Cerita Bersambung
(side a)
Malam minggu esoknya;
Senandung menatap tampilan diri di cermin. Sentuhan lipstik berwarna peach pada bibir, membuat wanita itu tampak begitu segar dan natural. Penampilan semakin sempurna saat tubuhnya dibalut gaun malam panjang berwarna hitam. Dia terlihat begitu elegan.
Diambilnya tas tangan senada warna gaun, lalu hati-hati Senandung mengecup kening Gembira yang sudah pulas terlelap. Gadis kecilnya tidak tidur siang, sehingga lepas maghrib langsung minta tidur.
"Aku pergi dulu. Tolong jaga Bira ya, Ep!" pamit Senandung pada sang kawan yang tengah menatapnya di pintu seraya bersedekap.
"Oke. Tuh, pangeran berkudamu sudah menunggu." Epa menggoda.
Senandung menyeringai lucu mendengar ledekan sang kawan. Kemudian bergegas dia keluar menemui Kiyan yang setia menunggu di ruang tamu.
Kiyan sendiri terkesima begitu melihat penampilan Senandung. Matanya sampai tak berkedip dibuatnya. Senandung tersenyum geli. Terpaksa wanita itu menjentikan jari untuk menyadarkan pandangan takjub Kiyan padanya.
"Kau sudah siap, Sena?" tanya Kiyan
Kiyan mengulurkan tangan. Senandung mengangguk mantap. Kemudian keduanya menuju mobil. Dengan sigap sang pria membuka pintu mobil untuk sang wanita.
Senandung merasa gugup. De javu. Perasaan yang sama, saat dia akan dikenalkan pada orang tua Ale enam tahun yang lalu.
Untuk menghilangkan rasa grogi, Senandung menggosok-gosokan kedua telapak tangan. Kiyan yang melihat merasa heran, tapi senyumnya mengembang di bibir.
"Kenapa?" tanya Kiyan.
"Aku gugup, Yan," sahut Senandung risau.
"Tenang. Orang tuaku baik kok." Kiyan tersenyum geli.
"Ale dulu juga bicara seperti itu, tapi yang terjadi ... orang tuanya sangat membenciku. Sementara kini, statusku sudah bukan gadis lagi. Apakah kedua orang tuamu mau menerimaku?"
"Orang tuaku berbeda dengan orang tua Ale. Perlu diingat juga, bahwa Alloh itu sesuai dengan prasangka hamba-Nya. Jadi, bila kau berprasangka positif maka hasilnya pun akan baik," tutur Kiyan bijak.
Kiyan mencoba menenangkan hati Senandung dengan mengusap rambut wanita itu pelan. Lalu kembali dia fokus pada kemudi. Kembali keduanya terdiam. Mereka terlarut dalam pikiran masing-masing.
Sekitar tiga puluh menit kemudian, mereka sampai di tempat tujuan. Setelah memarkir rapi mobil di garasi, Kiyan mengajak Senandung masuk rumah. Lelaki itu menggandeng tangan sang pujaan menuju meja makan, di mana seluruh keluarga berkumpul termasuk keluarga baru Syifa.
Keduanya segera menyalami semua orang yang ada di situ. Dengan takzim Senandung mencium punggung tangan papanya Kiyan, dan tak disangka pria tua itu menyambut hangat. Namun, tidak dengan mama Kiyan. Wanita paruh baya itu terlihat datar menanggapi calon istri sang anak.
Walau hati Senandung masih terasa sakit, bila mengingat perlakuan orang tua Ale padanya dulu. Namun, dia tetap menyalami mereka dengan hormat.
Orang tua Ale masih tetap seperti dulu. Mereka memandang sinis pada kedatangan Senandung, sedangkan Ale tampak begitu dingin padanya sama seperti sang istri.
Senandung sendiri merasa agak heran, terhadap sikap Syifa yang tak hangat seperti sebelumnya. Namun, tak diambil pusing olehnya. Segera dia duduk di kursi yang telah ditarik Kiyan untuknya.
Senandung duduk di samping kanan Kiyan dan tepat di depan Ale yang terus menatap tajam padanya.
"Papa tak pernah menyangka, kalo Kiyan ternyata pintar mencari calon istri. Cantiknya mirip Mamamu saat masih muda dulu lho, Yan," puji Bapak Indra Saputra saat mulai makan bersama.
Pria tua itu melirik nakal sang istri. Namun, Ibu Arifah hanya tersenyum kecut menanggapi lirikan sang suami.
Senandung merasa gembira mendengar pujian Papa Kiyan padanya. Dengan mengangguk hormat, Senandung mengucapkan terima kasih pada Bapak Indra.
Kiyan sendiri menepuk dada mendengar pujian sang Papa padanya. Dengan bangga dia berujar, " Anak siapanya dulu? Papa Indra."
Kiyan dan Bapak Indra sama-sama tergelak, sedangkan Senandung mengulum senyum manis. Namun, tidak dengan yang lain, mereka semua diam tak menanggapi.
"Hey ... kenapa semua pada kaku begini? Biasanya Ale paling suka berkelakar, kenapa sekarang ikut diam juga? Apa kau sedang sariawan, Le?" tanya Bapak Indra pada sang menantu.
"Ale sedang tidak sariawan, Pa. Dia hanya tak menyangka saja kalo Kak Kiyan punya calon istri secantik Sena."
Syifa yang menjawab pertanyaan sang Papa untuk suaminya dengan nada menyindir. Wanita itu merasa cemburu melihat Ale yang terus saja menatap Senandung tanpa berkedip.
"Di mana kau bisa mengenal wanita secantik ini, Kiyan?" Ibu Arifah bertanya dengan datar.
"Sena teman SMAku, Ma. Perlu Mama tahu, dia adalah mantan istrinya Ale."
Ibu Arifah terbatuk mendengarnya. Wanita itu menatap kedua besannya secara bergantian meminta penjelasan. Dengan canggung Ibu Ambarwati mengangguk.
"Kenapa dunia ini begitu sempit," keluh Bu Arifah resah.
Namun, tidak dengan Pak Indra, pria itu tampak santai saja. Kemudian karena didorong rasa penasaran, dia bertanya, "Kenapa Ale dulu menceraikanmu, Sena?"
Senandung menengak jus orange, sambil mencari jawaban yang tepat atas pertanyaan Bapak Indra. Namun, ia merasa kakinya ada yang menyepak dari bawah meja. Membuat wanita itu terkaget dan menumpahkan jus yang dipegang hingga membasahi baju.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Kiyan perhatian.
Senandung menggeleng lemah. Dengan sigap Kiyan menyodorkan tisu pada Senandung.
"Terima kasih," ucap Senandung.
Senandung segera mengelap baju yang basah dengan tisu. Ketika dia melirik Ale, lelaki itu tersenyum miring. Hingga ia yakin bahwa yang menyepak kakinya adalah suami Syifa.
"Kiyan. Aku permisi ke toilet sebentar," izin Senandung kemudian.
"Iya. Toilet tamu ada di bawah tangga." Kiyan memberi tahu.
Senandung mengangguk. Bergegas dia berlalu meninggalkan meja makan menuju toilet yang dimaksud Kiyan.
Di dalam toilet, kembali Senandung membersihkan bajunya yang kotor oleh tumpahan jus. Kemudian mencuci tangan dan menatap pantulan diri pada cermin besar di depannya. Tampak dia menghela napas lamat-lamat.
Ketika Senandung membuka pintu untuk keluar, dia dibuat terkejut karena sudah ada Ale yang menunggu di depan pintu. Dengan kasar lelaki itu mendorong tubuhnya masuk lagi ke toilet, dan menutup pintu melalui kaki.
"Ale ... lepaskan!" Senandung memberontak saat Ale menyandarkan tubuhnya pada dinding.
"Kenapa kau harus membohongi dirimu sendiri, Sena? Kita masih saling mencintai bukan?" tanya Ale sembari memonyokan mulut hendak melumat bibir Senandung.
"Kalian?"
Senandung dan Ale segera menoleh ke arah pintu. Tampak Syifa memandang tajam pada keduanya.
==========
(side b)
Ale segera melepaskan cengkeraman pada tangan Senandung. Begitu tahu Syifa telah memergoki aksinya.
Sementara Senandung segera menghela napas lega. Dia mengusap lengan yang terasa sakit akibat cengkeraman Ale. Namun, hatinya mendadak ciut saat melihat tatapan tajam Syifa padanya.
"Heran. Sudah mau jadi calon istri Kiyan, masih saja merayu suamiku," tuduh Syifa sinis.
Senandung tercengang mendengar tuduhan yang dilontarkan Syifa. Dia merasa heran, kenapa sikap Syifa berubah masam tidak ramah dan sehangat dulu.
"Syifa. Itu tidak benar! Kau lihat sendiri kan Ale yang mengikutiku?" Senandung menyangkal.
"Ya. Kau sengaja berlama-lama di sini supaya Ale menemuimu bukan?" tukas Syifa semakin sinis dan cemburu.
"Kau salah menilaiku, Syifa. Aku tidak serendah itu," tegas Senandung tersinggung. Kemudian dia menatap Ale sembari berkata," Katakan sesuatu, Ale! Jangan diam saja!"
"Ada apa ini?" tanya Kiyan.
Lelaki itu tiba-tiba datang mendekat karena mendengar ada keributan. Dia menatap orang di depannya satu persatu dan berhenti pada sosok Ale yang tampak tenang dari kedua wanita itu.
"Keributan apa yang telah kau perbuat, Ale?" tanya Kiyan sinis.
"Senandung yang memancing keributan. Dia sengaja berlama-lama di sini untuk menarik perhatian Ale." Syifa yang menjawab pertanyaan Kiyan untuk suaminya.
Syifa melirik tajam pada Senandung, kemudian dengan langkah yang senewen dia kembali ke meja makan diikuti Ale.
"Ada apa dengan Syifa? Kenapa dia terlihat sangat membeciku?" tanya Senandung pada Kiyan kemudian.
"Entahlah mungkin dia cemburu, saat tahu kau adalah mantan istrinya Ale," jawab Kiyan sembari mengendikkan bahu. Kemudian dengan lembut dia mengajak Senandung kembali ke meja makan.
Suasana terasa semakin canggung bagi Senandung. Ale yang terus saja menatapnya tanpa berkedip. Lalu Syifa beserta keluarga yang lain menatap sinis padanya, membuat dia lekas ingin pulang. Maka, begitu acara jamuan makan selesai, Senandung minta izin pulang.
Sebenarnya, Kiyan tidak mengizinkannya pulang terlalu cepat. Apalagi saat sang Papa ingin mengajak berbincang lebih jauh. Namun, demi melihat Senandung yang bersikeras minta pulang dengan dalih takut Gembira terbangun, Kiyan tidak dapat menolak.
Dalam perjalanan pulang, Kiyan melihat Senandung beberapa kali mendesah pelan.
"Sepertinya, mamamu tidak menyukaiku, Yan." Senandung merasa resah.
"Perasaanmu saja." Kiyan menenangkan sembari mengusap rambut Senandung lembut.
"Dilihat dari cara dia memandang aku, kentara sekali kalo tidak suka. Lalu Syifa, kenapa dia jadi aneh begitu padaku?"
"Sudahlah. Jangan terlalu dipikirkan! Yang terpenting Papa sangat menyukaimu. Buktinya, dia memujimu secantik Mama saat muda dulu."
Ucapan Kiyan membuat semangat Senandung kembali bangkit. Dengan pasti dia mengangguk.
***
Esok pagi
Kiyan segera mengutarakan niat untuk lekas meminang Senandung pada kedua orang tuanya. Bapak Indra sangat mendukung, tapi tidak dengan Bu Arifah. Wanita itu tampak keberatan dengan keinginan Kiyan. Baginya itu terlalu mendadak. Apalagi bila mengingat status Senandung. Dia sangat tidak setuju.
"Masih banyak gadis di luar sana yang antri menunggumu, Kiyan. Kenapa harus memilih seorang janda?" Bu Arifah mencoba melarang.
"Mungkin Sena adalah jodohku, Ma. Lama kita berpisah ternyata bisa ketemu lagi," timpal Kiyan bahagia.
"Tapi, Mama dengar selentingan, Sena adalah penyebab retaknya rumah tangga Adam dan Ratna." Bu Arifah membeberkan alasan ketidak sukaannya pada Senandung.
"Jangan suka mendengarkan gosip, Ma! Lagian yang kutahu Adam memang tidak pernah mencintai Ratna. Ratna sendiri yang sering bercerita ke padaku," tukas Pak Indra mencoba meluruskan cerita tentang sekertarisnya.
"Tuh dengerin kata Papa, Ma! Sudahlah aku mau pergi dulu. Ada janji," pamit Kiyan kemudian. Lelaki itu berjalan menuju garasi mobil.
Sementara, Bu Arifah hanya mampu memandang putra sambungnya dengan desahan napas.
'Senandung ... tunggu aku!' batin Bu Arifah. Sosialita itu menyeringai dingin.
***
Senandung tengah sibuk menghias kue-kue pesanan. Rumah terasa sepi karena Epa sudah berangkat kerja dan Gembira belum pulang sekolah.
Wanita itu menghentikan aktivitasnya, saat mendengar pintu rumah diketok orang. Bergegas dia mencuci tangan di wastafel, lalu melepas celemek yang masih menempel di badan dan menggantungnya di tembok.
Untuk mengetahui siapa yang datang, Senandung terlebih dulu mengintip lewat gorden rumah. Mendadak nyalinya mengkerut saat mengetahui siapa yang datang, yaitu adalah Ibu Arifah, Ibu Ambarwati, dan Mbak Ratna.
Hati Senandung seketika berdegub kencang. Batinnya terasa tidak enak. Maka, untuk menghilangkan perasaan itu, dia menarik napas dalam-dalam. Setelah merasa baikan, baru Senandung membuka pintu.
"Tante Rifah, Ibu Ambar, dan Mbak Ratna mari masuk!" sapa Senandung ramah. Tangannya mempersilakan masuk.
Ketiga tamunya pun masuk. Mereka segera duduk anggun di sofa tamu. Mata Bu Arifah dan Bu Ambar menyapu sekeliling ruangan, lalu keduanya tersenyum miring. Sinis.
"Emm ... tunggu sebentar, ya! Saya buatkan minum dulu," pamit Senandung sopan.
"Tidak usah, Sena! Kami datang ke mari bukan untuk meminta minum darimu," tolak Bu Arifah dingin.
Senandung yang mendengar itu, menelan ludahnya dengan susah. Terasa pahit pula.
"Langsung pada pointnya. Maksud kedatangan saya ke mari adalah, ingin memintamu menjauhi Kiyan!" perintah Bu Arifah tegas.
Senandung terperanjat mendengarnya. Dia menggeleng untuk menolak perintah sang calon mertua. Membuat ketiga tamunya menatap sinis.
"Kenapa saya harus menjauhi Kiyan, Tante? Apa karena saya miskin dan seorang janda?" tanya Senandung sedih.
"Ya. Itu salah satunya. Terpenting lagi, saya tidak ingin punya menantu seorang bekas wanita penghibur," tandas Bu Arifah tegas. Bahkan, dia menekan ucapan pada kata wanita penghibur.
"Wanita penghibur? Maksud Tante apa?" Senandung merasa semakin bingung.
Bu Arifah mengeluarkan beberapa lembar foto dari dalam tas. Kemudian meletakkan di meja. Tampak gambar-gambar Senandung berpakaian seksi saat masih menjadi pemandu lagu dulu.
"Gara-gara Senandung, Adam tega menceraikan saya yang tengah hamil muda. Lalu yang lebih menyakitkan lagi, saya jadi keguguran karenanya," tuduh Ratna geram.
"Sudah miskin. Tidak berpendidikan. Bukan wanita baik-baik pula. Keputusan saya tidak salah, memisahkan dia dengan Ale." Ibu Ambarwati ikut menimpali. Sosialita itu tersenyum miring.
Hati Senandung sungguh sakit mendengar hinaan Bu Ambarwati padanya. Tak terasa air matanya menitik. Namun, dengan tegas dia bertutur,"Saya memang miskin dan tidak berpendidikan, tapi saya adalah wanita baik-baik yang menjaga kesucian sampai waktu pernikahan. Lalu mengenai menjadi pemandu lagu. Bukankah itu usul darimu, Mbak Ratna? Kau dulu menyuruh saya menjadi pemandu lagu supaya tidak terlalu bergantung hidup padamu dan Adam. Iya bukan? Jawab, Mbak!"
Senandung mengusap matanya yang mulai berkabut secara kasar. Dengan tajam dia menatap Ratna yang menunduk malu, mendengar bantahan darinya.
"Walaupun saya pernah menjadi pemandu lagu, tetapi saya tidak pernah menjual kehormatan pada kaum lelaki," terang Senandung tegas.
"Apapun alasannya. Saya tidak akan pernah menyetujui hubunganmu dengan Kiyan. Kau tidak ingin sesuatu terjadi pada putri kecilmu bukan?" Bu Arifah mengancam.
Senandung melotot mendengarnya. Dengan cepat dia menggeleng sembari memohon,"Tolong jangan lakukan hal yang menyakiti anak saya. Dia tidak ada kaitannya di sini!" Senandung menangkupkan kedua tangan di dada.
"Anakmu ada kaitannya bila kau menolak perintah saya. Cam kan itu!" Bu Arifah menyeringai sinis.
Lalu tanpa berkata lagi Bu Arifah berlalu, diikuti Bu Ambar, dan Ratna yang juga ikut menyeringai sinis pada Senandung.
Bersambung #10
Izin Penerbitan
PERNYATAAN & IZIN PENERBITAN
Seluruh cerita disini adalah cerita fiksi belaka. Tidak ada unsur kesengajaan apabila terdapat nama atau tempat atau waktu yang sama dengan ...
Selasa, 23 Maret 2021
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
POSTING POPULER
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Setangkai Mawar Buat Ibu #01 - Aryo turun dari mobilnya, menyeberang jalan dengan tergesa-...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari * Dalam Bening Matamu #1- Adhitama sedang meneliti penawaran kerja sama dari sebuah perusa...
-
Cerita Bersambung Karya : Tien Kumalasari * Kembang Titipan #1- Timan menyibakkan kerumunan tamu-tamu yang datang dari Sarangan. Ada s...
-
Cerita Bersambung Oleh : Tien Kumalasari Sebuah kisah cinta sepasang kekasih yang tak sampai dipelaminan, karena tidak direstui oleh ayah...
-
Cerita bersambung Karya : Tien Kumalasari Maruti sedang mengelap piring2 untuk ditata dimeja makan, ketika Dita tiba2 datang dan bersen...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Berilah komentar secara santun dan simpel