Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 28 Maret 2021

Cinta Kedua #4

Cerita bersambung

Sore ini setelah kerja luar, Nisa jalan-jalan sendiri ke toko buku, rasanya ia mulai ketagihan membaca novel. Dan kali ini ia akan membeli novel karya Vee Alledro lagi.
Nisa melihat ke salah satu rak buku yang isinya novel-novel best seller. Ia sedikit terkejut ternyata ada satu novel karya Vee di sana. Nisa langsung menyambar novel itu.

“Based on true story? Ya ampun ini kisah nyata Vee? Gue harus beli yang ini.” tanpa ragu Nisa langsung menyambar buku itu lalu memasukannya ke dalam keranjangnya. Di sampul novel itu tertulis dengan jelas, nasional best seller. Berarti novel ini laku banget dong?

Nisa jadi penasaran sebagus apa sih ceritanya? Sebelum pergi Nisa membeli beberapa buku lagi.
Sejak Yuda pindah ke Bandung, Nisa merasa kehilangan partner kerja yang bagus. Karena ia nyaman kerja luar dengan Yuda,  ia juga tidak terlalu capek karena Yuda bisa melakukan semuanya, tidak dengan karyawan lain.
Sepintas Nisa jadi merindukan anak itu. apa kabar dia sekarang ya? Apakah dia baik-baik saja? Apakah dia tidak merindukanku? Nisa menghela nafas panjang lalu berjalan ke parkiran.
***

Agar bisa tidur, malam ini Nisa akan membaca novelnya Vee, ia sungguh tidak sabar membaca novel Vee yang tadi ia beli. Nisa membuka halaman pertama.

'Kemana saat kaki ini akan melangkah, di sana aku selalu tertahan. Selalu ingin menengok kebelakang. Lalu memandangmu lagi. Apakah semuanya bisa diperbaiki hanya dengan satu kata saja?

Cinta.

Aku tak yakin. Karena kamu sekarang mungkin sudah bahagia dengan dunia baru yang kamu ciptakan. Tapi bisakah aku memilikimu sekali lagi? jika iya, aku akan memberikan seluruhnya yang aku punya, yang aku bisa. Agar kamu tidak menangis lagi hanya karena kebodohanku.
Menyesal memang tidak ada guna. Tapi izinkan aku memperbaiki.'

Saat membaca prolog, entah kenapa hati Nisa seperti tersentil. Kebodohan seperti apapun, tapi kalau garis besarnya sebuah penghianatan, itu tidak patut untuk dimaafkan dan diberi kesempatan kedua. Tanpa sadar Nisa berspekulasi dengan dirinya sendiri.

Kayaknya si Vee Alledro ini sedang menyesali sesuatu.

Menit demi menit, jam demi jam Nisa terhanyut oleh novelnya Vee, awalnya Nisa ingin bisa tidur makanya ia membaca novel, tapi novel itu malah membuatnya tidak bisa tidur. Nisa terus terjaga hingga jam satu malam.

Nisa memberengut, tertawa, sampai meneteskan air mata ketika membaca novel itu. Ia seperti terbawa ke dalam dunianya Vee, ia ikut merasakan berbagai emosi yang Vee rasakan, ia juga ikut merasakan kegalauan Vee karena kesalahan yang kurang dari satu menit itu.

Tapi tiba-tiba tangan Nisa terhenti membuka halaman berikutnya, Nisa diam pada halaman 150. Ia merasa salah satu paragraf di halaman itu sangat mengena di hatinya :

'Di manapun ia berada, aku hanya ingin dia tahu. Bahwa sampai saat ini, detik ini, aku masih mencintainya setulus hatiku. Karena sebuah kesalahan yang kurang dari satu menit itu, sudah membuat hidupku seperti di neraka selama sebelas tahun. Aku menyesalinya hingga rasanya ingin mati. Karena demi Tuhan, tidak ada wanita yang aku cintai di dunia ini selain dia. Jika satu saat aku bisa bertemu lagi dengannya, aku hanya ingin meminta maaf. Yah, aku tidak ingin serakah, aku hanya ingin dimaafkan. Itu saja.'

Nisa menelan ludah, sepertinya kisah ini tidak asing? Semua halaman yang sudah ia baca, seperti benar-benar ia alami. Tiba-tiba mata Nisa melotot, ia seperti menyadari sesuatu. Nisa membolak-balik halaman sebelumnya dan ia membaca kembali sepintas-sepintas.

Kesalahan kurang dari satu menit? Ciuman dengan sahabat tokoh wanita yang ia cintai? Tertabrak mobil? koma? Astaga, jangan-jangan? Dengan marathon Nisa melanjutkan membaca novel itu sampai habis. Tak terbendung lagi air matanya meleleh membasahi pipinya.

Di halaman terakhir novel itu, Nisa melihat profil sang novelis, walaupun ia menggunakan nama pena Vee Alledro, tapi Nisa melihat tanggal lahir novelis itu adalah tanggal lahirnya Viko Andriano. Nisa masih ingat betul tanggal lahir pria itu.

Apakah Vee Alledro adalah Viko Andriano? Apakah Viko sengaja nulis novel ini untuk Nisa? tangan Nisa terkulai lemas, sekarang Nisa tahu bagaimana kehidupan pria itu selama sebelas tahun ini. Viko benar-benar hampir gila karena kejadian itu, ia sampai rutin terapi ke psikiater. Ia tidak bisa melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, padahal Nisa tahu mimpi Viko waktu sekolah ingin menjadi dokter bedah. Penyesalan dan rasa bersalahnya pada Nisa membuat ia menjadi pria terdingin di dunia. Banyak wanita yang mendekatinya tapi ia abaikan begitu saja.

Orang tuanya bahkan menyerah terhadap Viko. Sudah beberapa kali orang tuanya berusaha menjodohkan Viko dengan beberapa wanita agar Viko berubah dan melupakan Nisa, tapi itu tidak berhasil. Viko malah semakin ekstrim ia kabur dari rumah pergi ke Jakarta.
Dengan modal izasah SMA, Viko melamar kerja kesana-sini. Ia pernah menjadi sales perabotan rumah tangga yang dor to dor ke sebuah perumahan, menjadi cleaning servis di perkantoran, hingga pelayan restoran.

Pertemuannya dengan Brian menjadi titik balik kehidupan Viko. Ketika ia menjadi sales, cleaning servis, dan pelayan, Viko aktif menulis di blog pribadinya. Suatu saat blognya dibaca oleh Brian.

Brian sendiri adalah seorang editor di sebuah penerbit mayor Indonesia. Brian ingin membukukan tulisan-tulisan Viko. Lalu  jadilah Viko seperti sekarang. Seorang penulis best seller.
Tapi Nisa belum tahu kenapa pada hari itu Viko dan Gita berciuman? Viko tidak menuliskan kenapa mereka sampai melakukan itu.

Tuhan, apa yang harus aku lakukan? Apakah aku harus mencari tahu sendiri? Apakah aku sanggup untuk mencari tahu?

Air mata Nisa terus terjatuh tanpa bisa ia tahan lagi.
***

Malam ini Nisa berhasil tidak tidur sedetikpun. Novel ini sudah membuatnya terjaga sepanjang malam dengan perasaan kacau.

'Viko, kenapa kamu tiba-tiba muncul dan merusak tatanan hatiku yang mulai baik-baik saja? Tapi kenapa di lubuk hatiku aku merasa senang setelah membaca novelmu ini? Apakah aku sudah tidak waras?' Batin Nisa.

Seno melonjak kaget ketika ia membuka pintu apartemennya, karena ia melihat Nisa duduk di depan pintu sambil memeluk novel yang dari semalam bersamanya.

“Astaga! Nisa? lo ngapain pagi-pagi di sini?” Seru Seno kaget sekaligus cemas melihat Nisa yang terlihat kacau sekali. Ya ampun kenapa lagi nih anak?
Nisa malah menangis terisak-isak.
“Lo beneran udah kayak zombie yang lagi sekarat. Masuk!” Seno kembali ke dalam diikuti oleh Nisa.
“Gue punya waktu sepuluh menit sebelum gue udah beneran cabut ke kantor.” Ujar Seno sambil melihat arlojinya.
“Cepetan ngomong!” Seno melipatkan tangan di dada menunggu Nisa bicara.
Tanpa bersuara Nisa hanya menyodorkan novel itu dengan tangan gemetar. Seno melihat novel itu dengan heran.

“Apaan nih?” kata Seno sambil menerima novel itu.
“Sen, lo harus baca ini, lalu lo bilang apa yang harus gue lakuin? gue beneran gak bisa mikir sekarang. Rasanya gue mau gila.”
“Iya emang kenapa gue harus baca novel ini?”
“Penulis novel ini adalah Viko, Sen. Dia menulis_” Nisa tidak bisa melanjutkan kata-katanya, ia cuma bisa terisak dan mengusap air mata yang memaksa keluar.
Dengan cepat Seno mengerti ketika ia membaca sebuah kalimat di sampul novel itu. 'Based on true story.'

“Baiklah, gue akan baca ini.” Ucap Seno. Setelah itu Seno melirik lagi jam tangannya.
“Sorry Nis, gue harus beneran pergi nih.” Nisa mengangguk berat.
“Oke.”
“By the way lo gak kerja?”
“Enggak deh, hari ini gue izin dulu. Kebetulan juga gue lagi gak enak badan. Ya udah kalau lo mau cabut. Gue pulang dulu kalau gitu.” Kata Nisa dengan suara lemah lalu ia keluar.
Setelah Nisa pergi, Seno mematung di tempatnya berdiri sambil memandang novel di tangannya.

Nisa selalu menangis kalau menyangkut soal Viko, ia juga tidak bisa tidur gara-gara pertemuannya dengan Viko. Seno berpikir, bukankah kalau sudah tidak ada perasaan apapun ia tidak akan seperti itu? Benar bukan?

Sekarang Seno juga mengerti kenapa Nisa selalu menyuruhnya untuk diet agar terlihat kurus, itu karena tanpa sadar Nisa ingin merubah Seno seperti Viko. Kesimpulan semua ini adalah karena Nisa masih mencintai Viko.
Tidak sulit untuk menarik kesimpulan itu karena sangat jelas terlihat.

Seno menggenggam erat novel itu dengan perasaan sakit dan sedikit emosi, lalu ia melemparkan novel itu ke sofa. Pagi ini ia berangkat ke kantor dengan perasaan hancur.

==========

Malam ini Seno ingin melupakan sejenak kesedihannya dengan bersenang-senang di club malam. Ia menelepon teman-teman SMAnya untuk menemani.
Sebenarnya Seno bukanlah type cowok yang suka dengan ingar bingar dunia malam, tapi entah kenapa malam ini ia sangat ingin ke sana.
Seno memesan vodka sambil menunggu kedua temannya datang.

Seno melihat club ini rame sekali. Perempuan dan laki-laki berbaur di dance floor, pergaulan warga Jakarta semakin ekstrim saja.
Sebagian besar dari mereka terlihat sedang dimabuk cinta, mereka sudah tidak malu lagi melakukan pelukan bahkan ciuman di tengah orang-orang yang sedang menari. Sorakan dan teriakan orang-orang yang asik menari membahana keseluruh ruangan berbaur dengan dentuman musik progressive dari mesin portable DJ yang seperti menusuk jantung.

“Woi nyet …” Seru Seno sambil melambaikan tangan  ketika melihat salah satu sahabatnya datang.
“Widih gorila edan, tumben lo nelepon gue? Kesepian lo?” Kata Dean sambil duduk di samping Seno.
Bahasa mereka kalau udah ketemu emang begitu, gak pake ayakan kalau udah ngomong. Sebutan ‘nyet’ atau yang lainnya udah biasa, malah itu membuat mereka semakin dekat.

“Iya nih, gue tiba-tiba kangen aja ama kalian, oh iya, si Sandy mana?”
“Gak tahu, kayaknya sih masih di jalan. Tuh anak dari dulu emang enggak berubah, tukang ngaret.” Kata Dean.
“Eh, tuh-tuh dia tuh dateng …” ucap Seno sambil melihat ke arah pintu masuk. Dari jauh Sandy sudah senyum-senyum melihat kedua sahabatnya.
“Waduh Senopati Aryan, Deandra Putra, sahabat gue …” sahut Sandy sambil melakukan tos khas mereka yang seperti panco.
“Udah lama ya kita gak ngumpul bareng kayak gini, terakhir kapan ya?” Kata Dean.
“Malam tahun baru 2014.” Seru Seno.
“Buset udah lama juga ya.” Kata Sandy.

Mereka bertiga duduk di bangku tinggi depan meja bar lalu larut dalam obrolan tentang pekerjaan dan bernostalgia sedikit, sebelum berganti topik membahas soal asmara.
Saat ini ketiganya memang belum ada yang menikah, tapi Dean dan Sandy sudah punya pacar dan mereka berhubungan dengan serius, bahkan Sandy udah punya rencana untuk ngelamar ceweknya. Hanya Seno aja yang belum jelas.
Dari yang Dean dan Sandy tahu, Seno adalah playboy kelas mapia, yang kerjanya cuma kenalan sama cewek, dideketin, setelah jadian satu atau dua bulan ia tinggalin gitu aja. Dan kebanyakan dari klan daun muda.

Dean dan Sandy sempat berpikir kalau Seno tidak normal karena suka anak kecil.
Seno selalu berhasil ngedapetin cewek yang dia suka. Wajar sih, itu karena Seno ganteng juga kaya raya, mana ada cewek yang sanggup nolak dia.

“Jadi sekarang cewek lo siapa bro?” tanya Sandy.
“Gue jomblo.” Jawab Seno datar lalu meneguk vodka. Minuman dari hasil permentasi serelia itu perlahan membasahi tenggorokannya yang kering.

“Gila, seorang Senopati jomblo? Yang bener aja, gue gak percaya.” Ucap Dean.
“Serius gue jomblo.” Kali ini Seno menjawabnya dengan tegas. Dean mendecakkan lidah sambil melirik Seno dengan curiga, sepertinya dia masih tidak percaya.
“Ya udah kalo gak percaya. Sebenarnya yang disuka sih ada, tapi …” Seno menghentikan ucapannya, ia menarik nafas yang dirasa berat menahan gejolak hatinya yang kacau dari tadi pagi.
“Tapi apa?” Tanya Sandy penasaran.
“Tauk ah, complicated.” Jawab Seno suram. Dean menyemburkan tawanya.
“Kayak judul lagu aje.” Katanya.
“Bro, kayaknya gue kejebak sama yang namanya friendzone.” Kata Seno dengan kepala tertunduk. Sandy dan Dean serempak mendelikan matanya.
“Maksud lo?” Tanya Sandy dan Dean hampir bersamaan.
“Lo berdua tahu Danisa kan?”
“Maksud lo Nisa? temen lo waktu kuliah di Singapore itu?” tanya Sandy. 
“Iye dia.”
“Lo cinta sama dia tapi lo galau karena dia sahabat lo? Ya elah Sen, zaman sekarang udah banyak kali yang tadinya sahabatan lalu pacaran.” Kata Dean gemas.
“Gak sesederhana itu De urusannye. Pokoknya ribet deh, kayak benang kusut. Kusuuuuttt banget.” Sandy gelak tertawa lalu berkata.
“Sekusut apapun, kenapa lo gak coba ungkapin aja sama dia? Bagaimanapun hasilnya, yang penting lo nanti tahu gimana perasaan dia buat elo, tapi lo jangan dulu berharap dia membalas cinta lo, lo cukup ungkapin biar perasaan lo tenang, itu aja, simple kan?” Seno tercenung memikirkan ucapan Sandy.
“Bro, kita ini cowok. Yang namanya cowok itu bebas untuk menyatakan cinta sama siapapun, beda dengan cewek. Kalau cewek menyatakan cinta duluan itu masih tabu dan kesannya gampangan, tapi kalau cowok menyatakan cinta itu terkesan macho, cool, gantelman. Bener gak apa gue bilang? cowok itu special. Masa, elo yang udah malang melintang di dunia percintaan dan elo yang udah banyak pengalamannya nembak cewek malah gak bisa nembak satu cewek?” Dean berargumen.
“Karena cewek ini spesial buat gue, makanya susah.”
“Yah, payah lo.” Dean mendengus kecewa.

Seno menenggak kembali vodkanya sampai habis. Tidak menyatakan cintapun, Seno sudah tahu gimana perasaan Nisa.
Ia sudah menyimpulkan tadi pagi. Di hati Nisa tidak ada tempat untuk orang lain. Karena di hatinya sudah penuh untuk satu orang saja. Satu orang yang sudah membelenggunya selama sebelas tahun. Seno tahu betul itu, apakah ia masih punya keberanian untuk mengungkapkan isi hatinya? Satu jawaban tegas yang keluar dari lubuk hati Seno : Tidak.

Mungkin Seno harus tetap memegang komitmennya di awal, ia cukup untuk menjaga malaikat penolongnya saja. Ia tidak boleh serakah menginginkan yang lebih dari itu.
***

Seno menggeliat di tempat tidur karena ada yang membunyikan bel rumah.

“Siapa sih pagi-pagi?” Ucapnya sebal sambil menutup telinganya dengan bantal. Tapi suara bel itu tidak kunjung berhenti. Seno terduduk di tempat tidur dengan kesal.

“Arrrgghhh ...” Seno teriak sendiri sambil membuka selimut lalu pergi membuka pintu dengan mata setengah melek. Semalam ia baru pulang jam dua pagi, tadinya ia ingin bangun jam delapan, tapi jam setengah tujuh malah ada yang mengganggu.
“Ah, elo Nis, masuklah.” Sahut Seno sambil memberi jalan untuk Nisa masuk.
“Elo semalam kemana aja sih? Gue telepon gak bisa, gue nanya si Aldi karyawan lo itu, katanya lo udah pulang dari jam tujuh. Gue nungguin lo kayak orang bego di depan sampe dua jam tauk!”
“Sorry deh, semalam gue ketemuan sama temen-temen SMA gue. Emangnya ada apa lo nyari gue?” Nisa melihat Seno dengan tatapan sebal. Sepertinya Seno lupa soal novel itu. Nisa menarik nafas sebelum menjawab pertanyaan Seno.

“Lo udah baca novelnya Viko? kemarinkan gue suruh elo baca novel itu.”
“Oh itu.” Sahut Seno datar. Entah kenapa melihat ekspresi Seno yang seolah tidak peduli malah membuat Nisa semakin sebal.
“Gue belum sempet, Nis. Sorry ya ...” Ucap Seno. Bukannya tidak sempat, tapi Seno tidak mau membaca novel yang akan membuatnya sakit itu. Nisa memberengut.

Tidak tahukah Seno bahwa Nisa sangat menunggu komentar sahabatnya itu? karena Nisa tidak akan melakukan apapun selain apa yang akan dikatakan oleh Seno nanti.
Melihat reaksi Seno yang seolah cuek malah membuat Nisa kecewa.

“Ya udah deh.”  Katanya sambil ngeloyor keluar. Setelah Nisa keluar, Seno mengerjap, ia sadar sudah membuat Nisa sewot. Senopun mengejar Nisa.
“Nisa ...” panggil Seno, Nisa yang sedang membuka kode pintu apartemennya menoleh.
“Apa?” Sahut Nisa rada jutek.
“Kok marah sih?”
“Abisnya, gue suruh baca novel itu malah belum. Semalam elo kemana? Lo minum ya ke club? Hayo ngaku!” Seno garuk-garuk kepala walau tidak gatal sambil tersenyum malu-malu, ia tertangkap basah.
“Kok lo tahu sih? Lo mata-matain gue ya?” Nisa jinjit lalu menjitak kepala Seno pelan. Walau dengan kesusahan karena sahabatnya itu sangat tinggi.
“Nafas lo bau alkohol tauk! Astaga, lo itu udah tua ngapain main ke club?”
“Hehehe … gak apa-apa dong sekali-sekali ini.” Seno menyeringai.
“Hhhhh terserah elu deh. Oh iya apa lo manggil gue?” Seno berdeham pelan, lalu pupil matanya menatap lurus ke mata Nisa. Lantas ia berkata.
“Nis, lo salah kalau lo nyuruh gue bilang apa yang harus lo lakuin setelah baca novel itu. Karena sebenarnya lo sendiri juga sudah tahu jawabannya.”
Nisa mengernyit “Maksud lo?”
Seno menunjuk dada Nisa.
“Jawabannya ada di hati lo, jadi jangan tanya gue, karena gue sama sekali gak tahu.” Katanya.
“Jadi menurut lo gue sebenarnya tahu?” Seno mengangguk sambil tersenyum.
“Iya, lo tinggal benar-benar merasakan apa yang lo rasakan. Itu jawabannya.”

Nisa mengerjap, benar juga, ngapain ia harus maksa Seno membaca novel itu karena sebenarnya Seno tidak perlu tahu. Nisa menarik nafas lega, sebenarnya inilah jawaban yang harus ia dengar dari Seno.
***

Sudah ratusan kali Nisa memikirkan apa yang dikatakan Seno tadi pagi. Ia sampai tidak konsen di kantor.
Lo tinggal merasakan apa yang lo rasakan? Bukannya Nisa tidak bisa, tapi Nisa takut. Nisa takut menemukan kebenaran bahwa sesungguhnya ia masih mencintai Viko.
Kalau hal itu terjadi, Nisa harus bagaimana? Jujur saja, Nisa penasaran dengan motif Viko dan Gita melakukan ciuman itu. Ia ingin mendengar penjelasan dari Viko atau Gita. Tapi apakah ia sanggup? lagi-lagi Nisa ingat dengan ucapan Seno, 'lo harus secepatnya selesaikan masalah ini kalau mau hidup lo tenang.'
Nisa mengacak rambutnya sendiri, ia benar-benar stres. Tapi setelah itu ia rapikan lagi karena ada Lena yang mengetuk pintu ruangannya.

“Masuk Len.” Lena menatap bosnya heran. Tidak seperti biasanya The Queen ice itu terlihat berantakan. Kenapa dia?
“Mbak, ini laporan penjualan kota Medan, mereka baru nge-emailnya tadi pagi.” Kata Lena sambil menyodorkan dua lembar kertas HVS pada Nisa. Nisa memberengut ketika memeriksa laporan itu.

“Loh, inikan yang minggu kemarin, gue kan minta yang kemarin saat gue gak masuk itu. Gimana sih. Suruh mereka email lagi.” Lena mengangguk sedikit takut. Gawat kalau bosnya udah menggunakan kata ‘gue‘ berarti dia lagi marah atau bête.
“gue beri waktu sepuluh menit, laporan itu harus udah nyampe meja gue.”
“I_iya mbak.” Lena cepat-cepat keluar dari ruangan Nisa. Lena memberi tahu karyawan yang lain bahwa bosnya sedang bête, agar mereka waspada.
Lalu mereka berspekulasi, Nisa jadi lebih sensitif setelah ditinggal si berondong itu ke Bandung. Semua karyawan Nisa mendadak ingin Yuda kembali.

Bersambung #5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER