa menyeringai.
"Sorry, deh," katanya.
"Ayo cepetan, kita udah telat, nih," kata Seno sambil ngeloyor ke lift.
***
Meski jalanan ibu kota minggu sore ini tergolong lancar, tapi entah mengapa Seno tidak merasa senang.
Dari kemarin suasana hati pria itu sedang tidak enak. Ini seperti firasat, tapi tidak tahu ini sebuah firasat apa. Mungkin nanti dia akan mendapat jawabannya.
Sejam perjalanan mereka sampai di rumah baru Lala.
Dari depan sudah banyak berjejer mobil mewah, maklum yang punya rumah anaknya pejabat. Melihat itu, Nisa dan Seno sedikit sungkan mau ke dalam, tapi nampaknya empunya rumah sedang menunggu mereka di teras, Lala melihat Nisa dan Seno berdiri di antara kerumunan orang-orang.
"Nisa ... Seno ...!" panggil Lala sambil melambaikan tangan. Nisa dan Seno menoleh ke arah suara, senyum Nisa langsung meluncur pada Lala, lalu berjalan menghampirinya.
"Wah gila, jadi serame ini ya, syukuran rumah barunya seorang menantu pejabat," kata Seno. Lala tertawa.
"Maklumlah, keluarga kita banyak banget soalnya, tapi dari banyaknya orang yang hadir sekarang, cuma lo berdua yang paling gue tunggu."
"Ah, bisa aja lo," kata Nisa. Lala menyeringai.
"Ya udah, kita masuk, yuk. Kita ngobrol-ngobrol dulu sama Brian. Sekalian kenalan sama temen-temennya."
Rumah Lala tidak terlalu besar, tapi tata ruangnya sangat pas. Tinggal di kompleks elit seperti ini tentu itu impian semua warga Jakarta. Lala salah satu segelintir orang yang beruntung bisa tinggal di sana.
Lala mengajak Nisa dan Seno ke kerumunan cowok-cowok yang tengah asik berbincang-bincang.
"Hei, kenalin ini sahabat-sahabat aku, ini Nisa, ini Seno." Dengan lantang Lala langsung mengenalkan Nisa dan Seno pada kerumunan itu, tanpa memerdulikan Nisa dan Seno kikuk dibuatnya.
Kerumunan itu sontak menoleh pada dua mahluq yang kikuk itu.
Saat itu Nisa merasa waktu berhenti berdetak, bumi berhenti berputar, bahkan udara seperti lenyap seketika. Saat kerumunan itu satu persatu menoleh padanya, ada satu dari mereka yang sangat dikenalnya. Demi Tuhan ia sangat mengenalnya.
Bagaimana ia tidak mengenalnya, orang itu, wajah itu, yang hampir sebelas tahun selalu menghantuinya kembali ia lihat. Sangat jelas. Walaupun ia terlihat lebih dewasa dari yang terakhir ia lihat, tapi Nisa masih sangat mengenalnya. Ia adalah Sang Zahir. Viko.
Saat melihat Viko, senyum Nisa langsung lenyap, ia sungguh syok. Seno nampaknya bisa merasakan gadis di sebelahnya sedang tidak nyaman. Seno melihat mata Nisa tertuju hanya pada satu orang, ia melihat orang yang sedang ditatap Nisa.
Seno bingung, apakah Nisa mengenal orang itu? Seno menyenggol lengan Nisa.
"Heh, lo kenapa, Nis?" bisik Seno. Nisa tidak menjawab. Ia masih syok. Saat itu juga Nisa ingin berlari. Berlari sejauh mungkin seperti waktu itu. Sungguh ia tidak mau melihat wajah itu lagi, tapi kenapa Tuhan malah mempertemukan mereka lagi?
Di sisi lain Viko juga sama syoknya dengan Nisa. Viko syok sekaligus senang bisa melihat Nisa untuk yang kedua kalinya di waktu yang tidak terduga. Pertama waktu di resepsi pernikahan Brian dan sekarang di acara syukuran rumah barunya Brian. Apakah Tuhan sengaja mengatur ini untuk mereka? Apakah ini jawaban dari doa-doanya selama sebelas tahun? Apakah Tuhan memberinya kesempatan untuk mengucapkan kata maaf yang belum sempat ia ucapkan sejak kejadian sebelas tahun yang lalu?
Dengan hangat Brian menyambut Nisa dan Seno lalu menyuruh mereka duduk bergabung dengan mereka. Dengan canggung Nisa duduk tepat di depan Viko.
"Mereka adalah temanku waktu kuliah di Singapura," tutur Lala. Viko tersentak, pantas setelah kecelakaan itu Viko sangat susah mencari keberadaan Nisa, ternyata Nisa dikirim oleh kedua orang tuanya ke Singapura.
"Nis, lo kenapa?" tanya Lala ketika melihat wajah Nisa yang tiba-tiba terlihat pucat.
"La, sorry, kayaknya gue mendadak sakit, deh. Gue balik aja ya?" kata Nisa. Seno langsung memandang Nisa dengan cemas.
"Nis, lo sakit?" tanya Seno. Nisa ngangguk.
"Bukannya tadi lo baik-baik aja?" tanya Lala bingung.
"Iya. Gak tahu nih, kayaknya maag gue tiba-tiba kambuh. Gue pulang ya, La. Sorry," ujar Nisa lalu berdiri.
"Nis, gue punya obat maag," kata Lala.
"Enggak deh, makasih, gue pengen pulang aja. Sen, kalo lo mau tetap di sini, gue pulang naik taksi aja gak apa-apa," kata Nisa.
"Naik taksi gimana, lo sakit gini. La, sorry kayaknya gue juga balik aja ya, kapan-kapan kita ngumpul lagi yang lebih niat." Lala terlihat bingung sekaligus cemas.
"Ya udah, deh. Lo pulang istirahat Nis," ucap Lala, Nisa ngangguk lalu pergi diikuti oleh Seno.
Viko menggigit bibir, bingung antara mau mengejar Nisa atau tetap duduk bodoh seperti ini. Ia tidak boleh kehilangan lagi, ini kesempatan baik.
Akhirnya setelah perang dengan batinnya sendiri Viko tiba-tiba berdiri lalu berlari ke luar. Kerumunan itu terheran-heran melihat Viko berlari keluar mengejar Nisa dan Seno.
"Ko, mau kemana?" seru Brian. Viko tidak menoleh maupun menjawab. Saat Nisa akan masuk ke mobil Seno, Viko memanggilnya.
"Danisa ...!" panggil Viko. Dengan kompak Nisa dan Seno menoleh pada suara. Jantung Nisa terhenyak mendengar suara itu memanggil namanya lagi. Viko mendekat pada Nisa dan Seno dengan canggung.
"H_hai apa kabar, Nis?" Viko mencoba basa-basi sambil mengulurkan tangannya. Seno menatap mereka dengan bingung, ternyata benar mereka saling kenal, tapi kenapa Nisa tidak pernah menceritakan soal pria itu? batin Seno.
Sebenarnya Nisa selalu menceritakan soal Viko pada Seno, tapi Seno belum tahu wajah Viko. Nisa hanya bisa menceritakan masalah Viko pada Seno, bahkan Lala tidak tahu sama sekali.
Nisa tidak menyambut uluran tangan Viko. Nisa malah berucap. "Sorry, gue sakit, gue mau pulang." Dengan kikuk dan sedih Viko kembali menurunkan tangannya.
"Ayo, Sen!" kata Nisa sambil menarik gagang pintu mobil, dengan cepat Viko menahan tangan Nisa hingga pintu mobil itu kembali tertutup.
"Kamu jangan berlagak enggak mengenalku, Nis. Aku mohon, aku ingin bicara sama kamu," kata Viko. Nisa mendelikan mata pada Viko dengan penuh kebencian.
"Mengenalmu? Bicara? menurut gue semua itu sudah tidak ada gunanya, basi tahu gak! Gue akan senang kalau lo enggak bersikap seperti ini. Jadi gue mohon jangan ganggu gue lagi, sebaiknya kita pura-pura enggak kenal aja. Melihat lo aja hari ini gue langsung sakit."
Viko menelan ludah getir, ia memang tidak memungkiri, luka yang sudah ia torehkan untuk Nisa sangat dalam, dari itu ia sangat menyesal, dan membuat hidupnya selama sebelas tahun ini tersiksa. Viko menganggap semua itu adalah hukumannya, tapi apakah hukuman ini belum bisa berakhir? Viko tidak menginginkan lebih, ia hanya ingin dimaafkan. Tatapan Viko beralih pada Seno. Apakah pria ini pacarnya Nisa? atau mungkin dia suaminya? Kayaknya Viko harus bertanya pada Lala.
Seno yang tahu sedang ditatap Viko, ia melemparkan senyumnya pada Viko tapi senyuman itu terlihat sangat kaku.
"Ayo, Sen," kata Nisa sambil masuk ke mobil. Dan kali ini Viko tidak berusaha untuk menahannya. Saat ini Nisa sedang tidak baik. Mungkin ada saatnya ia bisa bicara lagi dengan Nisa. Seno mengangguk sopan pada Viko sebelum masuk ke mobil.
==========
Sepanjang perjalanan pulang Nisa diam seribu bahasa, Seno pun tidak memancing membuka obrolan. Hingga mereka sampai di apartemen Nisa masih diam saja, padahal Seno penasaran setengah mati siapa pria tadi. Tapi saat Nisa akan menekan gagang pintu apartemennya, ia berbalik.
“Sen …” panggil Nisa. Seno yang tengah memencet kode kunci apartemennya menoleh.
“Apa?” Jawab Seno santai.
“Lo gak penasaran apa yang terjadi barusan di rumah Lala?” Tanya Nisa.
“Jujur aja gue emang penasaran sama cowok yang tadi siapa. Tapi elonya diam aja, ya gue harus hargain dong.”
“Masuklah, gue pengen curhat sama lo.” Kata Nisa sambil masuk ke apartemennya, Seno tersenyum lalu mengikuti Nisa ke apartemennya.
Nisa mengambil dua minuman kaleng dari kulkas, ia lemparkan satu pada Seno lalu duduk di samping pria itu.
“Jadi siapa cowok itu?” tanya Seno sambil membuka minumannya.
“Cowok itu Viko. Orang yang selalu gue ceritain sama lo. Makanya sekarang gue bingung mau curhat apa sama lo, karena lo udah tahu semuanya tentang Viko, iya kan?”
Mendengar Nisa menyebut nama Viko, saat Seno akan meneguk minumannya langsung tidak jadi.
“Viko? serius lo?” Nisa mengangguk. “Iya, dia si brengsek Viko. Sen gue gak ngerti kenapa Tuhan mempertemukan gue sama Viko lagi, jujur aja gue tadi syok banget.”
Seno terdiam, apakah mungkin ini arti dari perasaan tidak enaknya selama beberapa hari ini? Viko kembali hadir dalam hidup Nisa, dan Seno merasa seperti akan kehilangan Nisa. entah kenapa perasaan itu sangat kuat.
Dari kecil Seno memang punya semacam kelebihan dalam feeling, dan tidak jarang feelingnya itu selalu terjadi. Jujur saja mempunyai kelebihan ini enggak enak banget. Ia jadi selalu menderita kewas-wasan yang tidak wajar.
Tapi kebaikannya, Seno jadi bisa menilai klien dengan feelingnya, mana klien yang menguntungkan dan mana yang tidak.
Seno berdeham “Mungkin Tuhan ingin lo menyelesaikan masalah ini, sebenarnya masalah ini belum selesai kan? Antara elo, Viko, dan Gita, masih ada yang harus kalian selesaikan. Gue tahu selama sebelas tahun ini, lo enggak enjoy ngejalanin hidup lo karena masalah itu, dari itu elo jadi susah untuk membuka hati lo lagi. Elo jadi menutup diri, padahal cowok yang mau sama lo banyak banget. Lo tahu kan itu enggak baik buat lo.”
Nisa menghela nafas panjang, apa yang dikatakan Seno benar. Ia menjadi pribadi seperti ini itu karena dampak dari tragedi sebelas tahun yang lalu, sekarang apa yang harus Nisa lakukan? Ia masih tidak sanggup untuk berhadapan dengan Viko ataupun Gita, apalagi untuk menyelesaikan masalah yang selama sebelas tahun ini Nisa tutup rapat.
“Gue masih belum bisa, Sen. Ini berat banget buat gue. Kaki gue lemes kalau ingat kejadian itu, apa yang lo rasain kalau pacar lo yang udah lo pacarin selama tiga tahun ciuman sama sahabat lo dari kecil di depan mata lo sendiri? Gue merasa di tusuk dari belakang, gue merasa dihianati oleh dua orang yang gue sayang sekaligus. Masih syukur gue gak gila, Sen. Jadi untuk berurusan lagi dengan mereka saat ini gue belum bisa.”
Seno melihat mata Nisa berkaca-kaca lalu sedetik kemudian air mata itu jatuh dari matanya. Seno tidak tahan lagi untuk memeluk Nisa. Akhirnya Seno mendekatkan tubuhnya pada Nisa lalu mendekap tubuh gadis itu.
Nisa tersentak ketika mendapati tubuhnya sekarang ada di dekapan Seno. Karena inilah pertama kalinya Seno memeluknya. Pelukan Seno berhasil meredam berbagai emosi dalam dadanya, Nisa mengehela nafas dengan tenang, dan air matanya berhenti mengalir. Ia merasa hangat ada dipelukan pria itu, ia merasa nyaman dan aman. Entahlah ia tidak mengerti kenapa merasa seperti itu dipelukan sahabatnya.
“Ya udah kalau lo belum siap. Tapi jangan terlalu lama ya, lo harus secepatnya menyelesaikan masalah ini kalau mau hidup lo tenang. Nis, lo harus membuka hati lo buat orang lain, terus lo nikah. Umur lo mau dua puluh sembilan tahun kan, lo mau jadi perawan tua?” Nisa melepaskan diri dari pelukan Seno
“Enak aja perawan tua, elo tuh yang perjaka tua.” Sahut Nisa sambil manyun. Seno tertawa.
“Iya-iya deh gue yang perjaka tua.” Seno menghela nafas lalu berkata lagi.
“Nis, gue enggak mau nikah sebelum elo sendiri juga nikah, gue gak mau lo sendirian.”
Nisa terkejut, ada sebersit perasaan aneh saat Seno mengucapkan itu. Gue gak mau lo sendirian? Maksudnya apa? Jujur aja Nisa juga enggak tahu jadinya kalau Seno menikah dan meninggalkan dirinya. Tapi di sisi lain Nisa juga ingin Seno bahagia dan membuka lembaran baru dengan pacarnya.
“Kasian pacar lo Sen.” Sahut Nisa.
Seno menunduk tapi Nisa melihat bibirnya menyunggingkan senyum.
“Jangan kasian sama orang, kasihanilah diri lo sendiri dulu.” Kata Seno sambil mendongak dan memegang kepala Nisa. Nisa kembali tersentak untuk kedua kalinya, matanya terbuka lebar menatap pria di hadapannya itu.
Astaga apa yang terjadi? Kenapa ia merasa aneh oleh semua perlakuan Seno padanya malam ini?
Suara deringan ponsel Seno berhasil membuyarkan pikiran-pikiran Nisa. Seno mengambil ponsel di saku celananya.
“Mama. Sebentar ya Nis, nyokap gue telepon.” Seno merubah posisi duduknya ketika mengangkat telepon.
“Iya ma?”
“Seno, bukain pintu mama di depan nih. Mama dari tadi mencet bel.”
“Apa di depan? Kok gak bilang-bilang dulu mau ke sini?” Seru Seno dengan mata melotot kaget.
“Tau nih papa mu, tiba-tiba pengen ke sini.”
“Hah papa juga ikut?” Mata Seno semakin membelalak sambil melihat Nisa yang sama-sama terkejut.
“Kenapa kok kamu kayak yang kaget gitu mama ke sini? Hayo ada siapa di dalam?”
“E_enggak ada siapa-siapa kok. Oke deh aku ke situ sekarang.” Seno menyudahi teleponnya, Nisa mengigit-gigit kukunya cemas. Apa jadinya kalau orang tua Seno melihat anaknya keluar dari apartemen seorang gadis malam-malam begini? Pasti mereka akan berpikir yang bukan-bukan.
“Gimana nih?” Kata Nisa.
Seno mengehela nafas panjang lalu berkata “Ayo kita keluar, jangan takut kita enggak ngelakuin apa-apa kan?”
Seno keluar diikuti Nisa, orang tua Seno yang sedang berdiri di depan pintu apartemen Seno menoleh bersamaan ketika pintu apartemen Nisa terbuka dan Seno keluar dari sana. Orang tua Seno terkejut melihat Seno dan Nisa, terutama ibunya, matanya sampai melotot kaget. Nisa menganggukkan kepala dengan sopan pada orang tua Seno.
“Ayo Nis …” Seno mengajak Nisa untuk menyapa orang tuanya.
“Apa kabar Om, tante...” sapa Nisa setelah berada di depan mereka. Orang tua Seno menyunggingkan senyum tapi senyuman itu terlihat kaku.
“Baik, kamu Danisa kan?” Tanya ibunya Seno.
Selama berteman dengan Seno, Nisa memang baru bertemu dengan orang tua Seno tiga kali, pertama di Singapura waktu mereka masih sama-sama kuliah, kedua waktu di ulang tahun Seno ke 25 tahun, dan ketiga sekarang. Jadi Nisa tidak terlalu dekat dengan orang tua Seno.
“Iya, tante.” Jawab Nisa dengan gugup.
Ayah Seno melihat ke arah pintu apartemen Nisa yang terbuka “Kamu tinggal di sana?” Tanya ayah Seno. Nisa mengangguk.
“Iya, itu apartemen saya Om.” Ayah Seno ngangguk-ngangguk.
“Pantesan dari tadi mama mencet bel kamu enggak bukain pintu, taunya kamu sedang di apartemen Nisa.” tutur ibu Seno. Seno tersenyum sambil garuk-garuk kepala.
“Ya udah ayo masuk.” Sahut ayah Seno. Seno membuka pintu.
“Nisa, ayo masuk, tante bawa ikan nih, kamu udah makan malam belum?” Nisa mengerjap.
“Enggak tante makasih, saya udah makan tadi.” Jawab Nisa bohong.
“Beneran kamu udah makan?” Sepertinya ibunya Seno tidak percaya.
“Iya udah kok tante.” Seno menahan tawanya melihat Nisa yang kikuk.
“Baiklah. Ya udah kalau gitu tante masuk dulu ya …”
“Iya tente, selamat malam …” kata Nisa sebelum Seno menutup pintu.
***
“Sekarang mama tahu kenapa kamu ngotot banget pengen beli apartemen di sini.” Kata ibu Seno sambil meletakan bawaannya di meja makan. Sekarang orang tua dan anak itu sedang berkumpul di meja makan.
“Tidak benar apa yang mama sama papa pikirkan sekarang. Aku sama Nisa temenan doang kok.”
“Jangan bohong kamu.” Sahut ayah Seno.
“Serius pa.”
“Kalau kamu ketahuan bohong, papa tidak segan-segan untuk menikahkan kalian. Tidak baik tinggal seatap dengan seorang gadis, nanti apa kata orang dan orang tua gadis itu.” Seno terperangah mendengar ucapan ayahnya.
“Siapa yang satu atap sih? Kita tetanggaan doang kok. Udahlah jangan melebih-lebihkan lagian aku sama Nisa enggak ada hubungan apa-apa kok.”
Ibu Seno menatap anaknya dengan curiga, ia tidak percaya mereka tidak ada hubungan apa-apa, melihat sorot mata anaknya ketika melihat Nisa itu sudah jelas terlihat. Karena tidak ada yang sebaik mengenal Seno selain ia sendiri. Naluri keibuannya mengatakan kalau Seno mempunyai perasaan khusus pada Nisa.
“Udah ah, aku lapar nih …”
***
Malam ini Nisa sangat susah memejamkan mata. Sungguh, kejadian tadi sore di rumah Lala sangat di luar dugaan, selama sebelas tahun ini Nisa berusaha melupakan Viko dan sampai sekarang belum seratus persen berhasil. Tapi sore ini usahanya melupakan Viko selama sebelas tahun kembali berantakan, bahkan ini sama saja seperti kembali dari awal.
Sudah ratusan kali Nisa berpikir, kenapa hidupnya seolah dirusak oleh satu cowok? Dirusak dalam artian secara batin, secara lahir tidak, karena selama tiga tahun pacaran dengan Viko, Nisa tidak pernah melakukan apapun, ciumanpun tidak pernah.
Nisa melirik jam bekernya. Waktu menunjukan pukul dua belas malam. Astaga ini sudah tidak sehat. Nisa harus segera tidur. Besok pagi-pagi sekali akan ada rapat dengan manager, ia tidak boleh terlihat lemas dan ngantuk.
Nisa meraih ponselnya di meja rias lalu menelepon Seno.
Tak lama kemudian ada jawaban.
“Halooo ...” sapa Seno dengan suara serak, sepertinya pria itu sudah tidur.
“Sen, ini gue. Gue gak bisa tidur nih, gimana dong?”
“Elo yang gak bisa tidur kenapa harus telepon gue sih? Ngerusak mimpi gue aja, gue lagi kencan sama Ariana Grande, gara-gara elo mimpi gue jadi berantakan.”
“Mimpi lo ketinggian monyong. Sen, gue ke apartemen lo sekarang ya …” Mata Seno langsung terbuka lebar mendengar Nisa akan ke apartemennya tengah malam begini.
Teringat bagaimana tadi sore Seno diceramahi panjang lebar oleh orang tuanya gara-gara tetanggaan sama Nisa, sekarang gadis itu malah akan menyambangi apartemennya tengah malam buta begini.
“Apa? Nisa ... lo jangan ke_” Seno menatap hapenya ternyata teleponnya sudah terputus.
Bagaimanapun juga Seno adalah laki-laki normal. Berduaan, di apartemen yang sepi tengah malam pula, bukankah itu sangat beresiko? Bagaimana kalau tiba-tiba ada setan lewat dan menggoyahkan iman Seno? Walaupun status mereka cuma sahabatan tapi yang namanya hasrat apakah bisa pilih-pilih yang mana sahabat atau pacar? Tidak kan?
Tak lama kemudian ada suara bel. Seno mendengus, itu dia. Dengan malas ia membuka selimutnya lalu ke depan membuka pintu. Saat pintu terbuka Nisa langsung menerobos masuk. Ia datang sambil memeluk boneka sapi kesayangannya lalu selonjoran di sofa.
“Sen, gue gak bisa tidur. Gue kepikiran terus kejadian tadi sore. Gue takut besok-besok si Viko datang nemuin gue.” Tutur Nisa.
“Terus?” Kata Seno sambil menguap.
“Ya, gue takut Sen, gue takut dia nanya-nanya tentang gue ke Lala, gue takut dia datang ke kantor atau bahkan ke sini.” Seno malah garuk-garuk kepala menahan kantuk.
“Haduuuhh Nis, besok aja kita ngomonginnya, sekarang gue ngantuk berat nih. Mending sekarang lo pulang sana. Lo gak tahu jam berapa sekarang? besok gue mau ketemu sama klien penting nih.”
“Tapi gue gak bisa tidur Seno …”
“Karena lo gak bisa tidur terus lo seenaknya ngerusak tidur orang lain? Ya ampun lo itu benar-benar. Terus gue harus gimana sekarang? Apa gue harus ngedengerin lo ngoceh soal si Viko sampe pagi? Sorry mending gue tidur.”
“Bukan. Bukan itu Sen, astaga lo sensi amat kayak pantat bayi. Gue datang ke sini karena gue pengen tidur.” Mata Seno terbelalak.
“Apa? Maksud lo, lo mau nginep di sini?” Tanya Seno. Dengan polos Nisa mengangguk.
“Kagak ... kagak ... lo harus pulang! Gue gak mau sesuatu terjadi.”
“Terjadi apa? Ya Ampun jangan-jangan pikiran lo ngeres ya? Enggak ko gue gak akan tidur di kamar lo.” Nisa memukul pelan sofa yang sedang didudukinya.
“Sofa ini juga kayaknya lumayan buat tidur. Please bolehin gue tidur di sini, malam ini aja.”
Seno menyipitkan matanya pada Nisa, nih cewek emang benar-benar menyedihkan. Gara-gara seorang cowok dia jadi begini.
“Oke-oke lo boleh tidur di sini. Dengan satu syarat: lo gak boleh ngiler di bantal gue.”
***
Seno melirik jam yang nempel di dinding yang menghadap ke tempat tidur, jam setengah dua pagi. Sekarang giliran dia yang tidak bisa tidur. Keterlaluan emang si Nisa, dia udah ngerusak tidur gue.
Seno duduk di tempat tidur, ia kepikiran Nisa yang tengah tidur di ruang tengah. Apa dia tidur nyenyak? Jangan-jangan dia masih tidak bisa tidur karena banyak nyamuk atau tempat tidurnya terlalu sempit? Seno penasaran akhirnya ia melangkah ke luar kamar, ke tempatnya Nisa. Seno tidak menyalakan lampu ia berjalan di kegelapan.
Terlihat Nisa sedang tidur walau di sofa yang sempit, ia tidur nyenyak sekali. Dengan nyaman tangannya memeluk boneka sapi yang ia bawa. Tanpa sadar bibir Seno sedikit tertarik ke atas, ia tersenyum melihat wajah polos Nisa yang sedang tertidur.
'Danisa Alia sahabat gue. Gue harus gimana biar lo gak sedih lagi? Gue harus gimana biar lo terbebas dari masa lalu yang menyakitkan itu? gue harus gimana biar lo bahagia? gue tahu selama ini elo tidak pernah bahagia sekalipun. Apakah itu sangat sakit, sampai lo seperti ini? Gue bersumpah, gue enggak akan membuat lo meneteskan air mata setetespun, dan gue bersumpah akan membuat lo tertawa saat lo bersama gue.'
Perlahan tangan Seno terangkat lalu dengan gugup ia membelai rambut panjang Nisa. sebenarnya Seno ingin menyentuh pipi gadis itu, tapi ia takut Nisa terbangun. Dengan susah payah ia menelan ludahnya. Saat tangannya tengah membelai rambut Nisa, tiba-tiba ia seperti telah terpikir sesuatu, lantas ia berhenti dan menjauhkan tangannya dari kepala Nisa.
Astaga, apa yang terjadi? Seno apa yang lo pikirkan? Seno memejamkan matanya kuat-kuat, ia berharap ia keliru dengan pikirannya sendiri. Ini tidak mungkin, ia tidak mungkin jatuh cinta sama sahabatnya sendiri. Ini konyol.
Tapi kenapa hatinya bergetar hebat saat membelai rambut gadis itu? terus kenapa ia merasa cemburu saat tahu Nisa terpikat oleh Yuda? Dan kenapa hatinya merasa tidak tenang dengan kemunculan Viko, dan takut Nisa akan kembali pada Viko?
Bersambung #4
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Sabtu, 27 Maret 2021
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel