(side a)
Sementara itu
Begitu sampai rumah, Aleandra segera mendorong pintu untuk masuk. Dengan gontai, lelaki berhidung bangir itu bergegas menuju kamar. Langkahnya terhenti di ruang keluarga. Ketika mama, papa, juga sang istri yang tampak asyik menonton drama televisi menatap heran padanya.
"Kenapa dengan mukamu, Ale?" tanya mama perhatian.
Syifa sendiri bergegas bangkit dari duduk, lalu dengan lembut dia mengusap pi7pi lebam Ale.
"Iya. Kenapa babak belur begini?" Syifa ikut menimpali.
"Jatuh dari motor," sahut Ale asal.
"Motor?" Mama dan papa saling berpandangan. Mereka semakin heran.
"Iya. Tadi aku diajak naik motor sama teman-teman."
Ale terpaksa berdusta untuk menjawab keheranan pada wajah orangtuanya, karena sudah lama dia tidak pernah naik motor kembali. Kemudian, sembari mengendorkan dasi yang terasa menyekik leher, lelaki bermanik hitam teduh itu menaiki anak tangga menuju kamar. Diikuti Syifa di belakang.
Begitu tiba di kamar, Ale segera menghempaskan tubuh penatnya pada ranjang empuk berukuran king size.
"Kamu habis berantem, ya?" tanya Syifa penasaran.
Kembali wanita berlesung pipit itu mengusap lebam pada pipi Ale. Namun, dengan kasar sang suami malah menepis tangannya.
"Sudah kubilang aku jatuh dari motor. Sudah sana ambil air buat kompres lebam ini!"
Syifa agak tertegun mendengar perintah ketus dari sang suami. Dia merasa beberapa hari terakhir, sikap Ale sedikit berubah. Terkesan lebih dingin. Namun, adik Kiyan tidak mau berpikir buruk, lekas dibuangnya jauh-jauh pikiran jelek itu.
Kemudian tanpa bertanya lagi, Syifa bergegas mematuhi perintah sang suami. Agak tergesa dia menuju dapur untuk mengambil air hangat dan baskom. Lalu begitu dirinya sampai kamar, segera dikompresnya lebam pada pipi sang suami.
"Auww!" keluh Ale tampak meringis menahan sakit.
Namun, Syifa tetap saja menempelkan handuk kecil pada pipi sang suami. Tak dihiraukan desisan Ale. Baru setelah lelaki terkasihnya menyuruh berhenti, dia berhenti.
Diletakan baskom pada nakas, lalu Syifa mengambil handuk dari lemari. Kemudian dia menyerah kain itu pada sang suami seraya menyuruh," Mandilah! Lalu bergegas turun ke meja makan bila sudah selesai. Dari tadi kita semua menunggu kedatangaanmu untuk makan malam bersama."
Ale diam saja tak menyahuti perintah sang istri. Dia hanya menerima handuk yang diserahkan padanya. Kemudian berlalu menuju kamar mandi.
Guyuran air dingin pada shower sedikit menyejukkan pikirannya yang tengah kalut. Kembali bayangan Kiyan yang tampak begitu berang padanya, berkelebat di mata. Ale mematikan shower. Lelaki itu memejam. Kini bayangan Senandung dan sang putri yang menari-nari di benak. Dia tampak mendesah panjang.
Tak lama berselang, Ale pun keluar kamar mandi. Dipakainya piyama yang telah disiapkan Syifa di atas ranjang. Lima menit kemudian, dia turun menuju meja makan.
Ale lantas duduk di sebelah Syifa. Mama dan papa masih saja terus menatap heran padanya. Namun, lelaki itu diam tak menggubris. Dirinya tetap cuek seraya menikmati sepiring makanan yang telah disuguhkan sang istri padanya.
"Ale, jangan bohong sama mama! Ayo ceritakan siapa sebenarnya yang telah membuatmu babak belur begitu!"
Akhirnya, untuk membunuh rasa penasaran di hati, Ibu Ambarwati mengajukan pertanyaan pada anak kesayangan.
Ale masih terdiam. Dia tetap mengunyah makanan lamat-lamat. Namun, semua orang menatap padanya dan minta penjelasan. Terpaksa dia menghentikan makannya. Kemudian dengan pelan dia menjawab,"Kiyan."
"Apa? Kiyan?" tanya Ibu Ambarwati bersamaan sang suami. Bahkan, Syifa yang tengah menenggak air putih menjadi tersedak dibuatnya. Mereka semua tersentak kaget mendengar jawaban Ale.
"Iya," sahut Ale pendek.
"Tapi, apa yang membuat kakakku memukulimu? Ada masalah apa di antara kalian?" Syifa memberi serentetan pertanyaan pada sang suami, agar rasa penasarannya hilang.
"Senandung. Aku dan Kiyan merebutkan wanita itu."
Tak disangka, Ale jujur mengungkapkan kebenaran. Walaupun terlihat kedua orangtuanya mendelik marah mendengarnya.
"Ale!" tegur Bu Ambarwati mencoba memperingatkan sang putra agar tidak kelepasan bicara.
"Kenapa, Ma? Sudah saatnya Syifa tahu," tukas Ale mulai tersulut api emosi. Lelaki itu menatap sang istri yang duduk di samping kirinya sembari berujar,"Dari dulu kau ingin tahu bukan, siapa mantan istriku sebenarnya?"
Syifa mengangguk pasti. Bu Ambarwati merasa takut. Kembali wanita paruh baya yang masih terlihat ayu itu berseru," Ale!"
"Kenapa, Ma? Syifa harus tahu karena sebentar lagi mantan istriku akan menjadi kakak iparnya dia," terang Ale menggebu.
"Apa? Ja-jadi Sena adalah mantan is-trimu?" tanya Syifa sedikit terbata karena saking kagetnya.
"Ya. Perlu kau tahu Syifa. Aku masih sangat mencintai dia hingga detik ini," jawab Ale tegas.
Dia tidak memedulikan Syifa yang terhenyak mendengar pengakuan jujur dari mulutnya. Sejenak lelaki itu tampak menghela napas. Mencoba menetralkan kembali hati yang mulai berdegub kencang akibat emosi yang melanda. Kemudian dengan berang dia menatap sang ibu.
"Kenapa dulu Mama tega mengusir Senandung dari kontrakan? Tidakkah Mama tahu, waktu itu dia tengah mengandung anakku? Jawab, Ma!" Ale berseru marah.
"Ale ... semua yang mama lakukan itu demi kebahagiaanmu. Mama tidak tega melihat kau menderita hidup bersama Sena." Ibu Ambarwati memberi alasan.
"Menderita? Aku yang menjalani kehidupan rumah tangga itu, dan perlu Mama tahu, aku bahagia hidup bersama Senandung!"
"Ale! Bersikap sopanlah pada Mamamu!" tegur suami Ambarwati tegas.
"Aku kecewa pada Mama dan Papa. Sikap egois kalian telah membuat cucu kalian terlantar!" kecam Ale marah.
"Sayang ... kumohon tenanglah. Jangan tersulut emosi seperti itu!" Syifa mencoba menengahi perdebatan suami dan mertuanya itu.
"Kau tidak ada sangkut pautnya dalam masalah ini. Jadi, kau yang perlu tenang, Syifa. Bukan aku," sergah Ale tegas.
Kembali lelaki itu menatap tajam pada kedua orangtuanya sembari berkata,"Bila kalian tidak menginginkan Senandung hidup bersamaku, tapi tolong izinkan anakku untuk tinggal di sini!"
Usai berkata seperti itu, Ale berlalu tanpa sepatah kata lagi. Dirinya bergegas menuju kamar. Merebahkan tubuh yang letih pada ranjang dan mencoba memejamkan mata. Kecaman Kiyan padanya tadi siang kembali terulang di benak.
Ketika Ale mendengar Syifa masuk kamar. Dirinya lantas berpura-pura sudah tertidur, agar tidak diusik lagi oleh sederet pertanyaan sang istri.
***
Esok siang
Ketika Aleandra tengah sibuk dengan berkas-berkas yang menumpuk di meja kerja. Terdengar bunyi chat masuk pada ponsel pintar. Dengan malas, diambil benda pipih persegi itu. Sebelum membaca isi chat, lelaki itu tampak melepas kacamata yang menghias mata teduhnya. Dia menekan pangkal hidung perlahan, berharap pusing yang mendera pikiran segera sirna.
Namun, seketika bibirnya melengkung ke atas. Saat membaca isi chat yang dikirim Senandung padanya.
[Datanglah ke taman tempat biasa dulu kita bersua!]
[Aku menunggumu!]
"Kau memang masih sangat mencintaiku, Sena. Bahkan, kau ingin kita bernostalgia di tempat itu," gumam Ale semringah.
Tanpa membuang waktu Ale segera memasukan ponsel mahalnya ke saku kemeja putih yang dikenakan, lalu dia menyambar kunci mobil dalam laci. Dengan langkah yang ringan lelaki itu keluar ruangan. Namun, langkahnya terhenti ketika berpapasan dengan sekertarisnya di pintu.
"Pak Ale, waktu meeting tinggal setengah jam lagi." Sang sekertaris memberi tahu.
"Batalkan!" sahut Ale enteng.
"Tapi, Pak. Bukankah Bapak yang meminta untuk ...."
"Aku bilang batalkan! TITIK!" perintah Ale tak terbantahkan.
Lelaki itu berlalu meninggalkan sang sekertaris yang hanya bisa mengangguk lemah.
Diiringi siulan riang, Ale memacu mobil menuju taman yang dituju. Sepanjang perjalanan, dia menyunggingkan senyum simpul. Tak butuh waktu lama baginya untuk sampai di tempat yang dimaksud Senandung.
Setelah memarkir kendaraan dengan rapi, lelaki itu bergegas turun dari mobil. Pandangannya mengitari setiap sudut taman tersebut. Baginya suasana dan keadaan masih sama seperti enam tahun silam, saat dirinya kerap menghabiskan waktu di situ bersama Senandung.
Kemudian penuh langkah pasti karena dilanda kebahagiaan yang membuncah, Ale menuju bangku depan air mancur. Benar adanya. Senandung sudah menunggu kedatangannya di situ.
Pelan, Ale memegang pundak Senandung. Membuat wanita yang tengah merenung itu menoleh. Tersenyum manis Ale pada wanita pujaan hati, tetapi sang mantan istri hanya tersenyum tipis menanggapi.
"Kau ingin kita bernostalgia di tempat ini, Sena?" ledek Ale semringah.
Senandung hanya menyeringai datar mendengar ledekan Ale. Kemudian dengan tegas dia berkata, "Bukan. Aku ingin kau menceritakan semua rahasia antara kau dan Kiyan."
Terdengar Ale mendesah. Kemudian tangannya meraih kerikil kecil di bawah bangku. Lantas untuk membuang rasa kecewa akibat mendengar penuturan sang mantan, segera ia lempar batu kecil itu ke kolam air mancur dengan keras.
"Sudah kubilang aku belum siap, Sena," keluh Ale lemah.
"Oke. Kalo kau belum siap biar Kiyan saja yang menjelaskan semua," tukas Senandung tegas.
"Ma-maksudmu?" tanya Ale tergetar.
"Iya. Biar aku saja yang jelaskan semuanya ke Sena."
Suara Kiyan yang tiba-tiba muncul dari belakang, membuat Ale terperanjat. Lelaki itu menelan ludahnya yang terasa pahit.
==========
(side b)
Ale yang menyadari kedatangan Kiyan dengan tiba-tiba, bergegas bangkit dari duduk. Dengan suara yang berat lelaki itu bertanya, "Mak-sudnya apa ini?"
"Ale. Sena harus tahu semua tentang rahasia yang kau sembunyikan," jawab Kiyan.
Ale terdiam. Sejenak memejam untuk meyakinkan diri. Bahwa dia sanggup membuka semua rahasia buruk dari wanita yang masih amat ia cintai.
"Oke. Kalo itu yang kalian inginkan. Aku akan bercerita."
Sesaat Ale menarik napas dalam-dalam. Kemudian setelah terkumpul segenap keberanian, dia pun mulai bercerita.
Bahwa, dulu delapan tahun silam. Kiyan pernah menyuruh Ale untuk menyelidiki Senandung, agar bisa mengenal lebih jauh sosok gadis misterius itu. Intinya, Kiyan menjadikan Ale sebagai makcomblang.
Namun, ibarat pagar makan tanaman. Ale justru diam-diam mencuri start lebih dulu. Di belakang Kiyan, sang teman justru memacari Senandung. Bahkan, saat sang kawan pindah ke Semarang, Ale memutus kontak hubungan antara Kiyan dan Senandung.
Ale mengaku pada Kiyan, bahwa sudah tidak pernah berhubungan lagi dengan Senandung karena sibuk kuliah. Sementara jika Kiyan menghubungi gadis itu sendiri, dia menyuruh sang pacar untuk tidak menanggapi.
Tampak Senandung terhenyak mendengar penuturan mantan suami. Dia tidak pernah menyangka kalau Kiyan menaruh hati padanya sejak lama.
"Kenapa kau melakukan itu, Ale?" sesal Senandung kemudian.
"Ya ... itu karena aku sangat mencintaimu, Sena. Aku takut kalo kau lebih memilih Kiyan," jawab Ale pelan. Dirinya menunduk merasa bersalah.
"Dasar tukang tikung! Harusnya kita bersaing secara sehat untuk mendapatkan Sena. Bukannya malah menusukku dari belakang, Ale." Kiyan menggeleng pelan.
Dia ikut menyesalkan perbuatan curang sang kawan. Setelah beberapa detik terdiam, lelaki jangkung itu menatap Senandung sembari berujar, "Bahkan, setelah balik lagi ke Jakarta, aku masih mencarimu, Sena. Namun, Ale masih saja bungkam mengenai keberadaanmu."
"Sungguh waktu itu aku tidak tahu keberadaan Sena, Kiyan. Karena kita baru saja berpisah," protes Ale atas ucapan Kiyan pada Senandung.
"Lantas, kenapa tidak jujur padaku bahwa kau telah menikahi Sena?" Kiyan pun mengajukan protes pada Ale.
"Sudah ... sudah! Hentikan perdebatan ini!" Senandung menengahi perdebatan kakak dan adik ipar itu.
"Oke. Ambillah keputusan, Sena! Sekarang kau sudah tahu, bahwa akulah yang lebih dulu mencintaimu dibanding Ale."
Kiyan memegang pundak Senandung, seraya menatap lekat mata bulatnya. Dia berharap Senandung dapat mengambil keputusan yang tepat.
Senandung sendiri melepas pegangan tangan Kiyan pada pundak. Terlihat wanita itu menarik napas lamat-lamat, lalu menatap dua pria di hadapan secara bergantian.
Saat Senandung menatap Kiyan, terlintas bayangan Gembira tengah menangis sedih. Lalu saat dia beralih memandang Ale. Tampak wajah Syifa yang sedang meratap pilu. Sungguh Senandung merasa amat galau.
"Sena!"
Senandung sedikit tergagap mendapat teguran bersamaan dari Kiyan dan Ale, karena tak jua lekas mengambil keputusan.
Akhirnya, Senandung menganguk pasti. Hatinya sudah menentukan pilihan, maka dengan yakin dia menatap Ale sambil berujar,
"Ale. Kaulah lelaki pertama yang mengenalkan indahnya cinta ke padaku. Namun, jodoh kita telah usai. Kau telah berbahagia bersama Syifa. Jadi, izinkan pula aku berbahagia hidup dengan Kiyan."
"Tidak. Jangan membohongi diri sendiri, Sena! Ingat, kita sudah ada Bira!" Ale tidak terima.
Lelaki itu menggeleng cepat. Secepat ia menyambar lengan Senandung dan menarik tubuh wanita itu mendekat padanya. Namun, Senandung memberontak.
"Ale. Jangan egois seperti itu! Ada banyak hati yang tersakiti bila kita bersama lagi," tolak Senandung tegas.
Kiyan mendekat, lalu berdiri di depan Senandung. Menjadi perisai bagi wanita itu dari serangan mata Ale yang menghujam tajam pada sang mantan istri.
"Terima kenyataan, Le! Kau adalah masa lalu Sena, sedangkan aku adalah masa depannya." Kiyan tersenyum miring pada Ale.
Kemudian Kiyan meraih dan mengecup pelan tangan Senandung. Dengan lembut dia berucap, "Terima kasih, Sena. Kau telah menerimaku menjadi bagian dalam hidupmu."
"Sama-sama, Kiyan. Terima kasih juga, karena kau mau menerima aku apa adanya," jawab Senandung tulus.
Kedua sejoli itu saling tersenyum manis. Lantas Kiyan menggandeng tangan Senandung meninggalkan taman itu.
"Berhenti, Sena! Kumohon jangan tinggalkan aku!" teriak Ale.
Lelaki itu berusaha memanggil nama Senandung agar mau berhenti. Namun, mantan istrinya sama sekali tidak menoleh ke belakang.
"Sena ...."
De javu. Ale kembali meraung menangisi kepergian Senandung.
Sementara Senandung dan Kiyan tak mempedulikan teriakan Ale yang histeris. Keduanya masuk mobil.
Sepanjang perjalanan keduanya tampak diam. Kiyan fokus pada kemudi, sedangkan Senandung menatap jalanan lewat kaca mobil.
Setelah beberapa lama saling terdiam. Kiyan memulai obrolan dengan memanggil lembut nama Senandung, membuat wanita di samping tersenyum manis padanya.
"Sena. Kalo aku meminta kita segera menikah, apakah kau tidak keberatan?" tanya Kiyan meminta kepastian.
"Tentu aku tidak keberatan, tapi apakah ini tidak terlalu buru-buru, Kiyan?" Senandung balik tanya.
"Aku pria dewasa yang sudah mapan, sedangkan kau janda muda beranak satu. Sangat rentan bagimu, bila harus menunda-nunda pernikahan. Akan banyak fitnah bila kita tidak lekas menghalalkan hubungan ini," jawab Kiyan bijak.
Senandung pun mengiyakan ucapan Kiyan. Membuat lelaki di sampingnya itu tersenyum bahagia.
Kemudian tanpa diminta, Kiyan bercerita tentang sang Papa yang sudah semakin tua dan sakit-sakitan. Bahwa, beliau sangat mengharapkan Kiyan segera menikah dan memberikan cucu.
"Malam minggu besok. Mama mau mengadakan jamuan makan malam di rumah, sebagai ucapan syukur atas kesembuhan Papa. Aku akan mengenalkan kau pada mereka dalam acara itu," terang Kiyan ceria.
Senandung tersenyum melihat Kiyan bersemangat dalam bercerita. Namun, hati wanita itu masih bimbang.
"Apakah kedua orang tuamu tidak mempermasalahkan keadaan statusku?" tanya Senandung ragu. Kiyan menggeleng pasti.
"Papa selalu mendukung setiap langkah yang kuambil, terpenting itu bukan hal yang buruk. Lalu Mama, walaupun dia hanya seorang ibu sambung, tapi beliau sangat menyayangi aku dan Syifa. Yakinlah kalo mereka berdua akan menerimamu," papar Kiyan yakin.
"Semoga itu benar," harap Senandung masih resah.
Penolakan orang tua Ale padanya dulu kembali terkenang. Sesaat wanita mendengkus pelan, lalu meyakinkan diri bahwa dia sudah siap bertemu dengan kedua orang tua Kiyan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel