Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Selasa, 16 Maret 2021

Senandung #2

Cerita Bersambung
(side a)

Menyadari kekeliruan sikapnya, Senandung hanya bisa menunduk. Namun, hatinya tidak tergerak untuk meminta maaf. Maka dengan sedikit geregetan, Adam mengisyaratkan Senandung untuk minta maaf dengan lirikan.

Senandung mendesah perlahan, lalu dia mengangguk.
"Maaf. Bisa kita kembali ke room?" tanya Senandung pada Kiyan sedikit melunak.
"Sepertinya moodku untuk menyanyi sudah hilang. Sudah malam, aku musti balik." Kiyan melirik jam di pergelangan tangan.

Tanpa sepatah kata, Kiyan bergegas menuju pintu. Meninggalkan Senandung dan Adam yang menatapnya gusar.

"Sudah berapa kali aku bilang, jangan terlalu angkuh, Sena!" Adam memperingatkan.
"Kak, aku sudah bosan dengan pekerjaan ini."
Senandung setengah merajuk. Dengan santainya dia duduk di meja kerja Adam sambil mengeluh.
"Sabar. Tunggu sampai tabunganku cukup," ujar Adam seraya meremas jemari Senandung.
"Lalu bagaimana dengan Mbak Ratna nanti?" tanya Senandung.
Wanita itu menatap lekat Adam. Mencoba mencari jawaban pada manik hitam teduh itu. Adam terdiam, dia menghela napas perlahan.

"Ehemm.. Ehemm.."
Suara deheman seseorang membuat kedua sejoli itu menoleh. Reflek Adam melepas genggaman tangan pada Senandung, sedangkan sang wanita segera turun dari meja.
"Kunci mobilku ketinggalan," ujar Kiyan mendekat.

Pemuda itu meraih kunci mobil yang tak sengaja tergeletak di meja. Kemudian dia memandang Senandung yang berdiri, dengan wajah tertunduk memandangi lantai.
"Sudah larut malam. Kau bisa ikut pulang denganku," ajak Kiyan pada Senandung.
"Tapi, belum waktunya aku pulang. Masih tiga jam'an lagi," tolak Senandung halus.
"Sudahlah. Kau tak usah memikirkan itu!" desak Kiyan setengah memaksa.

Senandung melirik ke Adam. Seolah meminta saran dari lelaki itu. Dengan kerlingan matanya, Adam menyuruh Senandung untuk mematuhi permintaan Kiyan.
Akhirnya dengan berat hati, Senandung mengejar Kiyan yang sudah terlebih dulu berjalan menuju parkiran mobil.
Dengan kikuk, Senandung duduk di samping Kiyan yang mulai melajukan mobil dengan tenang.
"Sepertinya, kau sangat dekat dengan Adam," ujar Kiyan sambil terus mengemudi. Matanya fokus memandang ke depan.
"Iya."
Kiyan menoleh sekilas wajah Senandung. Sahutan pendek wanita itu, sungguh membuat hatinya semakin penasaran. Atas apa yang telah dilihatnya tadi di ruang kerja Adam.
"Kau tau, Adam sudah beristri?"
"Ya. Bahkan, aku sangat mengenal Mbak Ratna," jawab Senandung tenang.
Kembali Kiyan menatap Senandung, yang tengah menunduk sambil memainkan anak kunci tasnya.
"Sena. Tidak bisakah kita dekat seperti dulu lagi? Saat aku, kau, dan Ale saling bersahabat?"
Mendadak muka Senandung berubah pias mendengar omongan Kiyan. Wanita itu menelan ludah dengan susah payah.
"Hei, ada yang salah dengan ucapanku?" tanya Kiyan heran melihat perubahan pada wajah Senandung.
Senandung menggeleng dengan cepat, Kiyan tersenyum lega.
"Omong-omong, kau masih ingat Aleandra kan? Teman badungku yang suka meledekmu dulu. Sebulan yang lalu dia baru saja ...."
"Maaf. Kita hampir sampai," potong Senandung.
Kiyan terdiam. Pemuda itu berkonsentrasi lagi pada kemudi. Kemudian dia membelokkan mobilnya menuju komplek perumahan Senandung.

Begitu mobil berhenti di halaman rumah, Senandung bergegas membuka pintu mobil. Wanita itu turun seraya berucap," Terima kasih sudah mengantar."
Tidak ada basa-basi. Wanita itu berjalan menuju pintu, tanpa mempersilakan Kiyan masuk.

Kiyan hanya mampu meniup kesal rambut yang menjuntai di dahi. Melihat tingkah dingin Senandung padanya. Setelah dengan gemas memukul roda kemudi, pemuda itu memundurkan mobil berniat pulang.
***

Kehadiran Senandung sepertinya sangat mengusik kehidupan Kiyan. Wajah wanita itu selalu saja terlintas di pikiran. Apalagi, saat dia tengah memergoki Senandung dan Adam saling berpegangan tangan. Hati pemuda itu benar-benar terbakar api cemburu. Hanya saja waktu itu, dirinya pandai mengontrol perasaan. Karena Kiyan sadar bukan siapa-siapanya Senandung.

Sore itu...

Kiyan kembali mengunjungi rumah Senandung. Karena dia sudah tahu, kalau wanita itu sedang libur. Namun, ketika dia hendak mengarahkan mobil pada halaman rumah Senandung. Kiyan melihat Adam tengah turun dari mobil honda jass hitamnya.

Di teras Adam disambut hangat oleh Alin. Gadis belia itu mencium punggung tangan Adam dengan takzim. Kemudian terlihat Adam mengacak rambut Bira yang tengah asyik bermain boneka di lantai dengan gemas. Setelah puas meledek anak Senandung, lelaki itu masuk. Entah apa yang dilakukan Adam di dalam, Kiyan tidak tahu.

Sepuluh menit kemudian. Dari mobilnya, Kiyan melihat Adam muncul dengan Senandung bergelayut di lengan lelaki itu.
Senandung terlihat memakai baju kasual. Dengan atasan kemeja kotak-kotak kuning dan celana denim hitam. Rambutnya tergerai indah, tampak cantik dengan senyum yang selalu mengembang di bibir tipis merahnya.

Kemudian tampak Adam menggendong Bira. Lelaki itu bergegas menuju mobilnya diikuti oleh Alin. Senandung menyusul mereka, setelah terlebih dahulu mengunci pintu rumah.
'Mau ke mana mereka?' batin Kiyan.
Kiyan melajukan mobilnya pelan, membuntuti mobil Adam.

Lima belas menit kemudian, mobil Adam berhenti di sebuah rumah makan siap saji.
"Terlihat seperti keluarga yang harmonis. Apakah Ratna tau?" gumam Kiyan.
Kiyan menggeleng heran. Saat melihat Adam dan Senandung menuntun Bira masuk ke restoran. Diikuti Alin di belakang mereka.
***

Sabtu pagi

Setelah menggeliatkan tubuh sebentar, Kiyan beranjak dari ranjang king sizenya. Matanya menatap jam bundar yang menempel di dinding. Sudah jam sembilan pagi.

Bergegas pemuda itu menuju kamar mandi di dalam kamar. Dibasuh mukanya sebentar. Kemudian setelah menggosok gigi, pemuda itu bergegas turun menuju meja makan berniat sarapan.
Namun, di depan kamar sang ibu, dia menjumpai Ratna. Sekertaris pribadi ayahnya, yang baru keluar dari kamar itu.
"Pagi, Mas Kiyan," sapa wanita berusia empat puluh tahunan itu sopan.
"Pagi, Mbak Ratna. Libur, pagi-pagi ke sini. Ada apa?" tanya Kiyan ramah.
"Pengen jenguk Bapak Indra. Sekalian memberi tahu tentang pengunduran diri saya," jawab Ratna seraya tersenyum simpul.
"Mengundurkan diri? Aku baru masuk, dan Mbak Ratna mau keluar?"
"Maaf, Mas Kiyan. Sebenarnya juga berat hati, tapi mau bagaimana lagi. Dokter yang menyarankan untuk banyak istirahat. Maklum, usia saya sudah rentan untuk hamil."
"Jadi, Mbak Ratna sedang hamil? Waah, selamat ya! Pasti Adam akan senang sekali," ucap Kiyan sembari mengulurkan tangan.
"Terima kasih, tapi Adam belum saya kasih tahu. Sengaja buat surprise nanti."
"Wah, romantisnya," ledek Kiyan membuat pipi Ratna merona merah.
"Omong-omong, sebaiknya kita berbincang di sana!" Kiyan menunjuk sofa ruang tamu.
Ratna mengangguk. Wanita berusia sepuluh tahun lebih tua dari suaminya itu, berjalan mengikuti Kiyan menuju tempat yang ditunjuk.

"Mbak Ratna kenal Sena? Maksudku Senandung?" tanya Kiyan begitu Ratna menyandarkan punggung pada sofa empuk itu.
"Tentu. Saya dan Adam sudah menganggap dia seperti adik kandung sendiri," jawab Ratna mantap.

Ada rasa sejuk yang menyiram kegersangan hati Kiyan, mendengar jawaban tegas dari Ratna. Seketika prasangka buruk pada Adam dan Senandung, lenyap sudah.
"Mas Kiyan, kenal Sena di mana? Oh ... kenapa aku lupa? Dia kan primadona di tempat kerjanya." Ratna menepuk jidatnya.
"Bukan begitu! Dia adalah teman lamaku," bantah Kiyan tenang.
Mulut Ratna membentuk huruf O, sambil manggut-manggut.
"Bagaimana ceritanya, kalian bisa menganggap Sena sebagai adik kalian?" tanya Kiyan kemudian.
"Ceritanya panjang, Mas."
Wanita bertampang tegas itu tampak menghela napas perlahan. Lalu mulai bercerita tentang awal mula pertemuannya dengan Senandung.

Lima tahun yang lalu...

Saat Ratna baru sebulan menikah dengan Adam, yang kala itu masih menjadi pegawai paruh waktu di restoran milik ayah Kiyan. Pagi itu, ketika dirinya hendak berangkat ke kantor. Di tengah jalan, mobilnya menyerempet seorang wanita yang tengah hamil besar.

Maka, segera dia dan Adam membawa wanita itu ke rumah sakit. Bahkan dua hari setelahnya, wanita yang ditolongnya itu melahirkan putri kecil. Kemudian, saat Ratna bertanya tentang keluarga, wanita itu menggeleng dan menangis pilu.

"Sena bilang, dia sebatang kara. Ibunya pergi menghilang saat dia berusia enam tahun. Kemudian ayahnya meninggal, saat umurnya belum genap sepuluh tahun. Wanita yang malang." Ratna mendengkus pelan terkenang peristiwa itu.
"Jadi dia masih punya ibu? Aku pikir dia seorang yatim piatu, yang harus tinggal bersama sang bibi. Lantas apakah dia bercerita tentang suaminya?" tanya Kiyan penasaran.
Ratna menggeleng. Dengan getir dia menjawab," Sena akan menangis. Bila aku dan Adam bertanya siapa suaminya."
Kiyan dan Ratna sama-sama terdiam. Suasana menjadi hening sejenak.
"Mbak Ratna. Bagaimana kalo sebelum kau keluar, tolong ajari Sena tentang semua pekerjaanmu!" pinta Kiyan kemudian.
"Maksud Mas Kiyan apa?"
"Aku ingin Sena yang akan menggantikan posisimu, menjadi sekertaris pribadiku."
"Tapi, Sena hanya lulusan ...." Ratna tak meneruskan ucapan. Dia merasa ragu.
"Sejatinya Sena anak yang cerdas. Makanya dulu, dia bisa masuk SMA  favorit bersamaku. Kalo kau sungguh mau mengajarinya, pasti tidak butuh waktu lama baginya untuk menyerap semua ilmu yang kau ajarkan."
Ratna terlihat berpikir sejenak, lalu diiringi senyum wanita itu mengangguk.
"Baiklah. Sebenarnya dulu aku juga tidak setuju. Saat Sena mengusulkan untuk ikut kerja dengan Adam di tempat karaoke itu. Kasihan anaknya, harus ditinggal malam-malam cuma berdua bersama Alin. Adik dari Adam yang masih bau kencur."
"Jadi, Alin adiknya Adam?" tanya Kiyan terkejut.
"Ya. Rumah yang ditempati Sena sekarang, adalah peninggalan orang tua Adam."
Kiyan manggut-manggut menanggapi obrolan Ratna.
"Aku pikir setelah berhenti dari kantor. Aku mau membuka usaha toko roti bersama Sena. Dia jago sekali bikin roti dan kue."

Kian mengangguk. Dia teringat dulu, saat hendak berangkat sekolah Sena akan mengantar kue bikinan bibinya pada warung dan toko langganan untuk dititipkan. Kemudian selepas sekolah, waktunya dihabiskan untuk membantu sang bibi membuat kue dan roti.

"Sepertinya, Sena dulu adalah sahabat dekatnya Mas Kiyan, ya? Sampai-sampai Mas Kiyan ingin sekali menjadikan dia sekretaris pribadi," goda Ratna membuat Kiyan menarik senyum simpul.
***

Esok harinya;
Kiyan berniat memberi tahu keinginannya. Yaitu ingin mengangkat Senandung menjadi sekertaris pribadinya. Maka setelah mandi pagi, dan mematutkan diri di cermin sebentar. Kemudian setelah merasa sudah cukup tampan, pemuda itu berjalan ringan menuju mobil di garasi. Sambil bersiul riang, Kiyan melajukan mobil menuju kediaaman Senandung.

Dengan percaya diri, Kiyan turun dari mobil. Kemudian melangkah pasti menuju rumah Senandung.
Pintu rumah terbuka, tampak Bira tengah bermain boneka sendiri di ruang tamu.
"Hai, cantik," sapa Kiyan sambil mengacak poni Bira lembut.
"Om Kiyan. Lama gak ke sini," seru Bira girang. Gadis kecil itu memeluk Kiyan yang jongkok di depannya dengan hangat.
"Bunda di mana?" tanya Kiyan sambil melepas pelukan.
"Ada di dapur. Lagi bikin kue."
"Om ada perlu dengan bunda. Om ke belakang dulu, ya." Pamitan Kiyan ditanggapi anggukkan mantap oleh Bira.

Kiyan melangkah ringan menuju ke dapur. Mendadak langkahnya menjadi berat, saat dia melihat Adam tengah memeluk Senandung dari belakang. Dagu Adam diletakan pada bahu Senandung yang tengah asyik menghias roti.

Kiyan menelan ludah dengan berat. Hatinya berdenyut perih melihat adegan itu. Sungguh sakit.

==========
(side b)

Kiyan memutuskan untuk kembali menarik langkahnya, sebelum kedatangannya disadari oleh dua sejoli yang tengah dimabuk cinta itu.

Dengan berbagai macam pertanyaan yang berkecamuk di pikirannya, pemuda berwajah tenang itu melangkah pergi menjauh dari dapur.

"Om Kiyan!"
Bahkan panggilan Gembira padanya, tak dihiraukan. Kiyan lekas menuju mobil, sedang bocah imut itu kembali asyik dengan boneka kesayangannya.

Setelah menutup pintu mobil dengan kasar, Kiyan tampak berpikir sejenak.  Kemudian dia merogoh ponsel pintar dalam saku kemeja.
Kembali, pemuda itu terlihat berpikir sejenak.
"Fix. Ratna harus tau," ucapnya meyakinkan diri.
Bergegas pemuda berusia 26 tahun itu menghubungi istri Adam.

"Hallo ... Mas Kiyan," sapa Ratna terdengar ramah di sebrang.
"Ya hallo. Mbak Ratna sudah memberi tau pada Sena, perihal keinginanku kemarin?" tanya Kiyan tenang.
"Belum. Ini saya mau on the way ke rumah Sena. Mau kasih tau kabar tersebut, sekalian main, dah lama gak ke sana."
"Bagus. Lebih cepat, lebih baik. Makasih ya, Mbak Ratna."
"Sama-sama, Mas Kiyan." Ratna mengusap tombol merah, saat mendengar Kiyan memutus sambungan telpon.
Bergegas wanita bertampang tegas itu, memasukan ponsel pada tas kecil rantai emasnya.

Sepuluh menit kemudian, supir taksi menurunkan Ratna di halaman rumah Senandung.
Dahi Ratna sedikit berkenyit, tatkala melihat ada mobil Adam terpakir rapi di halaman rumah Senandung.
Namun, wanita itu tak ambil pusing, dengan ringan dia melangkah masuk ke rumah.
"Hei cantik, kok sendirian?" sapa Ratna manis pada Bira yang tengah bermain dengan bonekanya.
"Iya. Mbak Alin pergi ke rumah temannya. Bunda lagi bikin kue di dapur, aku gak boleh ganggu katanya."
Ratna tersenyum geli, mendengar penuturan polos Gembira.
"Om Adam mana?"
"Di dapur, ikut bantuin Bunda."
"Oh," sahut Ratna pendek.
Bergegas wanita itu meninggalkan Bira, yang kembali larut asyik dengan mainannya.

Begitu sampai dapur, seketika mata Ratna terbelalak lebar. Hatinya terasa ditusuk ribuan jarum, melihat pemandangan di depannya.
Tampak Adam tengah menggulung rambut Senandung, yang terus saja menghias kue. Kemudian dengan lembut, Adam mencium tengkuknya. Membuat gadis itu bergidik kecil dan menolehnya sekilas, lantas kembali meneruskan aktivitasnya. Sungguh adegan yang romantis!
Namun, tidak untuk Ratna. Baginya, adegan itu laksana racun yang meremas hatinya.

Setelah seperkian menit mematung, amarah Ratna meluap. Dengan geram wanita itu mendekati keduanya, reflek dia menarik rambut Senandung dengan kasar.
"Dasar wanita murahan!" umpat Ratna naik pitam, tangannya terus saja menarik rambut Senandung ke bawah membuat gadis itu menjerit kesakitan.
"Lepaskan, Ratna! " bentak Adam mencoba menolong Senandung, tangannya melepas paksa cengkraman Ratna pada rambut Senandung.
"Dasar wanita jalang! Sudah kutolong, malah menusukku dari belakang!" Ratna ingin menampar pipi Senandung, tapi tangannya dijegal oleh Adam.
"Lepas Adam! Kau juga sama! Kalian sama-sama kupungut dari jalan, dan sekarang mengkhianati aku?"

Pecahlah tangis Ratna, dada wanita itu turun naik menahan sesak di dada.
"Maafkan aku, Mbak." Senandung menangkupkan kedua tangan di dada. Wanita itu menunduk merasa amat bersalah.
"Hentikan tangisan buayamu wanita jalang!" geram Ratna dengan gigi yang gemeletuk.
"Ratna, jaga ucapanmu!" hardik Adam tak kalah geram.
"Kenapa? Kenapa kau membela dia? Jangan bilang kau mencintai dia, ya?" tanya Ratna sambil memukuli dada bidang Adam.
"Ya. Aku sangat mencintai Sena," jawab Adam mantap.
Mulut Ratna ternganga. Darahnya terasa mendidih mendengar pengakuan Adam. Dengan berang dia menyerang Senandung, tapi suaminya dengan cepat menolong wanita itu.

"Enyah kau dari hadapanku, wanita jalang!" usir Ratna pada Senandung dengan geram.
"Bunda ...."
Gembira datang dengan wajah ketakutan, mendengar pertengkaran para orang dewasa itu. Senandung segera memeluk putrinya, bergegas dia melangkah ke luar dari dapur. Namun, Adam menjegal tangannya.

"Kau tidak akan pergi, ini rumahku!" larang Adam pada Senandung.
"Tidak, Kak. Aku harus pergi. Apa yang kita lakukan ini salah. Kembalilah pada Mbak Ratna." Senandung menggeleng dan memohon.
"Sena, aku tidak mencintai wanita itu. Dia memperlakukan aku seperti boneka. Aku muak," pungkas Adam tegas.

Kembali hati Ratna teremas mendengar pengakuan dari orang yang sangat dia cintai itu. Air matanya mengalir dengan deras. Tubuhnya luruh ke lantai, bahunya berguncang hebat.
"Aku harus pergi, Kak."
"Tidak Sena!" larang Adam keras, bahkan dia mencengkram lengan Senandung dengan keras. Tak dihiraukannya tangisan Bira yang ketakutan.
"Ja-jadi ... Kau lebih menginginkan aku yang per-gi?" tanya Ratna terbata di sela isak tangisnya.
"Tidak ada yang boleh pergi, kau juga tetap di sini!"

Ratna tertawa miris mendengar omongan Adam, dia menggeleng dengan heran. Dengan kasar wanita itu menghapus air matanya, lantas mendekati Adam yang masih mencengkeram lengan Senandung.

"Oh ... jadi sekarang kau sudah merasa hebat? Mau beristri dua, iya?" Ratna mendelik marah pada Adam.
"Kalo kau tak bersedia, aku akan tetap memperistri Sena," jawab Adam tenang.
"Dan kau akan menceraikan istrimu, yang tengah hamil ini?"
Seketika Adam melepas cengkraman tangannya pada Senandung, dirinya terkesima mendengar pengakuan istrinya.

"A-ku mengandung a-nakmu Adam, anak yang kau tunggu-tunggu selama enam tahun ini," ungkap Ratna lirih, terdengar pilu dan menyayat hati.

Menyadari Adam tengah lengah, Senandung bergegas menuju kamarnya sambil menggendong tubuh Bira. Dengan cepat dia mengambil beberapa lembar bajunya dan baju sang putri, lantas memasukan ke tas besarnya.
Tanpa mendengar celotehan sang putri yang kebingungan, Sena menggandeng anaknya ke luar rumah.

Di halaman dia berpapasan dengan Alin, gadis itu menanyakan mau pergi ke mana. Namun, Senandung tak menjawab, wanita itu hanya menggeleng sambil terus menarik lengan Bira meninggalkan Alin yang menatapnya heran.

"Bunda, kita mo ke mana?" tanya Bira polos sambil terseok mengikuti jalan Senandung yang terburu-buru.
"Bunda ... Kita mo ke mana?" Bira mengulangi pertanyaannya dengan kesal, karena sang ibu tak jua segera menjawab pertanyaannya.
"Ke mana saja," sahut Senandung pendek.
Ketika melihat taksi melintas, tangan Senandung melambai menghentikan laju taksi tersebut.
"Mau ke mana, Bu?" tanya supir taksi ramah.
"Jalan aja dulu, Pak!" suruh Senandung pelan, pikirannya sungguh bingung hendak pergi ke mana.
"Kita mau ke mana, Bun?"
"Sayang, diem dulu ya."
Senandung memeluk putrinya dengan erat, pikiran wanita itu sungguh kalut.
'Tidak mungkin aku kembali ke rumah bibi," batin Senandung gusar.

Pikiran wanita itu menerawang jauh, tiba-tiba Senandung teringat salah satu teman karibnya di karaoke yang sudah resign.
'Epa. Aku ke rumah dia saja,' batin Senandung mantap.
Lantas dengan pasti, Senandung menyebutkan alamat sahabatnya kepada supir taksi itu.

Tiga puluh menit kemudian, taksi itu berhenti di depan rumah kontrakan kecil.
Setelah membayarkan uang pada pak supir, Senandung menggendong anaknya yang sudah tertidur menuju rumah kontrakan sahabatnya itu.

Senandung mengetuk beberapa kali, pintu pun terbuka. Seorang gadis sepantaran dia muncul, gadis itu menyipitkan matanya melihat kedatangan Senandung dengan menenteng tas besar dan menggendong anaknya.

"Ijinkan aku tinggal di sini sementara."
Tanpa menunggu si empunya rumah, Senandung masuk dan segera merebahkan tubuh anaknya di sofa ruang tamu.
"Jangan bilang kau habis diusir oleh istrinya Adam ya?" ujar teman Senandung dengan nada sinis.
Melihat Senandung mengabaikan gurauannya, teman Senandung tertawa geli.
"He ... He ... He." Kekehan geli Epa, dibalas lirikan dongkol oleh Senandung.
"Epa, hentikan ejekanmu!" hardik Senandung kesal.
"Ternyata ramalanku tidak meleset. Kau pasti akan diusir karena cinta terlarangmu itu. Ha ... ha." Kembali gadis yang bernama Epa itu terkekeh geli.
"Aku hanya ingin membalas baik budinya kak Adam. Saat malaikat itu menyatakan cinta. Aku tak kuasa menolak, walau kini harus menyesalinya, Epa," bantah Senandung lirih.
"Apapun alasannya, kau tetap salah! Adam suami orang, dan kau adalah duri dalam rumah tangga mereka."
"Iya. Makanya aku pergi dari sana karena merasa bersalah." Senandung menunduk. Dia terlihat sangat menyesali perbuatannya.
"Lalu langkah selanjutmu apa, Sena?" tanya Epa kemudian.
"Entahlah. Aku juga bingung."

Senandung tampak mengeluh gusar. Perlahan tangannya mengelus erat rambut sang putri yang masih terlelap dalam damai.
***

Satu minggu sudah,

Senandung tinggal di rumah Epa. Putrinya beberapa hari ini merajuk ingin kembali ke rumah lama. Kangen dengan mbak Alin dan om Adam katanya.
Tiap hari bocah kecil itu menangis minta pulang. Maka untuk menghibur sang anak, Senandung mengajak putrinya pergi ke sekolah dengan menaiki bus.

Langkah Senandung mendadak terhenti saat dari kejauhan, dia melihat Adam berdiri di depan pintu gerbang sekolah Gembira.
"Om Adam ...," panggil Bira dengan keras, bocah kecil itu tampak bahagia melihat lelaki itu.
Mendengar namanya dipanggil, reflek Adam menoleh. Dari sebrang dia melihat Gembira melambaikan tangannya, tapi dengan cepat Senandung menarik lengan putrinya menjauh.
"Sena tunggu ...!" Adam berseru.
Namun, Senandung tak mengindahkan panggilannya. Ketika Adam berniat mengejar Senandung dan anaknya, sebuah bus melintas membuat dia berhenti sejenak.
Kemudian setelah bus itu berlalu, Senandung dan anaknya sudah tak tampak.
"Sial ...!" umpat Adam kesal sambil menendang kaleng minuman kosong dengan geram.

Sementara itu, Senandung berjalan cepat sambil menarik lengan Bira menjauhi area sekolah.
"Bunda. Tadi itu Om Adam, kenapa kita malah pergi?" tanya Bira bingung.
"Tidak apa-apa," jawab Senandung singkat.
"Kenapa kita tidak jadi ke sekolah?" tanya Bira dengan langkah terseok mengikuti langkah ibunya yang tergesa-gesa.
"Sekolahnya lain kali, kita pergi beli ice cream aja, ya," bujuk Senandung pada sang putri.
"Gak mau. Bira mo ke sekolah, udah kangen sama temen-temen," tolak Bira sambil melepas pegangan ibunya.
"Ayolah, Sayang. Jangan membantah seperti itu! Kita beli ice cream yang banyak yuk!"
Senandung kembali menarik lengan putrinya, menuju ke sebuah mini market.
Namun, bocah kecil itu menolak pergi, bahkan dengan kasar dia menepis cekalan sang ibu pada tangannya. Berhasil lepas, gadis kecil itu berlari menjauhi sang ibu.
"Bira tunggu ...!" pekik Senandung khawatir.

Berlari dia mengejar sang putri, tapi dengan mata kepalanya sendiri Senandung melihat ada sebuah mobil yang hendak melintas.
"Bira ... Awas," jerit Senandung memperingatkan anaknya. Namun, sang putri tak menggubris teriakan ibunya, gadis kecil itu berlari menyeberangi jalan berniat menuju ke sekolahnya.

"Bira ... Tidak!!"
BRUGH
Terlambat. Tubuh Gembira sudah jatuh terserempet mobil. Senandung bergegas berlari menghampiri anaknya.

"Bira ...," raungnya panik sambil membangunkan anaknya yang pingsan.
"Sena," panggil pengemudi yang menyerempet putrinya.
Senandung mendongak, ketika namanya dipanggil.
"Kiyan."

Bersambung #3

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER