Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Sabtu, 20 Maret 2021

Senandung #6

Cerita Bersambung
(side a)

Seperti ada malaikat yang menyadarkan Senandung.T iba-tiba saja gadis itu menepis tangan Ale dengan kasar, saat sang cowok mulai menyingkap kaosnya.
Tentu saja Ale menjadi bingung. Kembali pemuda itu menarik Senandung dalam dekapan, tetapi berulang pula sang gadis mendepak tubuh kekar sang kekasih. Gadis itu beranjak bangkit dan berlari menuju balkon rumah dengan mata yang mulai berkabut.

"Sena ... ada apa?" tanya Ale setengah berteriak.
Pemuda itu mendengkus kasar. Sedikit marah karena hasrat di dada yang sudah meletup-letup tidak jadi tersalurkan.
Setelah meraup muka dengan kasar, Ale beringsut bangkit untuk menyusul sang kekasih. Terlihat Senandung tengah terisak dengan bahu yang berguncang.
"Ada apa, Sena?" tanya Ale lagi.
Sungguh pemuda itu tak paham, apa yang membuat kekasihnya menangis. Ale mencoba memeluk Senandung, tetapi gadis itu tetap menolaknya.

"Kenapa kau tega hendak merusak masa depanku, Ale?" tanya Senandung dengan air mata yang berderai.
"Kenapa? Bukankah kita saling mencintai?" Ale balik tanya.
"Kalo cinta harusnya kau menjaga diriku. Bukan merusaknya!" bentak Senandung marah.
Ale tercekat dibuatnya. Dua tahun lebih dia mengenal Senandung. Gadis itu tidak pernah sekalipun berbicara keras padanya. Sungguh Ale merasa bersalah.
Kembali pemuda itu mengusap wajah, lalu setelah menyadari kekeliruannya dia berujar lirih, "Maaf, Sena."
"Antarkan aku pulang sekarang juga!" perintah Senandung keras.
"Tidak mungkin, Sena. Ini sudah larut malam, bahkan hujan semakin deras," tolak Ale tegas.
"Pokoknya pulang!" teriak Senandung sengit.

Air mata gadis itu semakin bercucuran. Napasnya tersengal menahan kesedihan yang teramat. Hatinya sungguh terasa sakit, orang yang sangat ia cintai tega hendak menodainya.
"Sena. Aku sungguh menyesal. Tolong maafkan aku!"
"Aku tidak akan memaafkanmu, sebelum kau berjanji dulu padaku."
"Janji apa?"
"Janji tidak akan menyentuh sebelum menikahiku dulu."

Ale menghela napas dalam-dalam. Kemudian dengan mantap dia mengangguk. Namun, sepertinya Senandung masih belum percaya, sehingga dengan lantang dia berujar, "Aku berjanji, Sena. Setelah kau halal baru aku akan menyentuhmu."
Untuk menyakinkan Senandung, Ale mengacungkan jari telunjuk dan jari tengah membentuk huruf V.
"Sekarang mari kita tidur! Kau di ranjang, biar aku di sofa!" ajak Ale kemudian.

Walau masih ragu Senandung mengikuti langkah sang kekasih. Begitu merebahkan badan, gadis itu segera menutupi seluruh tubuhnya dengan selimut. Sangat rapat dan tertutup. Ale yang melihat hanya mampu menggeleng dan tersenyum tipis.

Sejak saat itu, Senandung mulai menjaga jarak dengan Ale. Apalagi semenjak dirinya berkerja sebagai kasir di toko roti langganan. Dengan berbagai alasan, gadis itu selalu menolak ajakan kencan sang cowok. Biarpun itu membuat kekasihnya merasa dongkol.
Namun, demi membentengi diri dari sikap tidak terpuji Ale, Senandung terpaksa melakukan hal itu. Walaupun sebenarnya, dia juga merasa rindu. Bila sehari saja tak bertemu dengan sang pujaan hati.

Akhirnya, setelah hampir dua bulan tidak pernah pergi berkencan. Sore itu, Ale sengaja menjemput Senandung di tempat kerja. Pemuda itu sedikit merasa keki, ketika kekasihnya memilih taman untuk menghabiskan waktu berdua. Mereka duduk di bangku taman depan air mancur.

"Malam minggu besok, aku akan mengajakmu main ke rumah," kata  Ale tenang.
Pemuda itu membuka pembicaraan sambil memainkan rambut panjang Senandung dengan tangannya.
"Untuk apa?" tanya Senandung terkesima. Antara senang dan takut.
"Mau ngenalin kamu kepada orantuaku," jawab Ale santai.
"Tapi Le ... aku takut."
"Kenapa musti takut?"

Ale meraih dagu Senandung yang menunduk, agar menatapnya lekat. Kemudian disertai senyuman pemuda itu meraih jemari sang pacar dan menggegamnya erat.

"Mama pernah bilang, kalo cewek yang pinter bikin kue itu adalah cewek cantik. Karena kue yang enak selalu dihasilkan dari proses ketelatenan dan penuh perasaan. Aku yakin mama pasti menyukaimu. Apalagi kamu pinter bikin kue kayak dia."
"Benarkah?"
"Hu'um."

Ale meraih kepala Senandung ke dalam dadanya, lalu dengan lembut dia membelai rambut hitam itu. Memberikan rasa nyaman pada sang gadis.
"Aku akan mengenalkanmu pada mereka sebagai calon menantu," bisik Ale lembut.
Senandung yang mendengar itu amat merasa bahagia. Gadis itu menatap lekat manik hitam sang kekasih, memastikan bahwa apa yang didengarnya adalah nyata.

Dengan mengulum senyum, Ale mengangguk. Membuat Senandung segera memeluknya erat, tetapi beberapa saat kemudian gadis itu segera melepas dekapan dengan wajah yang kembali ragu.

"Kenapa?" tanya Ale heran melihat perubahan wajah Senandung dari semringah menjadi kecut.
"Apa ini tidak terlalu cepat, Le? Kita masih terlampau muda." Senandung terlihat ragu.
"Cita-citaku dari dulu emang kepingin kawin muda, biar cepet ...."
"Cepet apa?" sela Senandung penasaran.
Ale segera membisiki telinga Senandung untuk menjawab pertanyaan. Seketika muka sang gadis merona merah mendengar jawabannya.
"Ihh, nakal kamu!" seru Senandung sembari mencubit perut Ale dengan gemas. Membuat pemuda itu meringis kegelian.
"Aduh! Ampun, Dung. Geli tau!"
"Ha ... ha ... ha." Kedua sejoli itu tampak bahagia sekali.
***

Senandung menatap pantulan diri di cermin. Dengan mengenakan gaun terbaik dan riasan tipis di pipi serta bibirnya, gadis itu merasa sudah cukup manis. Apalagi saat sang bibi ngacungkan ibu jari ke arahnya. Rasa percaya diri Senandung kian tinggi.

Ale menelan ludah melihat penampilan Senandung. Dengan rambut kepang ala Elsa Frozen, Senandung terlihat amat anggun.
Ale menggandeng lengan Senandung menuju mobilnya. Pemuda itu membukakan pintu mobil, seraya membungkuk. Mempersilakan sang gadis masuk. Dengan anggun Senandung duduk di samping Ale yang pegang kemudi.

"Aku gugup, Ale," ujar Senandung pelan. Ale tersenyum mendengarnya.
"Santai aja. Orangtuaku baik kok."
"Mamamu tidak galak kan?"
"Kenapa kau bertanya seperti itu? Sudah kubilang orangtuaku baik."
"Semoga saja begitu, dan aku berharap bisa merasakan kasih sayang seorang ibu dari mamamu. Karena hingga kini aku lupa rasanya punya seorang ibu. Dia pergi entah ke mana." Mata Senandung tampak berembun.
"Sudahlah, jangan bahas yang sedih-sedih! Aku gak mau lihat kamu menangis. Jelek tau!"

Ale mengelap sudut mata Senandung yang mulai basah dengan tisu. Membuat gadis itu mengangguk pelan dan mulai menyunggingkan senyum di bibir tipisnya.

Selang beberapa waktu mereka sampai di kediaman sang cowok. Senandung terpana melihat betapa besar rumah Ale. Ketika keduanya masuk, seorang pelayan yang membukakan pintu untuk mereka membungkuk hormat.

Mata Senandung dibuat kembali terpana, melihat betapa mewah rumah kekasihnya. Dengan lantai marmer berwarna putih susu yang mengkilat dan lampu kristal yang menggantung elegan, serta furnitur mahal di dalamnya, nyali Senandung mendadak menciut.
Apalagi saat Ale mengenalkan dia pada orangtuanya. Sang calon mertua memandang Senandung dengan tatapan tajam tak suka. Bahkan mama Ale menatapnya dari ujung kaki hingga ujung rambut. Kemudian sosialita paruh baya itu terlihat mendecih sinis.

"Kamu teman sekampusnya Ale?" tanya mama Ale datar begitu mereka mulai makan malam bersama.
"Bukan, Tante," jawab Senandung pelan.
"Kuliah di mana?" tanya mama Ale lagi.
"Saya tidak kuliah, Tante. Saya adalah seorang kasir di sebuah toko roti," jawab Senandung santun.

Uhukkk
Seketika papa Ale tersedak mendengar jawaban Senandung. Pria paruh baya berkacamata itu segera menenggak air putih, sedangkan sang istri memijit tengkuknya.

"Papa sudah selesai makannya." Lelaki itu berlalu meninggalkan meja makan.
"Papa ... tunggu!" Sang istri pun menyusul sang suami pergi.
"Ale, bagaimana ini?" tanya Senandung takut melihat reaksi kedua orangtua Ale.
"Gak papa. Tenang aja!"
Ale memegang tangan Senandung yang dingin. Mengusapnya untuk memberi ketenangan.

Esoknya
Ale segera mengutarakan keinginan hati pada mama papa, yaitu hendak menikahi Senandung. Tentu saja, kedua orangtuanya menolak dengan tegas kemauan sang putra yang terlalu menggebu itu.

"Kamu masih terlalu muda untuk menikahi seorang gadis. Kuliah aja belum selesai, mau dikasih makan apa nanti istrimu?" larang sang papa saat itu.
"Pokoknya Ale mau menikahi Sena, Pa. Ale sangat mencintai dia." Ale bersikeras.
"Kalo pun menikah, bukan dengan gadis yang tak jelas asal-usulnya seperti itu. Ayah tak punya, ibu pergi entah ke mana. Oh tidak Ale! Mama tidak setuju!" Mama Ale ikut menimpali dengan tegas.
"Jika ingin menikah muda boleh saja, asalkan dengan Syifa anak om indra," tegas sang papa kemudian.
"Apa, Syifa? Kami berteman sejak kecil. Aku sudah menganggap dia seperti adik sendiri. Tidak ada cinta di antara kami." Ale menolak dengan keras keinginan sang papa.
"Ya sudah kalo begitu. Hentikan keinginan tak masuk akalmu!" Papa menatap putra semata wayangnya dengan tajam.
"Tidak. Ale akan tetap menikahi Sena, walaupun tidak mendapat restu dari kalian."
Ale balas menatap papanya. Pemuda itu tetap keras kepala.
"Sekali kau keluar dari rumah ini, kau sudah kuanggap bukan anakku lagi, Ale," ancam papa keras.
"Jangan bicara seperti itu, Pa! Ale putra kita satu-satunya!" larang sang mama sedih. Namun, lelaki berwajah tegas itu tetap bergeming.
"Oke. Kalau itu kemauan Papa. Ale akan pergi sekarang juga."

Dengan langkah yang pasti, Ale meninggalkan rumah mewah itu. Mamanya sendiri segera berlari menahan langkah sang putra.
"Kumohon jangan lakukan itu, Nak! Tetaplah di sini! Kita bisa bicarakan semuanya dengan baik-baik."
Mama mencoba membujuk anak kesayangan, tetapi sang putra dengan tegas menggeleng.
"Jika Mama tidak menyukai Senandung, berarti Mama tidak menginginkan aku tinggal di sini."

Ale melepas pegangan tangan sang mama. Kemudian dengan langkah pasti pemuda itu berlalu pergi. Meninggalkan orangtuanya yang menatap pilu padanya.

"Tolong cegah kepergian Ale, Pa!"
Sang istri memohon, tetapi suaminya hanya diam termangu dengan napas yang tersengal berat.
***

Walau tidak mendapat restu dari kedua orangtuanya, Ale bersikeras menikahi Senandung. Mereka melangsungkan pernikahan di kediaman sang mempelai wanita.

Begitu pernikahan usai, Senandung diboyong Ale ke rumah kontrakan yang baru. Karena kedua orangtuanya memutus tranferan uang padanya, terpaksa pemuda itu menyewa rumah yang lebih kecil dan berhenti kuliah.

Empat bulan kemudian

Ale masih saja menganggur. Dia sudah melamar ke mana-mana, tapi belum juga mendapatkan pekerjaan. Hidupnya tergantung pada gaji dan usaha kue kecil-kecilnya sang istri. Pria itu benar-benar merasakan hidup yang prihatin.
Hatinya mulai tersadar, ternyata susah mencari uang. Lelaki itu merutuki segala kebodohan di masa lalu, saat dirinya yang hanya bisa menghambur-hamburkan uang kedua orangtua.

Ketika Ale baru saja terbangun dari tidur, sang istri memeluk dengan hangat dari belakang.
"Dua garis merah lagi," bisik Senandung lembut pada telinga Ale.
Ale memutar badan. Dia menatap istrinya dengan lekat.
"Sudah berapa kali aku bilang, jangan percaya test pack itu!" ujar Ale datar.

Seketika muka Senandung yang semula semringah menjadi keruh. Bahkan bibirnya mengerucut manja.  Ale menjadi gemas melihatnya. Dengan mesra dia membenamkan kepala sang istri di dada bidangnya.

"Aku akan percaya kau hamil bila dokter yang mengatakannya," ujar Ale seraya mengusap lembut rambut lurus sang istri.
"Periksa ke dokter kan butuh biaya. Kau sendiri masih nganggur begitu," rajuk Senandung manja.
"Sabar, Dung! Makanya kalo abis salat, doain suami gantengmu ini biar dapet kerjaan dong!"
"Itu selalu. Udah sekarang buruan mandi gih! Aku gak mau telat pergi kerja!"
Senandung menarik lengan suaminya untuk segera bangkit. Namun, lelaki itu menggeleng dengan kuat.
"Kenapa?" tanya Senandung senewen.
"Gak mau mandi sendiri. Maunya dimandiin," pinta Ale sok manja.

Senandung sendiri hanya menjulurkan lidah menanggapi permintaan konyol sang suami. Kembali wanita itu menarik lengan suaminya. Dengan mata yang terpejam, Ale menyandarkan kepala di bahu sang istri menuju kamar mandi.

Setelah selesai mandi dan sarapan nasi goreng bersama, Ale mengantar sang istri ke tempat kerja. Usai dicium pungung tangannya dengan takzim oleh Senandung, dia memacu motor pergi meninggalkan tempat itu.

Hari itu Ale berniat menemui Dio, teman lamanya dulu. Sang kawan mempunyai usaha bengkel yang cukup besar dan terkenal. Dia bermaksud hendak melamar menjadi montir di bengkel kepunyaan sobatnya itu.
Namun, di tengah perjalanan saat dirinya tengah menelepon Dio sang sahabat. Datang dua orang memakai masker hitam mendekati, lalu seorang dari mereka merampas ponsel mahalnya.
Ale berusaha merebut kembali hak miliknya. Terjadi baku hantam di antara mereka, karena tidak seimbang Ale jatuh terkapar. Lelaki itu pingsan.

Begitu tersadar Ale sudah berada di rumah sakit. Tampak mama papa tengah menungguinya dengan sabar, tetapi dia tidak melihat ada Senandung di ruangan itu.

"Ma, Pa. Kenapa Ale berada di sini? Di mana Sena?" tanya Ale dengan suara parau.
Lelaki itu meringis menahan sakit pada kepalanya. Ketika dia hendak bangkit duduk, sang mama menahan.
"Kau tiduran saja, Nak! Biar keadaanmu lekas pulih," suruh mama lembut.
"Tapi Ale ingin bertemu Sena, Ma. Dia harus tahu aku ada di sini."
"Iya. Nanti mama coba hubungi dia."

Namun, sampai hari ketiga Ale di rumah sakit, Senandung tak pernah datang menjenguk. Ketika orangtuanya mengajak pulang, Ale dengan tegas menolak. Lelaki itu bergegas pulang ke rumah kontrakannya, tetapi begitu sampai kediaman. Dia tidak menjumpai sang istri.
"Sena pamit pergi dua hari yang lalu, Mas Ale," tutur sang pemilik kontrakan saat Ale bertanya keberadaan Senandung.
"Pamit ke mana?" tanya Ale terperanjat. Dia begitu kaget dan khawatir.
"Saya tidak tahu. Sena hanya menangis, ketika saya tanya hendak pergi ke mana."
"Menangis? Baiklah ... saya akan mencari dia di tempat bibinya."

Ale segera memacu kuda besinya ke rumah bibi Senandung. Kembali, lelaki itu tak menjumpai sang istri di sana.
"Sudah hampir sebulan Sena tidak pernah datang ke mari. Memang dia pergi ke mana? Apa kalian sedang  berantem?" tanya bibi Senandung dengan nada khawatir.

Ale menggeleng dengan tegas, karena memang dirinya sedang tidak bertengkar dengan sang istri. Kemudian tanpa bertanya lagi, dia segera memacu motor dengan kecepatan tinggi menuju tempat kerja Senandung. Kembali, dia tidak menjumpai belahan jiwanya di tempat itu.

"Dua hari yang lalu, Sena pamit undur diri dari sini," ujar pemilik toko roti itu saat Ale bertanya keberadaan Senandung.
"Mengundurkan diri? Apakah Sena mengatakan alasan kenapa dia mengundurkan diri?" tanya Ale menggebu.
"Dia tidak mengatakan apapun."
"Atau Sena bilang hendak pergi ke mana?"
Wanita di depan Ale menggeleng lemah. Dia terlihat begitu iba melihat muka panik suami Senandung.

Dengan gontai Ale keluar ruangan menuju motornya yang terpakir rapi. Tubuhnya luruh terasa lemas.
"Sena, di manakah kau berada? Sena ...."

Ale berteriak dengan sedih. Air matanya membanjiri kedua pipi.

==========
(side b)

"Sena, di manakah kau berada? Sena ...," teriak Ale sedih.
Air mata Ale bercucuran membasahi kedua pipi. Bahu lelaki itu terguncang hebat. Hatinya amat sedih dan takut.
"Sena ... kenapa kau pergi?" raung Ale getir. Tangannya meninju tanah dengan kuat.
"Sena ...."
***

Tak terasa air mata Aleandra kembali menetes. Hatinya begitu sesak bila terkenang masa kelam itu. Apalagi saat terkenang omongan Senandung beberapa hari yang lalu, saat wanita yang amat ia rindukan itu menuduhnya lari dari tanggung jawab dan menelantarkannya. Sungguh dia merasa sakit dan pilu.

Lelaki itu menarik napasnya dengan berat, terasa sesak. Dia menoleh ke samping, tampak sang istri tengah terlelap dengan damai. Dengan lembut Ale mengusap rambut Syifa.
"Di saat ada rasa sayang di hatiku untuk Syifa, kau hadir lagi dalam hidupku, Sena," gumam Ale getir.

Kemudian lelaki itu ikut merebahkan tubuhnya di samping sang istri. Mencoba memejamkan mata, tapi wajah Senandung tak jua sirna dari pikiran.

Alhasil, Ale bermimpi bertemu dengan Senandung. Dalam bunga tidurnya, pria itu melihat wanita yang amat dirindukan itu tengah menuntun anak kecil. Kemudian saat mereka berpapasan, Senandung segera pergi menghindar.

Dalam mimpi, Ale sangat penasaran dengan anak kecil itu. Maka dia pun bergegas mengejar Senandung. Namun, wanita itu bergegas lari bersama buah hatinya begitu melihat Ale mengikuti.

"Sena, tunggu! Aku mohon jangan lari," pinta Ale dalam mimpi.
Namun, Senandung tetap saja berlari seraya menggendong sang buah hati.
"Sena ... berhenti! Sena ...," teriak Ale.
"Sayang ... bangun, Sayang!"
Syifa menepuk-nepuk pipi Ale, yang histeris memanggil nama Senandung dalam mimpinya.

Saat Aleandra membuka mata seraut muka teduh tersenyum manis padanya. Begitu Ale bangkit duduk, Syifa segera memberi segelas air putih.
"Mimpi apa sampai keringatan begitu?" tanya Syifa perhatian pada sang suami.
Ale sendiri hanya menggeleng lemah untuk menjawab pertanyaan sang istri. Penuh perhatian Syifa mengusap peluh yang membasahi wajah suaminya dengan tisu.

"Kau berteriak-teriak memanggil nama Senandung dalam mimpimu," ujar Syifa heran.
Ale hanya tersenyum tipis mendengarnya, lalu dengan pelan dia pun berujar, "Sudahlah, sebaiknya kita tidur lagi."
"Kau tak mau menceritakan mimpimu seperti apa?" tanya Syifa penasaran. Ale menggeleng.
"Oke."
Tanpa bertanya lagi, Syifa menarik selimut dan mulai merajut bunga tidurnya sendiri.
'Aku harus menemui Senandung, agar bisa bertemu dengan buah hatiku,' batin Ale bertekad.

Keesokannya..

Aleandra menemui Kiyan di kantor. Ketika dia masuk, sang sahabat tengah berkutat dengan kesibukan. Mata Kiyan terus saja menatap layar monitor di depannya, sehingga tak menyadari kedatangan adik ipar. Dia baru menoleh setelah Ale memegang pundaknya.

"Eh, Le?" Kembali Kiyan menatap layar laptop.
"Boleh minta alamat Sena?" pinta Ale pelan. Kiyan menoleh ke Ale dengan menyipit.
"Bukankah waktu itu kau yang mengantar dia pulang."
Kiyan balik tanya dengan heran. Ale mendesah perlahan mendengarnya.
"Seperti tidak tahu watak Sena. Dia menolak diantar pulang olehku," jawab Ale datar.
"Kenapa?"

Kiyan menatap Ale dengan lekat seperti tengah menyelidiki sesuatu. Membuat suami Syifa merasa jengah dibuatnya.
"Entahlah. Dia bersikeras menolak tawaranku, dan aku tak dapat memaksa," jawab Ale pelan.

Dia tidak mengatakan yang sesungguhnya, bahwa Senandung keburu kabur sebelum diantar pulang. Ale berhenti sejenak untuk bernapas, lalu dia bertanya, "Ngomong-ngomong, bagaimana kau bisa ketemu lagi dengan Sena?" tanya Ale penasaran.
"Cintalah yang mempertemukan kita. Aku yakin Sena adalah jodohku."
Kiyan menjawab sembari tersenyum. Ale tercekat, sebenarnya dia tidak rela mendengar itu. Namun, bila mengingat keadaan statusnya sekarang, lelaki itu hanya bisa terdiam.

Kemudian tanpa diminta. Kiyan mengisahkan awal pertemuan kembali dengan Senandung, yaitu beberapa bulan lalu di karaoke kepunyaan sang papa sebagai salah satu pemandu lagu di sana.

Kiyan juga bercerita tentang status Senandung kini, yaitu seorang janda beranak satu yang pernah menjalin hubungan terlarang dengan Adam managernya.
"Kasihan Senandung. Dia terpaksa menerima cinta suami Ratna, dikarenakan hutang budinya pada pria itu," terang Kiyan.
"Maksudnya?" tanya Ale bingung.
"Lelaki itu yang menolong Sena saat hendak melahirkan, dan memberi kehidupan pada wanita itu dan anaknya."
"Apa Sena pernah bercerita tentang mantan suaminya?" tanya Ale hati-hati. Kiyan menggeleng lemah.
"Tapi, aku yakin. Pasti mantan suami Sena, adalah seorang yang lelaki yang brengsek. Tega meninggalkan istrinya dalam keadaan hamil."

Ale tercenung mendengar penuturan Kiyan, ingin menyangkal. Namun, dia belum punya keberanian untuk mengungkapkan kebenaran yang sesungguhnya. Dirinya hanya mampu menelan ludah dengan susah payah.

Kemudian ponsel Kiyan yang tergeletak di meja kerja bergetar. Segera lelaki itu membaca isi pesan yang masuk.
"Syifa bilang, aku harus segera ke rumah sakit."
Kiyan memasukan benda layar tipis itu ke saku kemeja warna putihnya. Kemudian tanpa curiga, dia menyebutkan alamat Senandung pada Ale.
"Oke. Aku ke rumah sakit, dan kau ke rumah Sena. Kita nanti ketemu di rumah baru itu."

Ale mengangguk menanggapi ucapan Kiyan, lantas keduanya keluar dari ruangan. Mereka berjalan beriringan keluar kantor menuju mobil masing-masing.

Tanpa membuang waktu lagi, Ale bergegas memacu mobilnya menuju kediaman Senandung. Karena didorong rasa yang amat menggebu ingin bertemu dengan buah hati, dia mengemudi dengan kecepatan tinggi. Mobilnya meliuk-liuk menyalip kendaraan di depannya, sehingga tak butuh waktu lama pria itu telah sampai di tempat yang dituju.

Rumah Senandung tampak sepi, sebelum masuk Ale tampak mengatur napasnya perlahan. Setelah merasa cukup tenang, dia mulai mengetuk pintu lamat-lamat.
Senandung yang tengah repot membuat kue-kue pesanan menghentikan kesibukan, begitu mendengar ada yang mengetuk pintu. Wanita itu segera mencuci tangan di wastafel. Masih dengan mengenakan celemek, dia bergegas membuka pintu.

Seketika tubuh Senandung membeku begitu mengetahui siapa yang datang. Ketika dia hendak menutup kembali pintu tersebut, tangan Ale menghalangi.

"Izinkan aku masuk, Sena!" pinta Ale.
Lelaki itu menatap Senandung dengan lekat. Sorot matanya menyiratkan kerinduan yang amat mendalam.
Senandung pun demikian. Tak dapat dipungkiri, kalau dia juga amat merindukan lelaki di hadapan. Namun, bila mengingat kejadian menyakitkan dulu. Rasa rindu itu ia kubur dalam-dalam.

"Ada apa ke mari?" tanya Senandung dingin.
"Izinkan aku masuk dulu!" pinta Ale lagi.
Walaupun belum dipersilakan, Ale mengikuti Senandung masuk. Lelaki itu menyapu sekeliling ruangan dengan matanya.
"Rumah ini sepi. Di mana anakku?" tanya Ale kemudian.
Melihat Senandung menatap tajam padanya, Ale memegang pundak mantan istrinya itu.
"Sena. Aku ayah dari anakmu. Izinkan aku menemuinya." Suara Ale terdengar begitu memelas, "aku mohon pertemukan aku dengan dia."

Senandung terdiam tak menjawab. Dia hanya berjalan menuju kamarnya. Ale mengikuti dari belakang. Kemudian, Senandung menunjukan Gembira yang tengah tidur siang.
Begitu melihat anaknya, Ale segera mengusap rambut sang putri. Dengan lembut dia mencium kening bocah kecil itu.

"Namanya Alena Ananta kah?" tanya Ale bahagia.
"Bukan. Namanya Gembira Ananta," sangkal Senandung dingin.
Ale terkesima mendengarnya. Ingatan lelaki itu kembali pada masa enam tahun silam. Saat dirinya masih berpacaran dengan Senandung.

Sore itu, kembali Ale dan Senandung menghabiskan waktu di taman tempat biasa mereka memadu kasih.
Ale duduk di hamparan rumput yang menghijau, sedangkan Senandung tiduran di pangkuannya. Mereka saling bercerita merenda impian pernikahan.

"Kalo nanti kita punya anak, kau ingin anak laki-laki dulu atau perempuan?" tanya Senandung pada sang kekasih kala itu.
"Perempuan. Biar bisa temani kamu bikin kue," jawab Ale seraya membelai rambut Senandung dengan lembut.
"Sama. Aku juga ingin anak pertama kita perempuan. Lalu akan kuberi nama Alena Ananta, yang artinya Ale dan Sena atas nama cinta. Bagaimana kau setuju?"
Senandung mendongak menatap sang kekasih, tapi dengan tegas Ale menggeleng.
"Kenapa?" tanya Senandung kesal karena usulnya tidak disetujui. Gadis itu bangkit dengan bibir yang mengerucut manja.
"Aku ingin nama putri kita adalah Gembira Ananta. Biar anak itu selalu merasa gembira. Gak kayak kehidupan kamu, sedih mulu, Dung."
"Gembira? Iih, jelek amat!" Senandung mencibir.
"Yang jelek itu kamu! Tiap hari mukanya ditekuk mulu, senyum dong biar cantik! Dan lebih cantik lagi kalo mau aku cium," goda Ale kala itu.
"Dih, enak aja!" sahut Senandung sembari mencubit perut Ale dengan gemas.
"Ampun, Dung! Kebiasaan banget suka nyubit. Sakit tau! Mending nyium baru asyik ...."

Kembali Senandung melancarkan aksinya. Yaitu, mencubit perut Ale dengan kuat, membuat pemuda itu menjerit kesakitan.
***

Ale tersenyum bahagia, bila mengingat kenangan indah bersama Senandung dulu. Sungguh ia tak menyangka, kalau ide asalnya dipakai sang istri untuk nama anak mereka.

"Kau sudah bertemu dengan dia. Sekarang saatnya pergi," usir Senandung dingin pada Ale.
"Sena ...."
"Aku tidak ingin ada fitnah. Pergilah sekarang, Le!" usir Senandung tegas.
"Sena. Kenapa kau jadi dingin begitu? Ke manakah rasa cintamu ke padaku?" tanya Ale masygul.
"Cinta? Aku harus mencintai suami orang?"

Senandung balik tanya dengan nada sinis. Ale sendiri hanya terdiam. Hatinya amat sesak mendengarnya. Kemudian dia menatap mantan istrinya dengan lekat seraya bertanya, "Kenapa dulu kau tiba-tiba saja pergi dari rumah?"
"Aku tidak pernah pergi dari rumah. Aku diusir oleh mamamu."
Senandung menyergah dengan tergetar. Hatinya terasa begitu sesak bila mengingat kejadian menyakitkan itu. Lantas dengan suara yang parau akibat menahan kegetiran dalam dada, Senandung menceritakan kejadian yang sesungguhnya enam tahun yang lalu.

Kala itu, setelah diantar oleh sang suami ke tempat kerja, Senandung kembali bekerja dengan hati yang amat bahagia. Karena Ale berjanji akan mengajaknya ke dokter untuk memeriksa kandungan.

Sepanjang hari wajah wanita itu tampak ceria. Senyuman manis tak pernah lepas dari bibir tipis kemerahannya. Senandung sudah tidak sabar ingin mengetahui kebenaran kehamilannya. Maka begitu waktunya pulang, dia segera berkemas dan keluar dengan cepat.
Hati Senandung sedikit kecewa karena Ale belum tampak di parkiran. Padahal biasanya, lelaki itu  sudah setia menungguinya di tempat parkir itu.

Setelah satu jam menunggu, dan tak kunjung muncul juga sang suami. Senandung mencoba menghubungi gawai suaminya. Namun, berulang kali sambungan teleponnya selalu gagal.

Akhirnya, setelah hampir tiga jam menunggu, Senandung memutuskan pulang dengan menaiki bus.
Hati wanita itu begitu cemas, karena sampai larut malam suaminya tak kunjung pulang. Dia ingin menangis karena berkali-kali sambungan teleponnya selalu gagal.

Sepanjang malam, Senandung tak dapat memejamkan mata. Hatinya begitu khawatir, takut terjadi sesuatu pada sang suami. Namun, dia tak mampu berbuat apa-apa. Akhirnya, dia hanya mampu berdoa untuk kebaikan separuh napasnya.

Pagi hari...

Ketika hendak bersiap berangkat kerja. Pintu rumah Senandung diketok orang. Dia begitu terkejut karena yang datang berkunjung adalah pemilik rumah kontrakan dan mamanya Ale.
Senandung sedikit malu karena jabatan tangan diacuhkan sang mertua. Walaupun begitu, dia tetap mempersilakan mereka masuk.

"Maaf kalo kedatangan kami membuat kamu terkejut, Nak Sena," ucap pemilik kontrakan sopan.
"Tidak apa-apa. Ada apa, Bu?" sahut Senandung tak kalah sopan.
"Sekali lagi, maaf, Sena. Tolong kosongkan rumah ini segera."

Pemilik kontrakan tampak tak enak hati mengutarakan maksudnya. Apalagi saat melihat muka Senandung yang menatap heran padanya.

"Rumah ini sudah ada yang membeli," terang pemilik kontrakan menjawab kebingungan pada muka Senandung.
"Saya yang membelinya." Mama Ale menimpali dengan dingin.

Kemudian sosialita paruh baya itu mengeluarkan sebuah amplop berwarna cokelat, lantas meletakkan di meja.
"Itu uang dari Ale untukmu," kata Mama Ale pada Senandung.
"Maksudnya apa, Ma?" tanya Senandung bingung.
"Ale akan segera menceraikanmu. Dia bilang telah menyesal menikahimu, dan itu uang darinya sebagai permintaan maaf."
Senandung menggeleng dengan kuat. Dia tidak mempercayai omongan sang mertua.
"Sebentar lagi kau akan menerima surat gugatan cerai dari Ale." Mama Ale berbicara masih dengan nada yang dingin.
"Itu tidak mungkin! Ale sangat mencintai aku. Dia tidak mungkin menceraikan aku," sangkal Senandung dengan keras. Dengan segera air mata wanita itu membanjiri kedua pipi.
"Tapi, itulah kenyataannya. Ale terbiasa hidup senang. Dia tidak kuat hidup susah bersamamu."

Kemudian tanpa memandang Senandung, mama Ale bangkit hendak keluar. Namun, sang menantu menahannya.
"Semua yang Mama katakan bohong kan? Ale tidak mungkin menceraikan aku. Aku tengah mengandung anaknya," tutur Senandung di sela tangisnya.
"Sayangnya itu benar, Sena."

Mama Ale berlalu meninggalkan Senandung yang menangis hebat. Bahkan, dia tidak mempedulikan sang menantu yang memohon dan  bersimpuh pada kakinya agar dipertemukan dengan Ale sang putra.
Tanpa menggubris raungan Senandung yang memanggil namanya. Mama Ale masuk ke mobil Alphard putih, berlalu pergi meninggalkan rumah kecil itu.

"Nak Sena, tolong kau segera kosongkan rumah ini ya! Sekali lagi ibu minta maaf."
Ucapan ibu pemilik kontrakan semakin membuat Senandung tergugu dalam tangis. Akhirnya, setelah mengemasi semua bajunya, wanita itu pergi menuju rumah sang bibi. Namun, betapa terkejutnya dia, saat sang bibi menolak kedatangan.

"Maaf, Sena. Jika bibi menerima kedatanganmu di sini, maka paman dan kakak sepupumu akan dipecat dari pekerjaan. Jadi, tolong pergilah dari sini ya!"

Senandung terhenyak mendengar penuturan sang bibi. Hatinya amat perih. Dengan terbata karena isak tangis, ia bertanya," A-apakah o-orang tua Ale yang mengancam kalian?"
Dengan lemah bibi pun mengangguk. Senandung segera menghapus air matanya dengan punggung tangan. Tak lama berselang dia pamit pada bibinya.

Berbekal uang dari sang mertua Senandung mencari sebuah kontrakan kecil. Semalaman wanita itu menangis, sehingga saat dia berangkat kerja matanya terlihat begitu sembab.
Namun, yang lebih memilukan lagi adalah, kala dia datang sang pemilik toko menyodorkan sebuah amplop berwarna cokelat padanya.

"Maksudnya apa, Bu?" tanya Senandung bingung.
"Mulai besok, kau tidak perlu kerja lagi di sini dan itu uang pesangonmu," jawab pemilik toko pelan. Sesungguhnya dia tak tega memecat Senandung.
"Tapi kenapa, Bu? Apa salah saya? Kenapa saya dipecat?" tanya Senandung sedih dan tidak terima.
"Saya hanya menjalankan perintah. Saya bukan lagi pemilik toko ini," jawab wanita itu pelan.
"Siapa pemilik toko kue ini sekarang?"
"Ibu Ambarwati Wijaya."

Kembali Senandung terhenyak mendengarnya. Itu nama mamanya Ale. Kemudian tanpa sepatah kata dia bergegas pergi walau hatinya begitu teriris.
***

Senandung segera menghapus air mata, yang terus saja mengalir bak anak sungai di kedua pipi. Begitu selesai menceritakan kejadian pahit itu pada Ale.
Ale sendiri hanya mampu membisu. Dirinya pun amat sakit mendengarnya.

"Yang lebih memilukan lagi adalah datangnya surat cerai darimu," ucap Senandung di sela sedu-sedannya.
"Itu tidak benar! Aku tidak pernah menceraikanmu," sergah Ale keras.
"Tapi itu adalah kenyataan." Senandung menghela napas perlahan.

Kemudian Senandung menceritakan kembali masa kehamilannya. Di awal trimester pertama, wanita itu begitu lemah. Setiap hari hanya terbaring lesu di ranjang. Tidak napsu makan. Hari-harinya dipenuhi air mata.

Baru di trimester kedua, wanita itu mulai bisa beraktivitas. Tidak lagi merasa mual dan pusing. Untuk bertahan hidup, dia mencoba melamar pekerjaan. Namun, siapa yang mau mempekerjakan wanita hamil. Akhirnya, dia kembali membuka usaha kecilnya, yaitu berjualan kue dan roti berbekal uang pesangon dan uang dari mama Ale.

Menjelang hari kelahiran, Senandung terpaksa diusir oleh pemilik kontrakan karena menunggak bayaran selama tiga bulan.

"Untung aku ketemu Kak Adam. Sayang dia nolong tidak tulus, karena rasa padaku."
Ale mendengarkan dengan saksama.  Hatinya turut berduka mengetahui keadaan yang sebenarnya.
"Andai saja aku tak bertemu Kiyan, mungkin sekarang aku sudah menikah dengan Kak Adam," kata Senandung lagi.
"Mama. Ini semua gara-gara dia," gumam Ale marah. Tangannya mengepal keras.

Bersambung #7

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER