Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Kamis, 18 Maret 2021

Senandung #4

Cerita Bersambung
(side a)

Senandung membuka mata. Pandangannya menyapu sekeliling ruangan. Dia masih berada di ruang kerja Syifa, hanya saja ia kini terbarih lemah di sofa minimalis warna merah. Kiyan, Syifa, dan juga lelaki itu menatap perhatian padanya. Melihat Senandung tersadar, bergegas Kiyan duduk menghampiri wanita pujaan hati.
"Sena, apakah kau baik-baik saja?" tanya Kiyan perhatian.

Ketika Senandung hendak bangkit duduk, dengan halus Kiyan mencegah. Lelaki itu menyuruh Senandung kembali berbaring, sedangkan Syifa dengan sigap menyodorkan segelas air putih untuk kekasih hati sang kakak. Setelah meneguk air sebentar, Senandung memaksa duduk.

"Aku baik-baik saja," jawab Senandung lemah.
Mata wanita itu bertemu pandang dengan suami Syifa, membuat wajahnya semakian pias dengan tubuh yang terasa dingin.

Kiyan yang menyadari perubahan muka Senandung, segera berkelakar," Kau tiba-tiba pingsan begitu melihat Ale, seperti habis melihat hantu saja."
Syifa tertawa kecil mendengar kelakar sang kakak, sedangkan Ale hanya tersenyum canggung. Namun tidak dengan Senandung. Wanita itu menunduk sembari berusaha menetralkan hati agar normal kembali.

"Kau masih ingat Aleandra kan?" tanya Kiyan kemudian.
Sedikit gugup Senandung mengiyakan, sedangkan Ale mendekat seraya mengulurkan tangan pada wanita itu.
"Apa kabarmu, Sena?" tanya Ale dengan tenang.
"Ba-baik," jawab Senandung terbata sembari membalas jabatan tangan Ale.
Wanita itu merasa Ale meremas jemarinya dengan kuat, membuat dia buru-buru melepas jabatan tangan.
"Wah, ini sih namanya reunian." Syifa turut menimpali.
"Aku inget banget dulu, Ale selalu meledek Sena dengan sebutan Dudung. Itu membuat Sena marah sekali." Kembali ujaran Kiyan hanya ditanggapi senyum kaku oleh Ale dan Senandung.

Tiba-tiba ponsel Syifa yang tergeletak di meja kerja berdering, dengan sigap wanita itu meraih. Kemudian berjalan ke pojok ruangan untuk mengangkatnya.

"Ya, Ma," sapa Syifa ditelepon.
[ ...]
"Apa?" Syifa tersentak membuat Kiyan, Ale, dan Senandung menoleh padanya.
"Oke, Ma." Syifa menutup telepon. Bergegas dia mendekati keluarganya.
"Ada apa, Fa?" tanya Kiyan penasaran melihat raut muka sang adik mendadak keruh.
"Jantung papa kumat, Kak. Sekarang di rumah sakit, mama menyuruh kita lekas ke sana ," jawab Syifa cemas.
"Ya udah kita ke sana sekarang!" sahut Kiyan cepat.
"Kiyan, sebaiknya aku pulang saja," usul Senandung merasa tidak perlu turut serta.
"Kau ikut, Sena! Sekalian aku mau kenalin kau ke mama," ajak Kiyan.
"Tidak. Epa pasti sudah menunggu. Dia kan harus berangkat kerja," tolak Senandung halus.
"Kalian berdua pergi ke rumah sakit saja! Biar aku yang mengantar Sena pulang."

Senandung terperanjat mendengar usulan Ale. Wanita itu dengan tegas menggeleng, sedangkan Kiyan dan Syifa tampak setuju.
"Tidak usah! Aku bisa pulang sendiri. Kebetulan juga mau berbelanja dulu, mungkin lama."

Senandung memberi alasan agar bisa menolak tawaran Ale. Namun, dengan tenang Syifa menghampirinya seraya berujar," Sena, siapa yang akan menolongmu kalau pingsan di jalan seperti tadi? Suamiku orang yang baik kok. Percayalah!"
Senandung semakin canggung, tatkala Syifa memegang pundaknya. Apalagi, dia melihat ada ketulusan yang terpancar dalam sorot mata Syifa. Akhirnya, Senandung hanya bisa tertunduk tak kuasa lagi menolak.

"Ayo Syifa, kita berangkat sekarang!" ajak Kiyan kemudian.
Syifa segera bangkit, lantas melempar senyum manis untuk suaminya. Kemudian tanpa menoleh lagi kedua adik kakak itu keluar ruangan. Meninggalkan Senandung dan Ale yang sama-sama terdiam.

Beberapa menit kemudian, Ale menutup pintu dengan cepat membuat Senandung tercengang. Lekas wanita itu bangkit ingin segera keluar, akan tetapi lengannya ditarik oleh Ale. Bahkan lelaki itu merengkuh tubuh rampingnya ke dalam dekapan.

"Aku merindukanmu, Sena. Ke mana saja kau selama ini?" tanya Ale lembut pada telinga Senandung. Ada kerinduan pada nada suara itu.
Senandung mencoba melepas pelukan itu, tapi semakin dia meronta semakin erat pula Ale merengkuhnya.

"Kenapa kau pergi meninggalkan aku?"
Kali ini Ale membingkai wajah Senandung dengan kedua tangan, membiarkan mata sendu Sena menatapnya dengan lekat.
Dengan kasar Senandung melepas tangan Ale pada wajahnya, lalu tampak dia menghela napas yang terasa begitu sesak.

"Bukan aku yang pergi, tapi kau! Bahkan, kau menelantarkan aku dan anak kandungmu," sergah Senandung dengan suara yang sedikit tergetar karena rasa amarah yang meluap di dada.
"Anak?" gumam Ale tak percaya.
"Ya. Setelah tahu aku hamil, kau pergi bukan? Kau melupakan semua janji manismu padaku. Kau membuat ...."
"Cukup, Sena! Itu tidak benar!"
"Itu kenyataannya, Ale! Kau yang membuat hidupku hancur!" balas Senandung berang.
Tanpa bicara lagi, wanita itu berlari keluar, meninggalkan Ale yang masih termangu dalam kebingungan.

Begitu keluar butik, Senandung segera menyetop taksi yang melintas. Dia menyuruh sang supir untuk melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi, supaya Ale tak dapat mengejar.

Tidak sampai dua puluh menit, Senandung sudah bisa turun dari taksi. Wanita itu berlari masuk rumah, tanpa menghiraukan supir taksi yang memanggilnya untuk menerima kembalian.

Epa dan Gembira menatap Senandung dengan heran, karena pulang dengan tangan kosong tanpa belanjaan. Bahkan wanita itu tak menggubris Epa yang menanyakan kepadanya, kenapa pulang tergesa-gesa.

Dengan cepat Senandung mengeluarkan tas besar, lalu memasukkan beberapa helai baju dia dan Gembira. Epa yang melihat itu semakin bingung dibuatnya.
"Ada apa, Sena? Kenapa tiba-tiba kau hendak pergi?" tanya Epa seraya menggaruk kepala yang tak terasa gatal.
"Tempat ini sudah tidak aman. Aku harus pergi."
Senandung menutup risleting tas. Epa   mengulum senyum mendengar jawaban sang karib.

"Oh, udah dapet rumah barunya. Kiyan ngebolehin aku tinggal bareng kamu gak?"
"Epa. Ini bukan saat yang tepat untuk bercanda!"
"Siapa yang bercanda? Kamu sendiri kan yang bilang, kalau Kiyan akan memberimu sebuah rumah."
"Bukan masalah itu. Aku harus  pindah dari sini, karena tadi habis bertemu dengan ayahnya Bira," tukas Senandung sedikit keki.

Dengan mata yang melotot, Epa menutup mulut. Dirinya ikut terkejut mendengar penuturan sang sahabat.
Melihat ekspresi kagetnya Epa yang lucu, Senandung hanya bisa menyeringai kecut.

"Dunia ini begitu sempit, Epa. Bahkan ayahnya Bira adalah suami dari adik Kiyan," ujar Senandung menggebu.
"Whaaat?" Epa kembali melotot lebih lebar karena rasa terkejutnya.
"Ya. Makanya, aku harus pergi ...."

TOK TOK TOK
Belum sempat Senandung menyelesaikan ucapan, terdengar pintu diketok orang. Senandung tampak begitu panik. Dia takut kalau yang datang adalah Aleandra.
"Epa ... aku takut kalau itu adalah Ale," ucap Senandung terlihat gugup.
"Kamu rileks saja! Biar aku yang lihat!"

Dengan tenang Epa menuju pintu. Sebelum pintu dibuka, wanita itu terlebih dulu mengintip siapa orang yang hendak bertamu. Seketika dia menghela napas lega, begitu tahu siapa yang datang.

"Bu Ratna?" sapa Epa sopan pada istri Adam, begitu membuka pintu.
Ratna hanya menatap sekilas wanita di depannya, matanya nyalang mencari seseorang di dalam rumah.
"Mana Sena? Aku ingin bertemu dengannya."
Tanpa menunggu dipersilakan, Ratna menerobos masuk mencari Sena.

==========
(side b)

Ratna menerobos masuk tanpa menghiraukan Epa yang coba menahannya. Mata wanita itu langsung tertuju pada Gembira yang tengah duduk sendiri di ruang tamu.

"Bira, di mana bundamu?" tanya Ratna pada putri Senandung.
"Di kamar," jawab Gembira pendek.
"Ada apa Ibu Ratna mencari Sena?" tanya Epa penasaran.
"Kau tidak perlu tahu. Cukup  tolong panggilkan dia saja!" perintah Ratna dingin.

Belum sempat Epa membalas  perintah Ratna, Senandung tampak keluar dari kamar. Melihat yang datang Ratna, muka Senandung terlihat sedikit takut.
"Mbak Ratna?" sapa Senandung dengan keberanian yang dipaksakan.
"Apa kabarmu, Sena? Aku perlu berbicara denganmu."

Nada suara Ratna yang lunak membuat rasa takut di hati Senandung sedikit sirna. Dengan dagunya, Senandung menyuruh Epa keluar membawa Gembira.
Namun, bocah kecil itu protes ketika sang tante mengajaknya keluar. Maka dengan sedikit memaksa Senandung membujuk anaknya agar mau keluar bersama Epa.

"Bira mau di sini aja! Nanti mau ikut tante Ratna pulang ke rumah mbak Alin," tolak Gembira enggan.
"Besok-besok kita main ke tempat mbak Alin. Sekarang Bira tolong temani tante Epa beli sop buah dulu ya." Dengan sedikit kebohongan Senandung membujuk anaknya.
"Baiklah, tapi janji ya besok kita pergi ke tempat mbak Alin. Bira kangen dia, Bunda," pinta Gembira dengan nada manjanya.
"Iya. Bunda janji. Sekarang temani tante Epa dulu sana!"
Epa segera menggandeng lengan kecil  Gembira, meninggalkan Ratna dan Senandung agar leluasa berbicara.

Tiba-tiba Ratna segera memeluk kaki Senandung, begitu Epa dan Gembira keluar. Terang saja Senandung menjadi semakin bingung, apalagi Ratna bersimpuh di kakinya disertai isak tangis.
"Ada apa sebenarnya, Mbak?" tanya Senandung seraya membimbing wanita itu kembali duduk.
"A-adam, Sena. Dia ... dia bersikeras mau menceraikan a-aku," jawab Ratna terbata-bata.

Senandung hanya bisa termenung mendengar jawaban Ratna. Dia teringat kembali omongan Adam tempo hari, kalau akan Adam tetap menceraikan Ratna demi bisa menikahi dirinya.

"Sena. Aku mohon, tolong kau bujuk Adam agar mencabut gugatan cerainya. Aku mohon, Sena!"
Ratna mengiba pada Senandung dengan menangkupkan kedua tangan di dada. Jelas ini membuat Senandung merasa amat bersalah.
Dalam Hati, Senandung merutuki segala kebodohan. Mungkin bila dulu Senandung tegas menolak Adam, kejadiannya tidak akan serumit ini. Kemudian untuk menebus rasa bersalah dengan mantap Senandung mengangguk.

"Baiklah. Besok akan kucoba membujuk kak Adam agar mau membatalkan niatnya," janji Senandung kemudian.
Ratna yang mendengar itu merasa amat bahagia, segera wanita itu memeluk Senandung dengan erat.
"Terima kasih, Sena. Aku tahu sebenarnya wanita yang baik, Adam saja yang tidak tahu diri," ucap Ratna dalam pelukan Senandung.
"Sama-sama, Mbak," jawab Senandung sembari melepas pelukan.
Ratna menghapus sudut matanya dengan sapu tangan. Setelah merasa keinginan akan dipenuhi Senandung, wanita itu bergegas pamit undur diri. Senandung mengantar Ratna sampai keluar.

Di halaman ketika berpapasan dengan Epa dan Gembira, Ratna melempar senyum manis pada keduanya. Epa sendiri hanya mengangguk ramah untuk membalas, sedangkan Gembira sudah melupakan keinginan untuk ikut Ratna pergi ke rumah Adam. Bocah itu segera masuk untuk menikmati sop buah yang dia beli.

"Apa yang terjadi, Sena?" tanya Epa penasaran.
Senandung tak segera menjawab pertanyaan sang karib. Wanita itu diam memperhatikan sang putri yang tengah lahap menikmati makanannya.

"Sena!" tegur Epa gemas karena Senandung tak segera menjawab pertanyaan.
"Ratna memintaku untuk membujuk Adam, agar membatalkan niat menceraikan dia."
"Lantas kau mau melakukan itu?"
"Untuk menebus rasa bersalah, aku mau melakukannya."
"Bagus. Aku sarankan, Sena. Kau tidak usah pergi dari sini! Masalah itu harus dihadapi bukan dihindari. Sudah saatnya Bira tahu siapa ayah kandungnya, dan aku yakin Kiyan tidak lantas melepaskanmu hanya karena kau pernah menjalin hubungan dengan adik iparnya itu."
Senandung tersenyum kecut mendengar penuturan Epa, tangannya terulur mengelus rambut sang anak.

"Aku takut kecewa dua kali bila mengharap cintanya Kiyan," tutur Senandung lirih. Ada kegetiran pada suara itu.
"Justru kau akan kecewa berkali-kali bila mengharap ayahnya Bira dalam hidupmu!" tukas Epa sinis.
"Bukan seperti itu maksudku!"
"Lantas seperti apa? Kurang baik apa sih Kiyan di hadapanmu, Sena?" sergah Epa sedikit keras membuat Gembira menatapnya heran.
"Kok tante Epa marah-marah, kenapa?" tanya bocah itu polos. Gembira tidak suka ada orang yang berbicara keras dengan sang ibu.
"Tidak apa-apa, Sayang," sahut Senandung dengan cepat.

Wanita itu melempar senyum manis pada sang anak, sedangkan Epa hanya bisa mendengkus perlahan. Gadis bergigi gingsul itu segera melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.

"Untungnya hari ini aku shift sore, jadi tidak akan telat karena menunggu kepulanganmu. Sudahlah sebaiknya aku bersiap mandi."

Tanpa menunggu tanggapan dari Senandung, Epa berlalu menuju ke kamar mandi. Sekali lagi, Senandung hanya bisa mendesah pelan.
***

Keesokan harinya
Senandung memutuskan untuk menemui Adam, bahkan dia mengajak Gembira turut serta. Kedatangan mereka disambut pekikan riang oleh Alin yang sedang duduk santai di teras. Segera remaja itu memeluk Gembira dengan erat.

"Bira, ke mana saja selama ini? Mbak Alin kangen tau."
Alin menciumi pipi Gembira dengan gemas, membuat bocah itu merasa kegelian. Senandung sendiri hanya bisa tersenyum simpul.
"Kak Adam ada, Lin?" tanya Senandung kemudian.
"Ada di dalam."

Senandung bergegas masuk begitu mendengar jawaban Alin. Wanita itu berpapasan dengan Adam yang baru saja hendak masuk ke bekas kamarnya dulu. Adam tampak segar dengan rambut yang basah, sepertinya lelaki itu baru selesai mandi.

"Kak Adam?" sapa Senandung pelan.
Lelaki itu menoleh sekilas, lalu membatalkan niatnya untuk masuk kamar.
"Ada apa?" tanya Adam datar.
"Kata mbak Ratna, Kak Adam mau menceraikan dia, iya?"
"Iya. Kenapa?"
"Aku mohon jangan lakukan itu, Kak! Kasihan mbak Ratna. Dia sedang mengandung anakmu bukan?" pinta Senandung seraya memegang tangan Adam.

Dengan muka yang memelas, wanita itu berharap hati Adam tersentuh dan mau mendengar permintaannya. Namun, lelaki itu bergeming.
"Kak Adam, jangan buat aku merasa berdosa karena telah mengoyak  mahligai rumah tangga kalian. Aku mohon kembalilah pada mbak Ratna, Kak!"
Kali ini Senandung sampai harus berlutut memeluk kaki Adam. Namun, lelaki itu masih diam.
"Kak Adam ...."
"Sudahlah Sena, jangan memohon seperti itu! Walaupun kau menangis darah, aku akan tetap menceraikan Ratna. Aku sudah muak dengan wanita tua itu. Dia memperlakukan aku bukan seperti suami, tapi seperti robot."

Adam membimbing Senandung berdiri, lantas berlalu meninggalkan wanita itu menuju dapur. Senandung yang tak puas dengan jawaban Adam terpaksa mengikuti lelaki itu sampai ke dapur.
Tampak lelaki itu mengambil cangkir, lantas mengisinya dengan dua sendok kopi hitam dan satu sendok gula. Setelah menyeduh dengan air hangat dan mengaduk sebentar, lelaki itu menyesap kopi buatan dengan lamat-lamat.

"Kak, mbak Ratna sangat mencintai kamu," ujar Senandung pelan.
"Tidak ada cinta di hati Ratna untukku. Baginya, aku adalah lelaki miskin yang hanya pantas untuk dihina."
Adam tersenyum dingin, saat melihat Senandung menggeleng mendengar pengakuan darinya.
"Ratna selalu mengungkit asal usulku yang miskin dalam setiap pertengkaran, bahkan dia mengklaim bahwa semua yang kuperoleh adalah berkat campur tangan dirinya. Itu menyakitkan sekali, Sena. Saat semua usaha kita tidak pernah dihargai bahkan cenderung direndahkan."
Kembali Adam menyesap kopinya perlahan. Kemudian lelaki itu berujar," Tidak perlu kuterangkan secara lebar, kau sudah tau watak Ratna bagaimana kan?"
Senandung merasa usahanya sia-sia saja, wanita itu menunduk sembari menghela napas perlahan.

"Omong-omong. Kau tiba-tiba ke mari hanya untuk membicarakan hal ini, bukan karena merindukan aku, Sena?" tanya Adam sembari membetulkan anak rambut Senandung yang jatuh menutupi matanya.
Sontak Senandung segera menepis tangan Adam, wanita itu tampak mulai gugup.
"Sebaiknya aku pulang, bila Kak Adam tidak mau mendengar permintaanku," pamit Senandung kemudian.

Dengan cepat dia berlalu meninggalkan Adam keluar. Membuat Adam menyeringai dingin melihatnya.
***

Sementara itu
Semenjak pertemuannya dengan Senandung, pikiran Aleandra selalu saja tertuju pada wanita itu. Apalagi saat Senandung bilang, bahwa dia telah menelantarkan wanita yang begitu dia cintai berserta anak kandungnya. Sungguh hati Ale merasa amat bersalah.

Pikirannya menerawang jauh ke masa delapan tahun silam, saat dirinya masih berusia delapan belas tahun. Lebih tua dua tahun dari Senandung.
***

FLASH BACK DELAPAN TAHUN YANG LALU

Aleandra tengah asyik bercanda dengan teman-temannya saat istirahat siang di kantin sekolah, tiba-tiba Kiyan datang dan menarik lengannya pergi.

"Mau ke mana sih, Yan?" tanya Ale bersungut sambil melepas pegangan Kiyan pada tangan.
"Udah ikut aja!"
Dengan malas Ale mengikuti langkah Kiyan. Mereka berhenti di taman sekolah, lalu Kiyan menunjuk seorang gadis berambut panjang hitam legam sepinggang yang tampak menyembunyikan wajah pada sebuah pohon.
"Ayo sini!" suruh Kiyan pada Ale agar mendekati sang cewek.
"Senandung, sedang apa kau di sini?" tanya Kiyan hati-hati.
Menyadari ada yang datang, gadis itu segera membalikkan badan untuk melihat siapa yang menyapa.
Sedikit terkejut, sang gadis segera menghapus air matanya dengan punggung tangan.
"Sena. Kenapa kau menangis di sini? Ada apa?" tanya Kiyan perhatian.

Gadis bermata bulat sendu itu hanya menggeleng lemah untuk menjawab. Ale yang terpana melihat kecantikan pada wajah Senandung, segera menyenggol lengan Kiyan minta untuk dikenalkan dengan cewek berbibir tipis merah alami itu.

"Oh ya, Sena. Kenalkan ini teman sebangkuku, namanya Ale."
Kiyan memperkenalkan Ale pada gadis itu. Dengan cepat Ale mengulurkan tangannya, sedangkan gadis itu tampak ragu-ragu membalas uluran tangan Ale.

"Aleandra. Cowok terpintar dan terkece di sekolah ini." Ale memperkenalkan diri dengan percaya diri, membuat Kiyan berdecih sebal mendengarnya.
"Senandung," balas sang cewek kalem.
"Widih, namanya cantik secantik orangnya. Pasti di rumah dipanggilnya Dudung ya?"
Ale mencoba berkelakar, tapi dia tidak juga mau melepas jabatan tangan pada Senandung. Membuat Kiyan dengan gemas mencopot pegangan tangannya pada cewek itu.

Tiba-tiba datang cowok berperawakan sedang dengan sorot mata yang tajam pada mereka. Kemudian dengan kasar menarik lengan Senandung pergi.
"Ngapain kamu di sini? Ayo masuk kelas!"

Senandung sedikit terhuyung karena lengannya ditarik paksa oleh cowok tadi. Kiyan dan Ale hanya mampu terbengong melihat itu. Sesaat Senandung tampak menoleh pada mereka, gadis itu seakan ingin minta tolong pada keduanya. Namun, gadis itu hanya mampu membisu mengikuti langkah cowok yang menarik lengannya.

"Siapa cowok tadi, Yan?" tanya Ale penasaran.

Bersambung #5

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER