Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Senin, 15 Maret 2021

Senandung #1

Cerita Bersambung
Oleh : Yenika Kusrini

(side a)

Malam minggu ini seperti malam sebelumnya, suasana sebuah karaoke elite di kawasan ibu kota tampak ramai pengunjung. Tampak sebuah mobil keluaran negeri Ratu Elizabeth  memasuki area parkir, lalu muncullah keempat pemuda dari dalam mobil Range Rover itu.
Keempat pemuda itu memesan room kelas superior. Kelas mewah dengan lampu warna-warni menempel di dinding, ada juga tiga layar monitor besar, dan beberapa buah mic.

Ketika keempat pemuda itu masuk, sudah ada keempat cewek cantik dan seksi yang menunggu mereka di sofa.

Seorang pemuda bernama Kiyan, sosok yang paling jangkung di antara ketiganya menatap seorang pemandu lagu itu dengan lekat. Kiyan merasa pernah mengenal gadis yang terlihat lebih dewasa dari ketiga temannya itu.

Merasa diperhatikan, si gadis yang juga berpakaian seksi walau tak seseronok temannya itu melempar senyum manis pada Kiyan.

"Dia memang primadona di sini," bisik salah seorang teman Kiyan yang bernama Anton.
Kiyan menatap sekilas Anton, kemudian kembali mengarahkan pandangannya pada si cewek manis itu.
"Sayang. Dia gak mau diajak jalan." Anton menggeleng dengan gurat kekecewaan.
"Emang karaoke bokap gue, gak ada layanan plus-plus peong," sahut Kiyan sambil menonyor kepala Anton.
"Alah ... yang lain kalo di luar jam kerja, pada mau diajak jalan. Ya gak geng?" Kedua teman Kiyan yang lain mengangguk, menyetujui omongan Anton.

Kiyan hanya mendengkus kecil, lalu dengan santainya dia duduk di sebelah gadis berparas ayu dengan mata bulat sendu itu.
"Dulu kamu anak SMA negri 8 kan?" tanya Kiyan tanpa basa-basi.
Gadis itu menyipitkan matanya, sedikit heran. Dari mana pemuda yang baru saja dilihatnya itu, bisa tahu sekolah asalnya dulu.
"Namamu Sena, kan? Senandung nama lengkapmu. Iya?" tebak Kiyan dengan yakin.
Gadis ayu itu mengernyit dahinya, sedang Kiyan malah tersenyum melihat si gadis semakin heran.
"Aku Kiyan. Kakak kelasmu yang selalu menghiburmu, saat kau datang ke sekolah dengan mata sembab dulu." Kiyan berbicara seolah dia mengenal gadis itu dengan baik.

Ketika Kiyan hendak membuka mulut untuk berbicara lagi, sang gadis menyetopnya untuk diam dengan tangan. Tak lama, terlihat sang gadis merogoh tas tangan miliknya yang tergelatak di atas meja. Kemudian dia mengambil ponsel pintar, yang sedari tadi berdering minta diangkat.

Gadis berambut lurus sebahu itu, berjalan menuju pojok ruangan. Dia meninggalkan Kiyan, agar lebih leluasa menerima telpon.

Kiyan memperhatikan gadis itu dengan seksama, sedang Anton dan yang lain cuek, tetap asyik dengan lagu yang diputar.
Mendadak wajah gadis itu tampak panik setelah menerima telepon, dengan tergesa dia menghampiri Kiyan dan minta pamit.

"Maaf. Saya permisi pulang dulu. Ada hal penting yang harus saya selesaikan." Tanpa menunggu jawaban Kiyan, sang gadis menuju pintu dan mendorongnya.
"Hei! Kita udah bayar lo mahal," protes Anton

Dia mencoba menghentikan langkah gadis itu. Namun, sang gadis tak menghiraukan teriakan Anton.
Kiyan beringsut dari duduk, segera dia menyusul gadis itu. Tampak gadis yang bernama Senandung itu tengah berbicara dengan managernya, lalu setelah mendapat anggukan oleh sang manager Senandung pun melangkah keluar menuju lobi.

Tak berapa lama, Kiyan melihat Senandung masuk ke dalam taksi yang dipesannya.
"Sena ... tunggu!"
Senandung hanya menoleh sekilas pada pemuda yang memangil namanya, lalu tanpa senyum gadis itu masuk taksi meninggalkan Kiyan yang hanya bisa termangu.

Lima menit kemudian, Kiyan memutuskan untuk masuk kembali. Di dalam room teman-temannya masih asyik menyanyi.
"Geng, gue balik dulu ya," pamit Kiyan kemudian.
Anton dan kedua teman yang lain menatapnya heran.
"Lah ... gimana sih? Belum juga sejam kita di sini, lu dah minta balik aja," sungut Anton kesal.
"Udah kalian terusin saja. Gue beneran mau balik, sedikit pusing nih." Kiyan memijit kening supaya alasan pamitnya dipercaya.
"Pusing karna dicuekin Sena, ya?"
Kiyan hanya menyeringai kecil mendengar ledekan Anton.
"Udah gue cabut, ya. Mobil dibawa kalian aja, gue biar pake taksi." Setelah menjabat ketiga temannya, Kiyan pun keluar ruangan.
"Payah nih, Kiyan. Dia yang minta jalan, eh dia yang minta balik duluan."
Kiyan hanya mengendikkan bahu. Dia tak menghiraukan gerutuan salah seorang temannya.

Di Koridor Kiyan berpapasan dengan manager Senandung. Lelaki berusia empat tahun lebih tua darinya itu mengangguk hormat. Kiyan membalas sapa hormat itu dengan senyuman. Dia mengenal lelaki itu dengan baik. Istri dari manager itu adalah sekertaris pribadi ayahnya.

Tak sampai sepuluh menit Kiyan menunggu di lobi, sebuah taksi online datang menjemput. Setelah menghempas tubuhnya, dan menutup pintu, taksi pun mulai berjalan.

Kiyan merogoh smartphone terbaru di saku kemeja biru. Kemudian tangannya mengusap layar tipis itu perlahan, membuka galeri.
Tampak foto seorang gadis berusia enam belas tahun sedang tersenyum simpul. Kiyan sendiri ikut tersenyum melihat foto itu.
"Sena," gumamnya lirih.

Memori Kiyan kembali ke masa delapan tahun silam. Saat dirinya masih duduk di bangku SMA kelas XII, sedang Senandung saat itu dua tingkat di bawah.
Masih teringat jelas, pertama kali Kiyan melihat Senandung adalah pada saat masa orientasi siswa. Kala itu Kiyan merupakan salah satu senior pembimbing. Di antara ratusan siswi yang ikut MOS, Kiyan langsung tertarik pada sosok gadis berparas ayu. Dengan tatapan sendu yang bernama Senandung.

Gadis yang tampak pendiam di antara teman-temannya. Senandung akan selalu menunduk ketika diajak bicara. Intinya waktu itu, Kiyan jatuh hati pada pandangan pertama dengan dia.
Namun, Senandung tidak seperti kebanyakan gadis lain yang gampang diajak berbicara. Dia akan selalu menghindar bila Kiyan datang menemui. Tentu saja ini semakin membuat cowok itu penasaran.
Apalagi, setiap kali bertemu dengan Senandung. Kiyan selalu melihat mata gadis itu sembap seperti habis menangis lama. Senandung yang pendiam dan pemurung memang tidak punya banyak teman. Waktu istirahat dia habiskan untuk membaca di perpustakaan.
Namun, sering juga Kiyan mendapati Senandung tengah menangis di balik pohon taman sekolah. Ketika Kiyan ingin menghibur atau sekedar menanyakan sebab apa menangis, gadis itu hanya menggeleng dan berlari meninggalkan Kiyan sendiri.

Makin hari Kiyan semakin penasaran dengan Senandung. Dia ingin sekali mengenal gadis itu lebih jauh. Namun, jangankan mengenal jauh, berbincang sekadarnya pun mereka jarang.
Akhirnya, Kiyan memutuskan untuk mengajak Ale. Teman sebangkunya yang terkenal lebih renyah dan supel dari dia, untuk menemani menjumpai Senandung.

Keputusan Kiyan tidak keliru. Dengan selera humor yang lumayan tinggi, Ale mampu membuat Senandung sedikit membuka hati untuk mau berteman dengan Kiyan.
Bahkan foto yang sedang dia pegang, adalah hasil candid dari kamera ponsel jadulnya dulu. Saat Kiyan tengah terpesona, karena untuk pertama kali dia melihat Senandung menyunggingkan senyum simpul mendengar lelucon yang dilontarkan Ale.

Sejak saat itu Kiyan dan Ale mulai mengenal Senandung pelan-pelan. Kiyan juga jadi tahu, kalau ternyata Senandung adalah seorang anak yatim piatu yang harus tinggal bersama bibinya yang galak. Itulah sebab mengapa gadis itu selalu bermuram durja. Selain karena selalu kena omel dan pukul oleh sang bibi, Senandung juga selalu dijahili oleh saudara sepupu yang merasa tidak suka dengan tinggalnya dia di rumah mereka.
Sayang. Saat Kiyan lulus sekolah, keluarga dia harus pindah ke Semarang untuk urusan bisnis. Maka mau tak mau, Kiyan pun ikut pindah dan kuliah di sana.

Sejak saat itu Kiyan mulai kehilangan kontak dengan Senandung. Bahkan ketika dia dan keluarganya balik lagi ke Jakarta, Kiyan benar-benar kehilangan jejaknya. Gadis itu seperti hilang ditelan bumi.
Setelah susah payah mencari keberadaan Senandung yang sulit ditemukan, dan merasa putus asa. Maka Kiyan memutuskan pergi ke London, untuk menyelesaikan kuliah masternya dan berniat menetap di sana.
Namun, karena kondisi sang ayah yang mulai sakit-sakitan dan meminta untuk pulang. Sekalian juga untuk menggantikan kedudukan sang ayah dalam bisnis, maka Kiyan pun pulang ke negara kelahirannya. Juga untuk menyaksikan upacara pernikahan Syifa. Adik semata wayang dengan Ale sang sahabat sebulan yang lalu.
Kiyan menggeleng dan tersenyum simpul. Mengingat betapa berubahnya Ale sekarang. Kini Ale jauh berwibawa, berbeda dengan dulu yang begitu selengean.

Malam ini, setelah mati-matian menghapus nama Senandung di hati. Tanpa diduga, Kiyan justru bertemu kembali dengan cinta pertamanya itu.

"Mungkin inilah yang disebut jodoh," gumam Kiyan sambil menatap foto Senandung lamat-lamat.
***

Keesokan malamnya

Kiyan kembali mengunjungi karaoke kepunyaan sang ayah. Dia datang seorang diri. Hatinya seketika mencelos, saat resepsionis memberi tahu kalau Senandung tidak masuk malam itu, karena masih izin untuk menunggui kerabatnya yang tengah sakit. Namun, tak lama muncul Adam sang manager, sehingga Kiyan berniat meminta alamat Senandung padanya.

"Alamat Sena?" tanya manager yang bernama Adam itu sedikit ragu.
"Iya. Kenapa? Sena adalah teman lamaku dulu." Kiyan menjawab keraguan pada muka Adam.
"Ah, tidak apa-apa."  Adam menggeleng pelan, lalu dia segera menyebut alamat Senandung.
"Makasih," ucap Kiyan sembari menepuk bahu Adam pelan.
"Sama-sama, Mas Kiyan," balas Adam sambil mengangguk hormat. Setelah tersenyum ramah, Kiyan melangkah keluar.
***

Besok sore harinya

Setelah pulang dari kantor, Kiyan melajukan mobilnya menuju alamat yang telah disebutkan oleh Adam semalam. Mobil Kiyan memasuki komplek perumahan sederhana. Kemudian berhenti di sebuah rumah kecil bersahaja, akan tetapi cukup rapi nan asri

Ketika dia keluar mobil, terlihat pintu rumah terbuka. Muncul Senandung yang tampak tengah memberi intruksi pada gadis belia kisaran berumur tujuh belas tahunan. Gadis belia itu mengangguk, lalu dengan hati-hati mendorong sebuah sepeda kecil yang sedang dinaikin oleh anak perempuan berumur lima tahunan.

Setelah melambaikan tangan pada Senandung, anak kecil itu melajukan sepeda dengan dibimbing oleh gadis belia itu.
"Hai ...," sapa Kiyan pada anak kecil yang melintas di sampingnya.
Anak kecil itu membalas sapa Kiyan dengan lambaian tangan, sedang gadis belia yang bersamanya itu  tersenyum ramah pada Kiyan. Keduanya lantas menuju ke jalan komplek untuk belajar naik sepeda.

Setelah mengatur napasnya perlahan, Kiyan berjalan menuju Senandung yang tengah menatapnya heran.
"Halo Sena. Apa kabar?" Kiyan mengulurkan tangannya.
"Anda?" Senandung menyipit heran. Namun, tak segera membalas uluran tangan Kiyan.
"Sena. Aku Kiyan, kakak kelasmu. Dulu kita berteman lumayan dekat," ujar Kiyan menyakinkan Senandung yang masih menatapnya asing.
"Kau masih ingat aku kan?" tanya Kiyan lagi.
"Ada perlu apa datang kemari?" Senandung balik tanya dengan nada yang datar.
"Na. Delapan tahun aku mencarimu," tutur Kiyan serius membuat Senandung menatapnya lekat. Mungkin terkejut atau tidak suka, Kiyan tidak tahu.
"Mencariku?" Senandung menelisik manik hitam Kiyan.
"Ya. Kenapa kau pindah dari rumahmu yang dulu?"

Senandung diam tak segera menjawab. Tampak gadis itu tak menyukai pertanyaan yang dilontarkan Kiyan.
"Omong-omong, keponakaanmu tadi kiyut banget ya," puji Kiyan mengalihkan topik pembicaraan.
"Dia bukan keponakan, tapi anakku," sergah
Senandung datar.

==========
(side b)

Seketika tubuh Kiyan membeku bagaikan patung. Benih-benih cinta yang beberapa hari terakhir ini mulai bersemi kembali di hati, mendadak layu mendengar pengakuan dari mulut Senandung. Bahwa, ternyata bocah perempuan menggemaskan itu adalah putrinya.

Setelah seperkian menit mematung. Kiyan mulai mengatur napasnya perlahan. Berdamai dengan hati kecil, dan berusaha memeluk kenyataan pahit itu.

"Jadi, kau sudah menikah?" tanya Kiyan dengan suara yang bergetar.

Sekali lagi, Senandung hanya terdiam. Bahkan tatapan matanya yang tadi tampak tenang, kini berubah menjadi dingin mendengar pertanyaan Kiyan.
"Maaf. Saya masih banyak pekerjaan di dalam."

Tanpa menunggu reaksi dari Kiyan, wanita itu masuk dan mengunci pintu rumahnya rapat-rapat. Melihat itu, Kiyan hanya mampu mendengkus gusar. Setelah mengusap wajahnya dengan kasar, pemuda itu melangkah menuju mobil berniat untuk pulang.

Namun, baru saja dia hendak membuka pintu mobil, terdengar suara isak tangis dari anak Senandung. Bocah kecil itu berjalan tertatih sambil berurai air mata, sedang gadis belia yang bersamanya tampak membujuknya agar berhenti menangis sambil menuntun sepeda.
"Hei ... ada apa ini?" tanya Kiyan perhatian.
"Bira, jatuh dari sepeda, Kak" Gadis belia itu yang menjawab.
"Coba lihat!"
Bocah kecil itu memperlihatkan sikut  dan lututnya yang lecet.
"Sakit?" tanya Kiyan lembut.
"Banget. Susah jalannya. Hu ... Hu," jawab bocah kecil itu di sela isak tangisnya.
"Itu cuma lecet, Ra. Jangan manja begitu!" sergah sang gadis tampak gemas.
"Tapi sakit, Mbak. Jalanku susah, suruh gendong malah gak mau. Hu hu ...." Kembali bocah itu tersedu, terdengar pilu walau tidak menyayat hati, jelas sekali dia merasakan sakit.
"Kalo aku gendong kamu, siapa yang bawa sepeda ini?" Si gadis mendengkus sebal.
"Sudah. Sini biar om yang gendong."

Tanpa berpikir dua kali, bocah itu langsung merentangkan kedua tangan. Sang Gadis kecil tampak menyeringai puas, saat dengan lembut Kiyan menggendong tubuh mungilnya. Seketika itu juga, dia melupakan rasa sakitnya.
Si gadis belia hanya mampu mengerucutkan bibir, lalu dia berjalan mendahului Kiyan menuju pintu rumah.

Senandung muncul, setelah pintu tiga kali diketuk oleh si gadis belia.
"Ada apa ini?" tanya Senandung melihat pipi putri mungilnya basah oleh air mata.
"Bunda ...." Bocah kecil itu kembali menangis.
Kiyan segera menurunkan gadis kecil itu dari gendongan. Dengan manja bocah kecil itu memeluk ibunya sambil mengadu.
"Cuma lecet doang, Mbak Sena. Itu juga Bira yang ngeyel. Disuruh pelan-pelan ngayuhnya, malah ngebut. Ya udah tergelincir dia." Si gadis belia berujar.
"Ya udah, tolong kamu ambilin air sama kotak obat ya!"
Si gadis belia mengangguk mematuhi perintah Senandung, lalu dia segera masuk mengambil peralatan yang telah diperintahkan.

Tak lama gadis itu muncul dengan baskom berisi air dan kotak obat. Dengan cekatan Senandung segera membersihkan luka anaknya. Bocah itu mengerang kesakitan, merasakan perih saat air yang dibasuh sang ibu mengenai luka. Bahkan Bira menolak, saat Senandung hendak menempelkan plester pada lutut dan sikunya

Akhirnya, Kiyan turut membujuk Bira. Dengan lembut dia meminta bocah kecil itu memperbolehkan lukanya ditutup dengan kasa, agar tidak kotor dan terkena infeksi. Anak Senandung mengiyakan anjuran Kiyan.

"Nah ... tidak sakit kan?" ujar Senandung pada putrinya setelah selesai menutup luka lecetnya.
Gadis kecil itu mengangguk, lalu dia mulai mengajukan pertanyaan," Sebenarnya, om ini siapa sih, Bunda? Kok Bira baru lihat?"

Senandung tak segera menjawab pertanyaan sang anak. Dia hanya diam sambil sibuk memberesi peralatan obat dan memasukkan ke kotak.
"Kalo Bira punya ayah seperti Om ini, pasti akan menyenangkan sekali."
Kali ini Kiyan tercekat mendengar penuturan anak Senandung. Pemuda itu menatap Senandung yang juga tampak terkesiap mendengar ocehan sang putri.

"Sepertinya Om ini lebih baik, dari pada om A ...."
"Alin, cepat bawa Bira masuk!" Senandung segera memotong ucapan anaknya.
Gadis yang bernama Alin itu mengangguk, lalu segera menggendong Bira. Namun, tangannya ditepis kasar oleh bocah kecil itu.

"Tunggu! Aku belum kenalan dengan Om ini."
Anak Senandung menghadap Kiyan dan mengulurkan tangan.
"Kenalin Om, namaku Bira. Nama lengkapnya Gembira Ananta."
"Nama yang unik. Ups ... nama yang cantik seperti orangnya," puji Kiyan sambil membalas uluran tangan Bira.
"Ayo Alin, bawa Bira masuk!" suruh Senandung tegas.
Tanpa disuruh dua kali, Alin segera membawa Bira masuk. Gadis kecil itu sempat melambaikan tangan pada Kiyan, sebelum hilang tertutup pintu kamar.

"Jadi, maksud dari ucapan anakmu tadi. Bahwa kau ini seorang single parent. Iya, Sena?" Kiyan bertanya meminta kepastian dari Senandung.
"Sudahlah. Sebaiknya kamu pulang!" usir Senandung dingin.
"Sena. Jawab dulu pertanyaanku!" pinta Kiyan tegas.
"Kalo iya, memang kenapa?"

Entah mengapa, hati Kiyan bersorak lega mendengar pengakuan Senandung. Namun, sisi hati yang lain turut prihatin, karena di usianya yang belum genap dua puluh empat tahun, Senandung sudah menjadi seorang single parent.
Maka, ketika Senandung mendorong tubuhnya untuk pergi dari rumah itu. Kiyan hanya diam menurut.

Keesokan harinya

Setelah bertanya pada resepsionis tentang jam kerja Senandung. Kiyan datang  ke rumah wanita itu dengan maksud ingin mengantar.
Akan tetapi, gadis itu menolak tawaran dari Kiyan, dengan dalih tidak mau merepotkan. Atau tidak suka naik tumpangan gratis.

Kiyan hanya mampu mendengkus pelan, dalam hati bergumam. Kalau Senandung masih seperti dulu, tetap keras kepala dan dingin.

Namun, bukan Kiyan namanya, jika dia langsung saja menyerah dengan sikap dingin Senandung. Bahkan Kiyan semakin penasaran, karena di setiap kali wanita itu menolak ajakannya. Dengan mata kepala sendiri, Kiyan melihat Senandung lebih suka diantar pulang oleh Adam sang manager.
***
Dengan hati-hati, Senandung membuka pintu room tempat seseorang telah membookingnya. Wanita itu memutar bola mata dengan jutek, melihat tamu yang sudah menunggunya.

"Kamu lagi," keluh Senandung datar melihat Kiyan melempar senyum manis padanya.
Pemuda itu menepuk sofa pelan, mengisyaratkan Senandung duduk di sampingnya. Dengan tenang Senandung duduk di sebelah Kiyan, lalu menanyakan lagu apa yang hendak diputar.

"Terserah kamu," jawab Kiyan pendek.
Senandung menatap Kiyan sekilas, lalu dia segera memencet remote memutar lagu penyanyi favoritnya.
"Mau minum?" Kembali Senandung bertanya dengan datar. Kiyan menggeleng.
"Na. Boleh aku bertanya sesuatu?" tanya Kiyan hati-hati.
"Apa?"
"Siapa ayahnya Bira?"
Senandung terbatuk. Dia segera berdiri. Lalu tanpa banyak bicara, wanita itu berlalu meninggalkan Kiyan.
"Sena tunggu!" panggil Kiyan.

Karena tak dihiraukan Senandung. Kiyan beranjak menyusul wanita itu. Tampak Senandung tengah mengadu kepada Adam sang manager, di ruang kerjanya. Kiyan mendekati kedua orang itu.

"Sena. Bersikap sopan lah pada mas Kiyan," tegur Adam tegas melihat kedatangan Kiyan.
"Tapi, aku tak suka dia," sergah Senandung cuek. Wanita itu menatap Kiyan sekilas, lalu membuang muka dengan kesal.
"Dengar Sena! Mas Kiyan ini adalah anak dari Pak Indra Saputra, pemilik tempat  karaoke ini," pungkas Adam.

Mendadak wajah Senandung berubah kecut mendengar penuturan Adam. Wanita itu menoleh pada Kiyan yang melempar senyum simpul untuknya.

Bersambung #2

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER