Cerita bersambung
Viko berjalan lemah di lorong rumah sakit. Tangannya menggenggam erat sebuah resep yang harus ia tebus ke apotek.
Hari ini dokter memberi resep berbeda tentunya dengan dosis yang ditingkatkan, dan itu kabar buruk. Jika resep yang pertama tidak membantu berarti kondisinya semakin parah.
Viko duduk di kursi sambil memandangi resep dari dokter. Barapa lama lagi ia bisa bertahan dengan jantung ini? Berapa lama lagi ia bisa hidup normal? Dua tahun? Setahun? Enam bulan? Viko meraupkan tangan ke muka, lalu menghela nafas lega. Tidak peduli apapun itu, yang penting sekarang hubungannya dengan Nisa ada perbaikan.
Ia tersenyum lalu bangkit berjalan ke apotek.
***
Nisa terkikik-kikik geli melihat foto dirinya dengan Yuda. Ia tidak menyangka bocah itu sudah membuatnya terpesona.
Saat Nisa tertawa sendiri, tiba-tiba Lena menerobos masuk ke ruangannya tanpa ketuk pintu dulu. Nisa terperanjat langsung menghentikan tawanya.
“Mbak ... gawat-gawat ...” Seru Lena panik.
“Gawat kenapa?”
“Miranda … meng-cancel kerja sama dengan kita.”
“Apa!!!” Nisa langsung berdiri tegak.
“Iya, tadi tiba-tiba managernya telepon, minggu ini dia akan berangkat ke Amerika. Pulangnya bulan depan.” Tutur Lena dengan nafas yang masih ngos-ngosan.
“Astaga, kenapa ngedadak gini sih? Baru kemarin mereka bilang oke.”
“Gak tahu, managernya bilang, ke Amerika juga ngedadak dan gak bisa di tunda. Masalah keluarga gitu deh katanya.”
Nisa menjatuhkan tubuhnya ke kursi. “Len, berapa hari lagi pameran digelar?”
“Enam hari lagi mbak.” Jawab Lena dengan suara lemah.
“Gak ada cara lain, kita harus cepat-cepat cari artis lain.”
“Tapi itu susah banget mbak, apalagi waktunya udah mepet. Dapet Miranda juga udah untung banget. Pimpinan maunya artis yang top, sedangkan artis terkenal itu jadualnya padet banget. Mereka mana mau mengosongkan jadual mereka sebulan cuma buat ngehadirin pameran dan menjadi brand ambasador produk kita.”
“Enggak. Pokoknya besok kita harus dapat, gimanapun caranya kita harus dapat! Kalau besok enggak dapet, enggak ada waktu lagi buat ngomongin konsep nantinya.”
Lena mendengus, bagaimana bisa besok dapat, ngebujuk Miranda juga hampir satu bulan.
“Baik mbak …” kata Lena lesu lalu keluar ruangan.
Nisa menjatuhkan kepalanya ke meja.”Ya ampuuuunn ada-ada aja sih.” Ia harus putar otak gimana caranya bisa dapat artis untuk jadi brand ambasador Vreeset.
***
Nisa memencet bel apartemen Seno seperti orang kesurupan. Hari ini ia benar-benar stress karena mencari artis. Ia pergi kesana-kemari sambil mohon-mohon seperti anak anjing yang minta tulang. Umpatan-umpatan kasarpun ia telan begitu saja. Sementara ia harus menyingkirkan gengsinya.
Seno berjalan dengan malas ke depan. Ia sudah tahu siapa orang yang biasa memencet bel seperti itu. Orang itu pasti sedang stress berat.
Saat pintu terbuka, Nisa langsung menerobos masuk lalu rebahan di sofa.
“Ada apa?” Ucap Seno sambil melipatkan tangan di dada.
“Sen, apa yang harus gue lakukan? Si Miranda monyong itu tiba-tiba meng-cancel kontrak dengan kita di saat-saat terakhir.”
“Kontrak apaan?”
“Kontrak jadi brand ambasador Vreeset di pameran sepatu. Tinggal enam hari lagi coba. Mampus gue. Mampus!” Seru Nisa sambil menutupi wajahnya dengan bantal.
“Terus apa yang bikin lo senewen kayak gini?” Tanya Seno dengan muka polos.
Nisa membuka bantal. Tuh cowok oon atau apa sih? Masih pake tanya senewen kenapa lagi. Nisa malah jadi kesal sama Seno.
“Gua tanya lo senewen karena Miranda ngebatalin kontrak atau lo senewen karena nyari artis lain dan belum dapet?”
Nisa menghela nafas “dua-duanya.” Katanya lesu.
Seno menyandarkan bahunya ke tembok, ia nampak sedang berpikir. Selang beberapa detik ia menjentikkan jarinya.
“Nis, lo lupa ya punya temen seorang produser? Lala pasti bisa bantu lo.” Nisa langsung terduduk tegak.
“Bener Juga.” Nisa tersenyum cerah. Dalam hatinya ia menarik pikirannya kalau Seno cowok oon.
Nisa mengeluarkan ponselnya, lalu menghubungi Lala. Dengan cemas Nisa menunggu teleponnya diangkat. Selang beberapa detik Lala mengangkatnya.
“Halo..” seru Lala.
“Halo La, sorry gue ganggu nih, lo udah tidur ya? Gak enak nih ganggu penganten baru.” Tanya Nisa sambil melirik jam tangannya, jam sepuluh malam.
“Enggak kok gue baru aja nyampe rumah nih. Tumben lo nelepon gue? Kebetulan ada yang mau gue omongin sama lo Nis.”
“Apaan?” Tanya Nisa.
“Entar aja deh, lo dulu, ada apa nelpon gue?” Nisa menarik nafas dalam-dalam sebelum menyerukan tujuannya.
“La, lo punya kenalan artis cewek gak, yang jadualnya lagi kosong buat sebulan ke depan?”
“Buat apaan?”
“Buat jadi brand ambasadornya produk sepatu gue di pameran sepatu antar negara Asean.”
“Pameran ya? Mmm …” Lala mengingat-ingat apakah ada artis yang lagi kosong jadualnya atau tidak.
“Kayaknya enggak ada deh.” Sahut Lala. Nisa langsung menunduk sedih.
“Serius gak ada? Coba deh lo ingat-ingat lagi, gue mohon. Gue bisa mati kalau enggak bisa dapet artis besok.” Nisa hampir menangis frustasi.
“Sebentar gue inget-inget lagi …”
“Kalau ada gue traktir lo makan bakso deh.”
“Bakso? Astaga, bakso doang? Pelit banget sih lo jadi orang, pantesan aja lo cepet kaya. Sebagai ketua tim marketing masa nelaktirnya bakso doang.” Nisa mengacak rambutnya sendiri. Seno tersenyum geli, pasti di antara mereka sedang ada penawaran.
“Oke-oke terserah lo deh, anything …”
“Nah gitu dong. Deal ya?”
“Iye-iye. Yang penting ada enggak artis buat gue?”
“Ada. Dia baru aja melahirkan beberapa bulan yang lalu, rencananya sekarang dia mau comeback, yang gue tahu dia tidak akan ngambil job syuting dulu, karena masih repot sama anaknya yang masih ASI. Jadi brand ambasador kayaknya cocok buat dia. Nanti aku telepon dia. Kalau gue yang minta pasti dia enggak akan nolak.”
“Serius lo? ah ya ampuuuunnn Lala ku sayang makasih ya. Ngomong-ngomong siapa artisnya?”
“Do_ni_ta.” Lala mengejanya agar terdengar jelas.
“Whaaatt serius lo? Donita?”
“Dua rius gue.” Nisa terkulai lemas di sofa, seperti ada beban berat yang tiba-tiba saja terbang dari pundaknya. Ini sangat melegakan.
“Berkat lo, malam ini gue bisa tidur nyenyak. Makasih ya. Oh iya apa yang mau lo omongin sama gue?”
Lala menggigit-gigit kuku. “Besok aja deh gue ngomonginnya. Sekalian lo traktir gue.” Kata Lala. “Oke deh, lo yang tentukan tempatnya di mana.”
“Sip.”
***
Lena dan karyawan yang lain terlohok heran. Bagaimana bisa bos mereka dapet artis dalam satu malam, terlebih artis itu top abis. Lebih ngetop daripada Miranda.
“Danisa emang keren.” Bisik Deni pada Sofian.
“Enggak salah emang dia jadi ketua tim marketingnya Vreeset Indonesia. Cara kerjanya gila-gilaan, menakjubkan. Cantik, pinter, pekerja keras pula. Tapi sayang dia dingin sama cowok.” Sofian balas berbisik.
“Bener Yan. Kecuali sama si berondong Yuda.” Kata Deni.
“Lena, nanti jam dua Donita mau ke sini, kita langsung aja meeting. Atur semuanya ya …” tutur Nisa dengan wajah cerah.
“Sekarang aku mau makan siang ke luar dulu.” Nisa melirik jam tangannya, ia janjian sama Lala di sebuah cafe.
“Siap mbak.” seru Lena semangat.
“Aku pergi dulu ya …” Nisa memakai blazer lalu bangkit dan membawa tas.
***
Nisa memarkirkan mobilnya di pelataran café strawberry. Nisa enggak tahu kenapa Lala memilih café ini untuk makan siang.
Melihat dekorasi café ini yang gaul abis, terlihat lebih cocok buat anak-anak sekolah atau kuliahan, kalau untuk wanita kantoran seperti dirinya menurutnya kurang pas saja. Tapi walaupun begitu café ini tetap cozy. Bikin betah lama-lama nongkrong di sana.
Pandangan Nisa berkeliling ke dalam café, saat ia masuk seorang karyawan wanita menyambut dengan sopan sambil menawarkan diri mancari tempat duduk, kebetulan siang ini suasana café cukup penuh.
“Saya mencari teman saya.” Kata Nisa pada karyawan café itu. Tak lama kemudian pupil mata Nisa menangkap sosok wanita memakai seragam berlogo stasiun televisi swasta tempat Lala bekerja. Sudah pasti dia adalah Lala.
“Itu dia teman saya.” Kata Nisa pada pelayan itu, Nisa berjalan ke meja Lala.
“Hei, udah lama?” Seru Nisa. Lala yang sedang menyedot minumannya sedikit terkejut.
“Hei, dateng juga lo akhirnya. Enggak, yah lumayan bikin pantat gue hampir karatan.” Kata Lala ironi.
“Hehehe ... sorry deh tadi macet di jalan.” Nisa menyeringai.
“Lo udah pesen makanan belum?” Tanya Nisa.
“Belum, gue kan nunggu yang mau nelaktir dulu.”
“Ya ampuuunn kenapa gak pesen dulu aja.”
“Maunya sih gitu, tapi gue sengaja nunggu lo biar gue pesen yang paling mahal.”
“Dasar rampok. Mas …” Nisa memanggil pelayan. Lala tertawa.
Nisa dan Lala memesan makanan, pelayan itu mencatat pesanan setelah selesai ia pergi ke belakang.
“By the way apa yang mau lo omongin sama gue?” Nisa langsung bertanya pada pokoknya.
“Ini soal Viko.” Jawab Lala. Kening Nisa berkerut.
“Nis, kemarin gue denger Brian ngobrol sama Viko di ruang kerjanya. Entahlah, gue juga enggak terlalu jelas dengernya. Tapi sepintas gue denger mereka ngomongin soal penyakit jantung gitu deh. Kira-kira siapa yang sakit jantung ya? Apa Viko punya penyakit jantung?”
Nisa langsung terlohok. “Apa lo bilang sakit jantung?” Tanya Nisa terkejut sekaligus penasaran. Lala mengangguk.
“Setahu gue Viko enggak sakit.” Kata Nisa.
“Tapi gue denger sepintas suami gue meminta Viko untuk menjalani perawatan yang lebih serius, Nis. Coba lo tanya Viko, apa bener dia sakit? Dan kalau iya, gue mau lo ngebujuk dia untuk berobat. Gue kasian sama dia Nis, sekarang dia lagi menyiapkan novel barunya, gue denger dari suami gue kalau novelnya meleset dari deadline.”
Nisa menghela nafas yang dirasa berat. Apa benar Viko sakit? Kenapa selama ini Nisa tidak tahu? Apakah Viko sengaja menyembunyikannya dari Nisa? Kalau itu benar, apa yang harus Nisa lakukan? Ia teringat ucapan Viko beberapa hari yang lalu : 'Nisa, aku masih berdiri di tempatku, aku akan tetap berdiri menunggumu menoleh dan datang padaku. Selamanya_sampai aku mati.
Apakah Nisa harus kembali datang pada Viko? Nisa memejamkan matanya mencoba merasakan apa yang sebenarnya ia rasakan dalam hatinya untuk Viko. Itulah yang dikatakan Seno padanya.
Ia membenci Viko karena kesalahannya, ia tersiksa selama sebelas tahun ini karena Viko, ia menjelma menjadi wanita yang dingin pada lelaki itupun karena Viko.
Tapi bukankah Nisa merindukan pria itu? bukankah selama ini Nisa ingin melihat wajah pria itu lagi? Bukankah selama sebelas tahun ini ia tidak membuka hatinya untuk pria lain karena sebenarnya di hatinya masih terisi oleh satu orang? Bukankah Nisa merasa senang setelah tahu bahwa Viko tidak sekalipun menghianatinya? Ia ciuman dengan Gita karena perempuan itu mengancamnya untuk menghancurkan hubungan mereka.
Nisa menghela nafas panjang, lalu sebulir air mata menetes di sudut matanya. Sekarang Nisa tahu jawabannya. Viko masih ada di hatinya. Nisa masih mencintai Viko.
Lala terlohok. “Nis, lo kenapa?” Nisa membuka matanya.
“La, gue mau nanya itu sama Viko.” kata Nisa dengan suara sedikit bergetar. Lala tersenyum lebar.
“Iya Nis lo harus bicara sama dia, gue yakin dia akan ngedengerin elo. Tapi mudah-mudahan bukan Viko yang sakit.”
***
Setelah pulang makan siang dengan Lala, Nisa menghubungi Viko, mereka janjian bertemu di tempat yang sama seperti kemarin setelah Nisa pulang keja.
Entah kenapa perasaan Viko tidak enak dengan pertemuannya sekarang, apalagi pas Nisa ngomong : 'mau ada yang aku tanyakan dan aku omongin sama kamu.'
Apakah Nisa tahu sesuatu? Pertemuan kali ini Viko yang datang duluan, saat Nisa datang, pria itu sudah duduk manis ditemani oleh secangkir kopi yang masih mengepul.
“Duduklah Nis.” Sahut Viko setelah Nisa ada di hadapannya. Nisa menyeret kursi lalu duduk.
“Capucino di sini enak, kamu pesanlah itu nanti aku yang bayar kali ini.”
Nisa tidak benar-benar mendengar apa yang Viko bilang, sekarang ia hanya memperhatikan wajah Viko, mencoba memastikan diri bahwa apa yang dikatakan Lala salah. Lihatlah Viko terlihat segar, wajahnya pun tidak pucat, ia tidak terlihat seperti orang sakit.
“Nis?” Panggil Viko. Nisa mengerjap.
“Oh, sorry.”
“Kamu mau pesan sesuatu?”
“Oh iya.” Nisa mengacungkan tangan memanggil pelayan.
“Omong-omong apa yang mau kamu tanyakan sama aku?” Tanya Viko setelah pelayan itu mencatat pesanan Nisa dan pergi.
“Aku dengar dari Lala, apa benar kamu sakit?” Viko mengerjap, fealingnya benar Nisa tahu sesuatu. Viko mengalihkan pandangannya ke arah lain sambil tertawa kecil.
“Jadi kamu ketemu sama aku untuk menanyakan pertanyaan konyol seperti itu? coba kamu lihat, apakah aku terlihat seperti orang sakit?” Kata Viko sambil membentangkan tangannya.
“Nisa, kita itu udah enggak pernah ketemu selama sebelas tahun, aku ingin membahas yang penting-penting saja sama kamu. Contohnya menceritakan pengalaman apa aja yang udah kamu lewatin selama sebelas tahun ini. Aku ingin tahu bagaimana kehidupan kamu hingga kamu menjelma jadi wanita yang sukses di usia muda.”
Nisa tersenyum hambar. “Selama sebelas tahun ini aku sangat menderita. Karena menderita itu aku memacu diri aku sendiri hingga aku berhasil seperti sekarang.” Viko menelan ludah getir, ia tidak menyangka Nisa akan memberi jawaban seperti itu.
“Aku tahu, aku sudah menggoreskan luka yang sangat dalam di hati kamu. Dari itu, aku ingin memperbaiki semuanya. Aku ingin kita memulai lagi dari awal.”
“Maksud kamu dengan memulai?”
Viko tersenyum. Nisa sedikit terhenyak ketika melihat senyuman Viko seperti itu. Senyuman itu adalah senyuman yang sangat ia sukai dari Viko, ia jatuh cinta dengan senyuman itu. ia tidak menyangka sama sekali bisa melihat senyuman itu lagi.
“Aku ingin berhubungan baik lagi denganmu, terserah kamu mau hubungan yang seperti apa, teman, sahabat, atau_pacar? Bagiku bisa melihatmu lagi juga udah bersyukur banget. Aku enggak mau serakah jadi aku menyerahkan semuanya sama kamu.”
Nisa mendengus sambil melempar pandangannya ke samping, lalu ia menatap Viko lagi.
“Baiklah kita bisa memulai dengan berhubungan sebagai teman.” Viko tersenyum lebar.
Lalu ponsel Viko berdering. “Sebentar.” Viko mengambil ponselnya di saku celananya.
Bersamaan dengan itu ada sesuatu yang jatuh dari saku celananya. Nisa melihat benda itu tergeletak di samping kursi Viko. Nisa meneliti benda itu sementara Viko sedang serius berbicara dengan seseorang. Benda itu terbungkus plastik bening, seperti sebuah obat. Nisa menajamkan penglihatannya. Benar itu obat. Ya Tuhan apakah Viko benar-benar sakit?
Viko menurunkan ponselnya lalu ia tersenyum. “Nis, maaf sepertinya aku harus pergi, ada urusan mendadak nih. Gak apa-apa kan kalau aku pergi sekarang?”
“Baiklah kalau kamu harus pergi, aku juga mau pulang kok.”
“Nanti kita bisa ketemu lagi kan?” Tanya Viko, Nisa mengangguk sambil berusaha meluncurkan senyumnya.
“Oke, nanti aku telepon kamu.” Kata Viko sebelum pergi.
Setelah Viko pergi Nisa mengambil obat yang tadi jatuh dari saku celana Viko.
==========
Nisa memarkirkan mobilnya di depanm apotek, ia harus tahu obat apa yang dikonsumsi Viko. Nisa ingin memastikan sendiri.
“Selamat malam, ada yang bisa dibantu?” Kata apoteker itu dengan ramah.
“Saya mau beli vitamin C sama minyak angin, mbak." Apoteker itu langsung memberikan apa yang Nisa beli.
"Berapa?" Tanya Nisa.
"Dua puluh lima ribu." Jawab apoteker, Nisa mengambil uang lima puluh ribu dari dompetnya lalu memberikan pada apoteker.
"Maaf mbak, boleh saya minta tolong cek obat ini untuk penyakit apa?” Apoteker itu menerima obat yang Nisa sodorkan. Nisa melihat dahi apoteker itu mengernyit sambil meneliti obat itu lalu ia menatap Nisa dengan hawatir.
“Obat ini untuk pasien yang sakit lemah jantung mbak, biasanya diberikan ketika penyakit itu sudah mulai sedikit parah.”
“Hah? Lemah jantung?” Nisa merasa poros bumi seperti berbalik dan kepalanya langsung berdenyut hebat ketika mendengar ucapan apoteker itu. Ternyata benar Viko sakit. Apa yang harus ia lakukan sekarang?
“Ini obat punya siapa mbak?”
“Hmm itu obat teman saya. Terima kasih infonya mbak, kembaliannya ambil saja."
***
Nisa berjalan seperti tidak memijak bumi. Mengetahui kenyataan bahwa Viko sakit membuat hatinya seperti tercabik-cabik pisau tajam.
Dari parkiran ke apartemennya seperti berjalan berkilo-kilo meter. Nisa jongkok dan bersandar pada sebuah tiang beton. Nisa menatap obat Viko di tangannya.
“Kenapa kamu sakit? Kenapa kamu membuatku tidak tega untuk meninggalkan kamu? Kenapa kamu membuatku untuk tidak lagi membenci kamu? Viko, aku ingin tetap membencimu, tapi kenapa malah begini?”
Nisa membenamkan wajahnya dalam-dalam lalu menangis.
Dari kejauhan Seno melihat Nisa yang sedang menangis.
“Kenapa lagi tuh anak?” Seno berjalan cepat menghampiri Nisa.
“Heh?” Seru Seno setelah ada di depan Nisa. Nisa tersentak lalu mengangkat kepala dan mengusap air matanya.
“Elo rupanya.” Kata Nisa.
“Lo ngapain mewek di sini? Malu-maluin aja. Ayo pulang.” Sahut Seno sambil mengulurkan tangan.
Perlahan Nisa meraih tangan Seno lalu pulang sama-sama. Entah mengapa setiap Nisa memegang tangan Seno semuanya terasa baik.
***
Seno manatap mata Nisa yang sembab. Seno diam menunggu Nisa untuk cerita kenapa ia sampai menangis seperti orang bodoh di parkiran apartemen.
“Sen, Viko sakit. Gue harus gimana sekarang?” Ujar Nisa dengan suara parau.
Seno tersentak tapi ia berusaha untuk tetap tenang menunggu Nisa mengungkapkan semua yang mengganjal di dadanya.
“Gue bingung. Jujur aja gue belum bisa sepenuhnya memaafkan Viko, tapi_ kalau kenyataannya seperti ini membuat gue gak bisa membencinya lagi. Kenapa gue harus mengetahui kenyataan ini saat di kantor sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan pameran? Pikiran gue kacau banget sekarang.”
Seno menangkap sorot mata Nisa yang menyedihkan. Selama mengenalnya Seno baru melihat sisi Nisa yang seperti ini.
'Nih cewek benar-benar sedang rapuh banget.'
Seno menghela nafas panjang, ia menunduk sambil menggigit bibir lantas ia melirik arlojinya.
“Ayo ikut gue.” Ujar Seno lalu bangkit.
“Kemana?”
“Udah ikut aja, gue rasa lo butuh tempat selain kantor dan apartemen, biar lo bisa berpikir.”
Seno dan Nisa ke parkiran lalu pergi dengan mobil Seno.
Selang satu jam mereka sampai di tempat tujuan. Mereka keluar dari mobil.
“Ancol?” Sahut Nisa antara geli dan senang.
“Gue rasa lo butuh sentuhan alam biar pikiran lo jernih. Ya mungkin pantai ancol tidak seindah pantai sanur nanti kalau kita ada waktu kapan-kapan bisa ke sanur.”
Nisa tersenyum senang. “Lo emang paling bisa. Thanks ya Sen, lo udah ajak gue ke sini.”
Sekarang Seno merasa lega melihat gadis itu kembali tersenyum.
Sekarang mereka duduk di sebuah bangku kayu, sambil menikmati angin pantai di malam hari ditemani lampu taman berwarna jingga.
“Sekarang lo boleh berpikir sesuka hati, menangis sesuka hati, atau teriak sesuka hati. Anything …” ujar Seno.
Nisa menghela nafas panjang sambil menengadah melihat langit gelap tanpa bintang-bintang. Sebenarnya Nisa ingin menangis atau teriak, tapi sekarang tidak ingin lagi, karena Seno ada di sampingnya, karena Nisa telah menggenggam tangannya. Karena ada Seno semuanya menjadi terasa baik. Tidak ada lagi hal yang dibutuhkannya selain sahabatnya yang satu ini ada di saat seperti ini.
“Sen, setelah gue pikir-pikir, setelah apa yang terjadi beberapa hari ini dan apa yang gue rasain, sekarang gue bisa menarik kesimpulan bahwa sebenarnya gue tidak benar-benar membenci Viko, sebenarnya gue membenci apa yang sudah terjadi pada gue, Viko, dan Gita. Gue sebenarnya merindukan Viko, dan masih mencintainya hingga sekarang. Lalu sekarang gue mendapati kabar bahwa Viko sakit jantung, gue merasa frustasi kenapa ini bisa terjadi di saat gue ketemu lagi sama dia dan menyadari perasaan apa yang sebenarnya gue rasain.”
Seno menelan ludah getir. Akhirnya Ia mendengar juga pengakuan dari mulut Nisa langsung bahwa sebenarnya Nisa masih mencintai laki-laki itu. Seno berusaha terlihat wajar di depan Nisa, ia tidak boleh menunjukan bahwa sebenarnya sekarang ia sedang patah hati. Seno menarik nafas dalam-dalam sambil memejamkan matanya sejenak, agar suaranya tidak bergetar saat ia bicara.
“Lalu sekarang rencana lo apa?”
“Gue mau kembali pada Viko, gue mau ngedampingi dia melawan penyakitnya. Apa rencana gue benar?”
Seno menoleh pada Nisa lalu ia berusaha menerbitkan senyumnya.
“Rencana lo bener, Nis. Lo harus kembali pada Viko dan dampingi dia. I will always support you. Gue cuma pengen liat lo seneng.” Nisa mengembangkan senyumnya lantas ia menggenggam tangan Seno di sampingnya.
“Makasih ya. Lo temen gue yang paling juara.”
Seno juga tersenyum tapi dengan hati yang sesak.
***
SINGAPORE _ Oktober 2006
Tatapan Seno tidak lepas dari gadis yang tadi siang menolongnya di bandara. Gadis itu tidak pernah terlihat tersenyum, walaupun begitu ia masih terlihat cantik. Setidaknya itulah kesan pertama Seno melihat Nisa.
“Maaf kalau tempatnya terlalu kecil. Kamu boleh tidur di sini malam ini sampai orang tua kamu datang besok.” Kata Nisa sambil membuka pintu tempat tinggalnya selama di Singapore.
"Ayo masuk."
“Tidak apa-apa. Terima kasih ya kamu sudah menolong saya.” sahut Seno sambil masuk.
“Iya sama-sama. Ngomong-ngomong pakailah ini buat tidur. Dan satu lagi, kamu tidak boleh melewati batas ini, oke!” Nisa melempar selimut lalu menunjukan seutas tali yang ia pasang di lantai untuk batas mereka berdua.
“Tenang aja, saya gak akan macam-macam kok. Kalau saya macam-macam kamu boleh teriak sekencang-kencangnya.” Ucap Seno.
Dan untuk pertama kalinya setelah berjam-jam bersama gadis itu, Seno baru melihat senyuman gadis itu. Dan untuk pertama kalinya juga Seno melihat senyum seorang perempuan semanis itu.
"Ngomong-ngomong kamu sendirian aja ke sini?" Tanya Seno.
"Iya. Sebelumnya aku sudah ke sini sama orang tuaku buat urus-urus administrasi dan mencari tempat tinggal. Jadi aku sudah tau jalan sedikit-sedikit. Tapi nanti orang tuaku akan ke sini kok, sekarang mereka sedang sibuk."
Seno ngangguk-ngangguk.
"Emangnya orang tuamu sibuk apa?"
"Sibuk kerja. Kami punya home industri di bidang makanan sama usaha di bidang pertanian."
"Wah, hebat ya orang tua kamu. Ngomong-ngomong dari tadi kita ngobrol aku belum tahu nama kamu dan kamu asli orang mana." Nisa mengerjap, benar juga. Pikirnya.
"Namaku Danisa dari Sukabumi."
"Senopati dari Jakarta. Senang berkenalan sama kamu." Sahut Seno sambil mengulurkan tangan, dengan gugup Nisa menjabat tangan Seno.
Tanpa ia tahu tangan itu yang akan membuatnya hangat di masa depan.
Sejak saat itu sampai sekarang mereka jadi dekat. Dan Seno baru menyadari bahwa sebenarnya ia sudah tertarik pada Nisa dari pertama mereka bertemu sepuluh tahun yang lalu.
Bersambung #7
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Selasa, 30 Maret 2021
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel