Izin Penerbitan

PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN

Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...

Minggu, 21 Maret 2021

Senandung #7

Cerita Bersambung
(side a)

"Mama. Semua ini gara-gara dia," gumam Ale marah. Tangannya mengepal keras.
Senandung yang melihat sorot amarah pada Ale untuk mamanya, segera menahan langkah sang mantan saat hendak pergi.

"Ale, kau mau apa? Mau marah sama mamamu? Buat apa? Semua sudah terjadi, ibarat nasi sudah menjadi bubur. Sudahlah, terima kenyataan yang ada!" nasihat Senandung untuk Ale.
"Tapi, aku tidak bisa menerimanya. Aku masih sangat mencintai kamu," ucap Ale.
Lelaki itu memegang pundak Senandung. Memandang lekat wanita yang amat ia rindu. Namun, Senandung menggelengkan keras. Dia melepas pegangan Ale pada pundaknya.
"Terima kenyataan, Le! Kita sudah tidak bisa bersama lagi. Kau sudah menikah dengan Syifa, sedang aku akan menjalani kehidupan bersama Ki-Kiyan."

Walau Senandung terdengar ragu saat mengucap nama Kiyan. Namun, itu cukup menyulut rasa cemburu pada dada Ale.
"Kau akan tetap bersamaku. Karena kita masih saling mencintai."

Ale membingkai wajah Senandung. Menghujam mata sendu wanita itu dengan sorot kerinduan. Mencoba mengalirkan gairah cinta pada diri Senandung.
Sepersekian detik, Senandung merasakan aliran cinta itu. Namun, cepat pula dia mengusir jauh rasa itu. Dengan tegas wanita itu menggeleng.
"Jangan egois seperti itu, Ale! Kau sudah berbahagia bersama Syifa, dan aku pun berhak berbahagia bersama Kiyan," tukas Senandung seraya melepas tangan  Ale pada mukanya.
"Aku akan mati pelan-pelan, bila setiap hari melihatmu bersama Kiyan. Kumohon jangan lakukan itu, Sena! Ingat kita sudah ada Bira. Jadi, kembalilah ke padaku!" mohon Ale dengan tulus.
"Ale, jodoh kita telah usai. Terima kenyataan itu!" sergah Senandung tegas.
"Tidak. Ini tidak adil. Kita masih saling mencintai. Sena aku pinta ...."
"Kau milik Syifa sekarang, Ale!" sela Senandung keras.
"Bunda ...."

Seketika Senandung dan Ale menoleh ke ranjang bersamaan. Tampak Gembira terbangun dari tidurnya karena mendengar perdebatan kedua orangtuanya. Bocah itu menatap asing pada Ale, lalu mengucek kedua bola matanya. Kemudian mengerjap-kerjap memastikan siapa lelaki dewasa yang tengah berdebat dengan sang bunda.
"Ayah ?"

Gembira bergumam pelan. Bocah itu turun dari ranjang. Ale sendiri terkesima mendengarnya. Dia tidak menyangka, sang buah hati mengenalinya. Segera lelaki itu berjongkok dan merentangkan kedua tangan. Gembira berlari dan segera memeluk ayah kandungan dengan erat.

"Foto Ayah ada di hape bunda. Lalu bunda akan menangis, kalo Bira tanya Ayah ada di mana," terang Gembira seraya melepas pelukan.
Hati Ale amat bahagia mendengarnya. Dugaannya tidak salah kalau Senandung masih mencintainya.
Senandung sendiri hanya bisa menunduk mendengar pengakuan polos sang anak. Wanita itu mengacuhkan Ale yang menatapnya dengan senyum yang menghias di bibir.
"Ayah ke mana saja? Kenapa baru pulang sekarang?" tanya Gembira kemudian.
"Ayah pergi kerja, Nak. Tapi, sekarang ayah janji tidak akan pergi jauh lagi. Ayah, bunda, dan Bira akan hidup bersama."
"Ale!" seru Senandung.

Dia menegur sang mantan yang memberikan janji pada sang putri, bahwa mereka akan hidup bersama.
Namun, Ale tak menggubris. Lelaki itu mengacungkan jari kelinking pada Gembira, sebagai pertanda dia berjanji.

Gembira tampak bahagia. Bocah itu menautkan jari kelingkingnya pada jari sang ayah. Terlihat ayah dan anak itu saling melempar senyum. Kemudian mereka bertoast bersama. Kembali Gembira memeluk erat sang ayah seakan takut ditinggal pergi lagi.

Ale melepas pelukan saat merasa ponsel di saku celana hitamnya berdering. Segera dia mengusap tombol hijau di layar untuk menerima sambungan telepon.

"Halo, Yan!" Ale menyapa si penelepon yang tak lain adalah Kiyan.
[ ... ]
"Ya. Sebentar lagi kita berangkat. Tadi harus nunggu anaknya Sena bangun tidur siang dulu," jawab Ale atas pertanyaan Kiyan di seberang telepon.
[ ... ]
"Oke."

Ale mematikan sambungan telepon dengan mengusap tombol merah pada layar. Lalu lelaki itu memasukan layar tipis itu kembali ke saku.
"Bersiaplah segera! Kita akan ke rumah baru kalian," perintah Ale pada Senandung.
"Rumah baru?" pekik Bira girang.
Ale mengangguk. Dia mengusap rambut anaknya lembut, lalu menggendongnya.
"Ayo, Sena! Kiyan sudah menunggu," ajak Ale segera.
"Tidak. Kami akan tetap di sini," tolak Senandung tegas.
"Sena ... jangan keras kepala seperti itu! Aku bekerja keras demi mencari hunian yang tepat buat calon istri Kiyan. Bahkan aku bersyukur karena rumah itu ternyata untuk kalian." Ale mencoba membujuk Senandung yang diam bergeming.

"Iya, Bunda. Ayo berangkat! Om Kiyan pernah berjanji mau ngajak kita ke rumahnya yang kamarnya besar bukan?" rengek Gembira sembari menarik ujung baju Senandung.
"Ayo, Bunda! Ayo!"

Karena sang anak terus saja merengek Senandung hanya bisa mengalah. Setelah mendesah perlahan, wanita itu mengangguk pelan.
"Yeay!" sorak Gembira ceria.
Ale dan Senandung tersenyum bersamaan, melihat putri mereka meloncat kegirangan.
"Ya udah. Sekarang ganti baju dulu yuk!"

Gembira mengangguk menuruti perintah sang bunda. Ale sendiri memilih duduk di sofa ruang tamu, menunggu mantan istri berserta putrinya berganti pakaian.

Tak lama berselang Senandung dan putrinya keluar kamar. Ale tertegun melihat penampilan sang mantan. Walau hanya mengenakan blouse bermotif bunga mawar merah dan rambut yang dibiarkan tergerai indah, Senandung terlihat begitu anggun di mata Ale.
Hati Ale tergerak ingin menyentuh pipi sang mantan dengan tangan, tetapi lekas ia mengurungkan niat. Demi melihat Senandung yang menatap tajam padanya. Lelaki itu hanya mampu meringis malu, lalu untuk menutupi rasa itu dia menggendong sang putri berjalan ke mobil.

Sepanjang perjalanan, Ale dibuat gemas oleh celoteh lucu sang putri. Membuat dia berkali-kali mencubit hidung atau mengacak poni rambut bocah kecil itu. Senandung sendiri hanya bisa tersenyum simpul melihatnya.

"Bira mirip denganku, suka berbicara. Jauh berbeda dengan dirimu yang sangat pendiam."
Senandung menyeringai datar mendengar ujaran Ale padanya. Tak masalah baginya bila sang putri begitu cerewet.

Setelah menempuh waktu kurang lebih setengah jam, mereka sampai di tempat yang dituju. Begitu Ale membuka pintu, Gembira bergegas keluar mobil. Bocah itu langsung terpana, begitu melihat rumah di depannya yang tampak begitu mewah  dengan lantai dua bergaya minimalis.

"Ini benar rumah untuk Bira?" tanya bocah itu tak percaya.
Melihat sang ayah mengangguk pasti, Gembira memeluk lelaki itu dengan hangat. Hati bocah itu amat bahagia.

Ale melepas pelukan sang putri, saat mendengar sebuah mobil datang. Kemudian tampak sosok Kiyan muncul dari mobil Range Rover hitamnya. Lelaki itu melambaikan tangan pada Gembira.
"Om Kiyan!" panggil Gembira riang.
Bocah itu berlari menyosong kedatangan Kiyan. Kiyan sendiri segera memeluk bocah itu dengan hangat.

Kemudian Gembira menarik lengan Kiyan, menuju Ale yang masih berdiri di samping Senandung.
"Kenalin. Ini ayahnya Bira, Om."

Seketika tubuh Kiyan membeku mendengar penuturan bocah itu. Apalagi, saat melihat ekspresi Ale dan Senandung yang sama-sama tercengang mendengar celoteh sang putri.

==========
(side b)

Ale dan Senandung tampak begitu shock mendengar penuturan putri mereka. Bahkan wajah Ale terlihat sangat pias. Lelaki itu mencengkeram pahanya supaya tidak kentara gemetar.

Ketika Kiyan mengalihkan pandangan pada Senandung. Wanita itu diam menunduk. Ini semakin membuat Kiyan penasaran dibuatnya.
Namun, tidak lama kemudian Senandung kembali mendongak. Dengan senyum yang menghias di bibir, wanita itu menarik lengan sang putri mendekat.

"Ayo kita lihat-lihat rumahnya dulu yuk, Nak!"
Senandung menggandeng Gembira berjalan masuk, akan tetapi bocah itu menggeleng seraya menepis tangan bundanya.

"Om Kiyan sama ayah kan belum kenalan," tukas Gembira polos.
"Maksudnya apa ini?" tanya Kiyan dingin pada Ale dan Senandung.
Dada lelaki itu terasa panas akibat rasa cemburu yang mendalam, serta amarah yang siap meluap. Tak terasa tangannya mengepal keras.

Ale yang menyadari ada api kemarahan pada diri Kiyan, lantas mendekati sang kawan seraya memegang pundaknya. Kemudian dengan pelan dia berkata, "Anaknya Sena lucu. Dia langsung saja menganggapku sebagai ayahnya. Hi ... hi."

Ale berpura-pura tertawa, tetapi demi melihat Kiyan dan Senandung yang terdiam tak menggubris. Lelaki itu pun membisu.
Apalagi saat Gembira menatapnya kesal. Dengan cemberut bocah kecil itu mengajukan protes kepadanya, "Tapi, Ayah memang Ayahnya Bira kan?"
"I-iya. Ini a-yah Bira dan Om Kiyan itu papanya Bira," jawab Ale terbata sambil menunjuk dadanya sendiri, lalu menunjuk dada Kiyan.

Ale merasa amat takut pada Kiyan. Sejenak dia mengatur napasnya perlahan, menutup mata sejenak. Lalu kembali berujar pada sang putri," Bira punya dua ayah, Nak."
"Tapi, yang ada di hape Bunda adalah foto Ayah. Fotonya Om Kiyan tidak ada," sergah Gembira semakin kesal.

Bocah itu merasa sang ayah seperti tidak mau mengakui dia sebagai anak. Kiyan sendiri semakin terperanjat mendengar ucapan Gembira.
"Sena ... Ale?"

Kiyan menatap pasangan itu secara bergantian. Dia meminta penjelasan. Kemudian saat dengan lemah Senandung mengangguk, hati Kiyan terasa begitu sakit. Dadanya berdenyut perih. Mendadak api amarah menguasai pikiran. Lelaki itu menatap tajam pada Ale yang menunduk dengan bahu yang terlihat begitu turun.

"Ja-jadi lelaki brengsek itu ka-kamu?" tanya Kiyan pada Ale sedikit tergetar.
Ale sendiri hanya bisa terdiam. Mulut lelaki itu tampak kelu untuk menjawab.
"Jawab Ale!" sentak Kiyan berang.
"Jika Ale adalah ayahnya Bira. Memangnya kenapa? Kau tak perlu semarah itu, Kiyan!" tukas Senandung heran melihat Kiyan begitu berang terhadap Ale.

"Dasar pengkhianat!" kecam Kiyan naik pitam.
BUGHH

Kiyan melayangkan bogeman mentah. Meninggalkan lebam biru pada pipi kanan Ale. Lelaki itu sedikit terhuyung mendapat pukulan mendadak dari Kiyan. Kemudian saat Kiyan menarik bajunya dan memberikan tinjuan keras pada muka, Ale diam saja tak membalas. Tentu saja Senandung dan Gembira ketakutan melihat perkelahian itu.
"Kiyan ... hentikan! Aku mohon!" jerit Senandung keras.

Wanita itu menahan tangan Kiyan yang hendak menonjok perut Ale kembali. Sementara Gembira segera memeluk sang ayah dengan erat. Dengan marah bocah itu bertanya, "Kenapa Om Kiyan memukuli ayah Bira? Apa salahnya?"
"Iya, Kiyan. Kau menuduh Ale sebagai pengkhianat. Maksudnya apa?"
Senandung ikut menimpali pertanyaan sang putri. Dirinya begitu heran kenapa Kiyan sebegitu marahnya saat tahu siapa ayah dari anaknya.
"Kau tanyakan saja pada dia!" Kiyan menunjuk Ale yang tertunduk diam.

Setelah mengusap wajahnya dengan kasar, kembali Kiyan mendekati Ale. Walau tangan kecil Gembira mendepak perutnya agar menjauh dari mereka.
"Kau berhutang penjelasan padaku, Le!"

Setelah mendorong bahu Ale dengan kesal, Kiyan berlalu pergi dari tempat itu dengan emosi yang masih menguasai hati. Lelaki itu memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi.

"Kau tidak apa-apa?" tanya Senandung pada Ale.
Ale menggeleng lemah. Penuh perhatian Senandung meraba pipi Ale yang lebam, lalu dia mengeluarkan secarik tisu dari dalam tas. Kemudian dihapusnya darah yang terlihat menitik di sudut bibir sang mantan.

"Kenapa Om Kiyan marah-marah pada Ayah?" tanya Gembira.
"Gak papa. Ayuk sekarang kita masuk, buat lihat-lihat rumahnya!" jawab Ale mengalihkan topik pembicaraan.
Lekas lelaki itu menggendong sang buah hati masuk rumah. Dia mengacuhkan Senandung yang meminta penjelasan darinya.

Walaupun sedikit kesal karena merasa diacuhkan Ale, Senandung mengikuti lelaki itu masuk. Bibir wanita itu menyunggingkan senyum tipis saat melihat sang anak begitu antusias melihat-lihat isi rumah.

Gembira berlari menaiki anak tangga, mencari letak kamarnya nanti. Sementara kedua orangtuanya mengikuti dari belakang.

"Ale. Tolong jelaskan ini semua! Kenapa Kiyan begitu marah saat tahu kau adalah ayah kandungnya Bira?" Kembali Senandung meminta penjelasan.
Ale terdiam. Lelaki itu hanya termangu, sembari memandangi sang putri.
Gembira tampak asyik melompat-lompat pada ranjang, di sebuah ruangan yang nantinya akan dijadikan sebagai kamar bocah itu.

"Ale?" tegur Senandung.
Wanita itu merasa gemas karena Ale tak lekas menjawab pertanyaannya. Sementara Ale tampak mengatur napasnya perlahan, lalu dengan lembut dia meraih jemari Senandung seraya berujar, "Bila semuanya terungkap, tetaplah bersamaku, Sena! Aku mohon!"
"Maksudnya apa Ale? Ada rahasia apa antara kau dan Kiyan yang tak kuketahui?" tanya Senandung semakin penasaran. Dia menelisik manik hitam Ale agar lekas memberi penjelasan padanya.
"Harusnya tadi kau tak perlu jujur menanggapi pertanyaan Kiyan, Sena,"  sesal Ale kemudian. Kembali lelaki itu mendengkus pelan.
"Memang kenapa? Kau malu mengakui dirimu ayahnya Bira?" tanya Senandung ketus. Hatinya merasa amat keki.
"Bukan begitu, Sena!"
"Lantas kenapa?" tukas Senandung segera.

Melihat kedua orangtuanya saling berdebat, Gembira datang mendekat. Tangan kecilnya meraih jemari sang bunda sembari bertanya, "Kenapa semua orang pada marah-marah sama ayah? Tadi om Kiyan, sekarang Bunda."
"Ah ... tidak apa-apa kok, Sayang. Sekarang kita turun buat lihat kolam renang. Ayuk!" Ale yang menjawab pertanyaan sang putri untuk Senandung.

Kemudian, Aleandra bergegas menggandeng tangan Gembira menuruni anak tangga. Keduanya menuju kolam renang dalam rumah itu.

Senandung menghentakan kakinya dengan kesal, karena Ale tak juga menjawab rasa penasarannya. Walaupun merasa keki, dia mengikuti ayah dan anak itu turun.
Ale masih saja terdiam saat mengetahui Senandung sudah berada di sampingnya. Mata lelaki itu mengawasi sang buah hati yang tampak asyik menciprat-cipratkan air kolam renang.

Kemudian, setelah tampak puas bermain air, Gembira tampak berlari menuju ayunan yang terdapat di sebuah taman kecil pada sudut rumah itu.
Bocah itu bermain ayunan dengan riang. Apalagi saat sang ayah mendorong ayunan itu tinggi-tingi, Gembira terlihat amat bahagia. Tak dihiraukan larangan sang ibu yang menyuruhnya berhenti karena takut ia jatuh.

Setelah melihat sang anak keletihan. Ale dan Senandung memutuskan untuk segera pulang. Dalam perjalanan bocah itu tertidur dalam pangkuan sang bunda.

"Ale. Tolong jelaskan semua maksud perkataan Kiyan tentangmu. Jangan biarkan aku penasaran dibuatnya!"
Kali ini Senandung memohon dengan suara yang memelas. Membuat Ale merasa iba dibuatnya. Sekilas lelaki itu melirik ke wanita pujaannya, lalu kembali fokus pada kemudi.
"Ale ...."
"Sena. Aku mohon diamlah! Saat ini aku belum punya keberanian untuk mengungkap semua rahasia ini. Jadi, bersabarlah sampai waktunya tiba!"
Ale menyela teguran Senandung dengan tegas. Membuat wanita itu mendecih kesal karenanya. Namun, dia tak peduli. Mulutnya masih setia bungkam sampai mereka tiba di rumah.

Begitu mobil berhenti di halaman, Ale bergegas mengambil alih membopong tubuh sang putri dari dekapan Senandung. Bahkan, lelaki itu mengacuhkan Epa yang membuka pintu dengan tatapan asing padanya. Karena gadis itu memang belum pernah melihat dia sebelumnya.

Sangat hati-hati Ale merebahkan tubuh kecil Bira ke ranjang. Setelah mengusap lembut rambut sang putri, lelaki itu bergegas keluar. Namun, lengannya ditarik oleh sang putri. Ternyata bocah itu terjaga dari tidur.

"Ayah, mau ke mana?" tanya Gembira kemudian. Bocah itu mendekap tubuh sang ayah dengan erat, seakan takut ditinggal lagi.

Ale membalas pelukan sang putri dengan hangat. Memberi rasa nyaman pada anaknya dengan usapan lembut di punggung. Beberapa menit kemudian dia melepaskan dekapan itu sembari berjanji, "Ayah pulang dulu, ya. Besok main lagi ke mari."
"Kenapa pulang? Kenapa tidak tinggal di sini saja?" tanya Gembira setengah merajuk.
Ale terdiam tak dapat menjawab pertanyaan sang putri. Lelaki itu menoleh ke Senandung. Dengan dagunya dia meminta agar wanita itu membujuk Gembira.

"Bira. Biarkan ayahmu pulang dulu buat ambil baju. Lain waktu kan bisa ke mari lagi." Senandung segera menggendong sang putri, lalu dengan matanya dia menyuruh Ale untuk segera pergi.
Ale pun mengangguk. Kemudian lelaki itu mengusap rambut Gembira lembut seraya berjanji, " Besok kalo ke sini akan ayah bawakan boneka panda besar buat Bira."
"Benarkah?" Gembira memastikan. Ale mengangguk. Kemudian keduanya saling menakutkan jari kelingking.
"Aku pergi, Sena," pamit Ale. Kemudian lelaki itu mendekat dan berbisik pada telinga Senandung, "Aku masih sangat mencintai kamu."

Usai berkata seperti itu lelaki itu bergegas keluar, setelah terlebih dulu melempar senyum ramah pada Epa yang memperhatikan dirinya tanpa berkedip.

"Bunda. Bira masih mengantuk. Pingin bobo lagi."
Rengekan Gembira dibalas anggukan oleh Senandung. Kemudian wanita itu menemani sang putri untuk kembali terlelap. Dengan usapan lembutnya, tak butuh waktu lama buat si kecil kembali tertidur.

Begitu melihat Gembira tertidur pulas, Epa segera mendekati Senandung. Gadis itu duduk di tepi ranjang sambil bertanya, "Jadi lelaki tadi adalah ayahnya Bira, Sena?"
Senandung bangkit dari rebahan, lalu mengangguk untuk membalas pertanyaan sang kawan. Tampak mata dan mulut Epa membulat melihat pengakuan Senandung. Lantas dengan enteng gadis itu berujar, "Pantas kamu susah move-on dari dia. Cakepnya kebangetan. Siwon Suju aja lewat."
Senandung diam saja tak menggubris kelakar sang kawan. Wanita itu tengah menatap sang putri yang tampak damai dalam lelapnya.

"Ayah ... Ayah!"
Terdengar Gembira mengigau. Bocah itu sepertinya tengah mengimpikan sang ayah. Maka penuh kasih sayang Senandung menepuk-nepuk paha anaknya dengan lembut. Kemudian memberikan sebuah guling agar dipeluk sang anak.

"Lihatlah! Bira begitu merindukan ayahnya sampai terbawa mimpi," ujar Senandung pada Epa kemudian.
"Ow ow ow. Itu bukan alasan bagimu untuk balikan lagi sama dia. Ingat!  Seberapa menderita hidupmu oleh perlakuan orangtuanya. Juga kemarin kamu bilang, dia adik iparnya Kiyan, kan?"
"Siapa yang bilang aku mau balikan sama dia? Aku cuma bicara bahwa Bira begitu amat merindukannya," sergah Senandung kesal.
"Dari caramu melihat dia. Aku yakin kamu masih sangat mencintai dia. Iya kan, Sena?"
Senandung hanya terbungkam. Tak dapat dipungkiri kalau Ale lah yang memiliki separuh hatinya.

"Oh tidak, Sena. Jangan melakukan kesalahan yang sama. Menjadi duri dalam rumah tangga orang! Ingat ada Kiyan yang begitu tulus menerimamu apa adanya." Epa memberi nasihat sembari memegang pundak Senandung.
"Entahlah." Senandung galau. Dia melepas pegangan Epa pada pundaknya.
"Arghhh ... kalo begitu ganti saja judul kisah ini. Jangan Senandung, tapi pelakor yang tak kunjung insaf," ejek Epa sinis.
Senandung merasa kesal mendengar kelakar Epa yang menyebalkan. Dengan berang wanita itu menimpuk karibnya dengan bantal.

"Hanya keledai bodoh yang jatuh pada lubang yang sama!"
"Epa ...!" seru Senandung.

Kali ini Senandung melempar Epa dengan boneka kepunyaan sang anak. Namun, kawannya itu menghindar pergi sembari menjulurkan lidahnya.
Senandung mendelik sebal ke Epa sampai gadis itu tak terlihat lagi karena menutup pintu kamar untuk keluar.

Beberapa detik kemudian, Senandung termangu. Dia memikirkan semua omongan sahabatnya barusan.
Ya ... omongan Epa benar. Senandung mengakuinya. Wanita itu menatap sang putri yang masih terbuai mimpi. Tanpa sadar dia mengecup kening gadis kecilnya.
Tersenyum Senandung menatap wajah damai Gembira yang terlelap. Baginya, mata dan hidung sang buah hati selalu mengingatkan dia akan Ale, karena saking miripnya.

Beberapa menit kemudian, Senandung teringat akan Kiyan. Wanita itu kembali heran, kenapa Kiyan sebegitu marahnya pada Ale.
'Kenapa Kiyan menuduh Ale sebagai pengkhianat?' batin Senandung bingung.
"Aku harus menemui Kiyan secepatnya, supaya kebingungan ini tidak terus melanda di hatiku," gumam  Senandung pasti.

Bersambung #8

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Berilah komentar secara santun dan simpel

POSTING POPULER