Cerita Bersambung
(side a)
"Siapa dia, Yan?" tanya Ale penasaran.
Kiyan mendengkus napas perlahan, lalu dengan lemah dia menggeleng.
"Itu dia, Le. Makanya, aku mau kamu nyelidikin siapa dia!"
Ale mengerutkan dahi mendengar permintaan sang kawan. Hatinya tergelitik untuk bertanya, "Emang Senandung siapanya kamu, pake minta aku nyelidikin dia segala?"
Seketika terlihat semburat merah pada pipi Kiyan, membuat hati Ale sedikit cemas kalau Kiyan dengan cewek tadi ada hubungan.
Namun, saat Kiyan menggeleng lemah, kecemasan itu mulai sirna.
"Dia bukan siapa-siapanya aku. Hanya sebatas teman, itupun tidak akrab. Cewek itu terlampau pendiam. Sulit untuk didekati." Jawaban Kiyan disertai keluhan.
Dalam hati, Ale bersorak riang. Seketika rasa ketertarikan pada Senandung semakin membuncah, mendengar pengakuan Kiyan, bahwa cewek itu dengan sang kawan tidak ada hubungan.
"Aku penasaran sama dia, Le. Cewek itu selalu terlihat murung dan terkesan misterius. Nah, kamu kan terkenal jago ngedeketin cewek tuh. Siapa tahu sama kamu, Sena mau terbuka."
Ale tersenyum geli mendengar ujaran Kiyan, lalu dengan mantap dan menepuk bahu sang kawan Ale menyahut, "Oke. Aku akan coba menyelediki siapa cewek misterius itu."
Dengan berkacak pinggang dan memegang dagu, Ale berlagak bak detektif. Kiyan yang melihat tingkah konyol itu, hanya bisa terkekeh geli. Selanjutnya mereka pun bertoast ria sebelum masuk kelas.
***
Keesokan harinya..
Ale mulai melancarkan aksinya. Pemuda itu menunggu kedatangan Senandung di gerbang sekolah. Sekitar sepuluh menit, gadis yang dinanti tiba, akan tetapi Ale melihat Senandung datang bersama cowok jutek yang kemarin.
"Senandung!" Ale memanggil.
Mendengar ada yang memanggil, Senandung menghentikan langkah. Cewek itu menoleh pada seorang cowok melempar senyum manis padanya.
"Hai! Masih inget aku kan? Cowok terkeren di sekolah ini," sapa Ale sok akrab, pemuda itu mendekati Senandung yang menatapnya asing dan tampak tak bersahabat.
"Yah payah! Masa baru kenalan kemarin sudah lupa."
Ale mendesah perlahan. Sedikit kecewa melihat sikap dingin Senandung padanya.
"Oh iya. Ale ya?"
Sahutan pendek Senandung terdengar begitu merdu di telinga Ale. Mendadak semangatnya bangkit lagi, setelah beberapa menit tadi menurun lantaran sikap dingin Senandung padanya.
Sementara itu, pemuda jutek yang datang bersama Senandung merasa kesal melihat Senandung berbincang dengan seorang cowok. Dengan berang dia menarik lengan gadis itu dengan kasar.
"Buruan masuk! Ngapain di sini?" gertak pemuda itu.
Senandung segera mengangguk gugup, lalu dengan terburu-buru gadis itu berlalu meninggalkan Ale tanpa sepatah kata.
"Siapanya Senandung sih dia? Galak amat," gumam Ale penasaran pada sosok cowok jutek itu.
Siangnya saat pulang sekolah,
Ale kembali menunggu Senandung di pintu gerbang, dengan maksud hati ingin mengantar gadis itu pulang. Namun, lagi-lagi dia melihat Senandung berjalan takut-takut di belakang si cowok jutek. Bahkan Senandung mengabaikan panggilan Ale padanya.
"Bisa cepat sedikit gak sih jalannya? Kayak keong tau!"
Terdengar cowok jutek itu membentak Senandung, membuat gadis itu mengangguk dengan muka yang pucat pasi. Kemudian keduanya terlihat masuk bus yang lewat.
***
Si jutek seperti pengawal pribadinya Senandung. Di manapun Ale hendak mendekati gadis berwajah sendu itu, pasti selalu ada tampang menyebalkannya di samping sang gadis. Membuat Ale semakin penasaran pada sosok jutek itu.
Namun, tidak dengan siang itu. Si jutek tampak pulang bersama dengan teman-teman, meninggalkan Senandung berjalan seorang diri.
Ale yang kala itu sengaja membawa motor gede warna merah jenis CBR 600 RR, tidak menyia-nyiakan kesempatan langka itu.
Dengan cepat Ale mencegat Senandung. Membuat sang gadis menghentikan langkah.
"Hai, Dung! Aku anterin pulang ya?" tawar Ale sembari memamerkan deretan gigi putih.
"Tidak. Terima kasih," tolak Senandung pelan.
Gadis itu melambai pada bus yang lewat, lalu tanpa senyum Senandung masuk ke bus. Membuat Ale mendengkus kesal. Dengan sedikit dongkol cowok itu memukul setang motor karena merasa diabaikan.
Beberapa menit kemudian, Ale teringat kembali tujuannya yaitu ingin menyelidiki Senandung. Maka dia segera memacu motor dengan kecepatan yang lumayan tinggi, agar bisa membuntuti bus yang dinaiki Senandung.
Tampak Senandung turun dari bus di depan sebuah toko roti. Gadis itu masuk, lantas tidak lama Senandung keluar dengan muka yang bermuram durja.
Gadis itu berjalan gontai dengan menenteng dua box besar transparan berisi kue. Ale yang telah memarkir motor hendak menyusul masuk, segera mengurungkan niat. Pemuda itu berlari menyejajarkan langkah Senandung.
"Hai, Dung! Kenapa kelihatan murung begitu? Ada masalah?" tanya Ale perhatian.
Senandung hanya menggeleng sekilas menanggapi pertanyaan Ale. Masih dengan langkah lambat, gadis itu berjalan menuju taman yang terletak tak jauh dari toko roti. Kemudian menghempaskan tubuhnya di bangku taman. Matanya tampak memperhatikan air mancur di depannya, tetapi pikiran gadis itu melayang jauh entah ke mana. Bahkan dia tidak menyadari Ale sudah duduk di sisinya.
Setelah beberapa waktu saling terdiam tanpa suara, maka Ale memutuskan untuk memecahkan keheningan itu dengan bertanya pelan," Dung, ini sudah sore. Kau tidak ingin pulang?"
Seakan baru tersadar dari lamunan, Senandung menghela napas perlahan. Dengan lirih gadis itu menggeleng.
"Kenapa?" tanya Ale lagi.
"Aku takut," sahut Senandung pendek.
"Takut?"
"Bibi akan marah besar kalo roti ini masih banyak."
Senandung menjawab seraya menunduk. Menyembunyikan matanya yang mulai berembun.
"Karena itu? Ahh, serahkan semua padaku! Kau tenang saja!"
Senandung yang menunduk segera mendongak melihat muka Ale. Pemuda itu menggerakan-gerakan alisnya dengan lucu saat Senandung menatapnya heran.
"Maksudmu?" tanya Senandung bingung.
Ale segera mengambil dompet di saku belakang. Dia mengambil semua uangnya, lalu menyerahkan pada Senandung.
"Maksudnya apa?" Senandung semakin bingung.
"Anggap saja aku borong semua roti bibimu itu," jawab Ale dengan semringah.
Senandung melihat ada enam lembar pecahan uang seratus ribuan itu pada tangan, lalu dia mengembalikan tiga lembar ke pada pemiliknya sambil berujar," Ini kebanyakan, Le."
"Gak papa. Buat borong dagangan esoknya."
Ale menolak kembalian uang itu. Tampak senyum tipis terbentuk pada bibir tipis Senandung, tapi itu cukup untuk membunuh wajah muramnya. Sangat cantik. Ale yang baru pertama kali melihat sungguh terpikat. Baginya itu adalah senyuman termanis yang dia lihat dalam hidupnya.
"Terima kasih," ucap Senandung tulus.
Gadis itu merasa sangat tertolong. Dia menatap Ale dengan binar kebahagiaan, Ale pun demikian. Pemuda itu merasa sangat beruntung bisa melihat senyuman pada wajah sendu Senandung. Kedua bola mata mereka saling bertemu.
Hening.
Tiba-tiba saja Senandung menunduk. Wajahnya memerah disertai perasaan aneh yang merasuki hatinya.
"Kau tidak akan pulang? Ini sudah mau maghrib lho, Dung?" tanya Ale memecah kebungkaman mereka sesaat.
Senandung terdiam dengan muka kembali dingin. Ale yang menyadari perubahan muka itu kembali bingung.
"Kenapa? Kok mukamu kembali kecut lagi kayak jeruk belum matang," ledek Ale.
Gadis yang diliriknya hanya memiringkan bibir ke samping, tidak ada jawaban. Ale semakin gemas dibuatnya.
"Ayolah Dung, jawab! Jangan cuma diam saja. Apa aku buat salah sama kamu?"
"Namaku Senandung bukan Dudung," jawab Senandung datar.
Mendengar jawaban dari mulut Senandung yang merajuk, Ale terkekeh geli. Membuat gadis yang duduk di sebelahnya melirik sebal.
"Dudung itu artinya duhai Senandung, keren kan? Udah yuk balik!" ajak Ale kemudian.
Pemuda itu bangkit, lantas mengulurkan tangan. Tak disangka Senandung menerima uluran tangannya. Gadis itu pun beranjak dari duduk. Dengan ragu sang cewek berjalan pelan di belakang Ale.
"Kenapa lagi?" tanya Ale melihat Senandung yang berjalan lambat.
"Bagaimana dengan semua roti dan kue ini? Kau kan sudah membelinya?" Senandung balik tanya.
"Sini!"
Ale mengambil box kue tersebut, lalu pemuda itu berjalan ke trotoar jalan. Tanpa memedulikan Senandung yang menatapnya kagum, Ale membagi-bagikan semua roti dan kue itu pada anak jalanan dan gelandangan yang lewat.
Kemudian setelah box itu kosong, Ale melambaikan tangan pada Senandung yang masih terhipnotis oleh tingkah mulia Ale.
"Ayo pulang! Aku gak mau kau dimarahin habis-habisan oleh bibimu karena kemalaman," ajak Ale.
Pemuda itu menarik lengan Senandung menuju motornya yang masih terpakir di toko roti.
Begitu sampai, Ale segera naik motor dan memasang helm pada kepala. Melihat Senandung yang bungkam, dia menepuk jok belakang.
"Ayo naik! Besok aku akan bawa dua helm. Satunya buat kamu," ujar Ale semringah.
"Tidak usah!" tolak Senandung tegas.
"Kenapa? Ada yang marah kalau aku anter pulang? Omong-omong siapa cowok yang suka bentak-bentak kamu itu? Pacar?"
"Bukan! Dia kakak sepupuku," elak Senandung. Ale meringis senang mendengarnya.
"Kalo cowok ada?" goda Ale seraya menaikan alis ke atas.
Dengan menunduk malu menyembunyikan semburat merah di pipi, Senandung menggeleng pelan.
"Yess!" pekik Ale riang dengan mengepalkan tinju ke atas.
"Kenapa?" tanya Senandung masih dengan pipi yang semerah tomat.
"Gak sia-sia aku borong roti dan kue kamu hari ini, esok dan seterusnya," sahut Ale mantap.
Kembali Senandung hanya bisa tersenyum simpul. Kemudian Ale kembali menepuk jok motor, mengisyaratkan agar Senandung segera membonceng.
Malu-malu Senandung membonceng motor Ale. Dengan tegas dia menggeleng saat pemuda di depannya itu menyuruh dia berpegangan pada perut sang cowok.
Ale yang merasa gemas melihat tingkah kekanakan Senandung, memacu kuda besi dengan cepat, sehingga memaksa gadis itu memegangi perutnya. Bahkan sang gadis mulai memeluk perutnya saat Ale menambah kecepatan. Sungguh Senandung merasa amat takut.
Saat tiba-tiba saja Ale mengerem mendadak, Senandung memekik tertahan. Dengan gemas cewek itu mencubit perut pemuda itu. Membuat Ale terkekeh geli. Dalam hati Ale merasa ini adalah hari yang paling menyenangkan dalam hidupnya.
Tiga puluh menit kemudian mereka sampai di tujuan. Usai mengucapkan terima kasih, Senandung berjalan masuk ke rumah. Di teras dia sudah disambut tatapan tajam oleh kakak sepupu dan bibinya.
"Ngelayap aja kerjaannya. Ayo masuk!" perintah kakak sepupu dengan kasar.
Senandung menoleh sekilas pada Ale yang memperhatikan. Kemudian tanpa bicara lagi gadis itu masuk, diikuti kakak dan bibinya. Wanita paruh baya itu tak membalas anggukan hormat Ale padanya.
"Aku udah punya ide buat ngerjain kamu," batin Ale pada kakak sepupu Senandung.
Cowok itu tersenyum tipis lalu memacu motornya meninggalkan rumah kecil Senandung.
==========
(side b)
Kiyan merasa ada yang aneh dengan Ale. Pemuda itu melihat sang sobat tengah kasak-kusuk dengan kedua teman, atau lebih tepatnya anak buah saat istirahat. Padahal biasanya, mereka akan langsung ngacir ke kantin bila bell rehat berbunyi.
Setelah berbisik sesuatu pada telinga kedua kawan, Kiyan melihat Ale dan gengnya tertawa bersama. Kemudian mereka saling bertoast ria. Ini sungguh membuat Kiyan penasaran.
Demi membunuh rasa keingintahuan itu, maka Kiyan mendekati Ale. Namun, melihat kedatangan Kiyan, kedua teman Ale bergegas pergi.
"Aku datang. Kenapa mereka malah pergi?" tanya Kiyan heran.
"Gak papa," sahut Ale santai.
Kemudian Kiyan duduk di samping Ale yang masih senyum-senyum sendiri. Membuat rasa penasaran Kiyan semakin membuncah.
"Ada apa sih kayaknya happy amat?" Kiyan bertanya dengan mata yang memincing melihat wajah semringah Ale.
"Aku udah tahu siapa cowok yang suka bentak-bentak Dudung," ujar Ale sok cool.
"Dudung?" Kiyan mengerutkan kening.
"Maksudku Senandung. Ha ha." Ale tergelak dengan omongannya sendiri.
"Siapa?"
"Dia kakak sepupu Senandung. Barusan aku nyuruh Dio dan Anton buat ngerjain cecunguk itu."
"Ngerjain gimana?" tanya Kiyan polos.
Untuk menjawab rasa penasaran Kiyan, Ale segera membisiki telinga pemuda itu dengan idenya.
Seketika wajah Kiyan terperanjat mendengar ide jahil sang kawan. Dengan tegas pemuda itu menggeleng. Dia tidak menyetujui usul konyol itu.
"Jangan lakukan, Le! Itu terlalu beresiko," larang Kiyan tegas.
Namun, Ale tampak santai. Pemuda itu tak menggubris larangan sobatnya. Membuat Kiyan memegang pundak Ale dengan keras sembari berujar, "Kalo ketahuan kamu bisa kena sanksi berat."
"Aku gak takut," jawab Ale tenang dengan senyum tipisnya.
"Tapi Le itu ...."
"Sudahlah, Yan! Kamu tinggal diam aja! Lagian yang nyuruh aku buat nyelidikin cowok jutek itu siapa? Kamu kan?" sergah Ale bersikeras.
Kiyan menatap serius Ale. Membuat Ale menghela napas perlahan. Kemudian dia menepuk bahu Kiyan sembari bertutur, "Kasihan Senandung, Yan. Tiap hari dia harus membantu bibinya untuk membuat dan menjual kue, kalo gak habis gadis itu akan kena omel dan pukul oleh sepupu dan bibinya."
"Pantas Sena selalu murung kalo datang ke sekolah," gumam Kiyan kemudian. Pemuda itu ikut merasa prihatin mendengar kehidupan Senandung.
"Maka dari itu, aku mau kasih pelajaran sama sepupu Sena, biar dia gak berlaku kasar lagi sama cewek itu. Kasihan," ujar Ale kemudian.
"Terserah kamu deh!" sahut Kiyan pasrah. Membuat Ale menyeringai datar mendengar itu.
Siangnya,
Begitu bell pulang berbunyi, Ale dan kedua kawannya bergegas keluar kelas. Ketiga anak itu meninggalkan Kiyan yang masih duduk menunggu pelajaran tambahan.
Ketiga pemuda itu pergi menuju gudang sekolah di belakang. Setelah merasa aman karena menengok sekeliling tak ada orang, ketiganya masuk ke gudang.
Ale menyeringai puas, melihat sepupu Senandung duduk terikat di sebuah kursi dengan mulut tertutup lakban hitam.
Ale dan Dio berjalan mendekati sepupu Senandung yang tampak masih berontak ingin melepaskan diri, sedangkan Anton berdiri di pintu untuk jaga-jaga.
"Siapa kalian sesungguhnya? Kenapa kalian mengurung aku di sini? Apa salahku pada kalian? Hah!" teriak sepupu Senandung marah begitu Ale melepas lakban pada mulut.
"Gak usah teriak-teriak gitu, gak bakalan ada yang dengar!" suruh Ale datar.
Dengan tenang Ale mendongakkan dagu sepupu Senandung, agar menatap manik hitamnya yang tajam.
"Aku pacarnya Senandung! Dan aku paling tidak suka, kalo ada orang yang memperlakukan dia dengan kasar seperti kamu!" kata Ale dingin.
Ale melepas cengkeraman tangan pada dagu sepupu Senandung dengan keras, membuat muka pemuda itu terantuk kaget.
"Jika aku melihat kau masih kasar pada Sena, maka nasibmu akan berakhir di kuburan!"
Ale mengancam dengan setengah berteriak, membuat sepupu Senandung menganguk ketakutan. Ale dan Dio menyeringai puas melihat wajah sepupu Senandung pucat pasi.
"Dio, lepaskan talinya!" suruh Ale kemudian.
Pemuda yang bernama Dio segera mematuhi perintah Ale. Dengan cekatan dia melepas tali yang mengikat tangan dan kaki sepupu Senandung.
Begitu terbebas dari ikatan, sepupu Senandung lantas bangkit berdiri. Ketika dia hendak lari, Ale mencegatnya dengan cepat.
"Camkan kata-kataku! Jangan sampai kau ...."
"Iya. Aku janji tidak akan menyakiti Sena lagi."
Sepupu Senandung memotong ucapan Ale dengan cepat. Pemuda itu terlihat sungguh ketakutan.
"Bagus. Sekarang kau boleh pergi!" usir Ale kembali tenang.
Baru dua langkah sepupu Senandung berjalan, Ale kembali menyegatnya.
"Tunggu sebentar!" Ale mengambil selembar uang lima puluhan di dompetnya, lalu menyerahkan pada sepupu Senandung.
"Buat ongkos pulang."
"Te-terima ka-kasih," ucap sepupu Senandung terbata.
Terlihat jelas pemuda itu masih sangat ketakutan. Pelan dia keluar gudang, bahkan dia menunduk saat Anton melotot padanya di pintu. Ketika sudah sampai luar sepupu Senandung segera lari terbirit-birit membuat Ale dan kedua kawannya terbahak geli.
"Gokil kamu tadi, Le. Pake ngancem nasib dia berakhir di kuburan segala. Ck ck ck."
Ale tergelak geli mendengar Dio berdecak kagum padanya.
"Itu biar dia ketakutan aja. Ha ha ha." Ale tertawa puas sambil memegangi perutnya yang sakit akibat kegelian.
"Tapi aku salut sama kamu, masih ingat buat ngasih dia ongkos pulang segala," timpal Dio lagi. Kembali Ale hanya bisa terkekeh geli.
"Ngomong-ngomong urusan kita gimana?" tanya Anton kemudian.
"Gampang ... kalian bisa makan gratis sebulan di kantin. Aku yang bayar."
"Yess! Kamu emang bos yang baik, Le."
Dio dan Anton memuji Ale bersamaan. Ketiga sahabat itu saling melempar toast, lalu berjalan pulang.
"Ngomong- ngomong tadi kamu ngaku sebagai pacarnya Sena. Bukankah Sena itu gebetannya Kiyan ya?" tanya Anton dalam perjalanan keluar sekolah.
Ale tersenyum miring mendengarnya, lalu dengan tenang dia menjawab, "Senandung akan segera menjadi cewekku."
"Wah, jangan nikung sobat sendiri, Le!"
Ale tetap berjalan dengan tenang. Dia tidak menggubris peringatan Dio padanya.
***
Hari-hari selanjutnya, Ale sudah tidak lagi melihat sepupu Senandung berlaku kasar pada gadis impiannya itu.
Ale juga menepati janjinya, yaitu akan terus memborong dagangan bibi Senandung bila kue dan roti yang dititipkan di toko roti langganan tidak habis.
Itu sungguh membuat Senandung mengaguminya. Bahkan gadis itu amat tersanjung, karena setiap hari Ale akan menjemput untuk berangkat sekolah bersama. Kemudian mengantar dia, saat pulang sekolah.
Bibi Senandung sendiri langsung sangat menyukai Ale, karena pemuda itu selalu membawa buah tangan setiap kali berkunjung. Bahkan wanita itu pernah dibuat terkagum-kagum, saat Ale menghadiahi dia seperangkat alat dapur yang lumayan mahal.
Makin hari hubungan Ale dengan Senandung semakin dekat. Namun, keakraban mereka belum juga diketahui oleh Kiyan, karena pemuda itu terlalu fokus pada pelajaran. Juga dikarenakan, sikap Ale yang terkesan datar pada Senandung bila di depan Kiyan.
Sampai lulus sekolah dan pindah ke Semarang, Kiyan tidak pernah tahu bahwa Ale dan Senandung menjalin hubungan di belakang mereka.
Bahkan ketika Kiyan mencoba menghubungi Senandung saat masih di Semarang, Ale menyuruh Senandung untuk tidak menanggapi Kiyan.
Kemudian saat Kiyan menanyakan kabar Senandung pada Ale. Sang sobat akan bilang, bahwa dia sudah tidak berhubungan lagi dengan gadis itu lantaran kesibukan kuliahnya.
Begitulah akhirnya Kiyan yang putus kontak dengan Senandung, sedangkan Ale semakin intim dengan gadis itu.
Apalagi saat Ale memutuskan untuk menyewa sebuah rumah di dekat kampusnya, pemuda itu lebih leluasa mengajak Senandung bermain ke kediamannya.
Sebenarnya orang tua Ale tidak menyetujui usul sang anak. Mengingat betapa sepi rumah besar mereka bila sang putra tinggal di luar, akan tetapi keduanya hanya bisa pasrah mengabulkan permintaan putra kesayangan yang terus memaksa.
***
Dua tahun sudah Ale menjalin hubungan cinta dengan Senandung. Sampai gadis itu lulus sekolah.
Siang itu, Ale menjemput Senandung yang baru saja lulus sekolah. Pemuda itu mengajak sang gadis berkeliling kota dengan motor, untuk merayakan kelulusannya.
Setelah puas berkeliling kota, makan, dan nonton film. Akhirnya, Ale mengajak Senandung pulang. Di tengah jalan, hujan turun dengan deras. Pemuda itu memutuskan untuk membawa sang gadis ke rumahnya.
Senandung yang pada dasarnya anak penurut. Hanya mampu menurut saja ajakan sang kekasih hati. Apalagi bila mengingat malam yang telah larut.
Malu-malu Senandung keluar dari kamar mandi rumahnya Ale. Gadis itu hanya memakai kaos oblong pinjaman sang cowok. Kemudian dia melangkah menuju balkon rumah sambil menatap air hujan yang turun.
Ale sendiri tampak terpesona melihat penampilan Senandung. Dengan rambut basah dan kaos oblong yang tampak seperti dress mini, Senandung terlihat begitu seksi di mata Ale. Paha mulus dan kaki jenjangnya sungguh menggoda hati Ale.
Senandung sedikit terperanjat, saat tiba-tiba Ale memeluknya dari belakangan. Kemudian dengan mesra pemuda itu meletakan dagunya di pundak sang gadis.
"Kamu terlihat sangat cantik malam ini," puji Ale lirih, terdengar syahdu. Senandung sendiri hanya bisa tersenyum dan tersipu malu.
"Aku menginginkanmu."
Senandung memutar badan. Gadis itu menatap lekat manik hitam kekasihnya yang tampak begitu teduh.
"Maksudnya?" tanya Senandung bingung.
"Maksudnya ... aku sangat mencintaimu." Ale meralat ucapannya.
Dengan lembut Ale mengecup kening sang kekasih. Senandung sendiri hanya bisa melingkarkan tangan ke leher Ale, saat pemuda itu mengangkat tubuh rampingnya ke ranjang.
Bersambung #6
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Jumat, 19 Maret 2021
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel