Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Rabu, 17 Maret 2021

Senandung #3

Cerita Bersambung
(side a)

"Kiyan. Tolong cepat bawa Bira ke rumah sakit!" pinta Senandung begitu tahu siapa yang menyerempet anaknya.
Kiyan mengangguk cepat, bergegas lajang itu mengangkat tubuh Bira masuk ke mobil, diikuti oleh Senandung di belakang.

Melihat Sena terus saja menangis khawatir sambil terus memeluk sang putri, dengan nada penuh penyesalan Kiyan berucap," maafkan aku, Sena. Sungguh aku tak melihat, tiba-tiba saja Bira main selonong lewat."

"Iya. Di sini Bira yang salah." Senandung mencium pucuk kepala sang anak hatinya amat takut kehilangan.

"Kita berdoa saja, semoga tidak ada yang serius mengingat aku melajukan mobil ini dengan pelan." Kiyan mencoba memberi ketenangan pada Senandung.

Begitu mereka sampai di rumah sakit,  tubuh Bira direbahkan di brankar. Dengan cepat para tenaga medis mendorongn brankar tersebut menuju ruang IGD, diikuti oleh Sena dan Kiyan.
Perawat menutup pintu ruang IGD, dan melarang Sena yang merangsek ingin ikut masuk.

"Sena. Tenanglah! Aku yakin tidak terjadi apa-apa pada, Bira," ujar Kiyan seraya membimbing Sena duduk di kursi tunggu.
"Dia hartaku satu-satunya. Aku tidak punya keluarga lagi selain dia." Sena tergugu dengan bahu yang terguncang, hatinya amat takut kehilangan putri semata wayangnya.
"Aku yakin tidak ada yang serius, percayalah!"

Kiyan meraih kepala Senandung dan membenamkan wajah wanita itu pada dadanya, membiarkan kemeja putihnya basah oleh air mata.
Tangan Kiyan membelai lembut rambut Senandung, mencoba memberi rasa aman pada wanita yang amat ia sayang.

Tak lama berselang, muncul dokter dari dalam ruang IGD. Kiyan yang menyadari, segera memberi tahu pada Senandung yang masih tersedu-sedu di dada bidangnya.
"Dokter. Bagaimana keadaan anak saya?" tanya Senandung begitu melihat sang dokter melintas di depannya.
"Tidak ada yang perlu dikhawatirkan! Hanya luka lecet biasa." Jawaban sang dokter membuat Senandung dan Kiyan bernafas lega.
Dengan menyeringai kecil, sang dokter berujar," anak ibu sudah bisa dipindah di ruang inap biasa."
"Alhamdulillah!" Senandung dan Kiyan bersyukur bersama.

Tiga puluh menit kemudian, Gembira sudah dipindah di ruang inap biasa. Dengan lembut Senandung menciumi tangan anaknya yang masih terlelap, sedangkan Kiyan hanya bisa tersenyum melihat itu.

"Seminggu ini, aku tidak melihatmu masuk kerja. Ada apa?" tanya Kiyan hati-hati.
Senandung hanya menoleh Kiyan sekilas tanpa berniat menjawab pertanyaan pemuda itu.
"Ada masalah, Sena?" tanya Kiyan lagi.
"Aku memutuskan untuk keluar dari tempat kerja itu," jawab Senandung pelan.
"Kenapa? Apa ada kaitannya dengan Adam dan Ratna?"
Senandung tercekat mendengar pertanyaan Kiyan.
"Katakan apa yang terjadi?" tanya Kiyan sambil memegang pundak Senandung.

Tidak lama berselang muncul Epa sahabat Sena di pintu. Gadis itu membawa pakaian ganti dan rantang makanan.
"Sena. Bagaimana keadaan Bira?" tanya Epa seolah menyelamatkan Senandung dari pertanyaan Kiyan.
Setelah meletakkan tas besar dan makanan di meja. Epa mendekati Senandung, gadis itu ingin melihat keadaan Bira.
"Hanya lecet-lecet kecil," jawab Senandung pendek.

Melihat Sena sudah ada yang menemani, Kiyan berniat kembali ke kantor.
"Aku musti balik ke kantor. Kau tidak apa-apa kan aku tinggal dulu?" pamit Kiyan pada Senandung.
Senandung menggeleng tak masalah. Setelah tersenyum ramah pada Epa, Kiyan melangkah pergi.

"Omegot! O em ji ji ji! Sena. Bagaimana kau bisa mengenal seorang Kiyan Bagus Saputra? Anak dari Bapak Indra Saputra pemilik kafe tempat aku bekerja sekarang," tanya Epa antusias begitu Kiyan keluar.
"Dia teman lamaku," jawab Senandung pendek.
"Dilihat dari cara dia memandang kamu, sepertinya Kiyan ada rasa kamu deh," goda Epa sambil mengedip-edipkan matanya dengan lucu.

Senandung hanya menyeringai kecil. Wanita itu beringsut mengambil makanan yang dibawa sahabatnya itu.
***

Dua hari kemudian;

Dokter sudah mengizinkan Gembira untuk pulang. Gadis kecil itu bersorak senang. Saat Kiyan datang menjemput mereka sambil membawa sebuah boneka panda besar untuknya.
"Terima kasih, Om," ucap Bira sambil memeluk boneka itu dengan erat.
"Bagaimana sudah siap?" tanya Kiyan pada Senandung yang telah selesai berkemas.
Senandung mengangguk mantap. Kiyan segera menggendong Bira keluar dari ruangan itu, diikuti Senandung di belakang sambil menjinjing tas besar.

Di sepanjang jalan  Gembira berceloteh lucu. Membuat Kiyan berkali-kali mengacak poni anak itu dengan gemas, sedangkan Senandung hanya bisa tersenyum simpul melihatnya.

Setelah tiga puluh menit perjalanan, mereka sampai di rumah kontrakan Epa. Gadis itu tidak bisa menyambut kedatangan mereka karena sedang bekerja.

Setelah membuka pintu Senandung mempersilakan Kiyan masuk. Mata Kiyan menyapu ruangan itu sebentar. Kemudian duduk di samping Gembira yang asyik dengan boneka pemberiannya, sedangkan Senandung sibuk membuat minuman di dapur.

"Rumah ini sempit untuk kalian," ujar Kiyan sembari menerima secangkir kopi yang disuguhkan Senandung, lalu menyesapnya sebentar.
"Aku akan mencarikan tempat yang layak buat kalian, sekaligus tempat usaha untukmu." Kiyan menaruh cangkir di meja.
Senandung terkesima mendengar penuturan Kiyan. Dengan cepat wanita itu menggeleng.
"Tidak, Kiyan! Itu berlebihan," tolak Senandung tegas.
"Tidak ada kata berlebihan untuk orang yang aku cintai."
"Cinta?" tanya Senandung dengan memincing.
"Ya. Aku mencintaimu sejak pertama kita jumpa delapan tahun yang lalu, Sena," ungkap Kiyan sembari memegang jemari Senandung dengan  lembut. Kemudian lajang itu kembali bertutur," Dan aku tak mau kehilanganmu."

Kiyan menatap lekat mata Senandung, membuat wanita itu menunduk.
"Tidak, Kiyan. Aku tak pantas untukmu," tolak Senandung dengan lirih sembari melepas genggaman Kiyan pada jemarinya.
Senandung menunjuk Gembira yang tengah sibuk memainkan bonekanya seraya berucap," lihat aku sudah punya dia!"
"Tak masalah. Aku menerimamu apa adanya," timpal Kiyan tulus.
"Tidak. Masih banyak wanita baik di luar sana, lagian apa kata orang. Banyak yang tidak setuju bila aku bersanding denganmu karena aku ini wanita hina," tolak Senandung dengan nada getir. Wanita itu menggigit bibir bawahnya, mencoba menguatkan hati.
"Persetan dengan omongan orang! Aku tidak peduli. Dengar Sena! Aku mencintaimu apa adanya. Aku tak peduli dengan semua masa lalumu," ucap Kiyan dengan menggebu.

Pemuda itu memegang dagu Senandung yang menunduk, agar mendongak menatapnya.
Ketika Kiyan akan meneruskan perkataan, ponsel di saku kemeja bergetar. Segera dia mengangkat gawai itu sambil berjalan menjauhi Sena.

"Hallo, Mbak Ratna. Ada apa?" tanya Kiyan begitu melihat siapa yang menelponnya.
Senandung sedikit tercekat mendengar Kiyan menyebut nama Ratna. Wanita itu memperhatikan Kiyan yang manggut-manggut menerima telpon dari istri Adam itu.
"Oke."
Setelah mengucap kata itu, Kiyan memutus sambungan telpon. Kemudian dia kembali mendekati Senandung.

"Aku harus kembali ke kantor. Oh ya, tadinya Ratna berniat mengundurkan diri, tapi entah mengapa dia membatalkan. Padahal aku pikir kau yang akan menggantikan kedudukan dia," ujar Kiyan sembari memegang bahu Senandung.

Senandung hanya diam seraya melepas pegangan Kiyan pada bahunya. Wanita itu berjalan membuka pintu untuk Kiyan keluar.
"Dengar Sena! Sekali lagi, aku sangat mencintaimu," ucap Kiyan dengan penuh ketulusan.
Senandung terharu mendengar itu. Namun, wanita itu hanya bisa terdiam.

Karena melihat Sena diam membisu, bergegas Kiyan menuju ke mobil.  Setelah melambaikan tangan pemuda itu melajukan mobil menjauh dari rumah kontrakan Sena.

Tiga puluh menit kemudian.

Ketika Senandung sedang terlelap bersama putrinya, sayup-sayup dia mendengar ada orang yang menggedor pintu. Dengan sedikit malas, wanita itu bangkit untuk melihat siapa yang datang.
Begitu pintu terbuka, mata Senandung terbelalak melihat Adam sudah berdiri di depannya sambil menatap tajam.

Lelaki itu segera mendorong tubuh Sena masuk, dan memeluk erat wanita itu begitu ia menutup pintu.
"Lepas, Kak!" Senandung memberontak, tapi  Adam justru semakin melilit tubuhnya dengan erat.
"Aku sangat merindukanmu, Sena, " ucap Adam sembari memoncongkan mulutnya berniat mencium Senandung.
Namun, dengan sekuat tenaga Senandung mendorong tubuh Adam menjauh.
"Kenapa Sena? Sepuluh hari aku mencarimu. Apa kau tidak merindukan aku?" Kembali Adam menarik tubuh Senandung dalam dekapan.
"Lepaskan aku, Kak!" seru Sena geram, tenaganya tak cukup kuat untuk melepas dekapan kuat Adam.
"Aku tidak akan melepaskanmu. Aku tidak bisa hidup tanpamu, Sena."
"Ingat Mbak Ratna sedang mengandung anakmu, Kak!"
"Persetan dengan wanita tua itu! Aku tidak mencintai dia!"
Adam semakin mengunci rapat tubuh Sena. Membuat wanita itu tidak bisa berkutik.
"Kak Adam, aku mohon lepaskan aku!" jerit Sena marah dan sedih.

Tiba-tiba pintu terbuka.
"Adam ... Lepaskan Sena!" teriak Kiyan lantang.

==========
(side b)

Seketika Adam dan Senandung menoleh ke pintu. Tampak berdiri Kiyan dengan tatapan yang tajam pada manik Adam, membuat suami Ratna melepaskan pelukan pada Senandung. Sehingga wanita itu dapat bernapas dengan lega.

"Apa yang hendak kau lakukan pada Sena, Dam?" tanya Kiyan dingin.
"Mas Kiyan tidak perlu ikut campur! Ini masalah saya dengan Sena," jawab Adam tak kalah dingin.
"Jelas aku harus ikut campur, karena Sena adalah calon istriku," sergah Kiyan sambil menyeringai sinis.

Adam dan Senandung terkesima bersamaan mendengar penuturan Kiyan. Tiba-tiba saja Adam terbahak mendengar ungkapan Kiyan.
"Ternyata Mas Kiyan punya selera humor yang tinggi," ujar Adam sambil mendecih sinis.
"Aku sedang tidak bercanda, Dam. Aku serius mau menikahi Sena," balas Kiyan sambil mendekat.
"Benar kau akan menikah dengan Mas Kiyan, Sena?!" tanya Adam sambil menatap lekat Senandung. Ada kilatan amarah pada netra hitam itu.

Senandung semakin ketakutan. Wanita itu menatap Kiyan mencoba mencari perlindungan. Kiyan memberi isyarat pada Sena agar mengangguk dengan mengerlingkan satu mata.
"I-iya. Aku akan menikah dengan Ki-Kyian," jawab Senandung terbata.

Seketika darah Adam mendidih mendengar jawaban Senandung. Dengan kasar dia mencengkeram lengan Sena, membuat wanita itu merintih kesakitan.
"Aww! Sakit, Kak!" desis Sena seraya meringis menahan rasa sakit.
"Sena. Begitu cepatkah kau melupakan aku? Melupakan kisah cinta kita. Dengar aku akan menceraikan Ratna demi kau, dan sekarang kau malah pergi meninggalkan aku. Kenapa?" bentak Adam murka.
"Jangan ceraikan Mbak Ratna, Kak! Sudah berapa kali aku bilang, cinta kita terlarang. Kembalilah pada istrimu! Dan aku mohon jangan pernah ganggu hidupku lagi," pinta Senandung memelas.
"Aku tidak pernah mencintai wanita tua itu. Jadi aku tidak akan pernah melepasmu," tekad Adam kuat.
"Adam ... Aku bilang lepaskan Sena!" teriak Kiyan geram.

BUGHH

Karena Adam tak juga melepaskan cengkraman maka Kiyan melayangkan bogem mentah pada muka Adam, meninggalkan warna merah pada pipi suami Ratna itu. Tubuh Adam terhuyung sesaat mendapat pukulan mendadak, dengan menyeringai kecil lelaki itu mengelap darah yang menetes di bibir.

Ketika Kiyan akan melayangkan tonjokan lagi pada Adam, Senandung menghentikan langkah Kiyan.
"Jangan Kiyan!" seru Sena meminta.
"Sudah aku bilang Sena itu calon istriku. Jadi, jangan pernah kau coba mengganggunya!" gertak Kiyan lantang.

Gembira yang tengah terlelap tidur mendadak bangun. Bocah itu segera bangkit mendengar keributan di luar.
"Bunda ...."
Dengan penuh rasa takut Gembira memanggil ibunya. Senandung yang sedang menghalangi Kiyan, agar tidak memukul Adam lagi. Bergegas menghampiri sang anak, dan memeluk sang putri dengan erat.
"Kenapa mulut Om Adam berdarah?" tanya polos Gembira pada sang Ibu.
Senandung hanya menggeleng menjawab pertanyaan sang anak, lalu dia menghadap ke Adam seraya berkata," Pulanglah Kak! Jangan buat kegaduhan di sini!"

Adam merasa terhina mendapat usiran dari Senandung. Wanita yang amat ia cintai.
"Kau sungguh telah menghancurkan hati dan hidupku, Sena. Aku tidak akan pernah melupakan hari ini," ucap Adam dingin.

Lelaki itu kembali menghujam hati Senandung dengan tatapan elangnya. Membuat Senandung semakin ketakutan dan merasa bersalah.

"Dan aku tidak pernah takut padamu!"
Dengan gagah berani Adam menunjuk muka Kiyan, membuat Kiyan semakin gemas ingin kembali menonjok muka dingin Adam. Namun, kembali Senandung mencegah dengan tatapan memohonnya, membuat Kiyan mengurungkan niat.

"Kau akan menyesal, Sena!" ancam Adam dingin.
Kemudian lelaki itu berlalu, meninggalkan Senandung yang termangu mendengarnya.

BRAKKK
Pintu berdebam keras karena dibanting Adam sebelum pergi. Membuat ketiga orang di ruangan itu tersentak kaget, bahkan Gembira langsung memeluk erat ibunya saking ketakutan.

"Tempat ini tidak aman. Aku akan mencarikan tempat berlindung untukmu," usul Kiyan kemudian.
Senandung menggeleng pelan. Wanita itu duduk sambil memangku sang anak di sofa.
"Tidak usah, Kiyan!" tolak Sena halus.
"Sena ... Kenapa sih kau selalu menolak semua tawaranku? Apa kau masih mencintai Adam?" tanya Kiyan dengan nada sedikit keki.
"Kiyan. Ini terlalu terburu-buru untukku. Kita baru bertemu belum genap dua bulan, lalu tiba-tiba saja kau mau menikahi aku. Ini sungguh aneh!" Senandung menggeleng pelan.
"Tapi, kita pernah dekat selama setahun dulu. Apa itu tidak cukup?" Suara Kiyan terdengar meninggi.
"Om Kiyan jangan marah-marah dong!" sungut Gembira membela Ibunya.

Seketika Kiyan tersenyum melihat Gembira mendelik sebal ke arahnya. Dengan gemas  Kiyan mencubit pipi tembem anak Sena itu.
"Om tidak marah. Om hanya ingin mengajak Bunda dan Bira pindah ke tempat yang lebih nyaman dari rumah ini. Rumah yang kamarnya lebih besar," balas Kiyan menjanjikan.
"Iya mau. Bira juga gak suka tinggal di sini. Bunda, ayo kita pindah ke tempat Om Kiyan saja!" rengek Gembira seraya menarik-narik lengan sang Ibu.
"Tidak, Sayang. Nanti Tante Epa sama siapa kalau kita pindah?"  bujuk Sena dengan tenang.
"Biarin saja! Pokoknya Bira gak suka tinggal di sini!" rajuk Gembira sambil bersedekap manja.
"Kiyan, sebaiknya kau pulang! Aku tidak mau Bira semakin merajuk!"

Mendengar Senandung mengusirnya, Kiyan melihat jam di pergelangan tangannya.
"Oke. Aku akan kembali ke kantor, tapi kau yakin Adam tidak akan mengganggumu lagi?"
Senandung terdiam. Kemudian dengan pelan dia menggeleng.
"Untung firasatku kuat. Sehingga aku bisa tepat datang tepat waktu, saat Adam hendak mengganggumu," ujar Kiyan dengan tersenyum bangga.
"Terima kasih, atas pertolonganmu, Kiyan," ucap Senandung ikut melempar senyum simpul.
"Sudah kubilang. Semua yang kulakukan adalah karena cinta," ucap Kiyan terdengar tulus.

Sebelum pergi Kiyan terlebih dulu mengacak poni Gembira dengan gemas, membuat bocah itu semakin ingin ikut dengannya.
Walau dengan susah payah, Senandung dapat membujuk renggekan sang anak. Bahkan bocah itu mengizinkan Kian pergi, setelah Kian berjanji akan mengajaknya jalan-jalan suatu hari.

Malamnya;

Senandung menceritakan kejadian yang menimpa dirinya tadi siang, pada Epa sang sahabat. Gadis bergigi ginsul itu menutup mulut, saat mendengar Kian akan memberikan rumah untuk Senandung.

"O EM JI  Ji Ji! Keren amat, Sena. Belum juga jadi suami sudah mau memberi rumah. Apalagi kalo sudah menikah. Kau pasti akan diberinya pulau. Ck ck ck," seru Epa sembari berdecak kagum.
Seruan Epa hanya ditanggapi gelengan oleh Senandung. Wanita itu mengusap lembut rambut sang putri yang tengah terlelap tidur di ranjang sempit.

"Tidak semudah dan secepat itu, Epa. Semua butuh proses," ujar Senandung kemudian.
"Oh ... Kau masih mencintai Adam ya?"
"Epa. Jaga mulutmu!" tegur Sena sedikit tersinggung.
"Kalo kau tidak mencintai Adam, kenapa kau menolak tawaran Kiyan? Ingat Sena! Bira butuh figur seorang ayah, dan Adam bukan orangnya!"
Senandung tercekat mendengar penuturan sang sahabat. Wanita itu hanya mampu menghela napas perlahan.
"Tapi, aku dan Kiyan bagai bumi dan langit, Epa. Dia pemuda lajang yang terpandang, sedangkan aku ... adalah wanita tanpa suami yang hina," tutur Sena parau.
Ada kegetiran pada nada suara Senandung. Epa yang melihat  mata sang karib mulai berembun, segera mendekat dan memegang pundaknya.

"Dilihat dari cara Kiyan memandang kamu, aku yakin dia sangat tulus mencintai kamu, Sena," ujar Epa dengan pasti.
Lagi. Senandung hanya mampu menggeleng lemah. Wanita itu melepas pegangan Epa pada pundaknya, lalu dia beringsut menuju jendela kamar. Tatapan matanya menerawang jauh ke luar jendela.

"Kiyan mungkin mencintai aku apa adanya, tapi bagaimana dengan keluarganya?" gumam Sena ragu.
"Tidak usah berpikir sejauh itu, Sena!  Lihat dulu apa yang ada," tukas Epa ikut berdiri di dekat jendela.
"Aku tidak mau kecewa dua kali. Rasanya sa-kit dihina karena kita mis-kin," tutur Sena tergetar.

Wanita itu kembali teringat masa lalunya. Masa di mana dirinya amat menderita. Dihina dan diusir oleh keluarga orang yang amat dia cintai.
"Dengar Sena! Tidak semua orang kaya seburuk keluarga mantan suamimu. Percayalah!"

Epa memeluk Senandung yang mulai berurai air mata. Gadis itu mengusap punggung sang karib dengan lembut, memberi rasa nyaman pada Senandung.
***

Tiga hari kemudian;

Kiyan datang lagi ke tempat kontrakan Epa. Dengan kaos polo hitam senada celana jeansnya, pemuda itu tampak begitu macho. Epa yang membukakan pintu untuknya, sampai harus menelan ludahnya berkali-kali melihat potongan rambut baru Kiyan.
Kiyan yang menyadari Epa tak berkedip menatapnya, hanya mampu melempar senyum ramah.
"Senanya ada?" tanya Kiyan menyadarkan lamunan Epa.

Entah apa yang sedang dipikirkan sahabat Sena itu, Kiyan tidak tahu. Segera dengan cepat Epa mengangguk, lalu tangannya mempersilahkan Kiyan masuk.
Gembira yang melihat kedatangan Om tersayang itu, segera memeluk Kiyan dengan hangat. Gadis itu memekik riang saat Kiyan menyodorkan tiga buah cokelat untuknya.

"Bira. Jangan makan cokelat banyak-banyak lho, tar giginya rusak. Sini buat Tante satu," tegur Epa.
Gadis itu meledek Gembira, membuat bocah itu memanyunkan mulutnya. Kiyan dan Epa tersenyum geli melihat ekspresi lucu anak Sena.

Kemudian tak lama muncul Senandung dari dalam kamar. Wanita itu tampak sudah rapi dan hendak pergi dengan tas slempang kecilnya.
"Eh, ada Kiyan" sapa wanita itu hangat pada Kiyan.

Kemudian, dia berjongkok menghadap sang putri hendak pamit pergi.
"Sayang. Bunda pergi beli bahan roti dulu. Bira di rumah sama Tante Epa aja ya," pamit Sena lembut.
Bocah itu mengangguk, lalu tanpa banyak bertanya dia bicara segera duduk dan membuka cokelat pemberian Kiyan.

Setelah berpamitan pada Bira dan Epa, Senandung keluar diikuti Kiyan di belakang.
"Mau kemana biar aku antar?" tanya Kiyan.
Pemuda itu membukakan pintu mobil untuk Sena. Dengan anggun Senandung duduk di samping Kiyan yang memegang kemudi.

"Aku mau pergi ke swalayan terdekat," jawab Sena datar.
"Oke, tapi sebelum itu, kita temui Syifa adikku dulu ya," pinta Kiyan sambil fokus melajukan mobilnya.
"Untuk apa?" tanya Sena heran.
"Aku menyuruh dia mencarikan rumah untukmu. Katanya sudah dapat," jawab Kiyan tenang.
"Kiyan ...," tegur Sena merasa tak enak hati.
"Sudahlah. Jangan canggung seperti itu!"
Senandung hanya bisa mendengus kecil. Wanita itu tak kuasa menolak tawaran Kiyan.

Sekitar dua puluh menit kemudian, Kiyan memarkirkan mobilnya di depan sebuah butik mewah. Tanpa memedulikan Sena yang menatapnya bingung, lelaki itu berjalan masuk ke butik diikuti Sena di belakang.
Beberapa karyawan butik tampak mengangguk hormat pada Kiyan. Pemuda itu membalas anggukan hormat dengan senyuman. Kemudian, Kiyan tampak masuk ke ruang kerja sang pemilik butik diikuti Sena.

"Eh, Kak Kiyan," sapa seorang wanita cantik seumuran Sena begitu melihat kedatangan Kiyan.
Wanita itu tampak begitu elegan, dengan dress hitam tanpa lengan selutut dan kalung mutiara besar di leher. Setelah memeluk kakaknya sebentar, wanita bernama Syifa itu menyipitkan mata melihat Sena.

"Ini pasti yang namanya Senandung 'kan?"  tanya Syifa ramah.
Senandung mengangguk seraya melempar senyum manis. Segera adik Kiyan memeluk Sena dengan hangat, lalu keduanya bercipika-cipiki sebentar.

"Sena masih sama seperti dulu. Selalu terlihat cantik dan anggun," puji Syifa sok akrab.
Senandung hanya bisa tersenyum mendengar Syifa memujinya.
"Kita dulu satu angkatan, walau tidak pernah sekelas. Kau tahu Sena, photomu terpampang besar di kamar Kak Kiyan sampai sekarang," terang Syifa.
Senandung ternganga mendengar penuturan adik Kiyan. Wanita itu menatap Kiyan, meminta jawaban dari segala omongan Syifa. Kiyan sendiri hanya bisa menyeringai malu.

"Oya, Syifa. Kita mau melihat rumah yang kau dapat kemarin," ujar Kiyan kemudian.
"Iya. Sebentar lagi suamiku akan datang. Kita lihat rumah itu bersama setelah makan siang dulu. Oke?" usul Syifa.
Kiyan dan Senandung mengangguk bersamaan. Tak berapa lama terdengar pintu berderit, ada seseorang yang masuk.
"Apakah aku sudah telat, Sayang?"
Terdengar sebuah suara yang tidak asing di telinga Senandung. Suara yang amat ia rindukan selama ini. Sena akan selalu menitikkan air mata, bila teringat pemiliknya.

Seketika tubuh Senandung membeku, melihat lelaki yang masuk ke ruangan itu. Napas Sena terasa sesak dan jantungnya berdegup kencang.
Lelaki di hadapan Senandung juga tak kalah terkejutnya. Mulut lelaki itu ternganga lebar, melihat ada Senandung di ruangan itu.

Kemudian tiba-tiba saja, Senandung merasa kepalanya terasa begitu pusing. Tubuh wanita itu limbung.

BRUGHH
Senandung jatuh pingsan.

Bersambung #4

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER