Sejak sejam yang lalu Nisa terus menatap sebuah nomor di ponselnya. Ia bimbang setengah mati. Apakah ia harus menelepon nomor itu? Ataukah tidak?
Kemarin Nisa meminta nomor Viko dari Lala. Lala merasa heran kenapa Nisa tiba-tiba meminta nomor Viko, lalu ia meluncurkan pertanyaan-pertanyaan pada Nisa.
Dengan enggan akhirnya Nisa menceritakan semuanya. Lala terperangah ia beneran kaget, tidak menyangka sedikitpun kalau Nisa ternyata adalah tokoh utama di novelnya Viko.
Lala emang dari dulu suka sekali membaca novel-novelnya Viko, karena editornya adalah Brian suaminya. Lala sangat tahu bagaimana Viko selama ini galau oleh satu cewek. Lala tahu karena Viko adalah sahabat Brian.
Lala tidak menyangka kalau cewek itu ternyata bernama Danisa Alia sahabatnya sendiri. Sekarang Lala mengerti kenapa waktu syukuran rumah barunya Nisa mendadak sakit dan pulang. Juga kenapa Viko langsung mengejar Nisa keluar.
***
Nisa menurunkan kembali ponselnya. Ia benar-benar belum siap. Omongan-omongan Lala kemarin kembali terngiang.
“Nis, gue tahu selama hidupnya Viko cuma cinta sama satu cewek, yaitu tokoh di novelnya, emang Viko bersalah sama lo tapi lo tahu gak dia hampir jadi orang gila? Dia depresi berat sampe rutin ke psikiater. Gue tahu banget gimana berjuangnya Viko untuk bertahan hidup dengan rasa bersalahnya sama lo. Jadi please Nis, temuin Viko, bicaralah sama dia. Lo gak usah ngebayangin gimana-gimana dulu, yang penting ketemu aja dulu.”
Nisa menutup wajahnya dengan bantal, ia teriak. Lalu ia melempar bantal itu dan matanya kembali melirik ponselnya.
“Oke, gue akan telepon Viko.” Katanya pada diri sendiri.
Jari kurusnya memencet call dengan ragu. Nada sambung itu mulai terdengar. Lalu ada suara berat yang menjawab. Nisa tahu itu suaranya Viko.
“Halo …” sapa Viko.
“H_halo ...” sahut Nisa. Viko menahan nafas ketika mendengar suara itu, dadanya bergetar hebat. Apakah mungkin ia tidak salah dengar? Bagaimana ia bisa melupakan suara itu? Suara yang sudah ia rindukan selama sebelas tahun.
“N_Nisa?” sahut Viko. Nisa terlonjak. Bagaimana bisa pria itu langsung mengenali suaranya?
“Ini Nisa kan?” Viko mengulang ucapannya. Pria itu tersenyum lebar, seperti ada desiran angin yang berhembus di dadanya dan mampu menyejukan seluruh rongga di tubuhnya.
“Iya ini aku.” Nisa menelan ludah dengan susah payah. Ia mendengar nafas Viko memburu, sepertinya pria itu sangat senang.
“Hai, apa kabar? Kamu baik-baik saja?” Dengan bingung Viko memulai pembicaraan.
“Iya.” Jawab Nisa singkat. Tapi nampaknya Nisa tidak ingin berbasa-basi terlalu lama, ia langsung mengatakan maksud menelepon.
“Besok ada waktu? Aku mau ketemu.” Viko terlonjak, ia merasa aneh Nisa tiba-tiba ingin bertemu, mengingat bagaimana sikap gadis itu waktu di syukuran rumah baru Brian.
"A_ada, jam berapa?”
“Jam enam sore. Nanti aku SMS kan tempatnya.”
“Baiklah.”
***
Ada kalanya hidup itu harus menoleh ke belakang. Dengan begitu kita bisa melangkah dan menyelesaikan satu masalah yang dihadapi dengan mengambil pelajaran darinya.
Selama sebelas tahun ini Nisa berusaha tidak sedikitpun menoleh ke belakang, tapi ia tidak bisa membiarkan masalah ini terus bercokol di pikirannya. Ia harus menyelesaikannya, tidak peduli nanti hatinya akan tergores lagi.
Nisa duduk termangu sambil mengaduk-aduk cappuccino dengan sendok plastik, ia tengah menunggu Viko di sebuah café.
Mereka janjian jam enam sore, tapi Nisa datang lima belas menit lebih cepat. Sekarang sudah jam enam lebih sepuluh menit, Viko belum datang juga.
Nisa mulai jengah, ia mengeluarkan ponselnya untuk menelepon Viko, tapi niatan itu ia urungkan. Ia tidak boleh terkesan sangat menginginkan pertemuan ini.
Saat Nisa kembali memasukan ponselnya ke tas, tiba-tiba ada yang menyapanya dari belakang.
“Hai.” Nisa sedikit terlonjak. Ia tahu betul suara itu milik siapa. Nisa mendongak karena ia sudah ada di hadapan Nisa.
Tidak banyak yang berubah dari pria itu selain tambah tinggi dan putih. Senyumannya dan sorot matanya masih tetap sama seperti dulu.
“Duduklah.” Sahut Nisa dengan berusaha terlihat tenang saat berhadapan dengan pria itu.
“Apa kabar?” Tanya Viko setelah duduk. “Baik. Kamu?”
“Aku tidak baik.” Jawab Viko. Nisa mengernyit.
“Selama sebelas tahun ini aku tidak baik, tapi sekarang aku merasa mulai membaik.” Tutur Viko. Nisa menelan ludah, pria itu sudah memulai, dan itu membuat Nisa lebih gampang untuk membicarakan masalah itu.
Nisa tersenyum sinis. “Kalau hari itu tidak terjadi apa-apa mungkin kamu akan baik-baik saja selama sebelas tahun ini.” kata Nisa.
Viko menunduk sambil menggigit bibir lalu ia mendongak lagi.
“Nis, kenapa kamu tidak tanya kenapa aku melakukan itu dengan Gita?” Nisa mengerjap.
“Sebenarnya aku tidak ingin tahu alasan kamu dan Gita melakukan itu di belakang aku. Tapi setelah aku membaca novelmu, aku jadi penasaran. Karena kamu tidak menulisnya di sana.” Viko mendelik kaget.
“Kamu membaca novelku?” Tanyanya, lalu seulas senyum terbit di bibir Viko.
“Iya, aku membaca novelmu, awalnya aku tidak tahu kalau novel 'My Endless Love' itu tulisan kamu, tapi saat aku membaca keseluruhan ceritanya, rasanya itu tidak asing.”
Viko benar-benar terlihat bahagia. “Aku sengaja menulis novel itu untuk mencari kamu. Dan aku juga sengaja tidak menuliskan alasan aku melakukan itu dengan Gita karena aku hanya ingin mengatakannya sama kamu. Sepertinya Tuhan mendengar doaku selama sebelas tahun ini. Aku tahu apa yang aku lakukan adalah sebuah kesalahan, tapi kesalahan itu bukan bermaksud untuk menyakitimu, aku melakukan itu untuk kita. Untuk menyelamatkan hubungan kita. Karena demi Tuhan aku hanya mencintaimu, tidak ada yang lain_sampai sekarang.” Nisa terhenyak.
Bagaimana mungkin ia bisa menerima hal itu. Walaupun itu demi hubungan mereka, tapi itu sudah termasuk perselingkuhan.
Lagi-lagi Nisa tersenyum sinis. “Apakah kamu melakukan ciuman itu demi hubungan kita? Melakukan ciuman dengan wanita lain karena demi aku? Heh lucu sekali.”
“Karena Gita mengancamku, dia akan merusak hubungan kita. Dari sebelum kita jadian, Gita sudah suka sama aku, tapi aku tidak suka sama dia, aku sukanya sama kamu. Dia sangat cemburu, dan ia juga sangat membencimu. Tapi dengan polosnya, kamu tidak menyadari hal itu, kamu masih saja menganggap Gita adalah sahabat terbaikmu. Selama kita pacaran Gita terus saja merongrong padaku. Dia sangat menggangguku. Jujur saja aku sangat frustasi.” Viko menghela nafas sebentar.
Terlihat di matanya ada genangan air mata yang siap tumpah. “Lalu puncaknya saat kelulusan sekolah kita. Gita bilang padaku, kalau aku menciumnya, dia tidak akan mengganggu hubungan kita lagi, dia akan mundur dan pergi. Dan bodohnya aku malah menerimanya. Demi Tuhan aku tidak bermaksud untuk menghianatimu. Saat melihat kamu tertabrak mobil karena aku, saat itu aku benar-benar ingin mati. Aku sangat ketakutan. Aku takut kamu pergi ninggalin aku untuk selamanya.”
Nisa menarik nafas dalam-dalam, selama ini ia benar-benar tidak tahu kalau Gita menyukai Viko dari sebelum mereka jadian. Nisa menyeruput cappuccino untuk menenangkan diri.
“Ko, kamu belum memesan minuman.” Sahut Nisa mengalihkan perhatian Viko. Viko mengerjap, ia meraih buku menu yang ada di meja lalu mengacungkan tangan memanggil pelayan.
Sementara Viko sedang memesan, Nisa memandang Viko diam-diam. Apakah semua ini benar? Kalau iya, Viko sebenarnya korban. Nisa teringat novel yang sudah ia baca, bagaimana hari-hari Viko sangat berat setelah kejadian itu, bagaimana Viko yang hampir gila, bagaimana frustasinya Viko sehingga ia tidak kuliah dan membuang mimpinya menjadi dokter bedah.Viko, apakah aku sudah sangat keterlaluan? Kalau saja dulu aku tidak lari dan mendengar setidaknya sedikit saja penjelasan kamu, mungkin kita berdua tidak akan tersiksa selama sebelas tahun ini. Sekarang aku harus bagaimana?
Tapi saat bayangan ciuman mereka terlintas lagi, Nisa masih merasa muak dan belum bisa menerimanya.
“Nisa terima kasih kamu sudah memberi aku kesempatan untuk menjelaskan semua ini sama kamu. Jujur sekarang aku sangat lega, aku tidak peduli kamu mau memaafkan aku atau tidak, yang penting aku sudah menjelaskan semuanya.” Tutur Viko setelah pelayan itu pergi.
“Sekarang Gita di mana? Aku ingin ketemu sama dia.” Viko mengerjap.
“Kamu yakin?” Nisa mengangguk mantap.
“Dia di Bandung, setelah lulus kuliah dia langsung nikah, dan yang aku dengar dia sudah punya dua anak. Kalau kamu mau, aku bisa mengantar kamu ke sana.”
“Tidak usah, aku bisa sendiri, aku minta alamatnya saja.” Viko membuang nafas, ia sedikit kecewa Nisa tidak mau diantar.
“Baiklah.” Viko mengambil ponsel di saku bajunya lalu ia mengetik sesuatu, tak lama kemudian satu SMS masuk ke ponsel Nisa. Isinya alamat Gita.
“Terima kasih, weekend ini aku akan ke sana dengan Seno.” Viko terlihat terkejut ketika Nisa menyebut nama Seno.
“Apakah Seno pacarmu?”
“Dia sahabatku.” Jawab Nisa. Tanpa sadar Viko menghela nafas lega dan bibirnya sedikit menyunggingkan senyum.
“Nisa, aku masih berdiri di tempatku, aku akan tetap berdiri menunggumu menoleh dan datang padaku. Selamanya_sampai aku mati.” Nisa mengerjap lalu berkata.
“Jangan lakukan itu!"
==========
Hampir seharian ini Nisa muter-muter ke semua sudut kota Bandung, akhirnya alamat Gita ketemu juga. Sudah puluhan kali Seno mengeluh capek, tapi pria itu masih saja sabar.
Mobil Seno berhenti di depan gang sempit karena mobil Seno tidak bisa masuk ke sana.
“Lo yakin gang ini?” tanya Seno sambil mematikan mesin mobil.
“Dari tulisannya sih bener. Yuk kita keluar.” Nisa keluar dari mobil disusul Seno.
Nisa dan Seno berjalan ke dalam gang yang padat penduduk dan sedikit kumuh. Nisa juga tidak yakin kalau Gita tinggal di lingkungan ini.
Nisa melihat lagi alamat Gita di ponselnya, ini sangat susah karena alamatnya tidak ada nomornya, cuma RT RW nya saja.
Hampir setengah jam Nisa keliling gang itu tapi masih tidak ketemu.
Nisa hampir saja frustasi dan kembali ke mobil, kalau saja Gita tidak tiba-tiba muncul di hadapannya. Nisa tersentak ketika melihat sosok sahabatnya itu keluar dari sebuah warung kecil sambil menggendong balita.
Beberapa detik Nisa dan Gita berdiri mematung, memastikan diri bahwa yang dilihatnya benar-benar orang yang mereka kenal.
Nisa melihat Gita dari ujung rambut sampai ujung kaki. Perempuan itu memakai kolor dan kaus oblong, tampangnya sangat kusut, dan ia terlihat tua dari usianya.
Apakah yang dilihatnya adalah Gita? Seorang wanita cantik dan modis saat di sekolah dulu? Tapi kenapa sekarang ia seperti ini?
Gita tertegun melihat Nisa, ia hampir tidak percaya kalau sahabat yang sangat ia rindukan sekarang tengah berdiri tepat di depannya.
Lihatlah Nisa kini, ia menjelma seperti seorang model, begitulah apa yang ada di pikiran Gita. Wajahnya mulus seperti porselen, kulitnya putih terawat dan segar seperti baru keluar dari spa. Lihatlah juga kuku-kukunya yang dihiasi dengan nail art, tubuhnya yang tinggi semampai walau hanya dibalut dengan celana jeans dan kemeja, Nisa tetap terlihat cantik.
Seno keheranan melihat dua wanita yang berdiri berhadapan itu hanya diam sambil saling menatap. Seno menyentuh tangan Nisa.
Nisa mengerjap lalu bersuara.
“Gita?” Katanya memastikan diri. Gita tersenyum kaku.
“Kamu Danisa kan?” Nisa mengangguk sambil berusaha meluncurkan senyum.
“Kamu kesini_”
“Aku kesini untuk bertemu sama kamu.” Sela Nisa.
Gita mengerjap, jelas sekali ia terlihat gugup dan tidak percaya diri berhadapan dengan Nisa.
“Oh, ayo kita ke rumah.” Ujar Gita.
Nisa dan Seno berjalan mengikuti Gita. Mereka tiba di sebuah rumah kecil yang sedari tadi sudah mereka lalui beberapa kali.
“Ayo masuk.” Sahut Gita sambil menurunkan anaknya yang tadi di gendongannya.
Nisa dan Seno masuk dengan enggan. Lihatlah, di ruang tamu itu tidak ada kursi ataupun hiasan-hiasan yang biasa ada di sebuah ruang tamu. Di ruangan itu hanya ada sebuah karpet tipis dengan berbagai mainan anak yang berhamburan di seluruh sudut ruangan.
“Duduklah. Maaf di sini memang selalu berantakan.” Ujar Gita.
Nisa menelan ludah getir, melihat keadaan Gita seperti ini membuat dendam dan kebenciannya menguap begitu saja. Apalagi melihat anak Gita yang terlihat kurus, Nisa kasihan dan miris melihat sahabatnya jadi seperti ini.
Gita kebelakang mengambil air untuk Nisa dan Seno.
Selang beberapa menit dia sudah kembali bersama dua gelas air putih lalu duduk di depan Nisa dan Seno.
“Aku enggak nyangka kamu ke sini Nis. Yah ... seperti inilah keadaanku sekarang.” Sahut Gita sambil melihat sekeliling ruangan.
“Kamu dapat alamatku dari Viko?”
“Iya.” Jawab Nisa. Nisa bingung mau ngomong apa, mendadak ia lupa tujuan ia datang ke sana. Gita melirik ke arah Seno.
“Dia suami kamu?” Tanya Gita. Nisa dan Seno mendelik bersamaan.
“Bukan.” Jawab Nisa dan Seno kompak. Sudah dua orang yang menganggap mereka suami istri, dan Seno merasa senang.
“Dia sahabatku, Senopati.” Sahut Nisa.
“Oooh. Kamu masih single?”
“Iya.” Jawab Nisa.
Gita manggut-manggut sambil tersenyum “Baguslah ...” cetus Gita. Nisa terhenyak.
“Maksud kamu?”
Gita tersenyum penuh arti pada Nisa lalu ia berkata “Karena kamu ditakdirkan hanya untuk Viko, Nis. Kalian ditakdirkan memiliki satu sama lain. Aku akan sangat bersyukur kalau kalian kembali bersama. Cuma kamu wanita yang ada di hati Viko selama ini. Viko tidak pernah menghianatimu Nis. Soal kejadian itu aku yang salah. Aku yang sudah menghancurkan kalian berdua. Dulu aku sangat terobsesi pada Viko, cinta sudah membuatku gelap mata, hingga aku kehilangan teman sebaik kamu. Maafin aku Nis.” Gita terlihat menahan tangisnya tapi ia tetap berusaha mengeluarkan senyum.
Nisa tidak tahu harus bilang apa sekarang. Jujur saja ia belum bisa memaafkan Gita setelah apa yang ia lalui selama sebelas tahun ini. Tapi hatinya merasa iba melihat keadaan Gita seperti ini.
Melihat Nisa tidak bergeming setelah dirinya minta maaf, Gita meraih tangan Nisa.
“Aku tahu Nis, apa yang aku lakukan itu sangat kejam. Tapi aku mohon maafin aku. Aku benar-benar merasa bersalah sama kamu dan Viko, melihat kamu tertabrak mobil, dan Viko yang depresi hebat, aku benar-benar sangat menyesal dan ingin mati. Selama ini aku coba ngehubungi kamu, tapi tidak berhasil, keluargamu juga kompak menutupi keberadaan kamu dariku dan Viko.” Kali ini Gita menangis sesenggukan. Gadis kecil di samping Gita terlihat hawatir melihat ibunya menangis.
“Mama …”
Nisa terhenyak mendengar suara kecil yang keluar dari mulut mungil anaknya Gita.
“Anakmu cantik Ta. Adik kecil, nama kamu siapa?” Nisa bertanya sambil mencondongkan wajahnya pada anak Gita. Anak itu tidak menjawab ia malah menatap Nisa dengan tatapan polos.
Gita menoleh pada anaknya, lalu memeluknya.
“Dia memang seperti ini kalau sama orang yang baru kenal. Sulit diajak bicara, tapi kalau sudah dekat dia cerewet. Namanya Annisa. ” Sahut Gita, Nisa terhenyak lagi.
“Aku sengaja memberinya nama yang mirip dengan namamu Nis, karena aku_aku kangen sama kamu.”
Seno menelan ludah, ini beneran seperti drama, pikirnya. Nisa menunduk sambil menelan ludah. Lalu ia mengangkat wajahnya lagi.
“Berapa tahun Ta?” Nisa mengabaikan ucapan Gita. Ia tidak bisa menanggapi ucapan Gita yang ternyata merindukannya.
Menurutnya itu terdengar aneh, orang yang ia benci selama sebelas tahun ini merindukannya, sampai-sampai ia menamai anaknya mirip dengan nama dirinya.
“Dua setengah tahun. Aku punya dua anak, yang paling besar laki-laki namanya Prima, bulan depan ulang tahun yang ke 6.”
“Oh, kamu hebat udah punya dua anak dan mengurus mereka sendiri, Ta. Di mana Prima sekarang?” ucap Nisa sambil melongokan kepalanya ke kanan, kiri dan belakang.
“Dia tidak ada, ikut dengan ayahnya ke toko. Kami punya kios pakaian kecil-kecilan di pasar.”
Sebenarnya Nisa ingin bertanya lebih banyak lagi tentang Gita. Tapi segan. Bagaimana ia bisa seperti ini? Padahal yang Nisa tahu Gita berasal dari keluarga yang cukup berada.
“Kamu pasti heran sama keadaanku sekarang.” Nampaknya Gita tahu apa yang ada di pikiran Nisa.
“Setelah bapakku meninggal semuanya berubah. Usaha keluargaku bangkrut, dan ibu jadi sakit-sakitan. Semua aset habis dijual untuk biaya berobat ibuku. Aku masih beruntung karena bisa menyelesaikan kuliah, adikku bahkan tidak kuliah sama sekali. Lalu tiga tahun lalu ibuku meninggal. Rumah yang di Sukabumi dijual, hasilnya dibagi-bagi untuk kakakku, aku dan adikku. Lalu aku hijrah ke Bandung.”
“Kenapa kamu tidak bekerja? Kamu kan kuliah.” Kata Nisa.
“Maunya sih begitu Nis, lalu anak-anakku sama siapa kalau aku kerja? Biar suamiku aja yang kerja.”
“Suamimu orang sini?”
“Iya, dia temen kuliahku. Sebenarnya suamiku dulu kerja di perusahaan asuransi tapi berhenti. Katanya gajinya tidak cukup buat menghidupi kami apalagi dulu anak sulung kami sakit-sakitan, jadi dia lebih memilih dagang, karena pendapatannya lebih lumayan.”
“Kalau boleh tahu suamimu kuliah jurusan apa?” Tiba-tiba Seno menyambar.
Nisa dan Gita menoleh bersamaan pada Seno.
“Ekonomi.” Jawab Gita. Seno menggigit bibir, seperti sedang memikirkan sesuatu.
“Kebetulan di kantor saya sedang membuka lowongan untuk staff keuangan, kalau berminat suamimu bisa ngelamar ke kantor saya. Dan saya bisa pastikan gajinya lebih besar dibanding dengan perusahaan asuransi. ” Kata Seno. Gita tersenyum cerah.
“Benarkah? Baiklah nanti saya sampaikan pada suamiku. Kalau boleh tahu kantormu perusahaan apa?”
“Biro iklan.” Jawab Seno lalu mengambil dompet dan menyodorkan kartu namanya pada Gita.
“Ta, suamimu beruntung tuh ditawari kerja langsung oleh CEOnya.” Sahut Nisa. suasana canggung di sana sedikit mencair, sekarang Gita dan Nisa mulai tersenyum bersama.
“Nis, aku sering berpikir kalau keadaanku sekarang adalah karma dari perbuatanku ke kamu dan Viko.” Nisa terperangah.
“Kamu jangan ngomong gitu Ta.”
“Beneran Nis, kalau kamu mau maafin aku, aku harap mulai sekarang kehidupanku jadi lebih baik.” Nisa menelan ludah dengan susah payah.
Nisa menekankan pada dirinya sendiri untuk bisa melupakan masalah ini dan bisa memaafkan Gita dan Viko.
Sejenak Nisa memejamkan matanya dengan kuat, lalu ia melirik pada Seno. Seno mengangguk, pria itu tahu betul apa yang ada di hati Nisa, jadi ia memberi Nisa keyakinan untuk bisa memaafkan Gita. Saat ia menatap Seno sesak di hatinya sedikit mencair dan dendam yang ia pendam selama sebelas tahun ini sedikit-demi sedikit lenyap dari hatinya.
Pandangan Nisa beralih pada Gita, lalu seulas senyum berusaha ia terbitkan.
“Iya aku maafin kamu Ta. Jadilah ibu yang baik buat anak-anakmu. Dan jadilah istri yang selalu mencintai suamimu.”
Gita mengangguk perlahan, Nisa melihat mata Gita berkaca lagi.
“Terima kasih Nis, aku sudah sebelas tahun menunggu ini. Selama ini aku sangat menderita, setiap malam aku insomnia dan tidak pernah sekalipun aku menikmati hidupku. Aku harap malam ini aku bisa tidur nyenyak.”
Nisa terhenyak, pantas saja mata panda Gita sangat jelas terlihat, ternyata dia insomnia. Nisa tersenyum berharap bisa menenangkan Gita.
“Mulai sekarang hiduplah dengan baik.” Kata Nisa.
“Iya Nis.”
***
Tiba-tiba Seno menepikan mobilnya di tepi jalan. Lalu ia melirik arlojinya. Masih jam dua siang.
“Mumpung di Bandung nih, kita jalan-jalan dulu yuk? Belanja-belanja?” Kata Seno. Nisa mengerjap mendengar suara Seno, sejak pulang dari rumah Gita dan masuk ke mobil Nisa melamun saja, banyak hal yang ia pikirkan, banyak hal yang ia sesali.
Tidak sebentar waktu yang sudah terbuang dengan percuma hanya untuk meratapi masalah yang sebenarnya sangat sepele.
Jika saja Nisa membuka komunikasi dan segera menyelesaikannya mungkin mereka bertiga tidak akan menderita. Tapi apakah waktu yang sudah terbuang itu bisa ia genggam lagi?
“Belanja?” Nisa menggigit bibir. “Oke deh. Sekalian aku mau bertemu seseorang dulu.”
Seno mengernyit, “Siapa?”
“Nanti lo juga tahu.” Kata Nisa sambil senyum-senyum.
***
Di sinilah mereka sekarang duduk bertiga di sebuah café.
Seno melipatkan tangan di dada, ia bête, ternyata seseorang itu adalah si berondong Yuda. Tadinya ia tidak mengerti kenapa anak ini bisa ada di Bandung, ternyata anak itu ditugaskan di Bandung.
“Gimana kabarmu bos?” Tanya Yuda.
“Baik, gimana kamu betah di sini?” Sebelum menjawab, Yuda melirik Seno lalu ia berkata
“Enggak bos, karena jauh darimu.” Seno membuang nafas sebal. Di hadapan Yuda Seno masih tenggelam ke dalam perannya sebagai calon suami Nisa.
“Maaf ya, tapi aku enggak bisa bohong.” Sahut Yuda pada Seno.
Nisa tersenyum geli melihat tingkah kedua cowok di depannya.
“Oh iya bos, ada perlu apa ke Bandung? Apa sengaja buat nemuin aku?”
“Bukan. Kami ke sini ada urusan.” Seno langsung menyambar.
“Oh.” Cetus Yuda rada bête.
“Hei, cepat habiskan makananmu.” Seru Seno pada Nisa.
“Baiklah. Cerewet.” kata Nisa sambil memonyongkan bibirnya.
Yuda menelan ludah iri melihat keakraban pasangan itu.
Sebelum berpisah Yuda meminta berfoto sama Nisa. Awalnya Seno tidak memberi izin, tapi ia berpikir lagi, bukankah ia dan Nisa hanya sandiwara.
Nisa juga terlihat menginginkan berfoto sama Yuda, akhirnya dengan berat hati Seno mengiyakan.
***
Sudah tersohor ke seantero negeri, kalau kota Bandung adalah surganya wisata belanja dan kuliner. Mumpung ada di kota ini Seno dan Nisa tidak menyia-nyiakan kesempatan. Mereka keliling-keliling dari distro satu ke distro yang lain. Sudah dua kantong belanjaan yang mereka bawa, tapi rasanya belum puas juga.
“Mas, mbak. Ini ada koleksi baru di butik kami, silahkan lihat-lihat.” Pelayan itu menunjukan koleksi baju couple.
“Pasti ini sangat cocok buat kalian berdua. Kalian sangat serasi.” Astaga, apakah pelayan itu juga mengira kami sebagai pasangan? Pikir Seno.
Nisa dan Seno langsung kikuk dibuatnya. Seno melirik Nisa dengan gugup.
“Hei, kita dikira pasangan lagi sama orang.” Bisik Seno.
Nisa meluncurkan senyum ramah ke pelayan itu, “Tidak mbak, terima kasih.” Katanya.
“Ayo kita pergi.” Bisik Nisa pada Seno. Nisa ngeloyor duluan keluar.
Saat Nisa sudah di luar Seno menyuruh pelayan itu untuk membungkus satu baju couple itu.
“Lo beli?” Tanya Nisa ketika Seno sudah di hadapannya menenteng satu tas berlogo distro itu.
“Iya.”
“Baju couple?”
“Bukan. Ayo cabut.” Kata Seno sambil membuka pintu mobil. Nisa tidak boleh tahu ia membeli baju couple.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel